Foto: Flickr.com
SETELAH menguasai pusat kekuasaan di Washington, pemerintahan Donald Trump tanpa membuang-buang waktu segera melancarkan perang kelas, menyalahkan kelompok-kelompok tertindas, dan secara radikal merestrukturisasi negara Amerika Serikat (AS). Beriringan dengan agenda domestik tersebut, pemerintahan ini juga menerapkan strategi global baru yang berlandaskan pada prinsip unilateralisme “America First”, dengan memberlakukan tarif proteksionis yang belum pernah terjadi sebelumnya. Lebih dari itu, ia juga mengancam kedaulatan negara-negara lain, serta mendorong pola persaingan transaksional dengan kekuatan besar lainnya dalam upaya membagi dunia ke dalam zona-zona pengaruh. Dalam konteks ini, Ashley Smith dari jurnal Spectre mewawancarai ekonom Michael Roberts untuk membahas tentang Trump, kekuasaan oligarki yang menopangnya, serta dampaknya terhadap arah perkembangan AS, kapitalisme global, dan persaingan antarkekuatan besar dunia.
Ashley Smith (AS): Rezim Trump baru saja melewati tonggak seratus hari pertamanya dan telah secara fundamental mengganggu tatanan politik dan ekonomi di AS dan di seluruh dunia. Rezim ini sangat berbeda dengan rezim pertama, yang kala itu tidak siap untuk berkuasa dan terpecah antara faksi Republikan tradisional yang mapan dan nasionalis otoriter yang dibawa Trump. Meskipun rezim kedua jauh lebih kohesif dan dilengkapi dengan program Project 2025, rezim ini tetap tidak homogen. Ia terdiri dari faksi-faksi yang saling berkonflik- di satu sisi, kelompok kanan garis keras MAGA yang proteksionis seperti Peter Navarro, dan di sisi lain, para kapitalis seperti Elon Musk (Musk kini sudah tersingkir dari Gedung Putih – ed) yang melihat tarif sebagai alat untuk mendapatkan kesepakatan yang lebih baik dalam kapitalisme global. Pertanyaannya kini, apa karakter sejati dari rezim Trump? Bagaimana faksi-faksi yang berbeda ini bertabrakan? Program politik dan ekonomi seperti apa yang telah mereka sepakati untuk diimplementasikan bersama?
Michael Roberts (MR): Seperti yang Anda katakan, Trump 2.0 berbeda dari masa kepresidenannya yang pertama. Basis utama pendukungnya masih berasal dari kelompok MAGA yang mengakar dalam tubuh Partai Republik— mereka terdiri atas pengusaha kecil, presenter acara televisi, agen properti, dan elemen fasis yang setia mendukung semua tindakan Trump. Tujuan mereka adalah untuk memerintah melalui demagogi, rasisme, penolakan terhadap gerakan “woke”, serta penindasan terhadap aksi protes.
Namun, kini dukungan juga datang dari sekelompok oligarki miliarder yang tidak terintegrasi dalam dunia keuangan dan bisnis besar Wall Street. Sosok seperti Elon Musk merupakan figur liar dan oportunis yang berambisi menguasai sebanyak mungkin kekayaan AS untuk diri mereka sendiri—Trump adalah salah satunya. Selama Trump 1.0, para raksasa teknologi dan media sosial ini belum mendukungnya. Kemenangan Trump yang mengejutkan dan serangannya yang agresif terhadap status quo – yang mungkin juga mengancam posisi terhadap mereka – membuat mereka akhirnya berbalik memberikan dukungan.
Sementara itu, sebagian besar kalangan finansial dan bisnis besar tetap skeptis terhadap pemerintahan Trump. Mereka cenderung berpandangan global. Lebih mengutamakan laba dari investasi di luar negeri ketimbang dari dalam negeri. Para bankir dan pengelola dana lindung (hedge fund) tetap bersikap hati-hati dan siap menjual aset keuangan AS jika kebijakan Trump membahayakan kepentingan mereka. Untuk saat ini, mereka berharap bahwa ancaman tarif tidak akan diterapkan terlalu agresif dan Trump akan melanjutkan pemotongan pajak atas keuntungan korporasi serta mengurangi pengeluaran pemerintah, sehingga mereka tidak merasa perlu melakukan perlawanan terbuka.
AS: Meskipun mayoritas kalangan kapital awalnya mendukung Kamala Harris sebagai presiden, pada akhirnya mereka menerima kehadiran Trump di Gedung Putih. Mereka mengucurkan dana dalam jumlah besar dan berharap Trump akan meninggalkan retorika proteksionisnya, lalu fokus pada pemotongan pajak dan deregulasi. Namun, pada hari yang disebut “Hari Pembebasan”, Trump justru tampil mengejutkan dengan memberlakukan tarif balasan terhadap hampir semua negara di dunia. Reaksi dari kalangan kapital sangat negatif: pasar saham, obligasi, dan nilai tukar dolar anjlok, dan memaksa Trump untuk mengendurkan langkahnya. Ia akhirnya menetapkan tarif umum sebesar 10 persen, menunda kenaikan tarif yang lebih tinggi untuk memberi waktu negosiasi, memberikan berbagai pengecualian, dan mengalihkan fokus utama pada perang dagang dengan Cina. Pertanyaannya, mengapa kapital secara umum menolak keras kebijakan tarif tersebut? Siapa di antara mereka yang justru mendukungnya? Apa makna dari langkah mundur Trump terhadap keseluruhan agenda proteksionismenya? Apakah dia memang berniat mengguncang sistem perdagangan global, atau sekadar ingin merundingkan perjanjian yang lebih menguntungkan AS? Misalnya, apakah pemisahan total antara ekonomi AS dan Cina benar-benar memungkinkan terjadi?
MR: Saat berbicara di hadapan Kongres setelah 100 hari menjabat, Trump menyatakan bahwa tarif baru atas impor dari negara-negara mitra dagang utama hanya akan menyebabkan “gangguan kecil”. Pada 2 April, yang disebut Trump sebagai “Hari Pembebasan”, ia mengusulkan tarif “balasan” terhadap semua negara yang mengekspor barang ke AS. Timnya menggunakan penghitungan sederhana: defisit perdagangan barang AS dengan suatu negara dibagi nilai impor dari negara tersebut, lalu dibagi dua – hasilnya menjadi dasar kenaikan tarif. Rumus ini tidak masuk akal karena beberapa alasan. Pertama, ia mengabaikan perdagangan jasa, di mana AS memiliki surplus dengan banyak negara. Kedua, tarif 10 persen diterapkan bahkan pada negara-negara yang justru memiliki defisit perdagangan barang dengan AS. Ketiga, formula ini tidak mempertimbangkan tarif atau hambatan nontarif aktual yang diberlakukan oleh suatu negara terhadap produk ekspor AS. Dan keempat, formula ini juga mengabaikan adanya tarif dan hambatan nontarif yang diterapkan AS sendiri terhadap ekspor negara lain, yang sebenarnya cukup besar jumlahnya.
Tujuan Trump jelas: ia ingin memulihkan basis manufaktur AS di dalam negeri. Sebagian besar impor ke AS yang berasal dari negara-negara seperti Cina, Vietnam, Eropa, Kanada, dan Meksiko, sebenarnya diproduksi oleh perusahaan-perusahaan AS yang berbasis di negara-negara tersebut, lalu menjual kembali ke AS dengan biaya lebih rendah dibandingkan jika mereka memproduksinya di dalam negeri. Selama empat dekade era “globalisasi”, perusahaan multinasional dari AS, Eropa, dan Jepang telah memindahkan fasilitas produksinya (deindustrialisasi) ke negara-negara Global Selatan demi memanfaatkan upah buruh murah, minimnya keberadaan serikat pekerja atau regulasi yang ketat, serta akses terhadap teknologi terbaru. Namun, proses deindustrialisasi ini justru mendorong industrialisasi ekonomi mereka secara dramatis, sehingga memperoleh pangsa pasar dalam sektor manufaktur dan ekspor global, meninggalkan AS yang semakin bergantung pada sektor non-manufaktur seperti pemasaran, keuangan, dan jasa.
