Solidaritas Iklim dan Perjuangan Palestina

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Ilustruth


PADA sebuah tulisan di Kompas, “Abrahamic Religions dan Kerusakan Lingkungan”, Nasaruddin Umar menyoroti anggapan bahwa agama abrahamik ikut andil dalam kerusakan alam dan lingkungan hidup. Menurutnya, ini bermuara dari pemahaman manusia modern bahwa alam merupakan “benda mati”, juga ditambah dengan legitimasi dari kitab suci yang menyatakan manusia sebagai “khalifah” di bumi. Dua hal ini membuat manusia bukan bagian dari entitas alam melainkan penguasa yang secara bebas bisa mengeksploitasi. Dalam artikel yang terbit pada 5 Agustus 2024 tersebut, penulis menyarankan para pemeluk abrahamic religions membaca ulang kitab suci masing-masing, serta merefleksikannya dengan permasalahan lingkungan yang terjadi.

Setelah tulisan tersebut dirilis, tanggapan beragam pun muncul, baik yang memuji maupun mengkritik. Sebagian besar kritik menyoroti argumen utama bahwa agama menjadi salah satu penyebab kerusakan lingkungan. Kritik-kritik tersebut cukup beralasan karena pada umumnya gerakan lingkungan berfokus pada isu-isu seperti kapitalisme, kolonialisme, dan sistem ekstraktif sebagai akar utama perubahan iklim. Meskipun demikian, artikel ini tidak akan membahas ranah tersebut. Sebaliknya, penulis berpendapat bahwa pendekatan agama dalam isu kerusakan lingkungan tetap relevan dan penting. Bagaimanapun juga isu keberlanjutan merupakan sebuah interdisciplinary challenge. Kerusakan lingkungan dan upaya keberlanjutan merupakan arena yang harus diperhatikan oleh lintas disiplin, termasuk budaya dan agama.

Perhatian utama penulis adalah pernyataan dalam artikel di atas yang menganjurkan supaya kita memberikan ruang terhadap isu kerusakan lingkungan, tidak menghabiskan energi pada krisis Palestina yang sedang menjadi perhatian utama dunia. Menteri Agama RI ini menulis:

Hendaknya kita tidak terkooptasi sepenuhnya untuk memikirkan akibat dari perang Israel dan Palestina (Hamas) yang menelan ratusan korban jiwa. Tentu saja ini adalah bencana kemanusiaan yang amat memprihatinkan yang harus diakhiri bersama. Akan tetapi, perlu juga di antara kita ada yang memperhatikan, betapa dahsyat manusia yang akan menjadi korban jika lingkungan hidup rusak.

Pernyataan tersebut amat sangat disayangkan, bukan hanya karena dikeluarkan di tengah krisis kemanusiaan yang belum juga berakhir, tetapi juga secara tidak langsung mengatakan bahwa isu Palestina dan isu kerusakan lingkungan adalah permasalahan yang jauh berbeda. Padahal jika kita melihat lebih dalam, apa yang menimpa Palestina tidak hanya menyangkut masalah kemanusiaan, tetapi juga merupakan sebuah peristiwa penghancuran lingkungan. Israel tidak hanya sedang melakukan pertunjukan genosida, tetapi juga ekosida. Pernyataan di atas juga bertolak belakang dengan upaya para aktivis lingkungan dalam menggunakan gerakan iklim untuk mendukung Palestina. Para aktivis berusaha menyadarkan masyarakat dunia bahwa keadilan iklim dan keadilan manusia mempunyai sumbu yang sama, sehingga tidak ada alasan untuk memisahkan keduanya. 


Ekosida di Gaza dan Penghancuran Lingkungan yang Sistematis

Perang dan kerusakan lingkungan merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Konflik selalu menghasilkan ancaman signifikan terhadap keberlangsungan alam. Emisi gas rumah kaca, perubahan penggunaan lahan demi kepentingan pertempuran, kerusakan ekosistem, dan rekonstruksi pasca-perang menjadi tantangan serius bagi lingkungan. Berdasarkan studi Scientists for Global Responsibility, aktivitas militer setidaknya menyumbang 5,5% dari total emisi global. Emisi dari kegiatan militer ini dihasilkan dari misi non-perang maupun misi perang, dan terjadi peningkatan signifikan dalam situasi perang. Misalnya saja, satu tahun pertama invasi Rusia di Ukraina telah menghasilkan 120 juta ton emisi karbon dioksida. Jumlah ini lebih besar dari emisi yang dihasilkan oleh satu negara seperti Republik Ceko, bahkan empat kali lebih besar dari Slovakia.

