Agama dalam Lensa Marxisme: Dari Opium Rakyat hingga Arena Perlawanan

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi:illustruth


DALAM tradisi marxis, agama tidak dilihat sebagai fenomena yang berdiri sendiri dan terlepas dari konteks sejarah yang membentuknya. Sebaliknya, agama dipahami sebagai produk dari kondisi material dan sosial yang konkret, yang tercermin dalam hubungan produksi dan struktur kelas di masyarakat. Marx melihat agama sebagai bagian dari superstruktur, yaitu elemen ideologis yang muncul sebagai konsekuensi dari kondisi ekonomi dan relasi kekuasaan yang mendasarinya. Dalam hal ini, agama diproduksi dan direproduksi sebagai respons terhadap penderitaan manusia yang hidup dalam masyarakat kelas, terutama di bawah sistem kapitalis yang menciptakan keterasingan (alienasi) dan penindasan.

Dalam Critique of Hegel’s Philosophy of Right (1844), Marx menyebut agama sebagai “opium rakyat” (das opium des volkes). Penggunaan istilah “opium”sering kali disalahartikan sebagai penghinaan terhadap agama atau sebagai cemoohan terhadap kepercayaan spiritual. Namun, pemahaman yang lebih mendalam menunjukkan bahwa Marx sebenarnya menggambarkan fungsi sosial agama sebagai pelarian dari penderitaan yang ditimbulkan oleh ketidakadilan ekonomi dan politik. Seperti opium, agama memberikan “penghiburan” atau “anestesi” bagi rakyat yang menderita, menawarkan kebahagiaan ilusi di masa depan—yaitu kehidupan setelah mati—sementara penderitaan nyata mereka di dunia ini diabaikan.

Marx mengakui bahwa agama muncul dari penderitaan yang nyata dan mencoba untuk memberikan makna bagi penderitaan tersebut, tetapi pada akhirnya, ia hanya menawarkan solusi sementara yang bersifat ilusif dan mengalihkan perhatian rakyat dari penyebab sejati penderitaan mereka, yakni ketidakadilan struktural dalam masyarakat kapitalis. Dengan kata lain, agama berfungsi sebagai pelarian, tetapi pelarian ini bersifat pasif, bukan revolusioner.

Alih-alih mendorong kelas pekerja untuk menyadari kondisi material mereka dan melawan eksploitasi, agama cenderung meredam rasa frustrasi dan ketidakpuasan dengan menjanjikan pembalasan yang akan datang di luar dunia material. Ini berarti agama, dalam pandangan Marx, berperan sebagai instrumen ideologis yang membantu melanggengkan tatanan kapitalis. Melalui agama, eksploitasi dan ketidakadilan dalam kehidupan sehari-hari tidak hanya diabaikan, tetapi juga sering kali dilegitimasi sebagai “kehendak ilahi” yang tidak dapat diubah oleh tindakan manusia.

Dalam analisis ini, Marx tidak hanya memosisikan agama sebagai sebuah kepercayaan, tetapi sebagai sistem ideologi yang terkait erat dengan kekuasaan kelas penguasa. Marx dalam Economic and Philosophic Manuscripts of 1844 menyatakan bahwa agama adalah cerminan dari keterasingan manusia, yaitu keterasingan manusia dari hasil kerjanya, dari proses produksi, dari sesama manusia, dan dari potensi kemanusiaan mereka sendiri. Keterasingan ini menciptakan kondisi di mana agama menjadi “pelarian” yang tampaknya memberikan jawaban atas penderitaan, tetapi justru mengalihkan perhatian dari penyebab material penderitaan tersebut. Oleh karena itu, Marx menyimpulkan bahwa untuk benar-benar mengatasi agama, kita harus mengatasi keterasingan material yang melahirkan agama itu sendiri.