Apakah hal ini penting? Bagi Trump dan timnya, jawabannya jelas: ya. Tujuan strategis utama mereka adalah melemahkan dan mencekik Cina hingga terjadi “perubahan rezim”, sambil memperkuat kendali hegemonik di kawasan Amerika Latin dan Pasifik – menghidupkan kembali dominasi AS sesuai dengan semangat Doktrin Monroe. Untuk mencapai ini, AS memerlukan kekuatan militer yang unggul dan tidak tertandingi. Trump sendiri telah mengusulkan anggaran pertahanan terbesar dalam sejarah, mencapai rekor sebesar US$1 triliun per tahun. Namun, kapasitas industri pertahanan AS tidak mampu memenuhi permintaan sebesar itu. Karena itulah, basis industri manufaktur nasional perlu dibangun kembali. Pemerintahan Joe Biden mencoba mewujudkan hal ini melalui “kebijakan industri” yang memberikan subsidi kepada perusahaan teknologi dan sektor manufaktur. Tetapi pendekatan ini memerlukan peningkatan besar dalam belanja negara, yang pada gilirannya memperparah defisit anggaran. Sebagai alternatif, Trump mengajukan pendekatan lain: memberlakukan tarif untuk memaksa perusahaan manufaktur AS kembali ke dalam negeri dan mendorong investasi asing langsung ke AS alih-alih hanya mengekspor ke pasar domestik AS, karena cara ini dipandangnya lebih baik (yaitu, lebih murah). Menurut Trump, kebijakan tarif ini dapat mendorong pertumbuhan industri manufaktur, memungkinkan peningkatan belanja militer, mengurangi pajak korporat, memangkas pengeluaran untuk layanan publik, dan menjaga kestabilan nilai dolar secara lebih efisien dan hemat biaya.
Apakah strategi ini akan berhasil? Tampaknya ada sejumlah analis – termasuk dari kalangan kiri – yang menganggap hal itu mungkin saja tercapai. Memang, beberapa negara yang berada dalam posisi semi-kolonial terhadap AS tampak bersedia mengikuti tuntutan Trump—Korea Selatan, Jepang, dan juga Inggris telah menunjukkan kecenderungan ke arah itu. Namun, langkah-langkah semacam ini belum cukup untuk benar-benar mengubah arah situasi global.
Mereka yang meyakini Trump bisa sukses berpendapat bahwa AS sebelumnya pernah berhasil menggeser keseimbangan kekuatan ekonomi global demi kepentingannya sendiri. Sebagai contoh, demi membiayai impor dan investasi luar negerinya, Presiden Nixon pada tahun 1971 menghapuskan kaitan dolar dengan standar emas, menjadikan dolar sebagai mata uang dominan secara global dengan “hak istimewa luar biasa” sebagai satu-satunya mata uang cadangan utama. Kendati demikian, langkah tersebut tidak mampu mencegah AS kehilangan pangsa manufakturnya sepanjang dekade 1970-an.
Pada tahun 1979, Ketua Federal Reserve saat itu, Paul Volcker, menaikkan suku bunga hingga mencapai 19 persen dalam upaya menekan laju inflasi. Kebijakan ini memicu resesi yang dalam, tidak hanya di AS tetapi juga di seluruh dunia. Lonjakan tajam nilai dolar AS menyebabkan industri manufaktur dalam negeri mulai memindahkan operasinya ke luar negeri – sebuah titik awal dari era neoliberalisme. Kemudian, pada tahun 1985, AS berhasil membujuk negara-negara mitra dagangnya untuk menguatkan nilai mata uang mereka terhadap dolar melalui Perjanjian Plaza (Plaza Accord) Langkah ini secara efektif melemahkan dominasi industri Jepang yang dibangun selama era 1960-an dan 1970-an, namun tetap gagal menghidupkan kembali sektor manufaktur AS di dalam negeri.
Upaya ini pun tampaknya tidak akan berhasil sekarang, terutama jika hanya mengandalkan kenaikan tarif. Industri manufaktur AS hanya bisa bersaing secara global jika mampu menggunakan teknologi canggih untuk secara signifikan menekan biaya tenaga kerja dalam proses produksi. Meski AS masih menjadi produsen manufaktur terbesar kedua di dunia – menyumbang sekitar 13 persen dari total produksi global, jauh di bawah Cina yang mencapai 35 persen – jumlah pekerja di sektor ini telah menurun tajam sejak berakhirnya masa kejayaannya pada 1960-an. Penurunan ini lebih disebabkan oleh melemahnya profitabilitas dan otomatisasi teknologi, bukan semata karena perdagangan bebas. Tim Trump memang menyatakan niat untuk membangun kembali basis manufaktur domestik dengan mengandalkan robotika dan kecerdasan buatan, yang pada akhirnya hanya akan menciptakan sedikit lapangan kerja baru di sektor tersebut. Dari sinilah muncul pernyataan Trump bahwa dirinya “bangga menjadi presiden bagi para pekerja, bukan bagi mereka yang memindahkan pekerjaan ke luar negeri; presiden yang memperjuangkan Main Street, bukan Wall Street.”
Faktanya, Trump tidak bisa mengembalikan AS ke posisi sebagai pemimpin utama dalam ekonomi manufaktur global. Kesempatan itu telah berlalu. Dalam era globalisasi, rantai pasok manufaktur telah menjadi lintas batas, dengan komponen dan bahan mentah diproduksi dan dikirim dari berbagai penjuru dunia. Seperti yang disoroti oleh koran Wall Street Journal: “Bahkan jika ekspor manufaktur AS tumbuh cukup pesat untuk menyeimbangkan neraca perdagangan – sesuatu yang sangat kecil kemungkinannya – dan penciptaan lapangan kerja meningkat secara proporsional, pangsa pasar tenaga kerja di sektor manufaktur hanya akan naik dari 8 persen menjadi 9 persen. Itu bukanlah perubahan besar yang revolusioner.”
Jika Trump benar-benar ingin membangkitkan kembali sektor manufaktur AS, hal itu akan memerlukan suntikan investasi besar di dalam negeri. Namun, sebagian besar perusahaan AS – kecuali segelintir raksasa seperti Magnificent Seven – sedang mengalami tingkat keuntungan yang relatif rendah, sehingga mereka tidak mungkin bersedia berinvestasi besar-besaran, kecuali dalam bidang produksi militer yang dibiayai melalui kontrak pemerintah. Reaksi Elon Musk, yang pernah menjadi penasihat Trump, terhadap kebijakan tarif mencerminkan sikap umum kalangan bisnis besar di AS. Musk secara terbuka mengecam penasihat Trump, Peter Navarro, dengan menyebutnya “idiot” dan “lebih bodoh dari sekantong batu bata” setelah Navarro menyatakan bahwa penolakan bos Tesla terhadap tarif didorong oleh kepentingan pribadi – yang pada kenyataannya benar adanya.
Trump dan kelompok MAGA-nya percaya bahwa berbagai gejolak ekonomi ini adalah harga yang pantas untuk dibayar demi mengembalikan dominasi industri manufaktur AS. Mereka beranggapan bahwa setelah krisis berlalu, AS akan kembali berjaya. Menurut mereka, runtuhnya sistem perdagangan global justru akan membawa dampak “kreatif” bagi kepentingan AS. Namun pandangan ini tak lebih dari sekadar delusi. Penurunan ekonomi yang dipicu oleh kebijakan Trump justru akan memperkuat tren kemunduran yang ada.
