Ilustrasi: PMD Buleleng
UNDANG-UNDANG Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, atau disebut UU Desa, resmi direvisi pasca rapat paripurna DPR beberapa bulan lalu. Selain memperpanjang masa jabatan kepala desa, RUU ini juga menambah besaran Alokasi Dana Desa (ADD) sebanyak 20 persen dari dana perimbangan. Sebelumnya, alokasi dana perimbangan untuk ADD dibatasi minimal 10 persen.
Alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk Dana Desa terus meningkat dari berjumlah 20 triliun pada 2015, hingga mencapai 70 triliun pada 2023. Dengan begitu, program Dana Desa telah menghabiskan setidaknya 600 triliun selama hampir satu dekade.
Pengucuran dana ini juga pernah disponsori Bank Dunia. Pada 2019, Bank Dunia memberi pinjaman sebesar 300 juta US dollar atau setara dengan Rp4,6 triliun. Bukan sekali saja Bank Dunia ikut mendonor desa di Indonesia. Selama 2007 hingga 2014, Indonesia menerima pinjaman sebesar hampir 21 triliun. Dana ini digunakan untuk menyokong Program Nasional Pengembangan Masyarakat (PNPM) Perdesaan dan PNPM Mandiri (yang terakhir, kini menjadi BUMDes) kepada 60 ribu desa.
Meski belum disebut semua, sedikit uraian di atas setidaknya telah menggambarkan bagaimana kas desa telah dibikin gendut selama ini.
Sementara itu, masalah kemiskinan di pedesaan masih nampak sampai hari ini. Meski Dana Desa diklaim telah berhasil menurunkan jumlah orang miskin di desa—17,3 juta pada 2014 menjadi 11,74 juta di 2023. Angka tersebut mesti dilihat lagi dengan jeli. Pasalnya, penurunan angka kemiskinan yang dilihat dari jumlahnya, tidak serta merta merepresentasikan kondisi kesejahteraan dalam suatu unit populasi.
Meski jumlah orang miskin berkurang, tidak menghapus ketimpangan ekonomi yang tajam antara si kaya dan si miskin. Hal ini bisa dilihat dari perkembangan indeks keparahan kemiskinan yang stagnan sejak 2014. Pada tahun 2014 indeks keparahan kemiskinan di desa sebesar 0,57 persen, kemudian sempat naik menjadi 0,63 di 2018. Pada 2023, kembali turun menjadi 0,51 persen. Sebagai tambahan, indeks keparahan kemiskinan menggambarkan seberapa tajam ketimpangan pada suatu populasi; semakin tinggi nilainya, semakin tajam ketimpangannya.
Klaim keberhasilan Dana Desa juga mesti diuji dengan melihat lanskap demografi di Indonesia. Masifnya urbanisasi sejak satu dekade terakhir menyebabkan jumlah populasi di desa semakin berkurang. Pada tahun 2020, sebanyak 56,7% penduduk Indonesia tinggal di wilayah perkotaan. Angka ini diperkirakan terus bertambah seiring arus migrasi penduduk ke kota-kota besar seperti Jakarta, Bogor, Bekasi, Tangerang, dan Depok (Jabodetabek).
Fenomena itu memperlihatkan klaim keberhasilan Dana Desa anomali. Apakah kemiskinan di desa benar hilang, atau hanya berpindah dan menyamar di kota? Lantas, siapa yang diuntungkan dari limpahan Dana Desa selama ini?
Dana Desa dan Dinamika Kelas
Pertama-tama, biarkan saya menceritakan pengalaman pribadi ketika datang ke sebuah desa di Jawa Tengah. Di desa ini tidak terdapat kepala desa yang korup (setidaknya belum ada indikasi), juga tidak ada penyelewengan Dana Desa. Tahun 2020, desa ini diduduki oleh 2.593 orang. Menurut data kependudukan, sebagian besar warganya merupakan petani.
Alih-alih petani, warga di sana lebih tepat disebut pekerja serabutan. Terkadang mereka bekerja untuk pemilik lahan. Mereka juga biasa mengerjakan proyek renovasi rumah bila ada tetangganya mendapat bantuan dari pemerintah. Sementara yang disebut petani adalah mereka yang menjadi anggota kelompok tani.
Yono adalah salah satunya. Ia memiliki lahan seluas 0,6 hektar. Selain itu, Yono menggarap cuma-cuma 0,8 hektar tanah bengkok yang didapat setelah istrinya menjabat staf desa. Yono bersama 20 anggota lain menguasai 12 hektar lahan yang ada di desa ini. Masing-masing mereka menguasai sekitar 0,5 sampai 2 hektar.
Setiap musim tanam maupun panen, para pemilik lahan mempekerjakan buruh dengan upah Rp35 ribu per 3-4 jam kerja. Jika sedang tak ada modal, Yono dan anggota lain menerapkan bagi hasil pada siapapun yang bisa menggarap lahannya.
Khususnya Yono, pertanian bukan penghasilan utamanya, melainkan dari upah istri dan dirinya yang juga karyawan di sebuah perusahaan. Apalagi tiga tahun belakangan ini, pertanian terbilang sulit. Yono mengaku kerap gagal panen.
