Antara Tameng dan Spanduk, Demonstran dan Aparat: Kapitalisme, Kekerasan, dan Dehumanisasi

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Jonpey


DALAM setiap bentrokan antara demonstran dan aparat, kita menyaksikan manifestasi nyata dari kontradiksi kelas. Ini bukan sekadar gesekan sosial, bukan pula anomali politik—ini adalah bentuk telanjang dari antagonisme yang melekat dalam masyarakat kapitalis. Demonstran turun ke jalan bukan karena kekacauan, tapi karena kapitalisme telah menghancurkan hidup mereka. Aparat dikerahkan bukan untuk menjaga rakyat, melainkan untuk menjaga tatanan yang menindas rakyat.

Kita berbicara tentang kelompok yang dipecah dan dipisahkan oleh kepentingan modal, dan dibenturkan untuk menjaga kelangsungan sistem kapitalis. Dalam benturan ini, kemanusiaan dikorbankan atas nama stabilitas. Yang berteriak “hidup rakyat” dibungkam, dan yang diperintah memukul sering kali tidak sadar bahwa mereka sedang membela kepentingan yang bukan kelas mereka sendiri. 

Tugas kita bukan mencari titik temu kompromi, melainkan menajamkan pemahaman bahwa selama kapitalisme berdiri, konflik ini tidak akan pernah selesai. Kita tidak menyerukan perdamaian palsu, kita menyerukan kesadaran revolusioner. Karena di balik setiap tameng dan di balik setiap spanduk protes dan tuntutan, yang sesungguhnya ada adalah manusia yang telah dicabut kemanusiaannya oleh sistem.


Siapa Itu Demonstran?

Demonstrasi tidak jarang adalah perwujudan nyata dari kontradiksi antara kelas yang bekerja dan kelas yang menguasai alat produksi. Para demonstran bukan individu yang lahir untuk berteriak di jalanan. Mereka adalah hasil dari sistem yang menindas secara sistematis: buruh yang diperas tenaganya demi akumulasi laba, tani yang dilucuti tanahnya demi ekspansi kapital, mahasiswa yang melihat masa depan mereka dibeli murah oleh pasar kerja yang fleksibel dan tidak menentu, hingga rakyat miskin kota yang dipaksa hidup di sela-sela proyek-proyek mercusuar borjuasi. Demonstrasi bukan ekspresi pilihan bebas, melainkan hasil dari keterpaksaan historis. Ketika semua ruang formal diambil oleh penguasa, rakyat ke jalan sebagai bentuk politik yang tersisa.

Kapitalisme menormalisasi ketimpangan, dan ketika rakyat mulai menggugat “kenormalan” ini, mereka dilabeli sebagai perusuh. Tetapi yang sesungguhnya merusak tatanan adalah sistem yang menempatkan kepentingan akumulasi di atas kebutuhan manusia. Ketika pendidikan dikomersialisasi, kesehatan diprivatisasi, dan tanah dijadikan komoditas spekulatif, maka demonstrasi adalah pembelaan diri kolektif terhadap kekerasan struktural tersebut. Demonstrasi bukan chaos. Demonstrasi adalah konsekuensi dari ketertiban yang dibuat untuk mempertahankan kekuasaan kelas yang menindas.

Tidak ada demonstrasi yang muncul dalam ruang hampa. Setiap demonstrasi adalah bentuk pengorganisiran dari penderitaan yang dialami secara kolektif. Ketika buruh mogok kerja dan turun ke jalan, itu bukan karena agitasi emosional belaka, melainkan sebab alat-alat legal telah gagal memberikan keadilan. Ketika rakyat kecil memblokir jalan tol atau mengadang alat berat, itu bukan karena mereka benci pembangunan, tetapi karena tahu itu bukan untuk mereka. Mereka bukan anti-kemajuan; mereka anti-kemajuan yang dibangun di atas penderitaan mereka sendiri.

Demonstrasi juga bukan sekadar ekspresi kemarahan. Ia adalah bentuk praksis politik dari rakyat yang mulai sadar akan posisinya dalam relasi produksi. Kesadaran ini tidak lahir dari bacaan akademis, tapi pengalaman konkret: ketika gaji tak cukup untuk makan, ketika rumah digusur tanpa ganti rugi, ketika hukum berpihak pada pemilik modal, dan ketika aparat hanya muncul untuk membela kepentingan perusahaan. Dari pengalaman-pengalaman itulah kesadaran kelas mulai tumbuh, dan demonstrasi menjadi wadah kolektif untuk membuktikan diri bahwa kami tidak diam.

