Ilustrasi: Illustruth
ARTIKEL Abdil Mughis Mudhoffir yang menyebut gerakan rimpang sebagai bahaya laten memiliki implikasi penting dalam merefleksikan arah gerakan sosial hari ini. Gerakan rimpang, seperti yang telah diulas Fathimah Fildzah Izzati dan Rio Apinino, memiliki problem inheren: ketiadaan arah yang jelas dalam menyerang struktur kekuasaan dan merebut ruang politik. Akibatnya, bentuk perlawanan ini kerap kali menjadi seperti seremonial atau perayaan perlawanan.
Saya sepakat bahwa gerakan rimpang harus “ditransformasikan” menjadi gerakan berbasis kelas, namun menyebutnya sebagai “bahaya laten” juga menyimpan persoalan. Istilah tersebut berpotensi mengecilkan nilai-nilai penting yang dibawa oleh gerakan ini: politik afektif, perlawanan dari bawah, serta eksperimen kolektif lintas isu dan generasi.
Gerakan rimpang tidak perlu diglorifikasi, tapi tidak patut juga disebut bahaya laten. Keberadaannya, selain dipengaruhi oleh problem struktural dan sejarah represi pasca-1965, juga lahir dari kekecewaan terhadap model gerakan tradisional yang mengidealkan struktur dan organisasi. Tak jarang, model tersebut justru terjebak dalam praktik patriarkal, hierarkis, vanguardisme, dan bahkan bentuk-bentuk penindasan internal. Dengan kata lain, hadirnya gerakan rimpang adalah gejala dari kekalahan strategi kiri itu sendiri—dan ini adalah otokritik yang penting untuk dikedepankan.
Mengkritik gerakan rimpang karena spontan, episodik, dan tidak berstruktur memang masuk akal jika kita memakai perspektif gerakan kiri yang menekankan pentingnya organisasi, kepemimpinan, dan basis kelas yang jelas. Namun argumentasi ini bisa mengabaikan realitas dan pengalaman, khususnya anak-anak muda, yang terjun dalam aksi gerakan sosial atau gerakan-gerakan akar rumput di daerah terkait ruang hidup rakyat.
Rimpang Bukan Musuh
Dalam tulisan pendek ini, saya mencoba memberikan beberapa refleksi agar kita—yang mempercayai gerakan berbasis kelas sebagai kebenaran dan medan perjuangan—bisa menentukan arah di tengah kebuntuan strategi politik kontemporer. Seperti yang diulas oleh Mudhoffir, gerakan rimpang cenderung bersifat ahistoris karena terputus dari tradisi panjang gerakan kiri yang pernah eksis dan memberi warna dalam sejarah politik Indonesia, sebelum dihancurkan oleh kekerasan negara pasca-1965. Ketika garis kontinuitas historis itu diputus, yang tersisa dari gerakan sosial adalah sisa-sisa moralitas politik yang bergerak tanpa kerangka kelas, tanpa organisasi, dan tanpa arah ideologis yang jelas.
Maka, langkah pertama yang perlu ditempuh adalah rekonstruksi ingatan politik kelas. Ini bukan sekadar romantisasi masa lalu, melainkan upaya serius untuk menghidupkan kembali narasi perjuangan buruh, petani, dan rakyat miskin kota sebagai fondasi utama perubahan sosial yang berdimensi struktural. Pendidikan populer, diskusi terstruktur, serta pengarsipan ulang sejarah gerakan kiri yang digerus oleh represi dan stigma adalah cara untuk menumbuhkan kembali kesadaran bahwa ketidakadilan yang kita hadapi hari ini bukan hanya persoalan moral, tetapi lahir dari struktur eksploitatif dan relasi produksi yang timpang. Dan yang punya posisi historis untuk melawan itu adalah kelas pekerja.
Kawan-kawan yang berada di “jalan” gerakan rimpang ini bisa jadi bukan musuh, tapi justru titik awal. Mereka adalah representasi kemarahan yang masih menyala. Mereka adalah cermin bahwa kemarahan terhadap kekuasaan masih hidup, hanya belum menemukan saluran historisnya. Maka tugas kita bukan merendahkan atau mendikotomi, tetapi merangkul sambil mengajak berpikir lebih jauh: bagaimana mengubah moralitas menjadi politik, dan bagaimana mengarahkan afeksi menjadi kekuatan kolektif yang terorganisir.
