Ilustrasi: Jonpey
SIAL betul. Beberapa hari terakhir ini saya sering betul mendengar dan melihat kata “polisi”. Semua terjadi karena mereka baru saja merayakan hari jadi. Lembaga itu dibentuk sejak awal kemerdekaan, tepatnya pada 1 Juli 1946. Jadi usia mereka tahun ini sudah 79.
Di masa Orde Lama (sejak 1962) dan Orde Baru, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan bagian dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)—sekarang namanya Tentara Nasional Indonesia (TNI). Seperti angkatan lain, Polri dianggap dalam kesatuan lembaga pertahanan. Saat Soeharto dilengserkan oleh gerakan rakyat, salah satu tuntutan utama dari jalanan adalah memisahkan polisi dengan tentara. Hal ini terkait dengan sangat besar dan mengakarnya dwifungsi dan berbagai kontroversi militer selama masa otoriter, termasuk intervensi dalam penegakan hukum. Singkatnya, memisahkan polisi dianggap perlu agar mereka bisa menjadi lembaga yang profesional dan mandiri. Tapi ternyata hasilnya jauh panggang dari api.
Ongkos Merepresi Triliunan, Berurusan Mesti Bayar
Setelah 20 tahun lebih berlalu, saking mandirinya, seperti ditemukan Indonesia Corruption Watch (ICW), Polri menghabiskan duit kurang lebih Rp 3,8 triliun untuk penanganan aksi massa aksi dalam kurun waktu 2019-2025. Tentu saja termasuk di dalamnya untuk membeli alat-alat “pengamanan” massa seperti helm, rompi, tameng, tongkat, beton penghalang, pelindung siku dan lutut, hingga tameng. Alat-alat untuk menggebuk itu dibeli dengan uang saya, tetangga saya, teman saya, kita semua.
Tahun depan, APBN yang dialokasikan untuk mereka mencapai Rp109,67 triliun. Jumlah tersebut membuat Polri berada di urutan ketiga lembaga dengan anggaran terbesar, di bawah Badan Gizi Nasional dan Kementerian Pertahanan. Polri berada di atas Kementerian Kesehatan yang menempati urutan keempat dan jauh melampaui kementerian yang mengurusi pendidikan (baik tinggi atau menengah dan dasar). Jika seluruh anggaran tersebut digunakan untuk membeli daging sapi, setidaknya beberapa desa bisa makan besar. Skalanya dengan gampang bisa mengalahkan makan besar yang sering dibuat youtuber Bobon Santoso di polres-polres. Konten itu menghasilkan pendapatan iklan (adsense) dan dia sendiri menjadi promotor makan gizi gratis, program pemerintah untuk mengatasi stunting.
Daripada belanja keperluan untuk menggebuk massa aksi, membubarkan diskusi, mengkriminalisasi orang yang sedang menyuarakan hak mereka di hadapan negara, serta memata-matai orang-orang yang lantang menyuarakan demokrasi dan kebenaran, akan lebih berguna jika uang tersebut digunakan untuk makan bersama (tanpa menjual kesedihan rakyat). Bahkan lebih bermanfaat lagi jika digunakan untuk membeli alat kesehatan bagi masyarakat.
Bagaimana mereka mengelola anggaran hanya satu masalah di antara masalah lain. Suatu hari saya menghadiri sebuah diskusi yang diadakan oleh organisasi masyarakat sipil. Diskusi tersebut membahas mengenai ketimpangan dan demokrasi di Indonesia. Di sana narasumber beberapa kali menyinggung tentang polisi, termasuk betapa besarnya anggaran untuk mereka di tengah situasi yang terus digembar-gemborkan mengalami defisit anggaran. Namun, anggaran belanja aparatur elite seperti Polri tidak banyak dipotong. Bahkan mereka mengajukan permintaan tambahan dana. Situasi ini semakin diperparah dengan masuknya polisi ke ranah bisnis dan jabatan sipil.