Meskipun tarif jelas bukan solusi efektif untuk mereindustrialisasi AS, Trump tampaknya tetap berpegang teguh pada strategi proteksionisnya. Strategi ini kemungkinan besar justru akan memicu resesi baru, baik di AS maupun di negara-negara ekonomi besar lainnya. Resesi tersebut sangat mungkin terjadi karena perekonomian global—termasuk AS—sudah menunjukkan perlambatan yang signifikan. Biasanya, menjelang resesi, para investor beralih ke obligasi pemerintah sebagai aset aman, yang membuat harganya naik. Namun kali ini, baik harga obligasi maupun nilai tukar dolar justru menurun—karena kekhawatiran pasar terhadap lonjakan inflasi dan ketidakpastian menyangkut keamanan aset berbasis dolar.
Kondisi memprihatinkan ini menyebabkan Kamar Dagang Internasional (ICC) di AS, memperingatkan bahwa perekonomian global bisa tergelincir ke dalam krisis serupa Depresi Besar 1930-an jika Trump tidak membatalkan kebijakan-kebijakannya. “Kami sangat khawatir bahwa ini bisa menjadi titik awal dari kemerosotan berkelanjutan yang menyeret kita kembali ke situasi perang dagang seperti pada era 1930-an,” ujar Andrew Wilson, wakil sekretaris jenderal ICC. Dengan demikian, kebijakan Trump kemungkinan akan menimbulkan dampak yang jauh lebih besar daripada sekadar “gangguan kecil.”
AS: Adam Tooze telah mengingatkan soal upaya “sane-washing” atau pembenaran terhadap kebijakan tarif Trump yang inkonsisten. Namun, di tengah ancaman dan tarik-ulur kebijakan tersebut, Stephen Miran – ketua Dewan Penasihat Ekonomi Trump – telah mengemukakan argumen yang lebih sistematis. Ia mengusulkan penggunaan tarif untuk mengurangi defisit perdagangan AS, mendorong relokasi manufaktur kembali ke dalam negeri, serta melemahkan nilai dolar guna meningkatkan daya saing ekspor, sambil tetap menjaga peran dolar sebagai mata uang cadangan global. Bahkan muncul ide tentang Perjanjian Mar-a-Lago yang bertujuan menyeimbangkan nilai tukar dan perdagangan antarnegara. Apa pendapat Anda tentang gagasan yang diajukan Miran? Apakah strategi semacam itu berpotensi berhasil? Dan tantangan atau risiko apa saja yang mungkin muncul dari pendekatan ini?
MR: Berbeda dengan pandangan Tooze, saya melihat bahwa di balik kebijakan yang tampak kacau ini sebenarnya ada strategi yang terencana. Di tingkat internasional, tujuan Trump dalam mengusung slogan “Make America Great Again” adalah dengan menaikkan biaya barang impor bagi perusahaan dan konsumen AS. Langkah ini dimaksudkan untuk menekan permintaan terhadap produk asing dan mengurangi defisit perdagangan besar yang selama ini dialami AS terhadap negara-negara lain. Strateginya adalah mendorong perusahaan asing agar tidak lagi sekadar mengekspor ke AS, melainkan berinvestasi langsung dan memproduksi di dalam negeri.
Meskipun Trump untuk sementara menarik diri dari rencana penerapan tarif balasan yang aneh – yang bahkan mencakup negara-negara kecil tak berpenghuni seperti Pulau Heard dan McDonald di selatan Australia – konflik tarif ini masih jauh dari selesai. Masa tenggang selama 90 hari akan berakhir pada awal Juli.
Langkah mundur Trump terjadi karena pasar obligasi mulai menunjukkan tekanan serius, yang berpotensi memicu krisis kredit. Ini terutama mengkhawatirkan bagi dana lindung nilai yang memegang porsi besar obligasi pemerintah AS. Jika nilai obligasi turun tajam, banyak perusahaan bisa kolaps—terutama perusahaan “zombie” yang sangat bergantung pada utang dan diperkirakan mencakup sekitar 20 persen dari seluruh perusahaan di AS. Gelombang kebangkrutan seperti itu dapat menyebar luas dan menimbulkan krisis keuangan serta resesi ekonomi.
Masalah yang dihadapi Trump tidak berhenti di situ. Pengenaan tarif sebesar 125 persen terhadap barang impor dari Cina berisiko membuat produk-produk teknologi konsumen berteknologi tinggi yang diekspor oleh perusahaan-perusahaan AS yang beroperasi di Cina menjadi tidak lagi kompetitif. Perusahaan seperti Apple—yang merupakan salah satu eksportir utama iPhone dan produk lainnya dari Cina—akan sangat terdampak. Sekitar 90 persen proses produksi dan perakitan iPhone dilakukan di Cina. Padahal, kontribusi biaya tenaga kerja Cina untuk sebuah iPhone kurang dari 2 persen, sementara Apple meraup margin kotor sekitar 58,5 persen dari setiap unit yang terjual. Jika rantai pasokan tersebut terganggu, justru AS yang akan menderita kerugian lebih besar dibandingkan Cina. Karena tekanan keras dari perusahaan-perusahaan AS, Trump akhirnya kembali terpaksa menarik kebijakan tersebut.
Saat ini, seluruh produk teknologi konsumen yang diimpor dari Cina—yang mencakup sekitar 22 persen dari total impor AS dari negara tersebut—dibebaskan dari beban tarif. Namun, kebijakan tarif Trump tetap menunjukkan kelemahan logis yang nyata, misalnya dengan tetap mengenakan tarif pada komponen iPhone dan iPad, sementara produk jadinya tidak terkena tarif. Menurut Asosiasi Manufaktur Nasional AS, sekitar 56 persen dari seluruh barang impor ke AS merupakan bahan baku untuk proses produksi, dan sebagian besar berasal dari Cina.
Kenaikan harga pada bahan baku tersebut akan berdampak luas pada harga produk jadi. Pembebasan tarif terhadap produk teknologi konsumen hanya berlaku dalam konteks tarif timbal balik. Sementara itu, semua impor dari Cina—termasuk yang dibebaskan dari tarif timbal balik—masih dikenai tambahan tarif sebesar 20 persen. Selain itu, Trump juga berencana menaikkan tarif pada impor semikonduktor, yang akan memengaruhi perusahaan-perusahaan besar seperti Apple.
AS banyak mengimpor barang kebutuhan pokok dari Cina: 24 persen dari total impor tekstil dan pakaian senilai US$45 miliar, 28 persen dari impor furnitur sebesar US$19 miliar, dan 21 persen dari impor elektronik serta mesin senilai US$206 miliar pada tahun 2024. Kenaikan tarif hingga 100 persen hampir pasti akan menyebabkan lonjakan harga bagi pelaku usaha dan konsumen. Alih-alih memberikan tekanan ekonomi pada Cina, kebijakan tarif Trump justru berisiko memberikan dampak yang sangat buruk bagi perekonomian AS sendiri. Faktanya, ketergantungan Cina terhadap ekspor ke AS sangat kecil—kurang dari 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB)-nya berasal dari ekspor ke AS. Sebaliknya, konsumen dan produsen AS kemungkinan besar akan menghadapi kenaikan harga yang signifikan, seperti yang sudah terbukti dalam kebijakan tarif sebelumnya.
Dalam situasi saat ini, turunnya harga minyak mentah secara signifikan telah mulai mengancam profitabilitas sektor minyak di AS. Di sisi lain, para petani AS juga mengalami kerugian besar di pasar internasional karena Cina mulai mengalihkan pembelian produk makanan dan biji-bijian ke Brazil. Pangsa pasar AS dalam ekspor makanan ke Cina menurun drastis dari 20,7 persen pada 2016 menjadi hanya 13,5 persen pada 2023, sementara pangsa Brazil justru meningkat dari 17,2 persen menjadi 25,2 persen dalam kurun waktu yang sama. Kini, penjualan daging sapi Brazil ke Cina meningkat sepertiga pada kuartal pertama 2025 dibandingkan tahun sebelumnya, sementara ekspor hasil pertanian AS ke Cina anjlok hingga 54 persen.
