“Melawan Akumulasi Ekstrem Sumber Daya dan Kekuasaan Berarti Bukan Hanya Melawan Korupsi, tetapi Juga Sistem Hukum itu Sendiri”

Print Friendly, PDF & Email

Foto: Gramedia.com


Judul Buku : Memenangkan Konflik Pertanahan: Strategi Pengacara, Permainan Uang, dan Kelemahan Negara Hukum

Penulis : Santy Kouwagam

Penerjemah : Tristam P. Moeliono

Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia, 2023

Dimensi buku : 15 x 23 cm

Ketebalan : xii + 276 hlm.

ISBN : 978-623-134-045-0

Harga Buku : Rp135.000 (Pulau Jawa)


SETELAH membaca judul di atas, mungkin pertanyaan yang muncul di benak pembaca adalah: apakah benar demikian? Mendiang Keebet von Benda-Beckmann (1946-2022) menjawab: ya, begitulah! Jawabannya itu datang dari kekayaan pengalaman, pengamatan, dan partisipasi sebagai antropolog hukum dalam meneliti dari sangat dekat perihal kinerja hukum di bidang pertanahan dan sumber daya alam dalam sejumlah konteks masyarakat lokal Indonesia. Sebenarnya judul di atas pun diambil dari kata-kata von Benda-Beckmann sendiri (Benda-Beckmann, 2002: 56).

Akan tetapi, di mata kaum yang terdidik di sekolah atau fakultas hukum, jawaban tersebut mungkin sangat mengganjal. Di Indonesia, seperti halnya di negara lain, dapat diargumentasikan bahwa mereka adalah para sarjana yang umumnya cenderung ortodoks. Merekalah penjaga muruah sistem hukum nasional dan bahkan, di bawah paradigma Westphalian, secara internal merupakan onderdil mesin (nuts and bolts) negara masing-masing. Dengan kecenderungan itu, mereka akan enggan mengafirmasi insight von Benda-Beckmann dan malah bertanya balik: mengapa harus melawan? 

Sistem hukum itu merupakan sumber dari segala sumber persoalan ketimpangan dan ketidakadilan hari ini. Lalu apa yang menyebabkan para yuris memiliki semacam konservatisme akut? Tulisan ini akan mengupas pertanyaan tersebut dengan mengidentifikasi jejaring patologi sistem hukum (istilah yang saya adaptasi dari Herbert Hart di dalam The Concept of Law) yang terdiri dari kemiskinan kesarjanaan hukum (legal scholarship) dan posisionalitas yuris dalam kuasa informal.

Selain itu, signifikansi dari pertanyaan kaum yuris di atas menunjuk pada presuposisi bahwa sistem hukum yang dimaksud tidaklah mau dilawan atau akan melawan balik. Santy Kouwagam, doktor lulusan Von Vollenhoven Institute di Universitas Leiden, Belanda, menempuh jalur licin, berduri, dan curam untuk mengungkap salah satu dimensi yang paling strategis dan dramatis di dalam upaya perlawanan tersebut, yakni dimensi profesi pengacara dan ketimpangan penguasaan/kepemilikan agraria. Kita diajak untuk sungguh-sungguh memahami ihwal yang paling maknawi dan kultural dari dimensi tersebut, yakni yang berdasarkan sudut pandang pihak-pihak yang terlibat, seperti pengacara, manajer dan direktur korporasi, pemilik modal, dan warga negara biasa. 

Dalam cahaya wawasan yang ditawarkan buku tersebut, tulisan ini akan menunjukkan bahwa sudah tiba saatnya bagi kesarjanaan hukum Indonesia untuk menyadari karakter politiknya di dalam sistem hukum sebagai arena tarung akumulasi kuasa. Itu artinya, saatnya kesarjanaan hukum Indonesia menjadi realis.


Ketidakberdayaan Hukum dan Kemiskinan Kesarjanaan Hukum

Di negeri ini lazim kita dengar ungkapan berikut: “Teori dan praktik hukum itu tidak ada hubungannya”. Maksudnya adalah bahwa apa yang diajarkan di sekolah atau fakultas hukum hanyalah teori, dan kala seseorang sudah lulus menjadi sarjana lalu berpraktik, penerapan hukum tidaklah seperti yang dipelajari melalui teks buku wajib atau perundang-undangan, apalagi yang dikatakan dosen. Sesungguhnya gejala yang menceraikan serta mendikotomikan teori-praktik di dalam berpikir yuridis ini bukan hanya keliru, tapi juga berbahaya di dalam kerangka ilmu hukum. Sebab, apa yang disebut sebagai keterampilan hukum (secara doktrinal atau normatif) justru hakikatnya adalah koherensi antara teori dan praktik.

