Spektakel Tubuh dan Eksploitasi Sunyi

Print Friendly, PDF & Email

Foto: Para pemain sirkus OCI (ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/aww)


“Saya sempat diseret dan dikurung di kandang macan, susah buang air besar. Saya enggak kuat, akhirnya kabur lewat hutan malam-malam, sampai akhirnya ke Cisarua. Waktu itu sempat ditolong warga, tapi akhirnya saya ditemukan lagi.

Saya diseret, dibawa ke rumah, terus disetrum. Kelamin saya disetrum sampai lemas. Rambut saya ditarik, saya ngompol di tempat, lalu saya dipasung.” 

— Vivi, mantan pemain sirkus, dikutip dari Kompas.

APA yang sering kali ditampilkan sebagai kemegahan sirkus hanyalah selubung dari praktik kekerasan sistemik yang dalam dan sialnya nyaris tak terdengar. Dalam narasi publik secara global, kritik terhadap sirkus cukup banyak menyasar soal praktik penyiksaan binatang—sebuah keprihatinan yang tentu saja sah. Masalahnya, fokus pada perkara tersebut secara tidak langsung membuat kita luput dalam melihat tubuh-tubuh manusia yang ternyata juga dilucuti hak dan martabatnya. Jerit anak-anak yang dilatih secara ekstrem itu tidak terdengar karena telah disamarkan sebagai bagian dari proses produksi “atraksi”. Anak-anak diambil dari keluarga miskin, dijanjikan masa depan, lalu tertipu karena akhirnya harus mengalami pelatihan keras, kerja paksa, dan kekerasan psikologis yang sistematis. Mereka bukan hanya kehilangan rumah dan orang tua, mereka juga nama, sejarah, dan masa depan.

Di sinilah tampak bagaimana logika hiburan, dalam format rezim visual, menjadikan tubuh manusia sebagai objek kontemplasi pasif yang hanya dihargai karena dianggap dapat menampilkan “keajaiban”.


Tubuh sebagai Komoditas

Ketika melihat perbudakan, eksploitasi anak, dan pembunuhan identitas di sebuah institusi modern seperti Oriental Circus Indonesia (OCI), kita sesungguhnya tidak sedang menyigi masa silam yang feodal melainkan menyelisik bentuk baru dari penindasan tubuh manusia dalam sistem hiburan kontemporer. OCI adalah salah satu sirkus tertua di Indonesia yang sudah ada sejak tahun 1960-an. Beberapa bulan lalu mereka ramai dibicarakan setelah para mantan pemainnya bicara ke publik soal kekerasan fisik dan mental yang mereka alami—kutipan pertama tadi adalah salah satunya. Di balik gelak tawa penonton, lampu sorot panggung yang dipenuhi kilau, juga retorika profesionalisme, tersembunyi sistem eksploitasi yang struktural—yang menyasar tubuh-tubuh belia dari kelas sosial rentan, menjadikannya instrumen hiburan, dan pada akhirnya komoditas.

Michel Foucault dalam Discipline and Punish (1977) menguraikan bahwa kekuasaan modern tidak beroperasi melalui kekerasan eksplisit, melainkan lewat pendisiplinan tubuh—bagaimana tubuh diatur, dilatih, dikendalikan, agar kemudian dapat memiliki nilai produktif dalam kacamata kapitalistik. Di sirkus OCI, mekanisme ini mencapai bentuk ekstremnya: para anak yang diambil paksa itu tidak hanya didisiplinkan, melainkan dijinakkan seperti binatang, disekap layaknya tahanan, dan diperas dayanya bak mesin. Tubuh mereka menjadi sasaran dari apa yang disebut Foucault sebagai “anatomo-politics”—politik atas tubuh; tubuh diperlakukan bukan sebagai subjek bebas melainkan properti yang memiliki “nilai guna”.

Narasi ini menyingkap bagaimana kekerasan sistemik beroperasi melalui hegemoni budaya, sebuah konsep yang dikemukakan oleh Antonio Gramsci untuk menjelaskan bagaimana kelas dominan seperti pemilik sirkus OCI menanamkan nilai-nilainya sebagai hal yang “normal” dan “haram untuk dipertanyakan”. Kekerasan yang dialami anak-anak di sirkus OCI tersamarkan oleh narasi dedikasi, profesionalisme, bahkan “patriotisme budaya”. 