Saat ini, ekspor AS ke Cina hanya mencakup sekitar 7 persen dari total ekspor barang AS, atau sekitar 0,5 persen dari PDB negara itu. Menurut analisis dari Pantheon Macroeconomics, kerugian yang ditimbulkan oleh pembalasan perdagangan dari Cina terhadap ekspor AS kemungkinan akan lebih besar daripada potensi peningkatan PDB yang diperoleh dari penghapusan tarif “timbal balik” yang diberlakukan sebelumnya. Trump dan para penasihat MAGA-nya berpendapat bahwa pendapatan dari tarif dapat dimanfaatkan untuk menurunkan pajak perusahaan dan mendorong investasi domestik. Namun, menurut estimasi terbaru dari lembaga pemikir Tax Foundation – yang dirilis sebelum Trump mengumumkan kenaikan tarif sebesar 104 persen terhadap impor dari Cina- pemasukan dari tarif hanya diperkirakan mencapai sekitar US$300 miliar per tahun secara rata-rata. Jumlah ini jauh lebih kecil dibanding klaim Trump yang menyebutkan US$2 miliar per hari, dan nilainya pun nyaris tak sebanding jika dibandingkan dengan kerugian riil yang ditimbulkan terhadap pendapatan akibat kebijakan tarif tersebut.
Anda juga merujuk argumen ekonomi dari Stephen Miran, penasihat ekonomi Trump di Gedung Putih. Miran berpendapat bahwa negara-negara yang menikmati surplus perdagangan dengan AS seharusnya memberikan kompensasi atas apa yang dianggap sebagai “pengorbanan” AS dalam menyediakan dolar untuk aktivitas perdagangan dan investasi global. Namun, ekonom keynesian Larry Summers merespons argumen ini dengan sindiran: “Jika Cina ingin menjual barang-barang kepada kita dengan harga sangat murah – seperti panel surya atau baterai untuk kendaraan istrik – dan kita membayarnya hanya dengan mencetak kertas (dolar), menurut Anda, apakah itu kesepakatan yang merugikan atau justru menguntungkan bagi kita?”
Pada tahun 1959, ekonom Belgia-Amerika Robert Triffin memperingatkan bahwa AS tidak akan mampu terus-menerus menjalankan defisit perdagangan, mengekspor kapital ke luar negeri untuk investasi, dan tetap mempertahankan kekuatan dolar secara bersamaan. Ia menyatakan, “Jika AS terus mencatat defisit, utang luar negerinya pada akhirnya akan melampaui kemampuannya untuk menukar dolar dengan emas sesuai permintaan, yang akan memicu krisis terkait emas dan dolar.” Menurut Triffin, ketika sebuah negara memiliki mata uang yang berfungsi sebagai cadangan global – yang disimpan oleh negara-negara lain untuk mendukung transaksi internasional – negara tersebut dituntut untuk menyediakan cukup banyak mata uangnya bagi dunia. Namun, upaya memenuhi permintaan global terhadap mata uang cadangan ini secara otomatis akan menciptakan defisit perdagangan yang bersifat permanen.
Namun, baik Triffin maupun Miran keliru dalam membaca situasi ini. Selama beberapa dekade, AS mampu mengimpor barang murah dan menjalankan defisit perdagangan karena negara-negara pengekspor bersedia menerima pembayaran dalam bentuk dolar, bahkan sering kali menginvestasikan kembali dolar tersebut ke dalam obligasi pemerintah AS atau aset keuangan lainnya berbasis dolar. Negara-negara dengan surplus perdagangan tidak “memaksakan” defisit terhadap AS; kenyataannya, defisit tersebut terjadi karena produsen AS tidak mampu bersaing secara efektif, setidaknya dalam perdagangan barang (meskipun AS justru mencatat surplus besar dalam sektor jasa). Yang menguntungkan bagi perusahaan dan konsumen di Amerika adalah kesediaan negara-negara surplus untuk terus menerima dolar sebagai alat tukar. Jika kepercayaan terhadap dolar itu hilang, ekonomi AS akan menghadapi kesulitan besar – mirip dengan tantangan yang dialami banyak negara berkembang yang mata uangnya tidak diterima secara luas di pasar internasional. Dalam kondisi seperti itu, AS kemungkinan harus mendevaluasi dolarnya atau mencari pinjaman dengan tingkat bunga yang jauh lebih tinggi.
Di bawah kapitalisme, ketidakseimbangan perdagangan dan arus modal antarnegara selalu terjadi, bukan karena negara dengan produksi yang lebih efisien “memaksakan” defisit kepada negara yang kurang efisien, melainkan karena kapitalisme secara inheren merupakan sistem yang berkembang secara tidak merata namun saling terhubung. Dalam sistem ini, negara dengan biaya produksi lebih rendah dapat memperoleh keuntungan dari perdagangan internasional dibandingkan negara yang kurang kompetitif. Yang sebenarnya menjadi kekhawatiran utama bagi para kapitalis di AS bukanlah kenyataan bahwa negara-negara surplus menuntut mereka mencetak lebih banyak dolar, tetapi karena Cina mulai menyusul AS dalam hal produktivitas dan kemajuan teknologi. Inilah yang dianggap sebagai ancaman terhadap dominasi ekonomi global AS.
Meski argumen Miran dinilai keliru dan gagasan Triffin dianggap menyesatkan, beberapa ekonom mainstream tetap menerima argumen keduanya. Salah satunya adalah Michael Pettis, ekonom yang berbasis di Cina yang kini tengah naik daun. Ia berpendapat bahwa negara-negara seperti Cina menciptakan surplus perdagangan karena sengaja menekan konsumsi domestik guna mensubsidi sektor manufakturnya. Akibatnya, kelebihan produksi manufaktur tersebut harus diserap oleh negara-negara mitra dagangnya yang memiliki kontrol lebih terbatas atas neraca perdagangan dan arus kapital mereka. Dengan demikian, menurut Pettis, ketidakseimbangan global bukanlah akibat kelemahan daya saing industri manufaktur AS, melainkan disebabkan oleh kebijakan negara-negara surplus seperti Cina (dan sebelumnya juga Jerman). Dalam konteks global yang tidak memiliki mekanisme tata kelola atau kerja sama internasional yang memadai terkait mata uang, Pettis justru sejalan dengan pandangan Miran: “AS berhak mengambil tindakan sepihak untuk menghentikan perannya sebagai penampung distorsi kebijakan ekonomi negara lain—seperti yang sedang dilakukan saat ini.” Menurutnya, langkah yang paling efektif bukan hanya menerapkan tarif atas impor dari Cina, tetapi juga memberlakukan kontrol atas akun kapital AS untuk membatasi kemampuan negara-negara surplus dalam membeli aset-aset berbasis dolar guna menyeimbangkan surplus mereka.
Pada intinya, ini merupakan strategi terselubung untuk mendevaluasi dolar agar melemahkan daya saing ekspor Cina sekaligus memperkuat posisi ekonomi AS – sebuah bentuk kebijakan “beggar-thy-neighbor/mengorbankan negara lain” yang dibungkus dengan istilah teknis. Gagasan dari Miran dan Pettis sejatinya menyerukan upaya penurunan nilai dolar, mirip dengan langkah yang diambil Nixon pada tahun 1971 ketika ia menghentikan keterikatan dolar pada standar emas. Langkah serupa juga terjadi lewat Perjanjian Plaza tahun 1985, di mana AS menekan negara-negara surplus seperti Jepang agar menaikkan suku bunga dan menguatkan mata uang mereka (yen), sehingga ekspor mereka menjadi kurang kompetitif. Kini, respons terhadap keberhasilan ekspor dan industri manufaktur Cina tampaknya adalah dengan mendorong mereka melepaskan kepemilikan aset-aset berbasis dolar dan sekaligus melemahkan nilai tukar dolar AS.