Tuduhan bahwa demonstran “ditunggangi” adalah strategi ideologis kelas penguasa untuk mendelegitimasi gerakan rakyat. Tapi siapa yang sebenarnya menunggangi siapa? Kapital menunggangi negara, modal menunggangi hukum, dan oligarki menunggangi institusi demokrasi. Demonstrasi, jika ditunggangi oleh kepentingan kelas pekerja, justru berada di jalur yang benar. Yang harus ditolak bukan “penunggang isu”, melainkan mereka yang duduk di atas punggung rakyat, menginjaknya demi laba dan kekuasaan.

Selama kapitalisme masih menjadi sistem yang mengatur hidup manusia, selama alat-alat produksi tetap berada di tangan segelintir elite, selama hasil kerja kolektif disedot oleh kelas yang tidak bekerja, demonstran akan terus hadir. Mereka bukan musuh masyarakat—mereka adalah penanda bahwa masyarakat sedang sakit, dan bahwa rakyat menolak mati dalam diam. Demonstrasi adalah tanda bahwa rakyat belum menyerah. Dan selama rakyat belum menyerah, sejarah masih punya kemungkinan.


Siapa Itu Aparat?

Aparat—seperti polisi dan tentara—sering kali disebut sebagai penjaga stabilitas dan ketertiban. Pertanyaan mendasarnya adalah: ketertiban siapa yang dijaga? Dalam realitas kelas, aparat tidak berdiri netral. Mereka adalah alat kekerasan legal dari negara, dan negara, dalam formasi kapitalis, bukanlah institusi netral melainkan alat kekuasaan kelas borjuasi untuk mempertahankan relasi produksi yang menguntungkan minoritas pemilik modal.

Polisi tidak lahir dari ruang kosong sejarah. Mereka adalah produk dari kebutuhan kapital untuk menjaga keteraturan yang memungkinkan eksploitasi berlangsung tanpa gangguan. Ketika buruh mulai mogok, ketika petani mulai menuntut reforma agraria, ketika rakyat kecil mulai menggugat perampasan ruang hidup, aparat digerakkan bukan untuk meredam kekacauan tapi mengamankan kelangsungan penindasan. Dalam hal ini, peran aparat adalah represif, bukan korektif.

Dalam masyarakat borjuis, kekuasaan tidak cukup hanya dijaga oleh hukum atau ideologi. Ia butuh alat koersif. Di sinilah peran aparat menjadi sentral. Mereka menjaga gerbang-gerbang pabrik, mengawal penggusuran, membubarkan massa aksi, menangkap aktivis, dan menembaki rakyat yang melawan. Mereka adalah wajah paling brutal dari kekuasaan kelas penguasa—bukan karena jahat secara moral, tetapi karena mereka ditempatkan dalam struktur yang menjadikan kekerasan sebagai tugas utama.

Seorang buruh yang mogok tidak dilawan dengan argumentasi, tetapi pentungan dan gas air mata. Seorang petani yang mempertahankan tanahnya tidak dihadapi dengan dialog, melainkan dengan barikade bersenjata. Mahasiswa yang mempertanyakan kebijakan neoliberal tidak dibalas dengan debat, melainkan dengan kriminalisasi. Semua ini bukan penyimpangan, melainkan fungsi utama aparat dalam masyarakat kelas: menekan yang tertindas agar tidak melawan.

Para aparat sering dibenarkan oleh narasi legalitas. Mereka “menjalankan perintah”, “mengamankan objek vital nasional”, atau “menjaga hukum dan ketertiban”. Tetapi hukum itu sendiri bukanlah hukum yang netral. Ia disusun oleh lembaga-lembaga negara yang dikontrol oleh kepentingan modal. Maka, ketika aparat membubarkan demonstrasi buruh, mereka sedang menjaga sistem upah murah. Ketika mereka mengusir warga dari lahan, mereka sedang menjaga akumulasi kapital. Legalitas tidak identik dengan keadilan; ia hanya mencerminkan dominasi kelas penguasa.

Aparat juga dibentuk dengan disiplin dan doktrin. Mereka dididik bukan untuk berpikir kritis, melainkan patuh tanpa tanya. Struktur hierarkis mereka menumbuhkan budaya komando, bukan budaya kesadaran. Akibatnya, banyak dari mereka tidak menyadari bahwa mereka sedang memukul sesama kelas mereka sendiri. Mereka dibentuk untuk melihat demonstran sebagai ancaman. Mereka pada akhirnya menjadi “pengkhianat kelas”. 