“Saya mengalami berbagai bentuk kekerasan selama bekerja sebagai badut di Taman Safari Indonesia,” kata seorang korban. Pernyataan ini menyembulkan fakta bahwa proses kerja hiburan di institusi-institusi formal sekalipun tidak sepenuhnya steril dari praktik kekerasan. Pelaku kekerasan di sini bukan iblis atau monster, melainkan individu biasa: seorang pengusaha. Kekerasan menjadi rutinitas, kian banal—Hannah Arendt dalam Eichmann in Jerusalem (1963) menyebut banality of evil, yaitu ketika sebuah kejahatan tidak lagi dilaksanakan berkat kebencian, melainkan karena ketaatan terhadap sistem yang sudah mapan dan berlangsung mengakar.

Korban yang lain mengaku bahwa dia “diambil dari orang tua sejak usia lima tahun” dan “selama pelatihan sering kali ada perlakuan kasar; kalau ada salah sedikit, dipukul.” Mereka mengalami kekerasan bahkan sejak proses perekrutan dan pelatihan. Beberapa dari mereka bahkan sudah masuk dan dilatih sejak usia tiga tahun. Pelatihannya cukup lama sebelum mereka dapat mulai bekerja di panggung. Manusia menjadi komodifikasi. Mereka ada akhirnya tidak hanya menjual tenaga, melainkan seluruh jiwa raganya. Para pekerja menjadi laboring bodies yang diperas bukan hanya untuk memproduksi hiburan, melainkan meneguhkan sistem kapitalisme hiburan yang mengaburkan batas antara seni-pertunjukan dan eksploitasi-penyiksaan.

Di atas itu semualah para penonton yang menyaksikan aksi-aksi berbahaya tertawa. Mereka tidak menyadari bahwa apa yang mereka tonton adalah tubuh yang menderita. Penonton sirkus tak melihat manusia, mereka melihat simulakra, istilah yang dikemukakan Jean Baudrillard. Tubuh para pemain sirkus itu direduksi menjadi citra, menjadi spektakel. Identitas personal mereka dikaburkan oleh pertunjukan. 

Ironisnya lagi, negara absen. Tidak ada tindak lanjut dari laporan di tahun 1997 dari Komnas HAM pada kepolisian. Penyidikan dihentikan. Tidak ada perlindungan hak asasi manusia, tidak ada perlindungan ketenagakerjaan, tidak ada perlindungan anak, tidak ada penegakan hukum atas kerja paksa, juga tidak ada penindakan/penyidikan atas indikasi perdagangan manusia. Negara abai pada fakta kelam yang dialami para korban.

Ketika negara tidak hadir untuk melindungi warga dari kekuasaan non-negara yang eksploitatif, maka yang terjadi adalah langgengnya kejahatan struktural. Kekerasan dilegalkan secara diam-diam oleh sistem hukum yang tertidur lelap, media yang bungkam, juga masyarakat yang tidak memiliki kemampuan selain menertawakan pentas daripada mempertanyakan prosesnya.


Hegemoni, Kekerasan, dan Impunitas

Salah satu pemahaman keliru di publik adalah bahwa kekuasaan bekerja secara vertikal—mengalir dari atasan ke bawahan. Apa yang sebenarnya terjadi adalah kekuasaan bersifat difusif; ia menyebar dan beroperasi melalui relasi sosial sehari-hari. Michel Foucault dalam Power/Knowledge (1980), misalnya, menegaskan bahwa kekuasaan tidak menetap pada satu titik, tetapi “beroperasi dalam jaringan”. Seseorang tidak hanya bisa jadi korban, melainkan juga pelaku yang mengulang dan memperkuat mekanisme penindasan. Dalam konteks sirkus OCI, kekuasaan tidak semata berada di tangan pimpinan atau pemilik, tetapi terdistribusi ke seluruh tubuh organisasi: para pelatih yang menjalankan disiplin brutal, pegawai senior yang melestarikan hierarki lewat kekerasan, hingga korban yang terpaksa menunduk karena ketakutan akan kehilangan tempat tinggal. Kita melihat struktur patron-klien yang mengikat, ketika subordinasi dan dominasi berjalan beriringan, dipertahankan oleh rasa takut dan ilusi akan keamanan. 

