Ilustrasi: Ilustruth
ARTIKEL Iqra Anugrah yang berjudul “Konservatif Dadakan? Teknokrat Ekonomi dan Modernisasi di Indonesia Masa Orde Baru”, yang secara umum membahas peran teknokrat di masa rezim Orde Baru (Orba), menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Namun saya tidak akan membahas soal watak dan peran teknokrat itu sendiri, melainkan tergelitik untuk menanggapi satu kalimat pendek tapi sangat penting dari artikel tersebut, yakni terkait dengan posisi Sukarno di masa Demokrasi Terpimpin. Iqra menulis: “Demokrasi Terpimpin adalah tipikal pemerintahan bonapartis sayap kiri (garis miring dari saya) yang populer di seluruh Dunia Selatan pascakolonial…”
Iqra tidak memberikan penjelasan lebih jauh tentang apa yang dimaksud pemerintahan bonapartis sayap kiri, padahal klaim itu memiliki dampak analitis dan politik yang signifikan dalam cara kita memandang Sukarno dan Demokrasi Terpimpin serta menempatkan peran dan posisi teknokrat berkaitan dengan sikap dan tindakan politik mereka di masa itu. Perlu disampaikan di sini bahwa Iqra bukan orang pertama yang menyematkan klaim bonapartis kepada Sukarno. Beberapa intelektual dan aktivis marxis dari sayap trotskyisme juga memberikan label serupa.
Apa Itu Bonapartisme?
Bonapartisme adalah istilah yang merujuk pada dua peristiwa: pertama, ketika Napoléon Bonaparte melakukan kudeta pada 1799 (yang kemudian dikenal dengan sebutan Coup of 18 Brumaire) terhadap rezim le Directoire; dan kedua merujuk pada masa kepemimpinan Louis-Napoléon Bonaparte (keponakan Napoleon) yang melakukan kudeta militer terhadap Dewan Legislatif Nasional atau Parlemen Prancis pada 2 Desember 1851. Pasca kudeta, Louis-Napoléon yang sebelumnya adalah presiden terpilih Republik Kedua Prancis mendeklarasikan dirinya sebagai kaisar, pemimpin tertinggi dengan kekuasaan absolut. Walaupun bonapartisme merujuk pada dua peristiwa ini, namun konsep Marx tentang negara bonapartis digunakan untuk menjelaskan peristiwa yang disebut terakhir.
Mayoritas analis dan pengamat politik melihat bahwa bonapartisme muncul karena kelas-kelas sosial yang bertarung ada dalam posisi yang seimbang. Di sini kelas kapitalis tidak bisa lagi menjalankan agenda-agenda ekonomi-politiknya secara mulus agar bisa melakukan akumulasi modal tanpa batas, tapi di sisi lain, kelas pekerja, walaupun aktif melakukan perlawanan masif, tidak mampu merebut kekuasaan politik negara. Keseimbangan ini kemudian melahirkan ketidakstabilan politik berkepanjangan yang pada ujungnya bisa menghancurkan keseluruhan sistem sosial politik. Kehancuran total sangat ditakutkan terjadi sehingga dibutuhkan figur kuat yang bisa menghentikan sementara, bukan mengatasi, pertarungan kelas-kelas tersebut. Dengan kata lain, bonapartisme adalah suatu keadaan ketika negara memiliki “otonomi relatif” dari kelas-kelas sosial yang eksis.
Pemaknaan bonapartisme yang seperti ini perlu dinilai kembali. Dalam kasus Prancis, penting mempertimbangkan pernyataan Engels: untuk bisa mengerti esensi dari bonapartisme, maka kita mesti melihat sejarah pertarungan kelas-kelas itu dalam masa empat tahun terakhir Republik Kedua, yang dimulai pada Februari 1848. Oleh Marx, periode empat tahun itu dibagi ke dalam tiga periode: pertama adalah periode Februari 1848; kemudian periode kedua, dimulai pada Mei 1848 hingga 28 Mei 1849 yang disebut sebagai periode republik konstitusi atau majelis konstituante atau republik borjuis; dan ketiga periode republik konstitusional atau majelis legislatif nasional yang dimulai pada 28 Mei 1849 hingga 2 Desember 1851.