Dalam pandangan Marx dan Engels, agama tidak hanya merupakan bagian dari superstruktur ideologis, tetapi juga alat kekuasaan yang sangat efektif untuk mempertahankan relasi ekonomi yang eksploitatif. Agama, menurut mereka, bukanlah fenomena netral yang berkembang tanpa pengaruh dari kekuasaan politik dan ekonomi. Sebaliknya, agama justru sangat dipengaruhi oleh kepentingan kelas penguasa, yang memanfaatkannya untuk menjaga tatanan sosial yang tidak setara. Dalam sistem masyarakat berbasis kelas, agama berperan dalam memperkuat dan melegitimasi ketimpangan kekuasaan yang ada.

Dasar pemikiran ini dapat ditemukan dalam analisis Marx tentang hubungan antara basis dan superstruktur. Basis, atau struktur ekonomi, mengondisikan superstruktur yang mencakup ideologi, budaya, dan institusi sosial seperti agama. Dalam sistem kapitalis, relasi produksi yang eksploitatif membutuhkan pembenaran ideologis agar dapat bertahan. Agama menjadi salah satu alat ideologis yang dipakai untuk melegitimasi relasi produksi ini, menciptakan kesadaran palsu (false consciousness) di kalangan kelas pekerja, sehingga mereka menerima ketidakadilan sebagai sesuatu yang alami atau tidak dapat dihindari.

Dalam The Peasant War in Germany (1850), Engels mengilustrasikan bagaimana agama sering kali digunakan oleh kelas penguasa untuk memperkuat struktur kekuasaan. Dalam konteks perang petani di Jerman pada abad ke-16, para penguasa feodal memanfaatkan agama untuk menundukkan rakyat yang memberontak. Ajaran agama dipakai untuk membenarkan status quo dan untuk mengontrol rakyat dengan janji-janji penghiburan spiritual, sembari pada saat yang sama mengesahkan tatanan kekuasaan yang menindas.

Engels menekankan bahwa agama sering kali dijadikan alat untuk menghambat perubahan sosial dengan cara mengarahkan perhatian rakyat kepada kehidupan setelah mati, ketimbang kepada perjuangan untuk mengubah kondisi material mereka di dunia ini. Selain itu, dalam masyarakat feodal, agama berfungsi sebagai legitimasi kekuasaan politik melalui konsep divine right of kings, atau hak ilahi raja. Para penguasa sering kali mengklaim bahwa kekuasaan mereka berasal langsung dari kehendak Tuhan, yang menjadikan segala bentuk perlawanan sebagai dosa. Dengan cara ini, agama berfungsi untuk menundukkan rakyat dan memastikan mereka tidak melawan sistem kekuasaan yang menindas.

Di bawah kapitalisme, fungsi agama sebagai instrumen ideologis mengalami perubahan, tetapi esensinya tetap sama—yakni menjaga relasi produksi eksploitatif dan melanggengkan kekuasaan kelas penguasa. Marx menyatakan bahwa agama, di dalam masyarakat kapitalis, memainkan peran penting dalam meredakan ketegangan sosial yang disebabkan oleh eksploitasi kelas pekerja. Alih-alih mendorong perlawanan terhadap ketidakadilan ekonomi, agama mengalihkan perhatian kelas pekerja dari perjuangan kelas dengan janji-janji kebahagiaan di masa depan atau kehidupan setelah mati. Ini menciptakan semacam pelarian yang melayani kepentingan kapitalisme dengan mengurangi kemungkinan pemberontakan terhadap sistem yang eksploitatif.

Analisis Max Weber dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1905) juga menawarkan wawasan penting tentang bagaimana Protestan, khususnya ajaran calvinis, berkontribusi pada munculnya kapitalisme di Eropa Barat. Weber menunjukkan bahwa ajaran calvinis tentang kerja keras, kesederhanaan, dan akumulasi kekayaan sebagai tanda pilihan ilahi secara tidak langsung mendukung logika kapitalisme. Dalam ajaran ini, kesuksesan materi dianggap sebagai tanda rahmat Tuhan, sedangkan kemiskinan dilihat sebagai tanda kegagalan individu, bukan hasil dari sistem sosial yang tidak adil. Meskipun Weber tidak berasal dari tradisi marxis, pandangannya memberikan bukti tambahan bahwa agama dapat beradaptasi dengan kebutuhan ideologis sistem ekonomi yang dominan.