Dalam kondisi inilah dehumanisasi dimulai. Aparat dipisahkan dari rakyat, dari kehidupan sehari-hari mereka, dari rasa solidaritas kelas. Mereka dipersenjatai, dimobilisasi, dan dijauhkan dari kemungkinan berpikir secara historis. Mereka dijadikan mesin kekerasan demi menjaga ilusi stabilitas. Dan ketika melakukan kekerasan, mereka akan dibela oleh institusi dan media.

Bukan berarti setiap individu dalam pasukan keamanan adalah musuh rakyat. Yang menjadi musuh adalah struktur, bukan individunya. Tetapi, selama individu tersebut tunduk dan aktif menjalankan fungsi strukturalnya, maka mereka ikut serta dalam penjagaan tatanan kapitalis. Tidak ada pembelaan yang bisa dibuat atas nama “sekadar menjalankan tugas” ketika tugas itu berarti memukul yang lapar, menggusur yang miskin, dan menembaki yang marah karena ditindas.

Kita tidak bisa meminta aparat untuk “berpihak pada rakyat” tanpa terlebih dahulu menghancurkan struktur yang membuat mereka harus berpihak pada kapital. Tidak ada ilusi bahwa aparat bisa menjadi alat perubahan dalam sistem yang sama. Reformasi dalam tubuh aparat hanya akan membalut wajah kekerasan dengan kosmetik yang lebih manusiawi, tetapi tidak menyentuh akar dari fungsi koersif mereka. Maka, dalam logika revolusioner, pasukan keamanan hanya bisa diubah ketika struktur kekuasaan yang mereka layani dihancurkan.

Tugas kita bukan membujuk pasukan keamanan agar “lebih manusiawi”, tapi membangun kesadaran bahwa mereka bukanlah kelas kapitalis tapi telah dialienasi juga seperti kelas pekerja. Proyek revolusi tidak memusuhi mereka sebagai manusia, tetapi menantang mereka sebagai bagian dari struktur penindas. Pilihannya adalah: mereka berpihak pada rakyat dan menolak menjadi alat penindasan, atau terus menjadi kaki tangan kelas penguasa dan akan ditumbangkan bersama sistemnya.

Dalam pertarungan kelas, aparat tidaklah netral. Mereka adalah instrumen yang mengayomi tatanan kapital. Selama tetap menjalankan fungsinya membela kepentingan modal, maka mereka akan tetap menjadi lawan objektif dari rakyat yang berjuang. Rakyat yang sadar kelasnya tidak boleh ragu dalam melihat posisi itu dengan jelas dan tanpa kompromi. Mereka bukan perisai demokrasi, melainkan tameng kapitalisme. Selama mereka tetap berada di pihak yang menindas, maka tak ada narasi kemanusiaan yang dapat menghapus peran mereka dalam mempertahankan struktur penindasan. Jika mereka ingin menjadi manusia, maka mereka harus menolak menjadi alat. Jika mereka tetap menjadi alat, maka mereka harus dilawan.


Interaksi Manusiawi?

Di luar jam tugas, mudah sekali membayangkan demonstran dan aparat saling menyapa di warung kopi, menonton bola di tempat yang sama, bahkan saling bertegur sapa. Mungkin sang demonstran adalah abang dari tetangga si polisi, atau petani yang pernah membantu membetulkan rumah keluarga tentara. Relasi-relasi ini tampak manusiawi, bersahabat, bahkan akrab. Namun akrab di sini dalam konteks keterasingan kelas.

Interaksi ini membuktikan satu hal: bahwa kedua belah pihak berasal dari kelas yang sama—kelas yang dijauhkan dari alat produksi dan hidup dari menjual tenaga. Demonstran adalah buruh yang upahnya hanya cukup agar dia bisa bekerja lagi besok, mahasiswa yang diimpit utang, rakyat kecil yang terusir dari tanah. Aparat pun bukan pemilik pabrik atau penguasa tanah; mereka menjual tubuhnya kepada negara yang menjualnya lagi pada kapital.