Salah satu korban mengatakan bahwa dia “dibawa entah ke mana. Sekitar umur tiga atau empat tahun, saya dibawa ke OCI.” Pernyataan ini menggambarkan pembunuhan identitas dan penaklukan total yang mengingatkan kita pada apa yang disebut Achille Mbembe sebagai necropolitics—politik yang juga menentukan siapa yang berhak hidup dan siapa yang bisa dihancurkan. Korban tidak sekadar didisiplinkan, mereka dijinakkan untuk memperpanjang usia kekuasaan yang telah merampas hidup mereka sendiri.

Lebih jauh, Frantz Fanon dalam Black Skin, White Masks (1952) menggambarkan bagaimana sistem kolonial melumpuhkan jiwa-jiwa tertindas melalui internalisasi inferioritas dan ketakutan. Anak-anak dalam sirkus OCI pun demikian. Mereka sejak dini dilatih untuk tidak percaya pada dunia luar, menjadikan sirkus sebagai satu-satunya realitas yang bisa mereka kenali dan ikrarkan. Rasa takut terhadap dunia luar dan “pengasuh” menjadi bagian dari trauma yang membentuk mereka, menciptakan relasi kolonial baru antara pelatih dan anak-anak, antara institusi dan tubuh-tubuh tak bernama. Rasa takut ini bukan hanya tentang ancaman fisik, tapi soal kehilangan rasa orientasi, takut pada kebebasan, takut pada dunia di luar sistem. Di sinilah trauma bonding bekerja—ketika korban tidak bisa keluar dari relasi kekerasan karena rasa takut lebih besar dari rasa aman. Dalam kondisi ini, pengontrolan tidak membutuhkan kekerasan setiap saat: cukup dengan membangun dunia tertutup, menjadikan pelarian menjadi mustahil, dan rasa takut menjadi fondasi keterikatan psikologis.

Sirkus OCI tidak beroperasi dalam kevakuman. Ia berada dalam ekosistem budaya populer ketika viralitas, citra, dan branding menjadi mata uang utama. Dengan ratusan ribu pengikut media sosial (Taman Safari, sebagai naungannya—meski dibantah pemilik), penjualan cendera mata, dan eksposur televisi, OCI tampil sebagai “wadah kreatif anak muda”—sebuah citra yang mengaburkan kekejian yang tersembunyi di balik panggung. Guy Debord dalam The Society of the Spectacle (1967) menyebut bahwa dalam masyarakat modern, representasi telah menggantikan realitas yang sebenarnya. Apa yang benar tidak lagi penting, tetapi apa yang tampak; apa yang terlihat. Kekerasan disembunyikan bukan karena dihapus, tetapi karena tak ditampilkan. Yang terlihat hanyalah semangat, kekompakan, tawa, dan koreografi yang memesona. Inilah ilusi spektakel—dan di situlah kekuasaan bekerja dalam senyap. Dalam kondisi seperti ini, kekerasan menjadi “non-peristiwa”. Ia lenyap dari radar kesadaran publik karena mereka hanya tahu apa yang ditampilkan. 

Maka muncul pertanyaan: bagaimana mungkin kekerasan ini berlangsung begitu lama? Siapa yang memungkinkan keberlangsungannya? Indikasi kuat menunjukkan bahwa sistem ini bertahan bukan semata karena kekuatan internal, melainkan juga adanya sokongan dari aktor eksternal—pemilik modal, tokoh masyarakat, bahkan mungkin aparat hukum. Para korban yang melapor tak dilindungi, sementara pelaku terus tampil di media sosial tanpa cela dan tanpa rasa malu. 