Dari mana munculnya gejala ini? Apa penyebab skeptisisme di dalam ungkapan di atas? Bagi para warga biasa, ungkapan itu datang dari intuisi atau persepsi tentang bagaimana mereka yang diakui sebagai pengemban hukum praktis (seperti advokat, hakim, jaksa, notaris, termasuk polisi dan birokrat) menjalankan perannya. Rupa-rupa anekdot atau pelesetan terminologi hukum seperti UUD (“ujung-ujungnya duit”), KUHP (“kasih uang habis perkara”), hakim (“hubungan aku jika ingin menang”), atau pengacara (“pengangguran banyak acara”), merupakan ekspresi yang menggambarkan realita efektivitas hukum.

Itu semua itu terangkum pula dalam penilaian awam bahwa segala tindakan yang berurusan dengan hukum (dan pemerintahan) pastilah korup. Maka tidak heran jika sejumlah kritikus berlatar yuris menyatakan hukum Indonesia itu “jongkok”. Ada pula yang mengidentifikasinya sebagai kebrengsekan yang disebabkan oleh pendidikan hukum. Lalu yang lumayan terkini, kita disuguhkan dengan pandangan bahwa terdapat gejala otokrasi yang memanfaatkan hukum secara represif

Tentu di balik macam-macam skeptisisme politis seperti itu terdapat problem maharumit tentang hubungan antara kekuasaan, otoritas, akuntabilitas, dan aneka legitimasinya. Namun, ada dua detail yang luput dari skeptisisme tersebut.

Pertama, mengenai bagaimana pengemban hukum sendiri–dengan latar pendidikan dan profesional hukumnya–berperan dalam menciptakan dikotomi teori-praktik. Kedua, bahwa keberadaan sistem hukum yang perlu dilawan di sini menunjukkan bahwa sebenarnya sistem hukum itu sendiri tidak berdaya, bukan lantaran brengsek, bukan pula karena jongkok atau represif, melainkan karena dibuat untuk menjadi “menyimpang”. Bahasa Inggris punya istilah bagus untuk itu: perverse. Keduanya melahirkan apa yang saya sebut sebagai kemiskinan kesarjanaan hukum.

Di dalam buku Memenangkan Konflik Pertanahan, Kouwagam membeberkan keterkaitan kedua hal tersebut. Artinya, kemiskinan kesarjanaan hukum dapat kita identifikasi dengan menyimak paparannya. Diterjemahkan dari disertasi doktoral, gagasan-gagasan yang ditampilkan buku ini meneruskan tradisi panjang kajian sosio-legal keindonesiaan (pasca)kolonial, khususnya yang mengikuti jejak Cornelis van Vollenhoven (1874-1933). 

Dari kacamata realisme hukum Amerika Serikat, inilah bentuk penelitian law in action yang bukan pertama-tama dan terutama mengidentifikasi solusi normatif-dogmatis secara legal dengan asumsi sistem hukum yang otonom, melainkan berfokus pada usaha memahami dan menjelaskan legal gaps yang terjadi masyarakat akibat sistem hukum yang justru senantiasa diubah menjadi gelanggang tingkah laku bisnis-politik. 

Kajian seperti ini penting bukan karena demi dirinya sendiri, melainkan karena gagasannya bersinggungan dengan masalah-masalah konkret dan grounded tentang hukum. Di dalam arus perkembangan kajian hukum-dan-masyarakat (law-and-society, L&S) Amerika Serikat, kajian kesenjangan telah mendorong kritik legal scholars ke arah pranata-pranata hukum yang formal, juga eksistensi hukum non-negara, termasuk keadilan sosial serta perubahan sosial yang progresif (Blocq & van der Woude, 2018: 136-137 & 139-140). 