Senasib dengan Yono, kondisi serupa juga dialami Muji, pemilik 2 hektar tanah yang kabarnya telah menyekolahkan kedua anaknya sampai magister, bahkan doktor.
Kondisi lebih parah bahkan dialami Mulyadi, penggarap cuma-cuma 0,6 lahan bengkok hasil hibah kepala desa sebelumnya. Ia mengerjakan semuanya sendiri. Tanpa bantuan modal yang cukup, lahannya seringkali dibiarkan menganggur.
Pada tahun 2023, desa ini mendapat jatah Dana Desa sebesar Rp849.005.000 juta. Sesuai dengan Permendesa Nomor 13 Tahun 2023, setiap 20 persen dari Dana Desa mesti dialokasikan untuk program ketahanan pangan, khususnya untuk menyokong para pelaku pangan seperti petani dan peternak.
Keberadaan Dana Desa pun menjadi hujan di tengah kemarau. 111 juta dari Dana Desa dikerahkan untuk membangun irigasi, pengadaan alat (traktor, mesin penggiling, dll.) serta bibit, obat-obatan, dan pupuk. Dana ini dikelola dan didistribusikan kepada tiap anggota kelompok tani.
Bantuan ini menekan beban produksi serta meningkatkan hasil kualitas dan kuantitasnya. Nantinya, tiap anggota mesti menyerahkan 30 persen hasilnya kepada kas kelompok.
Yono melihat prospek dari lahannya yang satu hektar itu untuk menghasilkan panen. Agar terlaksana, ia memborong tetangganya yang ingin bekerja.
Sayang lowongan tidak dibuka banyak. Yono hanya memberi kesempatan untuk 7 orang selama masa tanam, kemudian membuka lagi kuota untuk 3-5 orang dalam masa pemeliharaan, dan 5 orang lagi saat panen. Hal yang sama juga dilakukan Muji tetapi Mulyadi tetap dengan tenaga kerjanya sendiri
Bak ketiban bulan—meski tidak menyebut dengan rinci—Yono mengatakan hasil yang didapat bisa membeli 1 hektar lahan di desanya. Ia juga berencana merambah bisnis lain. Tahun depan ia ingin mulai membuka peternakan.
Mulyadi kini bisa membuka lahan baru khusus produksi buah-buahan yang digarap istrinya. Dirinya juga telah membeli satu unit mobil pick up merk Mitsubishi. Sementara Muji, berencana menambah koleksi mobil yang kini sudah berjajar dua buah di garasi rumahnya.
Ketika para pemilik lahan bermandikan keuntungan, para tetangga yang bekerja untuk mereka hanya bisa menonton. Salah satunya Yanti (bukan nama sebenarnya), yang pernah bekerja di lahan Yono.
Ia hanya dibayar Rp35 ribu per 3 jam, menyemprot dan memberi pupuk. Setelah itu, ia tak dibutuhkan lagi. Terpaksa Yanti mesti terlunta kembali, mengetuk setiap rumah tangga yang butuh tenaga tambahan untuk kerja-kerja domestik.
Yanti tinggal sendiri. Para tetangganya yang senasib sudah pergi mencari peruntungan di kota. Ia terpaksa bertahan di desa sebab anaknya masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Bahkan, sejak 2 bulan terakhir ini, ia mesti menumpang di Posyandu desa. Pasalnya, dirinya sudah tak sanggup membayar sewa rumah yang dulu ditinggalinya.
“(Saya) tidak mau muluk-muluk, semisal punya tanah setengah hektar saja sudah bersyukur,” ucapnya.
Kisah para pemilik lahan dan para tetangganya memberi pemandangan kontras antar penduduk desa. Dana Desa telah mengintervensi, kemudian mengkonfigurasi struktur ekonomi-sosial lokal dengan menciptakan diferensiasi kelas. Bukannya menyejahterakan, Dana Desa justru mempertajam ketimpangan secara nyata antara si kaya dan si miskin.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Fajar Sidik dan Muchtar Habibi (2023) pernah merekam fenomena serupa. Dalam penelitiannya di sebuah desa, di Jawa Tengah bagian selatan, praktik Dana Desa menjelma sebagai “hadiah” bagi kelas penguasa desa. Lewat kebijakan yang diputuskan melalui musyawarah desa, Dana Desa dialokasikan untuk membangun usaha pariwisata berbasis profit yang dikelola oleh BUMDes.
Nantinya, BUMDes akan membuka lahan untuk disewakan kepada pelaku usaha dan pemilik kios. Para penyewa itu adalah pengurus BUMDes itu sendiri, pejabat desa, dan kerabat-kerabatnya. Tetangganya yang lain hanya menjadi pegawai kios ataupun bekerja di areal wisata. Dengan kata lain, mereka tetap menggantungkan hidupnya kepada para penguasa itu.
Penguasa di sini tidak dilihat hanya dari kedudukannya dalam ranah politik, tetapi juga ekonomi, di mana keduanya bersifat korelatif. Dengan kata lain, relasi kekuasaan di desa sangat bergantung pada relasi produksi (ekonomi) dan politik (Habibi, 2021).