Seperti kata Reza Indragiri Amriel, seorang ahli psikologi forensik: “Ada satu misteri sesungguhnya, bahwa di samping melapor ke Komnas HAM, sepengetahuan saya juga sudah dilakukan laporan ke Mabes Polri. Tapi aneh bin ajaib, dari Mabes Polri keluar SP3, Surat Pemberhentian Penyidikan Perkara. Tanda tanya muncul: Ini diberhentikan karena apa? Karena tidak ada pidana? Karena kurang alat bukti? Atau karena lainnya? Jangan sampai karena hengki pengki.” Di sinilah impunitas sistemik hadir: kekebalan yang diperkuat oleh jalinan antara kapital, budaya, dan politik. 

Pernyataan di atas juga memperlihatkan bagaimana kekuasaan menyaru di balik birokrasi yang lamban, aparat yang sinis, dan masyarakat yang apatis. Negara, alih-alih hadir sebagai pelindung, menjadi ruang hampa yang diisi oleh kekuasaan non-negara seperti organisasi sirkus ini. Dalam testimoni para korban, ada satu hal yang mungkin perlu ditanyakan: Mengapa mereka tidak melawan? Mengapa mereka bertahan? Mengapa mereka baru melapor? Jawabannya terletak pada rasa takut. Mereka telah dikontrol oleh ketakutan. Tony Sumampau, salah satu pendiri OCI, bahkan berkata tanpa rasa bersalah bahwa tidak ada penyiksaan, “Kalau pemukulan biasa itu ada aja. Itu biasa, kalau dulu enggak aneh. Tapi kalau anak-anak itu latihannya malas, tidak mau keluar tenaga, kalau pakai rotan itu mah biasa.” 

Pengelakan ini merupakan normalisasi atas kekerasan. Kekerasan tidak lagi terasa sebagai kekerasan. Ia menyaru sebagai latihan, suatu metode pendisiplinan, sebagai sebentuk profesionalisme. Bahkan, kekerasan dianggap sebagai bagian dari proses berkesenian. Rezim kekuasaan dalam sirkus OCI bertahan karena terdiri dari banyak simpul yang menopang: jaringan internal yang mengatur tubuh melalui patronase dan kekerasan; sebuah budaya pop yang menjual luka sebagai tontonan, aparat negara yang abai atau mungkin terkooptasi, juga publik yang terbius oleh citra.


Kapitalisme dan Kekerasan Struktural

“Saya tidak pernah mengetahui identitas asli saya, baik itu nama, keluarga, dan usia karena sudah ditempa sebagai pemain sirkus sejak kecil.” demikian pengakuan Butet, juga mantan pegawai sirkus OCI. 

Dalam sejarah panjang umat manusia, persoalan identitas sedemikian penting—nama, tempat lahir, asal usul keluarga, etnisitas, ras, dsb. Identitas adalah penanda kemanusiaan yang paling mendasar. Tetapi bagaimana jika seseorang hidup tanpa semua itu? Dalam kasus sirkus OCI, banyak pegawai seperti Butet yang tidak tahu siapa orang tuanya, tidak memiliki administrasi mengenai dirinya, dan tak pernah mengenal pendidikan formal sebagaimana anak-anak pada umumnya.

Dalam dunia yang diatur oleh sistem administrasi negara modern, mereka adalah non-persons, entitas yang eksistensinya tak diakui secara hukum. Giorgio Agamben menyebut mereka sebagai homo sacer—manusia telanjang yang dapat ditindas, dieksklusi, bahkan dimusnahkan tanpa konsekuensi hukum. Mereka bukan sekadar kehilangan nama, tetapi telah dicabut dari hak untuk memiliki hak. Mereka bukan warga. Bukan pekerja formal. Bukan anak-anak yang dilindungi negara. Mereka adalah tubuh-tubuh yang semata eksis sebagai alat produksi tontonan—objek yang dikontrol, dilukai, dibentuk, dan dijual. Meski demikian, ratusan lembar administrasi kelahiran mereka diakui ada oleh kuasa hukum OCI, meski tak bisa dipastikan aktualitasnya. Indikasi “administrasi palsu” atas nama-nama pemberian pada anak-anak itu membuat dugaan ini kuat.