Di sini Kouwagam menyediakan papan loncatan untuk kita menarik relevansi tentang masalah sistem hukum dari temuan-temuan kajian antropologi politik dan kemiskinan, yakni tentang ketidakpastian kepemilikan tanah (land tenure insecurity), politik informal, dan patronase birokrasi (Soehendera, 2010; Aspinall & Berenschot, 2019). Apa yang disabotase ketiganya itu adalah sistem hukum, dan dengan begitu hak-hak kewargaan menjadi kosong; dinyatakan di dalam sejumlah norma dalam legislasi namun implementasinya selalu dililit oleh kerumitan kepentingan. 

Yang menarik, sabotase sistem hukum itu terjadi justru berkat kinerja penggawa utamanya, yakni para pengacara. Artinya, mereka ini telah berubah menjadi tipe-tipe tualang klientelisme. Selain sebagai broker, Kouwagam juga mengidentifikasi tipe pengacara lainnya, yakni fixer. Mereka itu terlibat di dalam praktik litigasi dan transaksi komersial di dalam konflik pertanahan yang melibatkan perusahaan dan birokrasi pemerintah.

Kesarjanaan hukum Indonesia miskin lantaran kajian seperti yang dihasilkan Kouwagam ini tidak pernah ditempatkan dalam perspektif interdisipliner yang utuh. Padahal, dari kajian ini kita dapat bereksperimen tentang realisme hukum seperti apa yang dapat menjadi kerangka atau landasan untuk berteori dan berdisiplin (metodologi). Berkaca dari karya Kouwagam ini, maka diskursus tentang mazhab pemikiran hukum dan transposisinya bagi praktik hukum Indonesia perlu ditata ulang. Mungkin karya Kouwagam inilah yang akan mengisi diskursus yang di Indonesia kerap serba tanggung tersebut, asalkan ia dilibatkan dalam diskursus akademik yang terlampau menikmati pembedaan strata di antara ilmu, teori, dan filsafat hukum.


Eksperimen Realisme Hukum: Perjumpaan antara Etnografi dan Etika Profesi

Melalui buku ini, kita dapat menyimak respons akademik yang tepat atas masalah dikotomi teori-praktik hukum. Legal gaps yang dimaksud diidentifikasi di dalam lintas ragam bidang hukum dan bisnis dan dipaparkan dalam setiap bab. 

Setidaknya ada dua telaah penting tentang epistemologi kajian hukum Indonesia yang disingkapkan oleh buku ini. Pertama, bahwa pembelajaran etika profesi yang dicerabut dari tuntutan peran para advokat, hakim, dan notaris dalam menyiasati hukum substantif dan prosedural akan merosot menjadi kotbah moral. Inilah faktor utama yang membuat dikotomi teori-praktik semakin akut, lantaran para pengemban hukum sendirilah yang justru menjadi serba moralis, atau bahkan mati rasa moral. Kedua, negara hukum merupakan suatu cita hukum. Sebagai suatu nilai atau ideal, satu-satunya jalan mewujudkannya adalah dengan bergulat mendayagunakannya pada dataran faktual, yakni sebagai instrumen atau perangkat (tools) yang tujuannya tampil dalam spektrum kebijakan, dari yang paling luhur (pembangunan, misalnya) hingga yang paling zalim (otoritarianisme, contohnya).

Dua pokok tersebut dipaparkan di dalam enam bab dan satu epilog. Bab 1 adalah tentang ruang lingkup dan metodologi penelitian yang digunakan. Penulis, yang telah mengalami asam garam dunia pengacara Jakarta, menggunakan posisinya secara ilmiah sebagai pelaku pengamat (participant observer). Kita dapat menyaksikan bagaimana etika penelitian ilmiah sungguh-sungguh diterapkan di sini. Bab 2 menjelaskan konteks dari pranata hukum perdata dan acara perdata Indonesia yang menampilkan pergeseran menjadi pranata hukum tentang transaksi bisnis. Bab 3 dengan apik mengisahkan dinamika peran advokat dan tantangannya, yang menyangkut independensi profesi dan intervensi negara terhadapnya. Dalam bab inilah kita menemukan pengelompokan baru jenis profesi advokat: dari yang umumnya dibagi menjadi pengacara litigasi dan non-litigasi (korporasi) menjadi tipe broker, fixer, dan transaksional. Bab 4 tentang bagaimana perusahaan mengelola tanah sebagai aset. Tiga strategi hukum (sebelum, saat, dan setelah litigasi di peradilan) yang dijalankan pengacara untuk “melayani” kepentingan perusahaan tersebut diulas dalam Bab 5. 