Dalam diskusi itu seorang narasumber melontarkan pertanyaan kepada audiens. Pertanyaan itu membuat saya tersenyum kecil. Pertanyaannya sederhana saja: “Siapa yang tidak pernah berurusan dengan polisi?” Dalam hati saya langsung bergumam, “Iya juga ya, siapa yang tidak pernah berurusan dengan polisi?” Hampir semua orang yang lahir dan besar di Indonesia pasti pernah berurusan dengan polisi, baik secara langsung maupun tidak. Entah dirinya sendiri, teman, saudara, pasangan, atau minimal tetangga. Dan berurusan dengan polisi tidak selalu mulus, bahkan menjelma seperti kutukan. Untuk sebagian kalangan termasuk saya, berurusan dengan polisi seperti yang tergambar dalam lagu “Bayar, Bayar, Bayar” dari band punk Sukatani. Beberapa waktu lalu personelnya diintimidasi karena lagu ini karena dianggap menghina padahal sekadar merekam kenyataan.
Kesialan bisa jauh lebih parah dan berbahaya, bukan hanya soal uang habis. Banyak kasus rakyat sipil menjadi korban salah tangkap. Polisi yang seharusnya berfungsi sebagai pelindung, dengan mandat untuk mengayomi, malah sering kali menjadi alat negara pengintimidasi rakyat.
Ucapan Selamat yang Tidak Perlu, Apalagi Ikut Merayakannya
Saya melihat ucapan selamat Hari Bhayangkara juga datang dari serikat buruh. Mereka bahkan mengirim karangan bunga. Ucapan ini saya lihat dari unggahan media sosial seorang anggota serikat di Jawa Tengah yang berafiliasi dengan konfederasi tingkat nasional. Postingan tersebut membuat saya penasaran. Saya pun mencoba menelusuri berapa banyak anggota serikat yang juga mengucapkan Hari Bhayangkara. Setelah saya telusuri, ternyata banyak juga yang mengunggah hal sama. Ucapan selamat datang dari anggota tingkat basis, pengurus wilayah, sampai pimpinan nasional. Unggahan tersebut tampak terstruktur dan terpimpin, seperti orasi pimpinan serikat di atas mobil komando: “Massa kita adalah massa yang terpimpin dan instruksi ada di tangan saya!” Lebih sialnya lagi, aliansi buruh di Jawa Tengah juga membuat video serupa. Ini saya lihat di status Whatsapp para pimpinan dalam aliansi tersebut.
Tidak hanya mengucapkan, aliansi dan serikat-serikat ini bahkan rela berangkat ke Monumen Nasional (Monas), Jakarta, untuk turut serta merayakan hari jadi polisi bersama, ya, para polisi. Saya tidak tahu apakah mereka datang ke Jakarta menggunakan uang sendiri atau ada yang mendanai. Tapi yang jelas, menurut saya, datang dan memeriahkan hari jadi kepolisian sangat tidak penting. Anehnya lagi, mereka-mereka ini tidak pernah bersuara selantang itu ketika anggota dan buruh di Jawa Tengah terkena badai pemecatan. Tidak ada seruan, kampanye, atau pernyataan sikap minimal di media sosial.
Dalam amatan saya setelah dua tahun terakhir mondar-mandir dan tinggal di Jawa Tengah, serikat-serikat di sana terutama di Semarang memang sedang mengalami kemunduran. Kemunduran ini salah satunya ditandai dengan ikut sertanya hampir semua serikat baik yang merah, kuning, biru, kelabu, atau apa pun itu warnanya ke perayaan May Day yang diadakan pemerintah daerah. Meski memang sepulang acara bersama pemerintah daerah, beberapa dari mereka tetap melakukan aksi parade simbolis.
Situasi ini berbanding terbalik dengan perluasan pabrik-pabrik yang relokasi dan kawasan industri yang sedang tumbuh pesat di Jawa Tengah. Beberapa tahun terakhir Jawa Tengah menjadi wilayah yang aktif bersaing menarik minat investor dengan membangun kawasan industri baru serta menyediakan layanan yang cepat dan mudah. Fasilitas penunjang untuk melayani pemodal pun tak ketinggalan. Dari mulai infrastruktur seperti energi, listrik, telekomunikasi, sumber air, sanitasi, jaringan Tol Trans-Jawa, PLTU, Pelabuhan Laut Internasional Tanjung Mas, perluasan Bandara Internasional Ahmad Yani, Tol Semarang-Demak, dan jalan nasional bukan-tol lintas utara, tengah, serta selatan.