Lalu, dalam sirkus OCI, tubuh bukan hanya ditundukkan, tetapi dikomodifikasi. Mereka dilatih hingga retak, dipaksa tampil dari kota ke kota tanpa jaminan kesehatan, tanpa upah yang layak. Tubuh-tubuh ini menjadi “kapital berjalan”—tanpa kontrak, tanpa cuti, tanpa perlindungan hukum. Karl Marx dalam Economic and Philosophic Manuscripts (1844) menyebut pekerja dalam kapitalisme sebagai manusia yang “terasing dari tubuhnya sendiri.” Ia tidak memiliki kuasa atas waktu, tenaga, maupun hasil dari kerja yang ia lakukan. Inilah kekejaman sistemik: ketika seseorang kehilangan kendali atas tubuhnya, ia telah dilucuti dari kemanusiaannya. 

Ida, yang pada akhirnya berakhir di kursi roda, bercerita, “Saya pernah jatuh saat tampil dan mengalami patah tulang belakang… Tapi saya tetap diminta tampil. Tak ada pertolongan medis, hanya diurut.” Ini adalah bentuk objektifikasi ekstrem—ketika tubuh tak lagi dilihat sebagai subjek yang hidup dan bernapas, melainkan sebagai instrumen produksi yang dapat dipakai, diperbaiki seadanya, lalu dipaksa berfungsi kembali demi keuntungan pihak lain. Dalam logika semacam ini, tubuh pekerja seni tak ubahnya mesin dalam sistem kerja paksa.

Fakta bahwa banyak dari mereka tidak memiliki dokumen identitas resmi yang aktual mengindikasikan adanya lack of state—bukan hanya dalam bentuk pengabaian untuk memverifikasi administrasi, tetapi juga pengingkaran atas tanggung jawab konstitusional negara untuk melindungi warganya, khususnya anak-anak. Negara pada akhirnya hanya hadir sebagai retorika, bukan sebagai institusi pelindung dan penyelamat warga.

Mengapa tak pernah ada upaya sistematis untuk menelusuri asal-usul dan status hukum mereka? Mengapa hingga kini tak tersedia mekanisme perlindungan bagi mereka yang melaporkan kekerasan? Mengapa korban tidak diberikan akses pada rumah aman, pemulihan trauma, atau proses hukum yang berpihak? Retorika pembentukan Tim Pencari Fakta mendengung, tapi kehidupan anak-anak—yang kini sudah ada yang berusia 50-an—kadung hancur berserpih-serpih.

Dalam kerangka pemikiran pascakolonial, Partha Chatterjee menyebut situasi ini sebagai manifestasi dari split sovereignty—suatu kedaulatan yang terbelah. Di satu sisi, negara menyatakan diri sebagai penjamin hukum dan tatanan sipil, namun di sisi lain ia menciptakan ruang abu-abu tempat hukum ditangguhkan atau tidak diberlakukan. Sirkus OCI beroperasi dalam ruang ini: secara simbolik diklaim sebagai “kesenian rakyat”, namun dalam praktiknya beroperasi dengan struktur perbudakan, di luar pengawasan dan perlindungan negara.

Yang paling mengerikan dari semua ini bukan hanya kekerasannya, tapi normalisasi terhadap kekerasan itu. Banyak korban, khususnya ketika pertama kali memasuki masa pelatihan, tidak menyadari bahwa mereka adalah korban. Kekerasan telah menjelma menjadi struktur yang dianggap wajar dan sah pada usia mereka saat itu. Disiplin keras diterima sebagai bentuk pendidikan. Pukulan dibenarkan sebagai bagian dari proses belajar. Kehilangan keluarga atau masa kanak-kanak dilihat sebagai “takdir”—bukan sebagai hasil dari sistem yang gagal melindungi mereka, meski mereka menangis, merintih, remuk redam. 