Pandangan ini mengasumsikan bahwa struktur kekuasaan kerap dideterminasi oleh penguasaan atas sumber daya ekonomi. Ini merupakan pendekatan khas tradisi Marxian, yakni kekuasaan yang dilihat sebagai cerminan dari relasi produksi yang berlangsung antara kelas pemilik modal (borjuis) dan pekerja (proletar). Dalam konteks ini, kelas yang kontras adalah pemilik lahan dan buruh tani.
Melalui dominasi mereka atas kepemilikan tanah dan produksi pertanian, kelas penguasa mengendalikan politik lokal, serta dengan mudah memanipulasi dan mengendalikan lembaga-lembaga lokal (Sidik & Habibi, 2023).
Dengan begitu, para pemilik modal semakin dimungkinkan untuk mengakumulasi kekayaan dan, pada akhirnya, mempertahankan kekuasaannya. Sebab, kelas pekerja terus dipaksa menyerahkan tenaganya untuk memproduksi surplus bagi pemilik modal. Kondisi seperti ini yang menurut Marx melanggengkan reproduksi kelas.
Perubahan Agraria dalam Arus Kapitalisme
Temuan-temuan itu tentu mematahkan asumsi tentang kehidupan desa yang harmonis, serta memiliki interaksi dan derajat yang egaliter. Pandangan ini tertanam kuat sebab selama ini, dalam masyarakat agraris di mana mereka menjadi sebagian besar pelakunya, petani dianggap sebagai komunitas yang cenderung homogen, memegang teguh nilai solidaritas dan kolektif berbasis kekerabatan, serta berorientasi subsistensi ketimbang profit.
Pandangan itu tak ubahnya sebagai mitos di tengah kemajuan zaman. Dalam perjalanannya, perubahan masyarakat yang didorong oleh kemunculan kapitalisme tidak hanya ditandai dengan bergantinya corak ekonomi agraris ke industri. Sebagai sistem yang mendunia, kapitalisme industri juga turut mengubah corak agraria itu sendiri (Bernstein, 2010: 12-13).
Sejak kemunculannya, kapitalisme telah membawa segala aspek kehidupan terintegrasi ke dalam pasar. Hal ini mensyaratkan perampasan lahan untuk mengeksklusi masyarakat dari alat produksinya (tanah), kemudian menyerahkan tenaga kerjanya kepada pemodal atau pemilik tanah.
Di pertanian sendiri, kolonialisme telah membuka gerbang bagi munculnya kapitalisme agraria. Dengan berlakunya pertanian skala besar yang hanya dikuasai segelintir orang, sektor agraria mulai terindustrialisasi dan mengglobal.
Industri skala besar memungkinkan masifnya pertukaran komoditas di pasar dunia. Namun dengan kepemilikan modal yang terkonsentrasi dan menghasilkan surplus, petani-petani kecil yang tak mampu bersaing di pasar mulai tersingkir. Sebagai tambahan, kita bisa melihat fenomena bangkrutnya petani karena derasnya arus impor komoditas pangan.
Kondisi ini disebut Bernstein (2010) sebagai “komodifikasi subsistensi’. Tidak ada lagi manusia bertani untuk tujuan subsisten. Di bawah kapitalisme agraria, hasil produksi pertanian tak lebih sebagai komoditas yang dipertukarkan di pasar, entah untuk reproduksi sederhana atau mencari surplus guna menumpuk laba.
Petani kecil yang berorientasi subsistensi lantas menjadi produsen komoditas skala kecil, yang di Indonesia kerap disebut petani gurem. Mereka merupakan petani—biasanya memiliki lahan 0,35 sampai 0,6 Ha—yang hasil produksinya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Karena itulah mereka menjadi sangat rentan dibanding pemilik tanah skala besar atau kapitalis (Bernstein, 2010:145).
Di Indonesia sendiri, petani gurem meningkat dari 2003 sebesar 14,25 juta dan 17,24 juta di 2023. Petani seperti Mulyadi adalah salah satunya. Namun dalam temuan ini, penetrasi modal berwujud Dana Desa justru mentransformasi dirinya menjadi petani kapitalis.
Praktik Dana Desa pada akhirnya hanya menyokong dan melanjutkan proyek pemiskinan dan ketimpangan. Syahdan, ketimpangan penguasaan lahan yang masih terjadi dan terus diciptakan, tetap memicu arus migrasi desa-kota.
Hal ini pernah direkam oleh Lea Jellinek (1991) dalam penelitiannya mengenai petani di Kebon Kacang, Jakarta. Semakin jauhnya akses petani atas tanah mendorong mereka bermigrasi ke perkotaan, terutama Jakarta, sejak 1920-an.
Dengan begitu, klaim-klaim atas hilangnya kemiskinan di desa patut dipertanyakan kembali. Jangan-jangan, Dana Desa hanya memindahkan kotoran ke tempat lain.
Ezra Hanif adalah mahasiswa S1 Pendidikan Sosiologi cum anggota LPM Didaktika Universitas Negeri Jakarta