Namun, strategi semacam ini tidak akan berhasil. Kebijakan serupa juga gagal menghidupkan kembali sektor manufaktur AS pada dekade 1970-an dan 1980-an. Ketika laba merosot tajam, banyak produsen AS memilih untuk memindahkan produksinya ke negara-negara dengan upah rendah demi mempertahankan keuntungan. Kini, jika nilai dolar melemah, yang terjadi justru kemungkinan lonjakan inflasi domestik—seperti yang dialami AS pada 1970-an. Alih-alih menarik investasi kembali ke dalam negeri, perusahaan-perusahaan AS kemungkinan besar justru akan kembali mencari lokasi produksi di luar negeri, terlepas dari ada atau tidaknya tarif. Selain itu, jika dolar kehilangan nilainya terhadap mata uang asing, negara-negara pemegang dolar besar seperti Cina, Jepang, dan kawasan Eropa kemungkinan akan mulai mengalihkan investasinya ke aset dalam mata uang lain sebagai alternatif.
Apakah ini menandai berakhirnya dominasi dolar dan munculnya sistem global yang multipolar dan menggunakan berbagai mata uang? Beberapa kalangan kiri mendorong pandangan tersebut. Namun, kenyataannya, posisi dolar sebagai mata uang utama dunia masih jauh dari runtuh. Belum ada mata uang alternatif yang benar-benar dianggap aman, apalagi ketika hampir semua negara justru sengaja menjaga nilai tukar mereka tetap rendah demi mempertahankan daya saing ekspor – hal ini pula yang menjelaskan meningkatnya minat terhadap emas di pasar keuangan. Negara-negara BRICS pun belum siap untuk menggantikan peran dolar AS. Mereka hanyalah aliansi longgar yang terdiri dari ekonomi dan sistem politik yang sangat beragam, dengan kesamaan utama berupa penolakan terhadap dominasi imperialisme AS. Dan meskipun banyak narasi menyebut dolar akan runtuh, kenyataan menunjukkan bahwa nilai dolar tetap kuat secara historis jika dibandingkan dengan sebagian besar mata uang perdagangan utama, bahkan di tengah arah kebijakan Trump yang tidak konsisten.
Yang sebenarnya dapat menghentikan defisit perdagangan AS bukanlah kebijakan tarif atau larangan terhadap investasi asing, melainkan terjadinya resesi. Resesi akan menyebabkan penurunan tajam dalam konsumsi, produksi, dan investasi domestik, yang secara otomatis akan menurunkan volume impor serta mengurangi defisit perdagangan luar negeri. Dengan kata lain, Trump memang bisa mengakhiri defisit eksternal – tetapi dengan risiko menciptakan krisis ekonomi di dalam negeri.
AS: Tarif yang diberlakukan Trump terhadap Cina akan menyebabkan kenaikan harga pada hampir semua barang, dari mobil hingga boneka Barbie. Seolah meniru sikap Marie Antoinette, ia menyarankan masyarakat untuk bertahan dan anak-anak untuk menerima kenyataan dengan memiliki lebih sedikit mainan. Di balik sikap yang terkesan acuh itu, kebijakan tarif ini justru berpotensi mendorong inflasi sekaligus memperlambat laju pertumbuhan ekonomi, bahkan bisa memicu resesi. Kondisi ini menempatkan pemerintahan Trump dalam ketegangan dengan Ketua Federal Reserve, Jerome Powell. Powell memilih untuk menjaga suku bunga tetap stabil—cukup tinggi untuk mengendalikan inflasi, tetapi tidak terlalu tinggi agar pertumbuhan ekonomi tetap berjalan. Sebaliknya, Trump menginginkan penurunan suku bunga guna mendorong ekspansi ekonomi. Ia bahkan mengancam akan memecat Powell dan menggantikannya dengan figur yang lebih tunduk pada kehendak politiknya, hingga akhirnya tekanan dari kalangan modal memaksanya mundur dari rencana tersebut. Mengapa Trump begitu ngotot menekan Powell? Mengapa Powell bersikukuh menolak? Apa yang sebenarnya dipertaruhkan bagi kepentingan modal dalam benturan kebijakan ini? Dan bagaimana kemungkinan arah perkembangannya ke depan?
MR: Harga barang di toko-toko AS diperkirakan akan melonjak tajam dalam waktu dekat, seiring meningkatnya biaya untuk produk konsumen impor dari Asia serta bahan baku dan komoditas yang dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan AS. Tarif tertinggi yang diberlakukan Trump banyak diarahkan ke negara-negara seperti Vietnam – untuk produk makanan dan barang konsumsi – serta Taiwan, khususnya untuk semikonduktor. Menurut proyeksi dari lembaga think tank Yale Budget Lab, harga sayuran, buah-buahan, dan kacang-kacangan – banyak di antaranya diimpor dari Meksiko dan Kanada – akan naik sekitar 4 persen. Secara keseluruhan, Yale Budget Lab memperkirakan bahwa mulai tahun 2026, rumah tangga di AS akan mengeluarkan tambahan biaya rata-rata sebesar US$3.800 per tahun akibat inflasi yang dipicu oleh tarif ini.
Sementara itu, “perang melawan inflasi” yang dilakukan Federal Reserve juga menghadapi hambatan. Target inflasi The Fed adalah menjaga kenaikan harga pengeluaran konsumsi pribadi (PCE) pada tingkat 2 persen per tahun, namun kebijakan tarif justru memperburuk tantangan tersebut. Pada bulan Maret, laju inflasi untuk pengeluaran konsumen inti (di luar makanan dan energi) masih tumbuh sebesar 2,6 persen per tahun. Dalam pertemuan terakhirnya, Federal Reserve menyatakan bahwa “risiko meningkatnya inflasi dan pengangguran semakin besar.” Dengan kata lain, tanda-tanda stagflasi mulai terlihat. Dan efek dari kebijakan tarif impor Trump diperkirakan masih akan terus berdampak ke depan. Kini, Federal Reserve menghadapi dilema serius: apakah mereka harus mempertahankan suku bunga pada tingkat saat ini untuk mencoba menekan inflasi, atau justru menurunkannya guna mencegah terjadinya resesi?
Trump mendesak agar suku bunga diturunkan, sementara kalangan elite keuangan lebih mementingkan agar inflasi tetap rendah. Ketua The Fed, Jerome Powell, kemungkinan akan tetap berpihak pada kepentingan sektor keuangan dan menolak tekanan dari Trump—setidaknya untuk saat ini. Namun, jika gejala resesi mulai terasa di kalangan masyarakat luas, ia kemungkinan besar akan segera memangkas suku bunga.
AS: Kebijakan proteksionis Trump merupakan sebuah pergeseran tajam dari konsensus neoliberal yang selama ini mendominasi Washington, yang mendukung globalisasi dan perdagangan bebas. Neoliberalisme sendiri muncul sebagai strategi utama kapitalisme untuk mengatasi krisis profitabilitas yang meletus pada 1970-an. Melalui kombinasi perang kelas terhadap buruh, restrukturisasi industri, penghematan fiskal, dan ekspansi global, kapitalisme berhasil memulihkan sebagian keuntungannya—meskipun tidak pernah mencapai kembali masa keemasan pertumbuhan seperti era pasca-Perang Dunia II. Namun, krisis keuangan global tahun 2008 menjadi titik balik yang mengakhiri fase ekspansi neoliberal. Sejak saat itu, dunia mengalami apa yang bisa disebut sebagai periode depresi panjang, yang ditandai oleh keuntungan rendah, stagnasi ekonomi, krisis yang berulang, dan pemulihan yang lemah. Dalam konteks ini, proteksionisme Trump tampak sebagai upaya untuk mengembalikan dominasi ekonomi dan profit kapitalis AS dengan menekan negara lain dan perusahaan-perusahaan asing. Pertanyaannya: apakah strategi ini benar-benar mampu menghidupkan kembali profitabilitas? Ataukah justru akan berujung pada perlindungan terhadap modal yang sudah tidak efisien dan tidak menguntungkan? Dan yang lebih penting, langkah apa sebenarnya yang dibutuhkan untuk benar-benar memulihkan tingkat keuntungan kapitalisme secara berkelanjutan?