Dalam konteks inilah pendekatan yang kita ambil seharusnya bukan sekadar mengutuk spontanitas, melainkan membangun jembatan kesadaran politik. Menyusun ulang bangunan gerakan kiri tidak bisa hanya dilakukan oleh mereka yang sudah “punya bacaan” atau jaringan. Ia harus dimulai dari kesediaan untuk mengorganisir dari bawah, membangun kembali ruang diskusi ideologis, dan mengaktifkan kembali organisasi rakyat yang tidak sekadar reaktif terhadap isu, tapi punya visi jangka panjang.
Maka, gerakan kiri hari ini bukan soal memilih antara struktur atau spontanitas, antara ideologi atau afeksi, antara kelas atau identitas. Yang lebih penting adalah menyusun ulang strategi, di mana gerakan rimpang menjadi ladang awal yang harus digarap, bukan dibiarkan tumbuh liar. Tanpa pengorganisasian dan pendidikan politik yang sistematis, kita hanya akan terus menyaksikan pola yang berulang: perlawanan yang meledak, viral, lalu padam, sementara kekuasaan predatoris terus memperkuat cengkeramannya.
Inilah saatnya mengajukan kembali pertanyaan mendasar: siapa yang kita ajak bicara, siapa yang kita bangun, dan untuk siapa perjuangan ini dijalankan? Jika jawabannya masih “kelas pekerja”, maka langkah selanjutnya bukan sekadar mengutip marxisme, tapi mengorganisirnya dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa itu, kita akan terus berada dalam jebakan nostalgia, atau lebih buruk: dalam ilusi kemenangan semu. Hal ini lah yang menuntut kesabaran luar biasa, ketelatenan dalam membangun relasi kepercayaan, dan energi besar untuk terus bergerak di tengah tantangan, kekecewaan, dan represi.
Membangun Organisasi Rakyat
Gerakan rimpang bisa menjadi pintu masuk untuk membangun organisasi rakyat yang tahan lama. Letupan kemarahan yang menjalar melalui media sosial menunjukkan bahwa daya resistansi terhadap kekuasaan masih ada. Namun, ketimbang hanya mengandalkan viralitas atau aksi-aksi reaktif, kita perlu menciptakan struktur yang mampu menampung, mendidik, dan memobilisasi energi itu ke dalam bentuk gerakan yang lebih terarah dan berjangka panjang. Di sinilah pentingnya membangun organisasi berbasis kelas yang tidak hanya responsif terhadap isu, tetapi juga menyusun strategi perubahan sosial secara sistemik.
Dalam beberapa waktu terakhir, munculnya kesadaran baru untuk berserikat menunjukkan bahwa narasi kelas mulai kembali mengemuka, bahkan di ruang-ruang yang sebelumnya dianggap steril dari konflik perburuhan. Kehadiran Serikat Pekerja Kampus, Serikat Pekerja UGM (Sejagad), dan Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI) menjadi titik penting: bahwa kesadaran akan “kelas” tidak lagi eksklusif milik buruh pabrik, tapi mulai menyebar ke sektor pendidikan, media, bahkan pekerja kreatif dan digital. Fenomena ini menandai lahirnya kemungkinan baru untuk pengorganisasian lintas sektor yang selama ini tercecer dalam silo dan identitas sektoral.
Maka, mendorong terbentuknya serikat pekerja lintas sektor merupakan kebutuhan mendesak untuk memperkuat basis material gerakan. Kita perlu secara serius mengorganisir sektor-sektor pekerja yang kini tercerai-berai dan tidak terlindungi: buruh pabrik baik yang berstatus tetap, kontrak, maupun outsourcing; beragam jenis buruh lepas seperti pekerja gig, pengemudi ojek daring, pekerja digital; guru dan tenaga honorer; sampai pekerja rumahan. Mereka bukan hanya korban dari fleksibilitas pasar tenaga kerja neoliberal, tetapi juga subjek potensial perubahan sosial. Pengorganisasian ini perlu diarahkan bukan hanya pada tuntutan upah dan perlindungan kerja, tetapi pada penumbuhan kesadaran kelas dan perlawanan kolektif terhadap logika akumulasi kapital.