Pada periode Februari, tepatnya pada 24 Februari, terjadi revolusi sosial menggulingkan Raja Louis Philippe yang disokong oleh para bangsawan keuangan (finance aristocracy). Proponen dari revolusi ini adalah sebuah koalisi yang terdiri dari para tuan tanah besar, borjuis republikan, borjuis manufaktur, borjuis kecil republikan-demokratik, petani, dan proletar. Hasil dari revolusi Februari ini adalah pemerintahan sementara yang berisi semua elemen. Karena merupakan pemerintahan sementara, maka semua keputusan politik pun bersifat sementara.
Dalam kondisi itu proletariat kemudian mendeklarasikan berdirinya sebuah republik sosial yang bertujuan mendorong lebih jauh hasil-hasil positif yang sudah dicapai revolusi. Elemen lain dalam koalisi merasa terganggu dan kemudian bermanuver demi menyingkirkan proletariat dan agenda politiknya tersebut. Pertama dengan memindahkan secara mendadak kantor pemerintahan ke Hotel de Ville dan menyusun pemerintahan baru yang impoten; para wakil proletariat disingkirkan dari posisi politik mereka. Kedua dengan pembasmian berdarah terhadap perlawanan massa proletariat pada Juni 1848.
Pada periode kedua yang dimulai pada Mei 1848, praktis kekuasaan sudah di tangan kelas borjuis. Marx menyebutnya sebagai “republik borjuis”, disokong oleh koalisi yang terdiri dari petani, borjuis kecil, borjuis besar, tentara, dan sebagian proletariat yang menentang si tukang jagal jenderal Louis Eugene Cavaignac pada pemberontakan Juni 1848. Praktis, setelah pemberontakan Juni 1848, proletariat dan agenda-agenda politiknya tersingkir dari orbit kekuasaan politik nasional. Parlemen kemudian dikuasai oleh Partai Ketertiban (Party of Order) yang mewakili kepentingan dua faksi borjuasi besar yang saling berkonflik, yakni kelas tuan tanah (faksi Legitimis) yang berkuasa di bawah Restorasi dan faksi aristokrasi keuangan (faksi Orleanis) yang berkuasa di bawah Monarki Juli serta kelas menengah.
Kekacauan dan instabilitas politik serta krisis ekonomi yang muncul di masa republik borjuis inilah yang pada akhirnya mengondisikan kemunculan Louis-Napoléon Bonaparte ke kekuasaan, pertama melalui kemenangan dalam pemilihan umum Desember 1848, dan kemudian melalui kudeta militer pada Desember 1851. Kekuatan-kekuatan politik yang menyokong Napoleon adalah kapital keuangan, faksi Legitimis, borjuis industrial, lumpenproletariat, pegawai negeri, dan tentara.
Dari lawatan sejarah singkat ini, kita bisa menyimpulkan bahwa bonapartisme muncul dalam situasi ketika kekuasaan proletariat dan agenda-agenda politik-ekonominya telah disingkirkan secara sistematis, terencana, dan melalui pembantaian brutal. Walaupun kalangan kiri radikal tetap berusaha membangun kekuatan dengan mengorganisir kelas buruh dan petani, bahkan sempat melakukan aksi protes yang cukup signifikan pada 1849 untuk menentang intervensi imperialis Roma, namun ini dengan segera dipadamkan secara brutal oleh pemerintahan republik borjuis. Karena itu, kata Engels, kemunculan kekaisaran Bonaparte adalah hasil dari kemenangan panjang kontra-revolusi yang dipimpin oleh kelas borjuis dan kelas menengah. Dengan naiknya Bonaparte melalui kudeta, tidak ada lagi yang bisa dirampok dari kelas pekerja karena memang sejak Mei 1848 mereka sudah tidak memiliki apa-apa.