MR: Walaupun Trump telah meninggalkan kebijakan neoliberal yang mendukung globalisasi dan perdagangan bebas demi slogan “Make America Great Again” yang dilakukan dengan mengorbankan negara-negara lain, ia tetap mempertahankan prinsip-prinsip neoliberal di dalam negeri. Trump bertekad memberikan kebebasan seluas-luasnya bagi perusahaan-perusahaan terbuka AS (PLC) untuk mengejar keuntungan tanpa hambatan. Bagi Trump, satu-satunya tujuan yang penting adalah laba, bukan kepentingan publik atau kesejahteraan masyarakat luas. Konsekuensinya, ia menolak pengeluaran negara untuk isu-isu seperti penanggulangan perubahan iklim atau perlindungan lingkungan. Menurut pandangannya, perusahaan-perusahaan AS seharusnya berfokus semata-mata pada peningkatan profit tanpa perlu memperhatikan dampak negatif atau “eksternalitas” seperti kerusakan ekologis dan krisis iklim.
Trump memandang AS layaknya sebuah perusahaan kapitalis raksasa, di mana dirinya berperan sebagai CEO. Mirip seperti saat ia memimpin acara The Apprentice, ia menganggap dirinya sebagai pemimpin yang mengatur jalannya bisnis dan bebas merekrut atau memecat siapa pun sesuai kehendaknya. Ia dikelilingi oleh semacam dewan direksi terdiri dari oligarki AS, ekonom tertentu, dan politisi MAGA – yang bertugas memberikan saran dan melaksanakan perintahnya. Dalam pandangannya, lembaga-lembaga negara yang bersifat tradisional hanyalah penghalang. Oleh karena itu, institusi seperti Kongres, pengadilan, dan pemerintahan negara bagian harus dikendalikan atau dikesampingkan demi melaksanakan instruksi sang CEO.
Sebagai mantan agen properti, Trump memandang peningkatan keuntungan perusahaannya dapat dicapai dengan cara membuat kesepakatan strategis – baik melalui akuisisi bisnis lain maupun perjanjian dagang yang menjamin keuntungan maksimal bagi “perusahaannya”. Layaknya korporasi besar, Trump PLC tidak ingin para pesaingnya merebut pangsa pasar dengan mengorbankan kepentingannya. Karena itu, ia berusaha menaikkan biaya bagi para pesaing global seperti Eropa, Kanada, dan Cina, salah satunya lewat penerapan tarif impor yang tinggi. Trump juga mencoba menekan perusahaan-perusahaan atau negara yang posisinya lebih lemah agar menyetujui kesepakatan yang mengharuskan mereka membeli lebih banyak produk dan layanan dari perusahaan-perusahaan AS – mulai dari sektor kesehatan, persenjataan, pangan, hingga energi – dalam perjanjian dagang seperti yang direncanakan dengan Inggris. Di sisi lain, ia ingin mendorong investasi perusahaan-perusahaan AS ke sektor-sektor yang menjanjikan keuntungan besar, seperti industri bahan bakar fosil (misalnya di Alaska, pengeboran fracking), teknologi unggulan (seperti AI dan Nvidia), dan yang paling utama: properti – dari Greenland hingga Panama, Kanada, bahkan Gaza.
Seperti halnya semua perusahaan yang ingin meminimalkan pajak atas pendapatan dan keuntungannya, Trump bertekad mewujudkan hal tersebut bagi korporasi-korporasi AS. Bersama “penasihatnya” Elon Musk (kini telah dipecat- ed), ia berusaha melemahkan lembaga-lembaga pemerintahan, mengurangi jumlah pegawai negeri, dan memangkas anggaran layanan publik dengan alasan efisiensi. Tujuannya adalah menekan pengeluaran negara agar memungkinkan pemotongan pajak – terutama bagi korporasi besar dan individu super kaya yang menjadi bagian dari “dewan direksi” tidak resmi AS dan melaksanakan kebijakan Trump.
Namun, upaya tersebut tidak berhenti pada pajak dan anggaran saja. Trump juga ingin menghapus berbagai regulasi yang dianggap menghambat kegiatan bisnis. Ini mencakup aturan-aturan tentang keselamatan kerja dan kondisi di tempat produksi, hukum antikorupsi dan perdagangan yang adil, perlindungan konsumen dari praktik curang, serta pengawasan terhadap aktivitas spekulatif dan aset berisiko seperti bitcoin dan mata uang kripto lainnya. Dalam visi Trump, perusahaan-perusahaan AS seharusnya bebas bertindak tanpa batasan. Deregulasi menyeluruh dianggap sebagai fondasi utama dalam misinya untuk “membuat Amerika hebat lagi”.
Trump telah menginstruksikan Departemen Kehakiman untuk menangguhkan selama 180 hari semua penegakan hukum yang berkaitan dengan Undang-Undang Praktik Korupsi Asing – sebuah regulasi anti-suap dan pengawasan akuntansi yang dirancang untuk menjaga transparansi dan etika dalam transaksi bisnis internasional. Ia juga mendorong kebijakan yang menyerukan penghapusan sepuluh regulasi lama untuk setiap regulasi baru yang diberlakukan, dengan alasan bahwa deregulasi adalah jalan menuju kemakmuran ekonomi. Sebagai bagian dari pendekatan ini, Trump memecat pimpinan Biro Perlindungan Konsumen Keuangan (CFPB) dan memerintahkan agar seluruh aktivitas pengawasan dan pemeriksaan lembaga tersebut dihentikan. CFPB sendiri didirikan setelah krisis keuangan 2007–2008 untuk mengatur dan menegakkan aturan terhadap institusi jasa keuangan dan perbankan, dengan fokus utama pada perlindungan konsumen dari praktik pinjaman yang merugikan.
Trump mendorong berkembangnya lebih banyak aset spekulatif dan proyek kripto – termasuk yang dikembangkan oleh putranya – dan bahkan telah meluncurkan token meme miliknya sendiri. Perubahan regulasi yang tengah diusulkan akan mempermudah bank dan manajer aset untuk menyimpan token kripto, mendekatkan aset yang sangat fluktuatif ini ke jantung sistem keuangan resmi.
Namun, baru dua tahun yang lalu, AS nyaris mengalami krisis perbankan terburuk sejak 2008. Sejumlah bank regional, termasuk beberapa yang seukuran bank besar di Eropa, kolaps, termasuk Silicon Valley Bank, yang nyaris memicu krisis keuangan besar. Kejatuhan Silicon Valley Bank disebabkan oleh beberapa faktor langsung: portofolio obligasi bank kehilangan nilai secara drastis akibat kenaikan suku bunga, sementara para deposan dari sektor teknologi – yang saling terkoneksi dan cepat bereaksi – menarik dana secara besar-besaran hanya dalam hitungan ketukan aplikasi, menciptakan tekanan likuiditas yang luar biasa dan membuat para miliuner meminta intervensi dari pemerintah federal.