Dalam masyarakat kapitalis modern, agama sering kali menyerap nilai-nilai kapitalisme secara lebih eksplisit. Sebagai contoh, gereja-gereja besar atau megachurches di Amerika Serikat telah mengadopsi model bisnis yang sangat kapitalistik, menggunakan strategi pemasaran dan manajemen bisnis untuk menarik lebih banyak jemaat. Selain itu, doktrin seperti teologi kemakmuran (prosperity theology) secara langsung mencerminkan nilai-nilai kapitalisme dengan mengajarkan bahwa kekayaan materi adalah tanda berkat Tuhan, dan kemiskinan adalah hasil dari kegagalan moral atau spiritual individu.

Dengan cara-cara di atas, agama tidak hanya mendukung kapitalisme, tetapi juga menginternalisasi nilai-nilai kapitalis ke dalam praktik-praktik keagamaan itu sendiri.


Hubungan Masyarakat dan Agama

Dalam kerangka materialisme historis, agama dipandang sebagai cerminan dari kondisi material masyarakat pada suatu periode sejarah tertentu. Pemahaman ini berasal dari prinsip dasar bahwa kesadaran manusia, termasuk kesadaran agama, tidak muncul secara terpisah dari dunia materi, tetapi justru dibentuk oleh kondisi sosial dan ekonomi yang ada pada saat itu. Marx dan Engels dalam The German Ideology (1846) menggarisbawahi bahwa kesadaran manusia adalah produk dari realitas materialnya. Dengan kata lain, perubahan dalam basis ekonomi masyarakat akan menghasilkan perubahan dalam bentuk kesadaran, termasuk dalam hal agama.

Agama bukanlah fenomena yang berkembang karena dorongan spiritual semata, melainkan sebagai refleksi dari hubungan sosial dan kekuatan material yang dominan. Pada masa feodalisme, agama memainkan peran sentral dalam melegitimasi kekuasaan politik dan mempertahankan hierarki sosial yang ada. Gereja, sebagai institusi yang memiliki kekuatan besar, menjadi bagian integral dari struktur kekuasaan feodal. Para penguasa, seperti raja dan bangsawan, sering kali mengklaim bahwa otoritas mereka berasal dari Tuhan, sebuah konsep yang dikenal sebagai divine right of kings (hak ilahi raja). Justifikasi ilahi ini memberi pengesahan moral terhadap ketidaksetaraan sosial yang ada, menundukkan rakyat kepada kekuasaan dengan keyakinan bahwa struktur sosial yang mereka alami adalah kehendak Tuhan.

Marx dan Engels dalam The Communist Manifesto (1848) menyoroti bagaimana kekuatan ideologis agama dalam masyarakat feodal bekerja untuk menjaga dan memperkuat tatanan sosial yang eksploitatif. Gereja, yang secara erat terikat dengan aristokrasi, membantu melanggengkan penindasan terhadap kelas bawah dengan mengarahkan kesadaran rakyat kepada janji-janji keselamatan di akhirat, sehingga mengalihkan perhatian dari perjuangan untuk perubahan sosial di dunia ini.

Peran agama dalam masyarakat tidak tetap atau statis, tetapi berubah seiring dengan perubahan struktur ekonomi. Ketika feodalisme runtuh dan kapitalisme mulai mendominasi, agama juga mengalami transformasi yang mencerminkan logika baru sistem kapitalis. Di bawah kapitalisme, relasi sosial masyarakat mengalami atomisasi, di mana individu-individu menjadi terpisah dan bersaing satu sama lain. Proses ini, yang disebut oleh Marx sebagai keterasingan, tidak hanya terjadi dalam hubungan antara pekerja dengan hasil kerjanya, tetapi juga dalam hubungan sosial secara umum, termasuk agama. Agama yang sebelumnya kolektif dan komunitarian, kini menjadi lebih bersifat individualistis, mencerminkan kondisi sosial di mana individu dipisahkan oleh kekuatan pasar yang mendominasi kehidupan mereka.