Lalu apakah kelas pekerja harus mendukung Bonaparte yang membekukan “demokrasi liberal”? Engels tegas mengatakan bahwa proletariat tidak boleh terlibat dalam gegap gempita paduan suara yang mendukung kudeta Bonaparte dan melihat bahwa kekuasaannya mewakili kepentingan mereka. Bahkan kelas pekerja harus melawan kediktatoran Bonaparte dan bonapartisme ini karena ia pada esensinya adalah rezim yang berfungsi untuk memperbarui dan kemudian memperkuat/mengonsolidasikan kekuasaan kapital atas proletariat.
Dengan demikian, garis politik dari bonapartisme ini adalah kanan-jauh (far-right). Tidak pernah ada bonapartisme sayap kiri. Selain itu, perlu ditekankan bahwa bonapartisme adalah anak kandung dari liberalisme yang diagung-agungkan oleh figur seperti Alexis de Tocqueville. Ia bukan penyimpangan dari liberalisme yang kini populer disebut sebagai pemerintahan yang tidak liberal (illiberal).
Richard Saul mengatakan bahwa bonapartisme adalah kebutuhan strategis untuk melakukan intervensi politik di tengah situasi krisis ganda, yaitu krisis ekonomi dan politik. Krisis ekonomi adalah hancurnya kerangka kerja paling mendasar dari orde pasar kapitalis dalam pengertian investasi produktif dan menguntungkan dari faktor-faktor produksi. Hal ini ditandai dengan penurunan produksi, jatuhnya tingkat keuntungan, dan meningkatnya angka pengangguran sehingga secara internal pasar gagal dalam mereproduksi dirinya sendiri atau kembali ke kondisi keseimbangan/equilibrium. Sementara krisis politik ditandai oleh dua hal: (1) ketidakmampuan sistem perwakilan/parlementer yang ada untuk menghadapi tantangan-tantangan revolusioner (misalnya, bagaimana menghadapi ancaman dari kelas pekerja, karena walaupun kekuatan proletariat telah diberangus sejak 1848, para elite borjuis dan kelas menengah tetap merasa bahwa penghancuran kekuatan kelas pekerja belum sepenuhnya tuntas hingga ke akar-akarnya); dan (2) ketidakmampuan perwakilan-perwakilan politik kelas berkuasa ini untuk membangun aliansi kelas sebagai basis baru bagi hegemoni politik kapital.
Dari sini, masih menurut Saul, konsep bonapartisme menyediakan kepada kita sebuah penjelasan tentang reproduksi tatanan sosio-ekonomi kapitalis di tengah absennya kekuasaan politik dari perwakilan kelas kapitalis dan bangkrutnya legitimasi kelembagaan politik dan proses-proses demokrasi borjuis untuk mengamankan dukungan atau legitimasi populer dari rakyat untuk berkuasa. Di situasi ini, guna memulihkan dan mengatur kembali orde sosial kapitalis, maka norma-norma, institusi-institusi, dan hubungan-hubungan politik perwakilan liberal dibekukan dan hubungan-hubungan politik baru (negara dan institusi-institusi politiknya) kemudian direorganisasi melalui dan di sekitar figur pemimpin karismatik yang merupakan perwujudan dari aspirasi dan kehendak massa. Sang pemimpin karismatik ini menjadi perantara dari karakter republik demokratik dan “pemenuhan” keinginan massa melalui organisasi massa yang terasosiasi dengan sang pemimpin serta daya tarik personalnya dan kemampuan berkomunikasinya dengan massa. Bonapartisme juga menggunakan jurus pedang untuk menghancurkan organisasi-organisasi sosial dan politik yang menentang dominasi dan otoritasnya.
