Foto: Fajar.co.id
“KALAU nda dikasi, natemba ki, karena nabilangiki PKI,”kata Dg. Taba. Dg atau daeng adalah sapaan akrab orang Makassar. Dg. Taba sering kali ikut dalam perjuangan melawan perampasan tanah oleh pihak PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XIV (sebelumnya bernama PT Madu Baru). Ia melakukan audiensi ke pemerintah, propaganda, bahkan aksi. Tak heran jika dirinya kerap mendapatkan intimidasi, ancaman, dan berbagai tudingan. “Siapa yang mau biayai istriku, anakku, kalau aku ditembak atau dipenjara ki?” sambungnya.
Dalam kurun 2006-2009, berlanjut pada 2013-2015 saat aksi masyarakat di perkebunan tebu sedang besar-besarnya, banyak berjatuhan korban penembakan. Sebagian lagi ditangkap sehingga banyak yang pergi sembunyi atau bermalam di gubuk. Dg. Taba sendiri punya cara lain. “Kalau saya alasan mamika kerja di Makassar sebagai tukang batu, sekitar 20 hari sampai satu bulan.”
Dg. Taba sehari-hari bekerja sebagai tukang bangunan dan mengelola sedikit kebun warisan orang tua. Untuk pekerjaan yang disebut terakhir, dia kerap dibantu dua anak lelakinya. Kebunnya yang secuil itu lolos dari perampasan lahan di tahun 1980-an.
Saya pertama kali bertemu dengan Dg. Taba di kediaman Dg. Sijaya pada malam hari. Ketika itu kami, juga masyarakat Desa Ko’mara, Kecamatan Polongbangkeng Timur, Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan, tengah membahas pemetaan lahan yang sebelumnya dilakukan di Kampung Beru. Kami hendak membuktikan kepada pemerintah bahwa masyarakat memiliki lahan di tengah tanah yang dikelola oleh PTPN XIV. Hak Guna Usaha (HGU) PTPN XIV telah berakhir sejak 9 Juli 2024.
“Eh, merokok!” Dg. Taba menawari sembari menunggu kawan lain mempersiapkan LCD untuk memperlihatkan peta lahan yang akan diukur esok hari.
Sebelumnya saya telah banyak berbincang dengan seorang warga Kampung Beru, Dg. Rasid, tentang bagaimana cara para elite lokal (karaeng) di pemerintah daerah dan PT Madu Baru merampas tanah masyarakat. “Itu mertuaku yang punya tanah, diajak pergi jalan-jalan katanya. Ternyata sudah dikelola mi lahannya. Pas itu mau protes, diancam ki itu mau dibawa pergi jauh dari kampung kalau nda mau nakasi tanahnya itu pihak PT Madu Baru yang sekarang PTPN,” katanya. “Na pattolo-toloi mentongki (di bodoh-bodohi betul),” lanjutnya sembari tertawa.
Karena perampasan lahan, banyak warga yang pergi merantau untuk menghidupi diri dan keluarga. “Itu keluarga yang sering kutemani baku gea (adu mulut) na dari Makassar kodong itu jadi tukang parkir, ka ndada bisa na kerja di sini,” tutur Dg. Rasid sembari menghisap kreteknya.
Warga di Kampung Beru, Ko’mara, Timbuseng, Barugaya, dan lainnya sering melakukan penolakan dengan berbagai cara, seperti menanam padi atau jagung di tengah lahan yang dirampas PTPN XIV. Mereka juga sering memberi makan ternak di tengah tebu yang digarap PTPN XIV di atas tanah mereka itu.
Awal Mula Perampasan Lahan
Taufik Ahmad dalam Genealogi Konflik Agraria di Polongbangkeng Takalar menjelaskan bahwa konflik bermula pada 1978-1979, ketika PT Madu Baru mengambil alih lahan pertanian masyarakat. Tak lama setelah itu, di tahun 1981-1982, masuklah instruksi pemerintah pusat —di bawah rezim fasis Orde Baru— untuk melanjutkan pembebasan lahan oleh perusahaan gula, PTPN XIV.
Pada awalnya, perusahaan berusaha bernegosiasi ke masyarakat untuk membeli lahan mereka. Namun, karena tak kunjung menemukan titik temu, hal ini menuai konflik. Pembebasan lahan akhirnya berlangsung dengan cara yang licik, sarat manipulasi, dan intimidasi —baik mental maupun fisik. Tak sedikit petani yang tidak ingin menyerahkan lahannya dituduh sebagai anggota PKI.
Akhirnya, demi merampas 6700-an hektare tanah masyarakat untuk penanaman tebu serta pembangunan pabrik, mereka menggunakan kedok penerbitan Hak Guna Usaha (HGU) selama 25 tahun.
Pada pertemuan malam itu, kami membuat kelompok tugas untuk memetakan lahan dan menyebar ke beberapa rumah. Saya dan dua kawan lain mendapat bagian di rumah Dg. Taba. Rumahnya berbahan batu dengan luas 96 meter persegi.
Saat masuk, istri Dg. Taba menyuguhkan kami secangkir kopi. Kebetulan stok rokok pun masih banyak sehingga kami tidak langsung berstirahat melainkan duduk-duduk sejenak agar tak ada rasa canggung. “Minum, masih panjang pagi,” kata Dg. Taba dengan bercanda.