Dalam masyarakat kapitalis, agama tidak lagi hanya melayani tujuan politik, tetapi juga berfungsi sebagai instrumen ekonomi. Agama mulai beroperasi dalam logika pasar, di mana spiritualitas sering kali diperdagangkan sebagai komoditas. Fenomena ini dapat dilihat dalam perkembangan gereja-gereja besar atau megachurches di negara-negara kapitalis, terutama di Amerika Serikat. Megachurches sering kali menggunakan strategi pemasaran yang mirip dengan perusahaan bisnis, menawarkan pengalaman spiritual sebagai produk yang dapat “dikonsumsi” oleh jemaat. Bentuk agama seperti ini menekankan individualisme spiritual, yang terpisah dari konteks sosial-ekonomi yang lebih luas. Pengalaman spiritual menjadi privat dan komodifikasi, selaras dengan atomisasi yang terjadi di bawah kapitalisme.

Pemikir marxis modern seperti Slavoj Žižek dalam The Puppet and the Dwarf (2003), memperluas kritik ini dengan menunjukkan bahwa agama di bawah kapitalisme sering kali diubah menjadi barang dagangan, di mana pengalaman spiritual dipasarkan dan dikonsumsi secara massal. Žižek mengamati bahwa agama dalam konteks kapitalis tidak lagi berfungsi sebagai instrumen kolektif yang menghubungkan individu dengan komunitas yang lebih besar atau sebagai alat kritik terhadap penindasan. Sebaliknya, agama menjadi alat bagi individu untuk menemukan “penghiburan pribadi” di tengah kekacauan kapitalisme global. Dalam hal ini, agama digunakan sebagai pelarian dari realitas material yang keras, di mana kelas pekerja yang tertindas tidak lagi diarahkan untuk melawan sistem yang menindas mereka, tetapi diajak untuk menemukan kedamaian melalui konsumsi spiritual.

Di bawah kapitalisme, agama juga mengalami proses sekularisasi tertentu, di mana peran institusi agama dalam urusan politik dan sosial menjadi lebih terbatas dibandingkan dengan masa feodalisme. Namun, meskipun agama tidak lagi memainkan peran langsung dalam mendukung kekuasaan politik, ia tetap menjadi instrumen ideologis yang penting dalam melanggengkan sistem ekonomi kapitalis. Dengan menekankan individualisme dan tanggung jawab pribadi atas kesuksesan dan kebahagiaan, agama kapitalis sering kali mengabaikan realitas struktural yang menyebabkan ketidaksetaraan sosial. Dalam bentuk-bentuk agama seperti teologi kemakmuran, misalnya, kekayaan dianggap sebagai bukti berkah Tuhan, sementara kemiskinan dilihat sebagai hasil dari kurangnya iman atau usaha. Dengan cara ini, agama tidak hanya melegitimasi kapitalisme, tetapi juga menginternalisasi nilai-nilai kapitalis ke dalam ajaran spiritualnya.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Kritik Agama di Bawah Kapitalisme

Kritik marxis terhadap agama di bawah kapitalisme tetap relevan dan bahkan semakin kuat seiring dengan intensifikasi ketimpangan sosial yang dihasilkan oleh sistem kapitalis global. Kapitalisme, dalam analisis marxis, menciptakan kondisi material yang membuat agama tidak hanya menjadi penghibur bagi penderitaan manusia, tetapi juga berfungsi sebagai alat yang merasionalisasi dan membenarkan ketidakadilan sosial. Marx dalam The German Ideology menekankan bahwa agama merupakan bentuk dari kesadaran palsu—kesadaran yang terdistorsi oleh struktur sosial yang menindas.

Alih-alih mendorong manusia untuk menghadapi realitas material yang menindas mereka, agama menawarkan pelarian dalam bentuk janji kehidupan setelah mati, yang mengaburkan potensi untuk perubahan revolusioner di dunia nyata. Dalam hal ini, agama di bawah kapitalisme berfungsi sebagai cermin dari dunia yang terbalik, di mana realitas sosial yang keras ditransformasikan menjadi ilusi spiritual. seperti yang dipaparkan oleh Marx, dalam kondisi begini, agama sering kali berfungsi sebagai alat ideologis untuk melanggengkan tatanan kelas yang ada. Kapitalisme membutuhkan narasi yang dapat membenarkan eksploitasi dan ketimpangan ekonomi, dan agama sering kali memainkan peran kunci dalam narasi ini. Melalui doktrin-doktrin yang menekankan kesabaran, kepasrahan, dan penerimaan terhadap penderitaan di dunia ini, agama membantu mengalihkan perhatian kelas pekerja dari eksploitasi yang mereka alami.