Pemotongan pajak akan difokuskan pada korporasi besar dan individu kaya, namun tujuan yang lebih luas adalah memangkas utang nasional dan mengurangi belanja pemerintah – kecuali untuk anggaran pertahanan, tentu saja. Pada tahun ini, defisit anggaran AS diperkirakan mendekati US$2 triliun, dengan lebih dari setengahnya berasal dari pembayaran bunga – jumlah yang sebanding dengan anggaran militer tahunan AS. Total utang pemerintah yang masih beredar kini mencapai US$30,2 triliun, setara dengan 99 persen dari PDB. Dalam waktu dekat, rasio utang terhadap PDB AS akan melampaui rekor yang pernah terjadi pada masa Perang Dunia II. Menurut proyeksi dari Kantor Anggaran Kongres, pada tahun 2034 utang pemerintah akan melonjak hingga lebih dari US$50 triliun, atau 122,4 persen dari PDB. Pada saat itu, pemerintah AS diperkirakan akan mengeluarkan US$1,7 triliun setiap tahunnya hanya untuk membayar bunga utang.
Trump telah memberi keleluasaan kepada Musk untuk memangkas pengeluaran pemerintah federal, menutup sejumlah lembaga (termasuk kemungkinan Departemen Pendidikan), dan melakukan pemutusan hubungan kerja massal terhadap ribuan pegawai negeri dengan dalih mengurangi “pemborosan”. Namun, tantangan bagi Musk adalah bahwa sebagian besar anggaran besar justru berada di sektor “pertahanan”—yang kemungkinan besar tidak akan tersentuh. Sebaliknya, pemangkasan kemungkinan besar akan menargetkan layanan sipil dan bahkan program sosial seperti Medicare.
Trump berambisi untuk “memprivatisasi” sebanyak mungkin fungsi pemerintah. Kantor Manajemen Personalia bahkan menyatakan, “Kami mendorong Anda untuk segera mencari pekerjaan di sektor swasta.” Menurut pandangan Trump, sektor publik dianggap tidak produktif – kecuali, tentu saja, sektor keuangan. Ia menyatakan bahwa “jalan menuju kemakmuran yang lebih besar bagi Amerika adalah dengan mendorong peralihan tenaga kerja dari pekerjaan sektor publik yang dianggap berproduktivitas rendah ke pekerjaan sektor swasta yang dinilai lebih produktif.”
AS: Perang dagang gaya “beggar-thy-neighbor” yang dijalankan Trump tampaknya merupakan bagian dari pergeseran besar dalam strategi imperialisme AS. Alih-alih memimpin tatanan global berdasarkan aturan perdagangan bebas, Trump mengadopsi pendekatan nasionalistik “America First”, dengan memperluas pengaruh global AS lewat tekanan dan ancaman, seperti ambisi mencaplok wilayah-wilayah seperti Greenland dan Panama, dalam persaingan langsung dengan kekuatan besar lainnya seperti Cina, Rusia, dan negara-negara Eropa. Namun, strategi ini mengandung kontradiksi besar, karena wilayah-wilayah yang menjadi sasaran pengaruh tersebut sering kali bertumpang tindih—terutama di Asia dan Eropa. Situasi ini jelas mengkhawatirkan karena menyerupai kondisi yang terjadi menjelang pecahnya Perang Dunia Pertama. Apakah kombinasi dari depresi ekonomi berkepanjangan, perang dagang, ketegangan geopolitik, dan lonjakan anggaran militer tengah membawa dunia menuju konflik berskala besar antar-imperialis—terutama antara AS dan Cina? Apa yang bisa mencegah eskalasi ini? Dan konflik seperti apa yang berpotensi menjadi pemicu pecahnya perang besar tersebut?
MR: Pada dekade 1930-an, langkah AS untuk “melindungi” industrinya melalui tarif Smoot-Hawley justru memperburuk penurunan produksi dan memperdalam Depresi Besar yang melanda Amerika Utara, Eropa, dan Jepang. Kebijakan ini mendapat kecaman tajam dari kalangan bisnis besar dan para ekonom mereka. Bahkan tokoh industri seperti Henry Ford mendesak Presiden Hoover untuk menolak undang-undang tersebut, dengan menyebutnya sebagai “kebodohan ekonomi/an economic stupidity.” Kini, kritik serupa kembali muncul dari dunia bisnis dan keuangan – misalnya Wall Street Journal, yang menyebut tarif Trump sebagai “perang dagang paling bodoh dalam sejarah.” Meskipun Depresi Besar 1930-an tidak secara langsung disebabkan oleh kebijakan proteksionis itu, tarif tersebut justru memperparah krisis global. Saat negara-negara mulai menerapkan kebijakan balasan dan mengutamakan kepentingan sendiri, perdagangan dunia anjlok sekitar 66 persen antara tahun 1929 dan 1934.
Strategi Trump merupakan hasil akhir dari dinamika yang berkembang dalam ekonomi global sejak Krisis Keuangan Global dan periode Depresi Panjang di tahun 2010-an. Cina menolak membuka pasar domestiknya secara luas untuk korporasi multinasional Barat, yang kemudian mendorong AS untuk mengubah pendekatannya dari “kemitraan” menjadi “pengekangan”. Di saat yang sama, AS bersama sekutu-sekutunya di Eropa mulai mempluas kontrolnya ke arah timur benua, dengan tujuan menggagalkan ambisi Rusia dalam mengontrol wilayah perbatasannya serta melemahkan Rusia sebagai kekuatan tandingan terhadap aliansi imperialis Barat. Kebijakan ini akhirnya berperan dalam memicu invasi Rusia ke Ukraina. Di sisi lain, pendekatan agresif serupa juga berdampak besar di Timur Tengah, khususnya dalam kehancuran yang melanda Gaza, yang telah menyebabkan penderitaan dan kematian bagi jutaan warga Palestina yang tinggal di sana.
Globalisasi dan kolaborasi antarnegara kapitalis hanya mungkin pulih jika kapitalisme berhasil menemukan sumber pertumbuhan keuntungan yang lebih besar dan berkelanjutan. Namun, hal itu tampaknya tidak akan terjadi dalam waktu dekat – setidaknya tidak sebelum munculnya krisis besar berikutnya, atau bahkan konflik militer yang lebih luas. Seperti yang pernah dikatakan oleh Christine Lagarde, Presiden Bank Sentral Eropa: “Faktor paling menentukan dalam penggunaan mata uang internasional adalah kekuatan ekonomi yang mendasarinya.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa dominasi global AS dan sekutunya, baik secara militer maupun keuangan, bertumpu pada landasan yang semakin rapuh—yakni produktivitas yang lemah, minimnya investasi, dan tingkat keuntungan yang rendah. Kondisi tersebut merupakan formula yang sangat berisiko bagi terjadinya fragmentasi ekonomi global dan meningkatnya potensi konflik.
Depresi panjang hanya bisa dibalik menjadi masa pertumbuhan pesat melalui langkah-langkah drastis yang sering kali menyerupai kondisi perang, seperti investasi besar-besaran oleh pemerintah, pengambilalihan sektor-sektor strategis oleh negara, dan intervensi langsung negara dalam mengarahkan aktivitas ekonomi produktif. Bahkan John Maynard Keynes pernah menyatakan bahwa situasi perang membuktikan satu hal penting: “Tampaknya secara politik mustahil bagi demokrasi kapitalis untuk mengalokasikan anggaran dalam skala besar untuk menjalankan eksperimen ekonomi besar—kecuali ketika mereka berada dalam keadaan perang.”