Pabrik-pabrik yang berhasil kabur dari wilayah lamanya dan kemudian beroperasi di Jawa Tengah umumnya bukanlah perusahaan baru; memulai bisnis dari awal. Sebagian besar merupakan hasil ekspansi atau relokasi dari kawasan Jabodetabek maupun negara-negara Asia lainnya. Pabrik-pabrik tersebut memproduksi garmen, tekstil, dan sepatu untuk merek-merek ternama seperti Adidas, Nike, Puma, The North Face, dan Michael Kors.
Di tengah situasi industrialisasi yang gila-gilaan ini, tidak terlihat lagi pendidikan lintas serikat dari aliansi, padahal semestinya itulah yang mereka lakukan. Sependek yang saya tahu, aliansi hanya mengandalkan momentum tahunan seperti kenaikan upah dan peringatan hari buruh internasional. Di sisi lain, pada peringatan May Day tahun ini, serikat buruh di Jawa Tengah sangat antusias menerima “kado” dari Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Lutfi. Ahmad Lutfi menggembar-gemborkan bahwa ia memberikan hadiah berupa koperasi pekerja dan daycare untuk anak buruh di kawasan industri. Serikat buruh menerima semua ini dengan kegembiraan, bahkan memuja-muji gubernur yang baru saja dilantik itu.
Ahmad Lutfi sendiri, sebelum jadi pejabat sipil, adalah orang nomor satu di kepolisian provinsi itu. Dia menjabat Kapolda Jawa Tengah periode 2020–2024.
Sungguh, ini adalah peristiwa memalukan dan menggambarkan bagaimana serikat buruh di sana menjalankan roda organisasi. Menerima hadiah, dan bahkan mengelu-elukan pemberian pemerintah, sama sekali tidak masuk akal bagi saya. Bukankah serikat buruh semestinya memiliki prinsip-prinsip yang dipegang teguh dalam menjalankan organisasi? Salah satu prinsipnya adalah mandiri; tanpa diberi pun, mereka bisa dan mampu membuat koperasi serta mengakses hak daycare di setiap tempat kerja.
Penting bagi serikat buruh untuk tidak menerima begitu saja setiap pemberian pemerintah, karena bisa jadi hal tersebut justru bertujuan untuk melemahkan mereka. Pemerintah, yang cenderung mendukung pengusaha, secara serius memantau perkembangan gerakan buruh di wilayahnya. Tidak jarang, pemerintah berupaya mengarahkan atau mengontrol serikat agar menjadi organisasi yang lemah dan lebih mengutamakan kepentingan pengusaha dan pemerintah alih-alih para anggota.
Saya jadi ingat tulisan di Trimurti.id berjudul “Waspada! Serikat Buruh Busuk Berbulu Domba”. Di artikel pendek itu penulis menjelaskan beberapa jenis serikat buruh.
Serikat buruh ini memang kolot, menyebalkan, dan tidak tahu malu. Ketika mereka bermesraan dan berterima kasih kepada pihak yang sebenarnya juga menyengsarakan mereka lewat kebijakan-kebijakan, ada banyak anak muda dari organisasi lain dan bahkan sebagai individu yang menyelenggarakan May Day “sungguhan” di Semarang. Anak-anak muda ini tahu bahwa negara dan kapital harus dilawan. Mereka datang tanpa mengenakan baju serikat, namun hadir dengan kemarahan karena ibu, bapak, dan keluarganya digaji murah dan dipecat seenaknya oleh pengusaha rakus. Aksi ini berakhir dengan kebrutalan polisi: mereka membabi buta memukul, menangkap, dan membubarkan massa dengan kekerasan. Beberapa peserta aksi hingga saat ini masih diproses secara hukum. Alih-alih memberikan solidaritas kepada massa aksi, serikat-serikat tua ini malah menyalahkan dan mendukung penangkapan. Serikat ini menyesalkan terjadinya aksi yang berujung kericuhan.
Apakah para serikat ini tidak sadar bahwa anak-anak muda ini adalah anak buruh juga, bahkan mungkin mereka-lah yang akan meneruskan gerakan buruh di Jawa Tengah? Atau mungkin mereka memang tidak pernah sadar akan hal itu? Kaderisasi dan membangun gerakan rakyat bersama-sama tidak pernah ada dalam benak mereka. Mungkin, dalam pikiran mereka, lebih penting berjabat tangan dengan gubernur dan mengucapkan selamat hari jadi kepada instansi yang selalu menyakiti saudara sendiri.