Dengan menjanjikan kebahagiaan dan keselamatan di kehidupan setelah mati, agama menghalangi perkembangan kesadaran kelas yang revolusioner. Bagi Marx, hal ini merupakan salah satu aspek paling berbahaya dari agama di bawah kapitalisme—kemampuannya untuk mengalihkan energi revolusioner yang seharusnya diarahkan pada perubahan struktural.

Namun, kritik Marx tidak boleh dipahami secara simplistis sebagai penolakan total terhadap semua bentuk agama. Antonio Gramsci, seorang marxis terkemuka, memperluas kritik terhadap agama dengan pendekatan yang lebih nuansa dalam Prison Notebooks (1929). Gramsci berpendapat bahwa meskipun agama sering kali berfungsi untuk mendukung hegemoni kapitalis, ia juga dapat menjadi arena perjuangan ideologis.

Bagi Gramsci, superstruktur ideologis, termasuk agama, tidak sepenuhnya ditentukan oleh basis ekonomi, tetapi ada ruang bagi resistensi dan perlawanan di dalamnya. Kelas bawah, yang terdominasi, dapat menggunakan agama sebagai alat untuk melawan ideologi kapitalis yang menindas. Dalam analisis Gramsci, agama tidak bersifat monolitik. Di satu sisi ia mungkin menjadi alat yang digunakan oleh kelas penguasa untuk mempertahankan hegemoni mereka, namun di sisi lain agama juga dapat diartikulasikan oleh kelas tertindas sebagai sarana resistensi terhadap penindasan tersebut.

Gerakan Teologi Pembebasan di Amerika Latin pada tahun 1960-an adalah contoh konkret dari potensi agama sebagai alat perjuangan melawan kapitalisme dan imperialisme. Teologi pembebasan menekankan pentingnya keadilan sosial dan penentangan terhadap eksploitasi ekonomi, dengan menggunakan ajaran-ajaran Kristen sebagai dasar untuk mengorganisir massa dan menuntut perubahan sosial radikal. Dalam konteks ini, agama tidak lagi berfungsi sebagai alat untuk mengalihkan perhatian dari realitas sosial, melainkan sebagai katalisator bagi kesadaran kelas dan perjuangan kolektif melawan penindasan kapitalis.

Teologi Pembebasan menunjukkan bahwa agama dapat digunakan sebagai sumber inspirasi revolusioner ketika ia berpihak pada kelas tertindas dan menentang ketidakadilan struktural. Sebagai contoh, pemikir seperti Gustavo Gutiérrez, seorang teolog pembebasan terkemuka, menggabungkan ajaran agama dengan analisis marxis untuk memperjuangkan hak-hak kaum miskin dan tertindas. Dalam pandangan Gutiérrez, agama tidak boleh dipisahkan dari konteks sosial-ekonomi di mana ia berkembang, dan gereja harus berdiri di pihak kaum tertindas dalam perjuangan mereka melawan eksploitasi. Ini menandai pergeseran radikal dari cara tradisional di mana agama sering kali digunakan untuk mendukung kelas kapitalis. 

Namun, gerakan seperti Teologi Pembebasan tetap menjadi pengecualian, bukan norma. Di banyak bagian dunia, agama tetap berfungsi sebagai instrumen yang mendukung tatanan kapitalis. Institusi-institusi keagamaan yang kuat sering kali memiliki hubungan erat dengan elite politik dan ekonomi, dan mereka menggunakan pengaruh spiritual mereka untuk menjaga stabilitas sosial yang menguntungkan kelas penguasa. Bahkan di negara-negara di mana kapitalisme telah membawa penderitaan ekonomi yang besar bagi sebagian besar penduduknya, agama sering kali mengajarkan rakyat untuk bersabar dan menerima nasib mereka, dengan janji bahwa segala penderitaan di dunia ini akan terbayar di akhirat. Hal ini memperkuat kesadaran palsu yang membuat kelas pekerja sulit untuk memahami akar material dari penindasan yang mereka alami.