AS: Di tengah bayang-bayang depresi ekonomi dan konflik antar-imperialis yang suram, secercah harapan muncul lewat gelombang perlawanan dari kaum pekerja dan kelompok tertindas di berbagai belahan dunia. Di AS sendiri, tanda-tanda perlawanan mulai terlihat kembali sejak aksi protes pada 5 April. Baru-baru ini, ratusan ribu orang—terdiri dari buruh migran dan anggota serikat pekerja—turun ke jalan dalam peringatan Hari Buruh. Namun, gerakan baru ini menghadapi tantangan besar, terutama dalam hal arah politiknya—khususnya terkait isu tarif. Banyak kalangan dalam gerakan buruh masih percaya bahwa perdagangan internasional adalah penyebab utama hilangnya lapangan kerja di sektor manufaktur. Bahkan, Sean Fain, Presiden Serikat Pekerja Otomotif AS yang dikenal sebagai reformis, secara terbuka menyatakan dukungannya terhadap proteksionisme ala Trump. Apa masalah dari cara pandang ini? Bagaimana posisi semacam itu justru bisa terseret ke dalam jebakan nasionalisme agresif, rasisme, dan kecenderungan militeristik yang menjadi ciri khas proyek politik Trump? Dan yang lebih penting, apa tawaran alternatif yang seharusnya diajukan oleh gerakan kiri internasional sebagai jalan keluar dari pilihan semu antara proteksionisme dan perdagangan bebas neoliberal?
MR: Para pemimpin serikat buruh seharusnya tidak terjebak dengan ilusi bahwa tarif dapat “menyelamatkan lapangan kerja atau industri nasional”. Sejarah membuktikan sebaliknya, seperti dalam kasus kampanye tarif era McKinley pada 1890-an. Trump sendiri mengutip nama McKinley saat mengumumkan kebijakan tarif barunya, dengan menyatakan bahwa “di bawah kepemimpinan McKinley, AS mengalami pertumbuhan ekonomi pesat dan kemakmuran, termasuk ekspansi wilayah. Ia mendukung tarif untuk melindungi industri manufaktur, meningkatkan produksi domestik, serta mempercepat industrialisasi dan ekspansi global AS ke level yang lebih tinggi.” Namun narasi ini merupakan penyimpangan dari fakta sejarah tentang peran tarif. Kenyataannya jauh lebih kompleks dan tidak mendukung klaim bahwa proteksionisme semacam itu membawa manfaat luas bagi kelas pekerja.
Pada tahun 1890, McKinley, yang saat itu masih menjabat sebagai anggota Kongres, mengusulkan serangkaian tarif untuk melindungi industri dalam negeri AS. Usulan tersebut disetujui oleh Kongres, namun hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Kebijakan tarif itu gagal mencegah krisis ekonomi hebat yang dimulai pada 1893 dan berlangsung hingga 1897. Ketika McKinley terpilih sebagai presiden pada 1896, ia kembali memberlakukan tarif melalui Undang-Undang Tarif Dingley tahun 1897. Karena saat itu ekonomi sedang mengalami masa ekspansi, McKinley mengklaim bahwa kebijakan tarifnya berperan dalam pemulihan ekonomi. Dijuluki sebagai “Napoleon Perlindungan/Napoleon of Protection”, ia mengaitkan kebijakan proteksionisnya dengan aksi-aksi militer seperti penaklukan Puerto Riko, Kuba, dan Filipina, demi memperluas pengaruh AS – suatu pendekatan yang menyerupai kebijakan Trump di era modern. Namun, pada awal masa jabatan keduanya, McKinley dibunuh oleh seorang anarkis yang menyalahkannya atas penderitaan para buruh tani selama krisis ekonomi 1893–1897. Sejarah menunjukkan bahwa proteksionisme tidak pernah benar-benar menyelamatkan lapangan kerja atau meningkatkan kesejahteraan kaum pekerja.
Gagasan lain yang menyesatkan perhatian kaum buruh adalah anggapan bahwa peningkatan belanja militer akan membuka lapangan kerja di sektor industri persenjataan. Namun, pada dasarnya, pendekatan semacam keynesianisme militer bertentangan dengan kepentingan kelas pekerja dan nilai-nilai kemanusiaan. Apakah kita benar-benar ingin mendukung produksi senjata yang tujuannya untuk membunuh, hanya demi menciptakan pekerjaan? Pandangan ini – yang sayangnya sering didukung oleh sebagian pimpinan serikat buruh—menempatkan keuntungan ekonomi di atas kehidupan manusia.
Keynes pernah mengatakan bahwa “pemerintah sebaiknya membayar orang untuk menggali lubang dan kemudian menutupnya Kembali”. Orang mungkin akan menanggapi, “Itu tidak masuk akal – kenapa tidak membayar mereka untuk membangun jalan atau sekolah?” Keynes akan menjawab, “Silakan saja, bayar mereka untuk membangun sekolah – yang penting adalah pemerintah menciptakan lapangan kerja, tak peduli apa bentuknya.” Namun di sinilah letak kekeliruan Keynes. Apa yang dikerjakan itu tetap penting. Keynesianisme mendukung penciptaan pekerjaan bahkan lewat aktivitas sia-sia seperti menggali dan menimbun tanah. Sementara versi militer dari keynesianisme malah mendorong penciptaan pekerjaan dengan memproduksi senjata dan menciptakan perang – secara kiasan, menggali kuburan dan mengisinya dengan korban. Jika logikanya hanya soal menciptakan lapangan kerja, mengapa tidak memperluas industri tembakau dan mendorong kecanduan sebagai jalan keluar? Kebanyakan orang tentu akan menolak itu karena dampaknya merusak kesehatan manusia. Hal yang sama berlaku untuk industri senjata, baik konvensional maupun non-konvensional, karena secara langsung membahayakan kehidupan.
Padahal, ada banyak jenis pekerjaan dan produk sosial yang bermanfaat—seperti membangun sekolah, perumahan, dan layanan publik lainnya—yang dapat memberikan pekerjaan bermakna dan penghasilan layak bagi pekerja. Cara yang benar untuk meningkatkan taraf hidup dan memenuhi kebutuhan masyarakat bukanlah lewat tarif atau belanja militer, melainkan dengan investasi publik di bidang industri, teknologi, dan pelayanan sosial. Untuk memastikan para pekerja memperoleh pekerjaan yang layak, pelatihan, dan upah yang memadai, mereka harus bersatu dan membangun serikat-serikat buruh yang kuat untuk memperjuangkannya. Agar investasi publik benar-benar efektif, maka lembaga keuangan besar dan korporasi besar perlu berada di bawah kepemilikan publik. Dengan begitu, rencana produksi dan investasi dapat diarahkan untuk menyediakan layanan sosial, pensiun yang layak, pendidikan dan kesehatan universal tanpa menambah utang, serta membantu usaha kecil agar bisa memberikan upah dan kondisi kerja yang adil.
Buruh di AS juga harus menjalin solidaritas dan aksi bersama dengan buruh di Amerika Latin, Eropa, dan Asia. Masa depan buruh Amerika tidak terletak pada upaya melemahkan ekonomi negara lain, melainkan dengan membangun kekuatan politik buruh lintas negara untuk mengakhiri dominasi kapital global—dan bersama-sama menyingkirkan nasionalisme, militerisme, serta imperialisme.***
Michael Roberts adalah penulis buku The Long Depression: Marxism and the Global Crisis of Capitalism (Haymarket, 2016) dan, bersama Guglielmo Carchedi, Capitalism in the 21st Century (Pluto, 2022). Dia juga coeditor dari World in Crisis: A Global Analysis of Marx’s Law of Profitability (Haymarket, 2018) dan Marx 200: A Review of Marx’s Economics (Lulu, 2020). Dia menulis komentar dan analisis reguler di blognya, The Next Recession.
Ashley Smith adalah seorang penulis dan aktivis sosialis yang berbasis di Burlington, Vermont, AS. Ia telah menulis di berbagai publikasi, seperti Truthout, International Socialist Review, Socialist Worker, ZNet, Jacobin, New Politics, Harpers, serta banyak media cetak dan daring lainnya. Saat ini, ia sedang mengerjakan sebuah buku untuk penerbit Haymarket Books yang berjudul Socialism and Anti-Imperialism.