Ia lalu bercerita sedikit soal tanah yang dikelola bapaknya tetapi dirampas PTPN XIV. Saat cerita bergulir, saya terngiang kisah seseorang dengan julukan Karaeng Temba. Ia konon salah satu orang yang disegani karena punya identitas raja. Namun ini bukan kisah pahlawan; ia adalah salah seorang yang memaksa masyarakat untuk memberikan tanahnya pada PTPN XIV.
“Jadi dulu itu bukan pihak PTPN langsung yang paksa, tapi Karaeng Temba yang dulu kerja sama dengan pihak PTPN yang paksaki” katanya.
“Ia bahkan tidak ragu itu menembak kalau nda maui dikasi tanahta, karena nabilangimaki PKI, pengkhianat negara, dan orang tidak mau diatur. Semua masyarakat nakasi begitu. Bahkan banyak dulu tukang tembanya, jadi takut- takut mki,” lanjutnya.
“Jadi nabayar jaki?” tanyaku penasaran.
“Tidak ada nakasikanka biar seribu, baru nabilang pihak PTPN sudah mi dibayar, tidak tahu siapa nabayar.”
“Jadi kalau nabayarki mau jaki kasi?”
Ia menjawab dengan raut kesal, “siapa mau bodo-bodo kasi tanah, di mana ki mau makan kalau bukan dari tanah ta.”
Setelah mendapatkan informasi mengenai cara licik PTPN XIV yang memanfaatkan elite lokal (karaeng) dan pemerintah daerah, kami membereskan gelas dan beristirahat untuk melanjutkan pemetaan di beberapa titik yang sudah ditentukan.
Kami dibangunkan hawa yang begitu dingin saat matahari mulai menampakkan cahaya di sudut-sudut ruang melalui ventilasi. Kami pikir kami yang pertama bangun, tapi ternyata dari arah dapur sudah tercium aroma masakan yang begitu menusuk di hidung. “Bangun, sarapan dulu supaya segar-segar pergi mengukur,” kata Istri Dg. Taba. Kami pun dengan sigap membasuh muka, membersihkan tempat tidur, lalu bergegas menyantap makanan.
“Kalau di sini, tidak baik rasanya pergi kerja kalau tidak sarapan. Jadi, sarapan bukan sarapan yang sedikit makan, tapi harus sampai kenyang,” sambung Dg. Taba.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Mereka yang Dirampas Ruang Hidupnya
Sehabis makan, kami disuguhkan secangkir teh. Sungguh kami sangat membuatnya repot, tetapi itulah kebiasaan Dg. Taba sebelum memulai pekerjaan.
Kami pun berkumpul di titik lokasi yang ditentukan semalam, sambil menunggu kawan-kawan lain, sebelum berbondong-bondong untuk masuk ke area pemetaan. Hanya butuh beberapa menit perjalan untuk tiba di lokasi pertama.
Waktu itu kami tak langsung mengukur tanah, melainkan membuat video propaganda penolakan atas berakhirnya HGU PTPN pada 9 juli 2024 terlebih dahulu. Selang beberapa menit setelah pembuatan video propaganda, kami pun berpencar ke banyak titik sesuai dengan pembagian lokasi.
Saya bersama Dg. Taba dan Dg. Gassing ke Desa Barugaya, mengukur lahannya yang kurang lebih 60 are. Di sepanjang perjalanan itu, kami hanya melihat barisan tanaman tebu; sangat jarang terlihat tanaman lain. Sambil terus berjalan, Dg. Taba menunjuk beberapa tempat lokasi mereka mengadang polisi dan PTPN XIV untuk memberhentikan proses pengolahan tanaman tebu. Ada juga beberapa lokasi di mana kelompok perampok di tahun 1997-2002 beraksi karena krisis moneter.
Kurang lebih setengah jam perjalanan, kami pun tiba di titik lokasi Dg. Taba. “Inimi tanah bapakku yang kemarin dirampas, ka di sana itu tanah Karaeng Temba, baru lahan ku di tengah-tengah. Jadi langsung na bilang ini tanahku semua, ka di sini bede dulu makan sapinya,” katanya, begitu jengkel.
Jika dulu mengolah lahan dengan tanaman padi, mereka kini harus bekerja menjadi buruh di atas tanah sendiri karena dipaksa hanya menanam tebu.
“Waktu dulu nagarap ini bapakku, sawah semua ditanam di sini, tidak pernah ki beli beras, ka cukup mi dimakan. hanya saja, ya begitumi, sekarang kerja tebu maki, baru hasilnya di pembelikan beras,” ungkap Dg. Gassing.
Ucapannya membikin darah saya naik ke ubun-ubun. Ceritanya sama dengan warga yang lain ketika saya menyempatkan berbincang dengan mereka.
Setelah 40 tahun menunggu, para petani yang sudah hidup tercekik ketidakpastian terus menempuh segala usaha: pendudukan, aktivasi ruang, audiensi, hingga pada aksi-aksi protes. Agenda-agenda tersebut terus berlangsung sebagai upaya menahan perpanjangan HGU PTPN XIV, yang sebagiannya berakhir di tahun 2023 dan sisanya di Juli lalu.
Muhammad Syarif adalah Wakil Presiden BEM Universitas Negeri Makassar dan Kepala Departemen Organisasi Front Mahasiswa Nasional.