Kerusakan juga terjadi di Palestina. Di tengah situasi sulit akibat serangan langsung yang dilakukan Israel, masyarakat Gaza menghadapi kesulitan lain akibat hancurnya ekosistem tempat mereka tinggal dan menggantungkan hidup. Pada November lalu (setahun setelah peristiwa 7 Oktober), otoritas lingkungan Palestina melaporkan bahwa Israel telah menjatuhkan kurang lebih 85 ribu ton bom di Gaza. Untuk ukuran wilayah Gaza yang kecil, jumlah bom yang digunakan Israel ini sudah melampaui level Perang Dunia 2. Besarnya serangan yang dilakukan Israel menyebabkan perkebunan zaitun sebagai komoditas utama warga Gaza hancur, tanah dan air terkontaminasi racun dari amunisi, juga udara tercemar oleh partikel sisa-sisa pengeboman.

Pada Maret lalu, The Guardian melaporkan kerusakan lingkungan parah di Gaza pasca-invasi Israel. Berdasarkan pengawasan melalui citra satelit, foto, dan rekaman video, hampir 50 persen tutupan pohon dan lahan pertanian telah rusak. Selain akibat serangan senjata militer, kelangkaan bahan bakar membuat warga Gaza menebang pohon untuk keperluan memasak. Para peneliti lingkungan menganggap skala kerusakan di Gaza sudah terlalu parah, memberi dampak besar terhadap ekosistem serta keanekaragaman hayati. Mereka menyerukan untuk dilakukan penyelidikan terhadap kehancuran Gaza sebagai “ekosida” dan membuka kemungkinan terjadinya kejahatan perang. 

Penghancuran lingkungan oleh Israel bukanlah barang baru. Kehancuran ekologi Gaza baru-baru ini tidak bisa dipisahkan dari proses panjang penjajahan Israel. Pada operasi Cast Lead (2008 dan 2009), para tentara Israel dengan sengaja mencabut pohon buah-buahan yang sudah dewasa. PBB melaporkan, operasi ini mengakibatkan kerusakan tanah, kebun buah dan sayur, hewan ternak, sumur, jaringan irigasi, dan lumbung pangan. Bentuk kekerasan lingkungan lainnya adalah penyebaran racun pertanian melalui angin ke arah barat Gaza yang merusak tanaman. Kejahatan-kejahatan terhadap industri pangan ini tak lain bertujuan agar rakyat Palestina semakin tidak berdaya; kelaparan dan kekurangan gizi. Secara bersamaan, Israel juga menjadikan Gaza sebagai wilayah yang tidak layak huni.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Solidaritas Iklim dan Keadilan Sosial: Pendekatan Greta Thunberg

Pada artikel di The Guardian, aktivis lingkungan dari Swedia Greta Thunberg membela krisis kemanusiaan di Gaza dengan mengatakan bahwa advokasi keadilan iklim pada dasarnya datang dari tempat yang peduli terhadap orang-orang dan hak asasi mereka. Advokasi lingkungan punya akar yang sama dengan pembelaan dan solidaritas terhadap kaum yang terpinggirkan. Bahkan dalam orasinya, ketika melakukan aksi di Milan pada 11 Oktober 2024, Thunberg dengan tegas mengatakan, “Jika Anda, sebagai aktivis iklim, tidak memperjuangkan kemerdekaan Palestina dan mengakhiri kolonialisme serta penindasan di seluruh dunia, maka Anda tidak pantas menyebut diri sebagai aktivis iklim.” Di sini Thunberg dengan lebih tegas menyebut bahwa aktivisme lingkungan tidak bisa dipisahkan dari perjuangan melawan penjajahan Palestina.

Pendekatan Thunberg dan kawan-kawanya ini sudah dilakukan sebelum peristiwa perlawanan 7 Oktober. Misalnya, pada 27 Juli 2022, pada akun Twitter/X Friday for Future (FFF), gerakan yang diinisiasi Thunberg, juga menggunakan narasi yang sama dengan mengatakan “Climate Justice also means freedom for all oppressed. Free Palestine!” Kemudian, pada 23 Januari 2023, FFF mengeluarkan pernyataan keprihatinan terhadap para korban jiwa kejahatan pemerintahan apartheid Israel. Bahkan FFF secara tegas mendukung dan menyatakan berada di pihak Palestina. 