Di dalam Bab Kesimpulan, penulis menarik pembelajaran dari penelitian ini. Dengan nada apologetic, ia melampaui khotbah moralis serba hitam-putih yang membuat korupsi menjadi banal, dan mengidentifikasi sejumlah prakondisi untuk mengembalikan cita negara hukum pada dirinya sendiri, yakni dengan mengendalikan instrumentalisasi hukum. Di dalam Epilog, kita dapat menyimak refleksi penulis tentang dilema moral advokat Indonesia dalam mempertahankan jati dirinya sebagai pengemban hukum.

Kita kembali ke soal etika profesi hukum dan cita negara hukum. Buku Kouwagam ini kiranya dapat memicu eksperimen berpikir tentang sejauh apa metodologi etnografi, yang luar biasa penting dalam operasionalisasi realisme hukum, dapat terjalin dengan penalaran moral dari kajian etika profesi hukum di dalam konteks hubungan negara dan warga yang berciri politik informal. Sudut lain dari pandangan ini adalah etnografi dapat berguna secara pedagogis untuk membumikan cara berpikir dan berlatih hukum para calon yuris yang sungguh-sungguh formal ke dalam realitas antropologis (plus menumbuhkan kebajikan etis profesional). Hal ini telah ditelusuri oleh Riaz Tejani (Tejani, 2016) dalam konteks Amerika Serikat. Hal serupa kiranya akan diinisiasi oleh buku Kouwagam ini.

Di dalam sistem hukum yang pranatanya (institution) cenderung korosif seperti di Indonesia, diskursus pemaknaan etika kerap mandek sebagai tuntutan kewajiban moral (pokok ini tampaknya relevan dengan dikotomi teori-praktik). Menurut diskursus etika kewajiban, deskripsi Kouwagam tentang permainan yang kompleks dan serba abu-abu dari para pengacara broker, fixer, dan transaksional (dalam kelindan ketidakpastian hukum dan kepentingan akumulasi modal perusahan) bakal berujung pada kutuk terhadap penistaan standar moral profesi. Dengan demikian, eksplanasi tentang bagaimana pengacara memainkan peran dan tanggung jawab etis-profesionalnya, serta bagaimana peran itu diemban menurut alasan adanya (raison d’être) pranata-pranata hukum tempat mereka bernaung, tidak akan cukup tanpa pemahaman empiris, yakni bahwa kategori-kategori pikiran, persepsi, motivasi, dan persepsi dari para individu pengemban hukum tentang apa yang korup (korup demi maksud mulia), amoral, atau ilegal ternyata tumpang tindih di dalam sistem hukum sebagai pranata yang mengalami korosi (bdk. Alexandra & Miller, 2009: 262-269, Railton, 2004).

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Saatnya Realisme Hukum: Posisionalitas Yuris dalam Untaian Kuasa Informal

Posisionalitas yang dimaksud di sini adalah soal politik, yakni yang diartikan sebagai kepedulian dan perhatian untuk terlibat. Perkembangan L&S menunjukkan bahwa politik seperti ini tidak terhindarkan. Barangkali hal itu sebagian karena realisme hukum yang telah dipeluk sebagai paradigma (Sarat, 2004; Blocq & van der Woude, 2018). Tapi jika kita tidak mau ditempeli/menempeli label tertentu, barangkali sebagiannya lagi adalah memang karena kepedulian serta perhatian itu ada, tumbuh, dan berdinamika di dalam L&S–apa pun mazhab yang direngkuhnya. Kepedulian ini muncul dari kesadaran bahwa para sarjana hukum, termasuk pengacara, memiliki subjektivitas yang turut dibentuk oleh lingkungannya sedari jenjang pendidikan hukum (Tejani, 2016).

Apa yang ditunjukkan oleh Kouwagam adalah bahwa sistem hukum Indonesia di bidang pertanahan urban, perusahaan, dan acara peradilan, telah masuk ke dalam jebakan informal (Berenschot, 2021). Jebakan ini berasal dari politik keseharian warga dan politik elektoral lima tahunan, yakni ketika warga negara mau tidak mau aktif menuntut hak-hak kewargaannya melalui hubungan informal dengan para politikus dan birokrat yang pada gilirannya dijebak pula oleh kuasa bisnis yang mengakumulasi modal. Dan para politikus, birokrat, dan pebisnis itu menjalankan kuasanya di dalam sistem hukum.