Sukarno Seorang Populis Kiri
Secara historis, sudah jelas bahwa Demokrasi Terpimpin Sukarno lahir dari kekacauan dan ketidakstabilan politik di masa sebelumnya, rezim demokrasi liberal. Dalam disertasi yang kemudian dibukukan, Adnan Buyung Nasution mengatakan bahwa terdapat empat kondisi yang saling berkaitan dalam menentukan nasib Dewan Konstituante. Pertama, kemerosotan ekonomi yang pesat; kedua, perpecahan bangsa yang semakin meruncing; ketiga, bangkitnya Angkatan Darat (AD) sebagai kekuatan utama dalam negara; dan keempat, timbulnya gagasan Demokrasi Terpimpin sebagai rumusan politik yang mengganti cita-cita negara konstitusional. Demokrasi Terpimpin diajukan sebagai resep untuk mengatasi krisis yang terjadi dengan cara membentuk pemerintahan yang kuat dan memulihkan ketertiban negara.
Sukarno, sebagai seorang presiden simbolis yang tidak memiliki kekuatan politik nyata, memang semakin gerah melihat pertikaian dan kekacauan politik itu. Semenjak 1956 ia sudah mengemukakan gagasan untuk “mengubur partai-partai politik yang ada dan berkeinginan membentuk sebuah parpol yang sama sekali baru.” Tetapi, hingga saat itu, tidak ada niat darinya untuk kembali ke Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan membubarkan Dewan Konstituante.
Ide dan tindakan politik nyata untuk kembali ke UUD 1945 dan pembubaran Dewan Konstituante muncul dari kekuatan politik lain yang sangat kuat, yakni AD yang dipimpin oleh Jenderal Abdul Haris Nasution, terutama setelah diberlakukannya Undang-Undang (UU) Nomor 79 Tahun 1957 tentang Pengesahan Pernyataan Keadaan Perang melalui keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 225 Tahun 1957 Tanggal 17 Desember 1957. Nasution adalah perwira yang sejak republik berdiri sudah menentang supremasi sipil dan merupakan aktor utama di balik gagasan dwifungsi yang melegitimasi keterlibatan tentara dalam jabatan-jabatan politik kenegaraan. Dengan disahkannya UU keadaan perang (Staat van Oorlog en Beleg/SOB), menurut Herbert Feith, untuk pertama kalinya kekuasaan sipil tentara dilegitimasi oleh undang-undang. Kekuasaan mereka tidak lagi bergantung pada presiden. Malah sebaliknya, hampir semua jabatan sipil, dari tingkat gubernur hingga bupati, dikendalikan atau sekurang-kurangnya dikontrol oleh AD.
Kekuasaan AD semakin bertambah ketika pada 13 Desember, berbekal UU SOB, tentara mengambil alih seluruh manajemen perusahaan yang telah direbut oleh serikat buruh. Masuknya tentara ke sektor bisnis membuat kedudukan mereka sebagai institusi semakin independen dari pemerintah. Dalam kata-kata Daniel S. Lev, “Kalau Undang-Undang Keadaan Perang tahun 1957 menjadi semacam konstitusi politik buat tentara, maka nasionalisasi perusahaan Belanda pada tahun 1958 itu memberi landasan ekonomi bagi tentara. Sepertinya, tentara jadi punya anggaran belanja sendiri, punya sumber uangnya sendiri.”
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Berbekal kekuatan politik dan ekonomi, AD segera melakukan manuver-manuver untuk membonsai partai dan membubarkan demokrasi liberal. Mereka mengusulkan kembali ke UUD 1945 dan melarang aktivitas politik di seluruh negeri serta mobilisasi massa jalanan secara bergelombang. Ini menciptakan situasi “demam dekrit”, yaitu, seperti dikatakan Ulf Sundhaussen, ketika setiap orang menghendaki agar Sukarno membuat keputusan terakhir. Sukarno sebenarnya ragu dengan usulan untuk kembali ke UUD 1945, apalagi untuk membubarkan Dewan Konstituante. Bahkan, hingga 29 Juni 1959, setelah melawat ke luar negeri, di Bandara Kemayoran, ia masih mengatakan “tidak akan tunduk pada tentara.” Namun kampanye “demam dekrit” terbukti efektif. Dan keputusan terakhir itu adalah pembubaran Dewan Konstituante, yang artinya pembekuan demokrasi liberal dan menggantinya dengan Demokrasi Terpimpin. Sukarno resmi menjadi penguasa tertinggi.