Namun kapitalisme tidak membiarkan kesadaran ini tumbuh. Ia membelah rakyat menjadi peran-peran fungsional: satu memukul, satu dipukul. Agar pemukul tak merasa bersalah, ia dijauhkan dari konteks struktural. Diberi seragam, dipersenjatai, dipuji sebagai pahlawan stabilitas, lalu diputus dari hubungan konkret dengan mereka yang ia tindas. Kapitalisme tidak takut pada hubungan sosial, tapi takut pada kesadaran kelas dalam hubungan sosial itu.

Maka kritik kita bukan pada keakraban, tapi pada kenyataan bahwa keakraban itu lumpuh dalam struktur penindasan. Ia menjadi ilusi yang membius. Apa gunanya polisi dan demonstran saling kenal, jika pada hari aksi si polisi tetap menarik pelatuk dan si demonstran tetap dipukul hingga berdarah? Persahabatan semu dalam kerangka kekuasaan hanya akan memperlembut kekerasan tanpa pernah menghentikannya.


Dehumanisasi dalam Konflik

Dalam sistem kapitalisme, dehumanisasi bukan kegagalan moral melainkan instrumen kekuasaan. Ia diproduksi secara aktif untuk mempertahankan relasi produksi yang timpang, dan dalam momen krisis ia tampil dalam bentuk paling telanjang: represi terhadap rakyat oleh rakyat yang telah dibentuk menjadi alat negara. Dehumanisasi adalah metode utama untuk memecah kesadaran kelas. Negara harus menciptakan ilusi bahwa keduanya berada di kutub yang berbeda: si demonstran adalah pengganggu ketertiban, si polisi adalah penjaga bangsa. Ini adalah kebohongan ideologis yang dijahit dengan disiplin, doktrin, dan propaganda.

Alat dehumanisasi bekerja lewat konstruksi wacana dan latihan rutin. Dalam pelatihan aparat, demonstran tidak diperkenalkan sebagai rakyat yang menuntut keadilan, tapi sebagai ancaman terhadap stabilitas nasional. Seragam, barikade, tameng, dan gas air mata bukan hanya peralatan, tapi simbol ideologis yang membentuk batas antara “manusia yang sah” dan “yang perlu diamankan”. 

Media borjuis memperparah proses ini. Dengan narasi seperti “massa mulai anarkis” atau “aksi dibubarkan karena tidak mengantongi izin”, media menciptakan jarak emosional antara publik dan demonstran. Rakyat yang menonton televisi tidak lagi melihat penderitaan dan tuntutan; mereka melihat “gangguan” yang perlu ditertibkan demi kenyamanan sosial. 

Bahasa adalah alat dehumanisasi yang paling halus namun efektif. Kata seperti “pengamanan” menutupi fakta bahwa yang terjadi adalah kekerasan. Kata “perusuh” menghapus latar belakang ekonomi-politik dari protes. Bahkan istilah “demonstrasi ilegal” membingkai kebebasan berekspresi sebagai tindakan kriminal. Bahasa menjadi pelicin kekuasaan.

Kapitalisme mendidik aparat untuk melihat tugas sebagai kebenaran, bukan keadilan. “Menjalankan perintah” dijadikan nilai tertinggi, bahkan ketika itu menindas sesama rakyat. Dalam konteks ini, dehumanisasi bukan hanya diarahkan ke lawan, tapi juga tertanam dalam diri pelaku. Aparat tidak hanya menindas; mereka juga telah ditindas secara ideologis. Proses ini mengaburkan musuh yang sejati. Aparat dan demonstran tidak bertempur karena konflik personal, melainkan sistem membuat mereka begitu. Seorang polisi tidak memukul karena membenci, tapi karena diperintah. Namun ketundukannya bukan netral. Ia adalah reproduksi aktif dari dominasi kelas. 

Dehumanisasi juga dibutuhkan untuk menormalkan kekerasan. Dalam kondisi normal, orang tidak bisa memukul saudaranya. Tapi ketika yang dipukul bukan lagi “saudara” melainkan “perusuh”, kekerasan menjadi fungsional. Relasi kemanusiaan harus dihancurkan terlebih dahulu agar kekerasan bisa dijalankan tanpa rasa bersalah.

Kapitalisme tidak bisa hidup tanpa kekerasan terorganisir. Penindasan bukan sekadar efek samping dari tatanan kapitalis, tapi inheren di dalamnya. Ketika eksploitasi ekonomi dipertanyakan, kekerasan menjadi jawaban. Dan kekerasan membutuhkan legitimasi. Di sinilah dehumanisasi masuk sebagai justifikasi. Kita tidak bisa menafsirkan dehumanisasi sebagai masalah moral belaka. Ini adalah persoalan struktural. Aparat yang menindas demonstran bukan sekadar “orang jahat” tapi ekspresi dari negara kelas yang mempertahankan sistem produksi dan akumulasi kapital. Maka solusinya bukan meminta belas kasihan, tapi menghancurkan akar kekuasaan yang memproduksi dehumanisasi. 