Seperti yang diakui oleh Butet: “Hari-hari kita hanya melakukan di sirkus itu saja setiap hari. Pagi harus bangun kita latihan terus belajar sekolah. Tapi itu pun bukan seperti formalnya anak-anak di luar. Hanya bisa baca, tulis, berhitung. Itu pun yang ngajarin karyawati.” Pernyataan ini mencerminkan bagaimana sirkus menjadi satu-satunya dunia yang dikenali anak-anak tersebut. Mereka hidup dalam realitas tertutup—dunia yang dibentuk oleh jadwal latihan, pertunjukan, dan pendidikan semu. Pendidikan yang mereka terima bukanlah pendidikan yang membebaskan, melainkan alat reproduksi kekuasaan internal, cukup untuk menjadikan mereka “cukup fungsional” sebagai pekerja, tetapi tidak cukup untuk melampaui struktur yang menindas mereka.

Trauma kolektif ini melahirkan generasi yang tidak mengenal dunia di luar kekerasan. Mereka tidak mengenal kebebasan sebagai kemungkinan, karena sedari kecil telah dilatih untuk tunduk dan bertahan. Inilah sebab mengapa sebagian korban, setelah keluar, tidak punya rumah untuk kembali—dunia luar pada akhirnya menjadi terlalu asing, terlalu sunyi, dan terlalu gelap untuk dijelajahi sendirian. Mereka hidup terlunta-lunta di luar penjara sirkus.

Dalam psikologi trauma, fenomena ini dikenal sebagai trauma bonding: keterikatan psikologis yang terbentuk di tengah relasi kekerasan, di mana korban bergantung secara emosional pada pelaku karena absennya sistem alternatif yang aman. Ini bukan sekadar relasi subordinat, tapi relasi eksistensial. Kekerasan bukan hanya sesuatu yang mereka alami, tetapi juga yang membentuk struktur identitas mereka.

Sirkus—dalam imajinasi publik—adalah panggung keajaiban, tawa, dan gerak akrobatik yang memukau. Namun di balik sorotan itu, kita menyaksikan wajah lain dari “keajaiban”: sebuah bentuk eksploitasi yang dibungkus narasi seni, perbudakan yang dilukis dengan cahaya panggung. Tubuh-tubuh ini bergerak bukan oleh semangat ekspresi, tapi oleh paksaan yang telah dinaturalisasi sejak mereka belum mampu membedakan hak dan kekuasaan. Mereka bukan artis. Mereka bukan pekerja resmi. Mereka bahkan bukan warga negara dalam makna legal-formal secara aktual. Mereka adalah tubuh-tubuh yang kehilangan nama, kehilangan suara, dan perlahan kehilangan masa depan. Dan kita? Apa peran kita dalam semua ini?


Referensi

Arendt, Hannah. Eichmann in Jerusalem. Viking Press, 1963.

Debord, Guy. The Society of the Spectacle. Buchet-Chastel, 1967.

Fanon, Frantz. Black Skin, White Masks. Peau Noire, Masques Blanc, 1952.

Foucault, Michel. 1980. Power/Knowledge. Knopf Doubleday Publishing Group, 1980.

Foucault, Michel. Discipline and Punish. Pantheon Books, 1977.

Fukuyama, Francis. Origins of Political Order. Farrar, Straus and Giroux, 2011.

Harian Disway. “Pengakuan Eks Pemain Sirkus OCI: Dipisahkan dari Orang Tua, Dipaksa Jadi Pesirkus Sejak Balita”. 20 April 2025

Kompas.com, “Nestapa Pemain Sirkus OCI Taman Safari: Diranrai, Disetrum, hingga Dipisahkan dengan Anak”. 15 April 2025

Marx, Karl. Economic and Philosophic Manuscript. Progress Publisher, 1959 [Written: 1844].

Metrotvnews.com. “Butet Ceritakan Kisah Kelam di Balik Panggung Sirkus OCI”. 18 April 2025

PublicaNews. “Dilaporkan Siksa Pemain Sirkus, Pendiri OCI Sebut Biasa Dipukul Rotan”. 17 April 2025

TVOneNews. “Ironi Sirkus: Tangisan di Balik Riuhnya Tepuk Tangan.” Catatan Demokrasi. 30 April 2025


Candrika Adhiyasa adalah penulis dan konsultan lingkungan. Pernah belajar di program studi Ilmu Lingkungan Universitas Gadjah Mada. Dapat disapa di Instagram @candrimen

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.