Selain itu, penting juga membangun dan memperluas kolektif kampung atau kota yang berbasis pada kebutuhan konkret warga: seperti isu perumahan, akses air bersih, pendidikan, ruang hidup, atau hak atas kota. Kolektif semacam ini bisa menjadi simpul pengorganisasian warga miskin kota dan kelas pekerja urban yang kerap luput dari strategi gerakan kiri konvensional. Di banyak kota besar, warga marjinal justru menjadi barisan depan dalam menghadapi gentrifikasi, penggusuran, dan krisis ekologis—tapi sering bergerak sendiri-sendiri. Kolektif dapat menjadi bentuk organisasi rakyat yang mengakar, sekaligus menjadi sekolah politik yang hidup bagi kesadaran kelas.
Untuk menopang gerakan ini secara ideologis, diperlukan pula pendirian dan penguatan kelompok studi serta organisasi kaderisasi berbasis kelas. Ini penting sebagai ruang penggemblengan pemikiran, tempat belajar bersama tentang teori sosial, sejarah gerakan rakyat, dan strategi perjuangan. Organisasi yang hanya muncul saat aksi, proyek, atau kebutuhan sesaat tidak akan mampu bertahan menghadapi kooptasi kekuasaan dan kelelahan gerakan. Oleh karena itu, kita harus membangun organisasi yang bukan hanya berfungsi, tapi juga berpikir strategis.
Prinsip dasarnya jelas: organisasi rakyat tidak boleh hanya pragmatis, tetapi juga ideologis. Artinya, ia tidak cukup hanya mengerjakan tugas-tugas aksi, advokasi, atau pelayanan, tetapi juga perlu menjadi wadah pembentukan kesadaran politik yang berakar pada pengalaman ketertindasan. Organisasi rakyat seharusnya menjadi ruang pertemuan antara pengalaman sehari-hari rakyat tertindas—seperti eksploitasi kerja, penggusuran, dan perampasan ruang hidup—dengan kerangka analisis dan cita-cita politik yang memampukan mereka untuk melawan, bukan hanya bertahan.
Dengan demikian, organisasi rakyat harus punya arah, bukan sekadar rutinitas. Ia harus punya cita-cita transformasional, bukan hanya program jangka pendek (terlebih jika hanya mengikuti logika proyek atau tuntutan donor). Yang paling penting, ia harus dibangun untuk jangka panjang. Karena perjuangan untuk keadilan sosial tidak akan pernah selesai dalam satu momen viral. Keadilan hanya bisa dimenangkan melalui proses panjang: konsistensi pengorganisasian, pendidikan politik, dan pembentukan kekuatan kolektif yang terstruktur dan bertahan.
Dalam konteks ini, gerakan rimpang tidak perlu ditolak sepenuhnya. Ia tetap memiliki nilai sebagai pintu masuk bagi generasi baru untuk terlibat dalam aksi politik. Di tengah keterasingan politik representatif, banyak anak muda menemukan ruang pertama mereka di dalam gerakan yang bersifat cair, horizontal, dan berbasis afeksi. Ini adalah momen penting yang tidak boleh diremehkan. Namun, jika bentuk gerakan seperti ini dibiarkan tanpa arah, tanpa struktur, dan tanpa upaya transformasi ke arah yang lebih terorganisir, maka ia hanya akan menjadi tempat pelarian emosional kolektif tanpa menjebol apa pun. Ia menjadi ritus perlawanan, bukan proses pembebasan.
Sejarah mengajarkan bahwa perubahan besar tidak pernah terjadi karena ledakan kemarahan yang sporadis. Semua revolusi, reformasi, bahkan kompromi struktural yang menguntungkan rakyat lahir dari kekuatan sosial yang dibentuk secara sadar, disiplin, dan terorganisir. Maka dari itu, membangun kembali organisasi rakyat yang berwatak ideologis adalah tugas pokok hari ini. Ini bukan tentang mengulang model masa lalu secara kaku, melainkan merekonstruksi organisasi kelas yang mampu menjawab tantangan zaman.
Kembali ke analisis kelas bukan berarti menafikan bentuk-bentuk gerakan baru, tetapi mengingatkan kita bahwa politik bukan hanya soal ekspresi, tetapi tentang transformasi. Ia bukan tentang siapa yang paling keras mengutuk penindasan, tapi siapa yang paling sabar dan kolektif membongkar struktur yang menindas. Dengan kata lain, politik kelas adalah upaya sistematis untuk merombak total struktur sosial-ekonomi yang timpang—bukan sekadar mengeluh di dalamnya, atau mencari tempat nyaman di pinggirannya.
Dodi Faedlulloh, Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) Lampung. Dosen dan peneliti Program Studi Administrasi Negara, Universitas Lampung.