Proses dehumanisasi ini pun melahirkan penolakan terhadap introspeksi kritis. Ketika seorang aparat mulai meragukan tindakannya, sistem merespons dengan ancaman, isolasi, atau stigma “tidak profesional”. Ini adalah bentuk lain dari kekerasan simbolik: melumpuhkan kesadaran agar tidak tumbuh.

Namun, sejarah menunjukkan bahwa kesadaran bisa menembus struktur. Dalam banyak revolusi, ada momen ketika aparat menolak menembaki rakyat; ketika kesadaran kelas menyusup ke dalam barisan berseragam. Tapi itu tidak terjadi spontan. Ia lahir dari organisasi, dari pendidikan politik, dari konfrontasi ideologis yang terus-menerus. Oleh karena itu, dehumanisasi hanya bisa dilawan dengan perjuangan sadar. Tidak cukup hanya berempati. 

Kita harus membongkar mitos yang mengaburkan posisi kita sebagai rakyat tertindas. Kita harus membuka ruang dialog, tapi bukan dengan reformasi lembe melainkan membangun kesadaran kelas yang tegas. Kesadaran ini harus kolektif. Selama rakyat melihat dirinya sebagai individu yang netral dalam konflik kelas, dehumanisasi akan terus bekerja. Tapi ketika rakyat menyadari bahwa dirinya bagian dari kekuatan sejarah, maka hubungan sosial mulai berubah. Yang tadinya alat represi bisa menjadi alat pembebasan.

Solidaritas kelas adalah antidot utama dari dehumanisasi. Ketika buruh, mahasiswa, petani, bahkan aparat rendahan mulai melihat bahwa musuh mereka bukan sesama rakyat melainkan kelas kapitalis yang mengeksploitasi semuanya, maka ruang untuk kekerasan antarkelas mulai tertutup. Namun solidaritas itu tak akan muncul tanpa perlawanan. Dehumanisasi tidak runtuh dengan persuasi moral; namun ketika struktur yang menopangnya diguncang. Maka kita harus mengorganisir bukan hanya massa aksi, tapi juga narasi, imajinasi, dan struktur alternatif. 

Marxisme memberi kita alat untuk menganalisis ini secara menyeluruh. Ia tidak jatuh pada sentimentalisme, tapi juga tidak kehilangan sisi kemanusiaan. Ia menunjukkan bahwa konflik ini bukan antara baik dan jahat, tapi antara kelas yang berjuang untuk hidup dan sistem yang memaksa mereka saling membunuh demi laba.

Dalam jangka panjang, dehumanisasi akan membusukkan seluruh struktur masyarakat. Ia menciptakan ketidakpercayaan, kekerasan horizontal, dan ketakutan kolektif. Ini bukan kondisi stabil; ini adalah ketegangan yang akan meledak. Kapitalisme sedang duduk di atas bom waktu sosial. Kita harus memilih: mempertahankan ilusi keamanan melalui dehumanisasi atau membangun dunia di mana manusia tidak lagi menjadi alat bagi manusia lainnya. Pilihan ini bukan abstrak. Ia hadir di setiap barikade, di setiap gas air mata, di setiap luka yang disembunyikan oleh berita. 

Maka, tugas generasi revolusioner bukanlah menyatukan aparat dan demonstran atas dasar damai semu, melainkan menyatukan mereka dalam perjuangan untuk menghancurkan sistem yang menjadikan mereka musuh. Sebab di balik helm dan batu, di balik pentungan dan spanduk, kita semua sedang menghadapi satu lawan yang sama: kapitalisme. Tugas kita adalah meruntuhkan ilusi itu dan menyibak kenyataan: bahwa kita semua adalah produk dari sistem yang memisahkan manusia dari kemanusiaannya. Untuk mencapai kemanusiaan sejati, kita butuh kesadaran kelas. Hanya dengan mengenali siapa musuh sejatilah kita bisa berhenti menjadi alat satu sama lain, dan mulai menjadi manusia bagi manusia lain.


Rakyat Husein, aktivis sosial.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.