Mengingat Korban Represi Kepolisian
Puncak kesialan saya terjadi ketika harus menyaksikan pimpinan serikat tua berjabat tangan dengan Kapolri di Hari Bhayangkara. Sementara itu, para anggota serikat yang menjadi peserta upacara mengenakan atribut yang biasa mereka pakai saat demonstrasi di garis depan massa. Saya mengerutkan dahi sambil berpikir, “Mungkin baju lapangan, slayer di kepala, dan sepatu bot yang mereka gunakan setiap aksi memang sebenarnya untuk memarahi massa yang melipir ke bahu jalan karena kelelahan longmarch.” Jika memang demikian, mereka pantas berada di sana—bukan di depan massa yang sedang marah karena harkat dan martabat mereka dilecehkan oleh negara dan pemodal.
Saya semakin heran karena di masa lalu serikat tua ini sebenarnya juga pernah merasakan mobil komando mereka dihancurkan, manusianya dipukul, ditendang, bahkan dikriminalisasi pada aksi 30 Oktober 2015 di Jakarta. Setidaknya 26 orang digelandang ke Polda Metro Jaya. Ketika itu mereka menuntut pembatalan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015.
Saya kira puncak kesialan saya telah berakhir, tapi ternyata belum. Saya kembali menyaksikan momen memuakkan: konfederasi serikat buruh dunia, International Trade Union Confederation (ITUC), memberikan penghargaan kepada Kapolri. Media massa memberitakan bahwa penghargaan ini diberikan karena Kapolri terbukti berdedikasi melindungi buruh. Bagi saya, penghargaan ini adalah kekeliruan fatal yang justru akan mengundang cemooh. Bayangkan, ITUC, dalam riset berkalanya sendiri, Global Rights Index 2025, menyatakan kondisi buruh Indonesia dalam situasi mengkhawatirkan. Indonesia mendapatkan “Peringkat 5: Tidak Ada Jaminan Hak”. Peringkat 5 menunjukkan bahwa meskipun ada kerangka hukum tertentu, para pekerja secara efektif tidak memiliki akses terhadap hak-hak dasar mereka. Akibatnya, mereka tetap rentan terhadap praktik-praktik otokratis dan kondisi kerja yang tidak adil. Situasi ini menempatkan Indonesia di antara negara-negara terburuk secara global dalam hal perlindungan pekerja.
Atas semua yang terjadi semua, memang penting untuk kembali ke hal-hal dasar. Misalnya melakukan pendidikan di basis, mengajak orang untuk menganalisis lawan, dan membawa mereka ke dalam pengalaman konfrontasi. Penting untuk belajar bersama menganalisis kehidupan: siapa yang menjadi opresor, siapa teman, siapa lawan. Urgen sekali mengembalikan tradisi solidaritas lintas sektor dan aliansi tingkat daerah.
Hal dasar lain adalah melayangkan kritik kepada serikat itu sendiri. Kita harus mengingatkan kepada serikat bahwa dekat dengan pejabat bukan sebuah pencapaian apalagi keberhasilan. Pun keliru mengucapkan hari jadi kepada instansi yang selalu menyakiti rakyat. Kita tidak boleh pendek ingatan. Kita mesti mengingat misalnya kasus penembakan Gamma oleh polisi. Kemudian kekerasan yang sangat dekat dengan kita: pembubaran May Day 2025 yang sampai saat ini belum ada ujungnya; banyak teman masih ditahan dan menjalani proses hukuman. Ini berlaku bagi serikat-serikat tua di berbagai tingkat, daerah sampai nasional.
Banyak kekerasan dilakukan polisi di berbagai tempat. Brutal, represif, dan dari tahun ke tahun tampak tak kunjung ada perbaikan. Ada banyak sumber untuk mengetahuinya lebih detail. Jika malas membaca, gunakan media sosial untuk mencari ringkasan. Jika enggan juga, maka memang tidak ada lagi pembeda dengan mereka, seperti ungkapan yang terkenal itu: “rajin baca jadi pintar, malas baca jadi polisi.”
Lukman Ainul Hakim, peneliti di Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS), Bogor