Sukarno memang memenuhi gambaran seorang pemimpin karismatik, dengan kemampuan komunikasi massa yang tiada banding di masanya. Sukarno menjadikan dirinya sendiri sebagai pusat dan kompas politik, pemimpin besar revolusi, panglima tertinggi angkatan bersenjata, penyambung lidah rakyat, dan sekaligus bapak bangsa. Tetapi, berbeda dengan Napoleon III, Sukarno tidak pernah benar-benar memiliki kontrol dan kekuasaan yang nyata atas angkatan bersenjata, khususnya AD. Ia juga tidak memiliki atau memimpin partai yang bisa digunakan setiap saat untuk membela dan mewujudkan ambisi-ambisi politiknya. Itu juga sebabnya mengapa ia tidak bisa mencegah ketika tentara membungkam aktivitas Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)/Partai Komunis Indonesia (PKI) di masa Demokrasi Terpimpin.
Dengan fakta sejarah ini, tidak mencukupi untuk mengklaim bahwa Demokrasi Terpimpin merupakan rezim bonapartis sayap kiri dan Sukarno adalah seorang bonapartis. Apakah Sukarno secara sistematis dan terencana sedang berusaha memulihkan dan kemudian mengelola tatanan sosial-politik kapitalis yang telah bangkrut warisan demokrasi liberal? Apakah Sukarno secara sistematis dan brutal menghancurkan kekuasaan politik dan ideologi proletariat? Apakah ia melarang hak berkumpul, hak berserikat, dan melakukan demonstrasi dari proletar? Apakah ia membungkam pers proletar? Apakah ia menyingkirkan perwakilan proletar dari posisi-posisi politik kenegaraan? Jawabannya adalah tidak dan karena itu secara politik tidak ada alasan mencukupi buat proletar untuk melawan atau menolak bekerja sama dengan Sukarno.
Sebaliknya, apa yang dilakukan oleh Sukarno dengan Demokrasi Terpimpin, meminjam uraian James Petras, adalah menjalankan strategi pembangunan: rezim nasional beraliansi dengan rakyat pekerja, memperluas area-area kontrol nasional (melalui nasionalisasi), menginvestasikan kembali surplus ekonomi nasional, atau mempromosikan redistribusi pendapatan dalam lingkup struktur kelas nasional. Agar strategi ini berjalan, maka ia harus membangun aliansi national-popular, yakni aliansi kelas dari “bawah dan dari dalam/from below and inside”. Melalui strategi pembangunan dan model aliansi ini, maka Sukarno memosisikan dirinya sebagai musuh dari kelas borjuasi (asing dan domestik) dan kelas menengah yang mendapati bahwa kebebasan sipilnya di-plekotho.
Sukarno dan Demokrasi Terpimpinnya lebih tepat disebut sebagai rezim populis kiri.
Daftar Pustaka
Coen Husain Pontoh, Menentang Mitos Tentara Rakyat, Resist Book, 2005.
James Petras, Class, State and Power in Third World with Case Studies on Class Conflict in Latin America, Allanheld, Osmun & Publishers, Inc., 1981
Karl Marx, The 18th Brumaire of Louis Bonaparte, CreateSpace Independent Publishing Platform, 2012.
Mark Cowling and James Martin (Ed.), Marx’s Eighteenth Brumaire (Post)modern Interpretations, Pluto Press, 2002.
Richard Saul, Capital, Race and Space the Far Right From Bonapartism to Fascism (1), Brill, 2023.
Spencer A. Leonard (Ed.), Marx and Engels on Bonapartism Selected Journalism, 1851-1859, Lexington Books, 2023.
Coen Husain Pontoh adalah editor dan penerjemah di IndoProgress.