Dalam sistem kapitalis global saat ini, agama juga sering kali terintegrasi ke dalam mekanisme pasar. Seperti yang disebutkan oleh pemikir seperti Žižek, agama tidak hanya berfungsi sebagai ideologi yang mendukung kapitalisme, tetapi juga menjadi bagian dari komodifikasi di bawah kapitalisme. Di banyak negara, agama telah menjadi industri, dengan pengalaman spiritual yang dipasarkan kepada konsumen dalam bentuk buku, seminar, produk, dan bahkan layanan konsultasi rohani. Fenomena ini dapat dilihat dalam megachurches dan gerakan-gerakan agama yang sangat terkait dengan kapitalisme, di mana kekayaan dipandang sebagai tanda kesalehan dan kesuksesan spiritual. Dengan cara ini, agama bukan hanya melayani kepentingan kelas penguasa secara ideologis, tetapi juga menjadi bagian dari ekonomi kapitalis itu sendiri, di mana pengalaman keagamaan diperdagangkan sebagai komoditas.

Secara keseluruhan, kritik marxis terhadap agama di bawah kapitalisme menyoroti bagaimana agama sering kali berfungsi untuk melanggengkan tatanan sosial yang eksploitatif. Namun, kritik ini juga menunjukkan bahwa agama memiliki potensi untuk menjadi alat resistensi ketika diartikulasikan oleh kelas tertindas. Dengan memahami bagaimana agama dapat berfungsi dalam konteks ideologi kapitalis, kaum marxis dapat lebih efektif dalam mengembangkan strategi untuk melawan eksploitasi dan ketidakadilan yang diperkuat oleh agama. Bagi Marx dan pemikir marxis lainnya, transformasi sosial yang sejati hanya bisa terjadi ketika masyarakat memahami bahwa penderitaan mereka bukanlah akibat dari kehendak ilahi, tetapi dari struktur material kapitalisme yang menindas. Agama, dalam konteks ini, hanya dapat dibebaskan ketika masyarakat itu sendiri dibebaskan dari keterasingan dan eksploitasi kapitalis.


Simpulan

Kritik Marxis terhadap agama merupakan komponen penting dalam analisis yang lebih luas mengenai kapitalisme dan keterasingan. Dalam pandangan Marx, agama muncul sebagai respons terhadap dunia yang penuh dengan penderitaan dan ketidakadilan, berfungsi sebagai pelarian bagi individu yang teralienasi. Namun, di bawah kapitalisme, agama tidak hanya menjadi sumber ilusi, tetapi juga alat yang memperkuat sistem sosial yang menimbulkan penderitaan tersebut. Meskipun agama dapat melanggengkan eksploitasi, ia juga memiliki potensi untuk menjadi arena perlawanan ketika diartikulasikan oleh kelas tertindas.

Marx menegaskan bahwa untuk mengatasi ilusi yang dihasilkan oleh agama, kita perlu mengubah kondisi material yang melahirkannya. Dengan kata lain, perubahan sosial yang mendasar—membangun masyarakat yang lebih adil dan bebas dari eksploitasi—merupakan langkah kunci dalam membebaskan individu dari belenggu ideologis yang ditawarkan oleh agama. Oleh karena itu, kritik terhadap agama dalam kerangka Marxis tidak dimaksudkan untuk menghina kepercayaan individu, melainkan untuk mengajak kita mempertanyakan dan mengubah struktur sosial yang menciptakan ketidakadilan. Hanya dengan mengatasi akar penyebab penderitaan sosial, kita dapat membebaskan diri dari ilusi yang menyesatkan dan mengarah pada transformasi sosial yang sejati.


Rakyat Husein adalah aktivis sosial.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.