Menghadapi jebakan ini, kepedulian macam apakah yang selama ini ditumbuhkan di dalam posisionalitas calon yuris sejak pendidikan? Jika kita menyimak temuan-temuan Kouwagam, tidak berlebihan kiranya untuk mengemukakan bahwa di dalam pendidikan hukum, yang ditumbuhkan adalah ketidakpedulian akan itu. Bersama ketidakberdayaan hukum dan kemiskinan kesarjanaan hukum, maka terbentuklah “trias perversa”! 

Ini bukanlah distopia, dan jelas bahwa pesan buku ini bukanlah itu. Maka kepedulian macam apakah yang seharusnya ditumbuhkan untuk membentuk posisionalitas tersebut? Tulisan ini hendak mengatakan bahwa jawabannya adalah: realisme hukum Indonesia.

Buku ini adalah sumbangan berharga bagi siapa pun yang gelisah memikirkan hukum Indonesia meskipun urutan judul bab di daftar isi tampaknya tertukar-tukar. Yang kiranya menarik pula dikembangkan dari, atau setelah, gagasan buku ini adalah: apa itu negara hukum Indonesia? Ke mana ia akan melangkah? Kouwagam telah menyediakan landasan realis (bedakan dari realistis!) dan empiris untuk pengembangan riset tentang translasi makna semantik “negara hukum” sebagai rule of law melalui ciri keagenan profesi advokat. 

Pada 1979, di sebuah harian ternama di negeri ini, terbit sebuah artikel yang sangat provokatif berjudul “Studi dan Profesi Hukum hanya untuk Orang Bodoh?” karangan B. Arief Sidharta (1938-2015). Setelah membaca buku ini, tiba saatnya untuk menjawab pertanyaan tersebut secara terbuka dan realis.


Referensi

Alexandra, A., & Miller, S. (2009). Ethics in Practice: Moral Theory and the Professions. Sydney: University of New South Wales.

Aspinall, E., & Berenschot, W. (2019). Democracy for Sale. Elections, Clientelism, and the State in Indonesia. Ithaca and London: Cornell University Press.

Benda-Beckmann, K. v. (2002). Law and Empowerment: the Case of Indonesia. In I. Dettman-Busch, & G. Schmalisch (Eds.), The Law, Legal Certainty and Empowerment. The Concept of Law within a Cultural Context (pp. 52-58). Berlin: inWent.

Berenschot, W. (2021, November 11). The Informality Trap: Democracy against Governance in Asia . Retrieved from UvA-DARE (Digital Academic Repository): https://dare.uva.nl/search?identifier=28dc813b-217f-4f9b-a5bb-9d0e85dd0863 

Blocq, D., & Woude, M. v. (2018). Making Sense of the Law and Society Movement. Erasmus Law Review(2), 134-141. doi:https://doi.org/10.5553/ELR.000105 

Rahayu, M. K. (2018). Sengketa Mazhab Hukum. Sintesis Berbagai Mazhab dalam Pemikiran Hukum. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Railton, P. (2004). Towards an Ethics that Inhabits the Worlds. In B. Leiter (Ed.), The Future for Philosophy (pp. 265-284). Oxford: Oxford University Press.

Sarat, A. (2004). Vitality Amidst Fragmentation: On the Emergence of Postrealist Law and Society Scholarship. In A. Sarat (Ed.), The Blackwell Companion to Law and Society (pp. 1-11). Malden, Oxford, Victoria: Blackwell Publishing.

Soehendera, D. (2010). Sertifikat Tanah dan Orang Miskin. Pelaksanaan Proyek Ajudikasi di Kampung Rawa, Jakarta. Jakarta: HuMa; Von Vollenhoven Institute; KITLV-Jakarta.

Tejani, R. (2016). “Fielding” Legal Realism: Law Students as Participant-Observers? In E. Mertz, S. Macaulay, & T. W. Mitchell (Eds.), The New Legal Realism, Volume I. Translating Law-And-Society for Today’s Legal Practice (pp. 95-118). Cambridge: Cambridge University Press.


Tanius Sebastian, dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.