Upaya berani Thunberg bukan langkah tanpa risiko. Berbagai reaksi muncul akibat dukungan terhadap Palestina. Dia dianggap sebagai antisemit, dicekal, didenda, ditangkap, dan bahkan dianggap memecah belah gerakan iklim. Thunberg membuat para pelindung kepentingan Israel meradang. Kelompok politisi dari partai oposisi Jerman menganjurkan melarang Thunberg memasuki negara mereka karena dianggap anti-semit dan memicu kebencian terhadap Israel. Seorang pemimpin Partai Hijau Jerman, salah satu partai politik Jerman yang paling dekat dengan FFF, menyebut dukungan Thunberg terhadap Palestina merupakan tindakan “tidak senonoh” dan “anti-Israel”. Thunberg juga disebut telah menyimpang dari masalah lingkungan ke masalah geopolitik, sekaligus telah merusak dan melemahkan tatanan gerakan perubahan iklim.

Joos de Moor, dalam tulisannya di Green European Journal, mencoba menjelaskan apa yang dilakukan Thunberg dan apa yang membuat pertentangan terjadi (di luar kepentingan politik yang lebih luas), terutama dari kalangan aktivis lingkungan sendiri. Menurutnya ada tiga poin yang melandasi perbedaan pandangan tersebut; pertama adalah pertanyaan mengapa penting memerangi perubahan iklim. Bagi kelompok pertama, advokasi perubahan iklim berarti mengatasi ancaman eksistensial yang mengancam keberlangsungan bumi, akibatnya permasalah di luar itu harus dijauhkan dan dipisahkan. Berbeda dari kelompok lain seperti Thunberg, bagi mereka perjuangan keadilan iklim merupakan salah satu pendorong dalam melawan ketidakadilan global yang lebih luas, sehingga memisahkan gerakan iklim dari gerakan keadilan lainnya (termasuk Palestina) membuat perlawanan terhadap ketidakadilan tidak lengkap.  

Perbedaan kedua terletak pada pandangan mengenai hakikat utama masalah perubahan iklim. Kelompok pertama melihat perubahan iklim sebagai isu yang berdiri sendiri, sehingga menggabungkannya dengan masalah lain dianggap dapat mengganggu upaya yang telah dan sedang dilakukan untuk menanganinya. Sebaliknya, kelompok kedua memandang perubahan iklim sebagai dampak dari masalah sistemik yang lebih mendalam, sehingga pendekatan yang memisahkan solusi dari akar masalahnya dianggap kurang efektif. Langkah yang diambil oleh Thunberg dan rekan-rekannya bertujuan untuk mengatasi akar penyebab masalah, bukan hanya menangani gejalanya. Menyelesaikan satu gejala saja dianggap tidak masuk akal, terutama ketika gejala lain juga muncul dari penyebab yang sama. 

Poin perbedaan ketiga terletak pada jalur yang dianggap paling efektif untuk mencapai tujuan gerakan perubahan iklim. Para aktivis lingkungan sepakat bahwa emisi global harus berkurang setengahnya paling lambat pada 2030, sehingga menuntut adanya perubahan radikal untuk mencapai target tersebut. Menyadari hal ini, satu kelompok menilai bahwa menjadikan krisis iklim sebagai isu sistemik justru memperumit upaya pencapaian tersebut, sedang kelompok lain berpendapat bahwa perubahan radikal memerlukan langkah-langkah reformis yang memerlukan dukungan publik secara luas, salah satunya melalui narasi keadilan yang inklusif. 

De Moor berpendapat bahwa langkah Thunberg, dengan memperluas isu lingkungan menjadi bagian dari masalah keadilan sosial, justru mendekatkan tujuan gerakan perubahan iklim. Dengan memasukkan dimensi keadilan yang lebih luas, solidaritas dalam gerakan iklim menjadi semakin kuat. Kekhawatiran sebagian pihak bahwa pendekatan Thunberg dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina dapat mengurangi fokus gerakan perubahan iklim merupakan hal yang tidak diperlukan.

Penjajahan Palestina oleh Israel tidak hanya menghadirkan krisis kemanusiaan yang serius, tetapi juga menjadi ancaman besar bagi lingkungan. Kerusakan ekosistem yang terjadi di Gaza, seperti hilangnya tutupan pohon, kontaminasi tanah dan air, serta pencemaran udara, menunjukkan bagaimana perang dan kolonialisme berdampak langsung pada keberlanjutan lingkungan. Pendekatan yang memisahkan isu keadilan manusia dan lingkungan adalah langkah yang kurang efektif, karena keduanya memiliki akar penyebab yang sama dalam ketidakadilan sistemik. Dengan menggabungkan gerakan keadilan sosial dan keadilan lingkungan, justru solidaritas global dapat diperkuat, baik dalam melawan penjajahan maupun dalam gerakan advokasi lingkungan.


Alvin Nur Romadon adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.