Ilustrasi: Ilustruth
PADA satu trimester musim semi, ketika masih seorang murid tahun pertama di sebuah community college di Seattle, Amerika Serikat, saya mengambil kelas tentang marxisme. Ada tiga hal yang saya ingat tentang pengajar kelas itu. Pertama, pada Hari Buruh, beliau membawa spanduk merah-emas bertuliskan “Pekerja seluruh dunia, bersatulah!” dalam bahasa Rusia dan mengajak kami menyanyi “The Internationale” sambil mengepalkan tangan. Kedua, beliau, yang mengaku ateis, menangis di depan kelas ketika menceritakan kisah pembunuhan misionaris Katolik marxis Padre James Carney—yang diculik, disiksa, dan dilempar keluar dari helikopter oleh tentara Honduras. Ketiga, beliau memperkenalkan saya pada tulisan-tulisan kritikus marxis Fredric Jameson, yang meninggal dunia beberapa hari lalu, 22 September.
Tulisan Jameson yang saya baca waktu itu diambil dari buku ternamanya, Postmodernism, or, The Cultural Logic of Late Capitalism (1991). Sesuai dengan campuran optimisme plus sinisme khas anak muda, saya langsung terpikat oleh diagnosis kritikus yang lahir pada 14 April 1934 ini, bahwa di hadapan logika budaya pascamodernisme, gaya-gaya estetika masa lampau yang pernah mampu menampilkan kesejarahan sejati dari konteks produksinya (historicity) telah kehilangan arti. Sebab, melalui proses komodifikasi mendunia, gaya-gaya ini telah menjadi “kutipan” belaka (pastiche). Apa yang sering diingarbingarkan di kelas ekonomi maupun sosiologi sebagai “globalisasi” ternyata hanya proses universalisasi pasar kapitalis. Pada waktu itu, diagnosis Jameson membantu saya mulai memahami lingkungan hidup baru saya, antara lain mengapa kota Seattle yang penuh dengan simbol-simbol dan orang-orang (yang mengaku) progresif malah memiliki tingkat ketimpangan ekonomi yang tinggi, terutama dalam bidang ruang hidup.
Membaca Jameson juga mengajari saya bahwa memiliki sikap kritis saja tidak cukup. Apabila harus memilih satu kata yang paling penting dari pemikiran Jameson, menurut saya itu bukanlah “kapitalisme” atau “kelas”. Kata itu adalah: utopia. Berbeda dari kritikus-kritikus antikapitalis yang cenderung menekankan bagaimana kapitalisme menyerap dan menyusup ke dalam pori-pori kehidupan masa kini, Jameson menunjukkan bahwa karya-karya budaya harus dibaca secara dialektis: di satu sisi mengemban jejak-jejak ideologi kapitalis, di sisi lain mengisyaratkan bahwa dunia lain, di mana kebengisan dan kerakusan modal tidak lagi merajalela, masih mungkin. Tengok saja buku The Political Unconscious: Narrative as a Socially Symbolic Act (1981). Di sana Jameson menjelaskan bagaimana karya sastra Eropa yang pada pandangan pertama mudah dianggap borjuis dan imperialis—novel-novel Honoré de Balzac, George Gissing, Joseph Conrad, dan lain-lain—tetap mampu memancarkan unsur-unsur utopis.
Jameson menjelaskan soal cara berpikir biner, yaitu anggapan bahwa karya-karya budaya itu antara terlepas dari kondisi produksinya atau semata-mata mencerminkan kondisi tersebut. Menurutnya itu sama-sama hasil pemikiran idealis yang tereifikasi. Mengapa? Karena absen dari kedua pilihan tersebut adalah kehadiran kontradiksi. Kesalahan pertama yaitu kesalahan model strukturalis, mengosongkan agensi manusia sebagai produsen dan menempatkannya di alam ide-ide abstrak; sementara kesalahan kedua yaitu kesalahan materialisme vulgar, memisahkan manusia dari matter itu sendiri seolah-olah bukan bagian dari alamnya. Di sinilah letak kekhasan pendekatan Jameson, di penekanannya yang tanpa kompromi bahwa hubungan antara realitas ekonomi dan manusia bukannya harmonis malah penuh dengan kontradiksi. Karena timbulnya kontradiksi inilah ada harapan dan kemungkinan untuk perubahan.
Dengan kata lain, utopia adalah cara kita menafsirkan karya-karya budaya itu sendiri. Apabila tafsiran menekankan pada bagaimana aspek-aspek tertentu suatu karya menyembunyikan dan menghaluskan keberadaan kontradiksi, maka kita sedang melakukan kritik ideologi. Apabila tafsiran melacak getaran-getaran kontradiksi di bawah permukaan tekstual yang tampak tenang dan jernih, kita sedang membuat kritik utopis. Bagi Jameson, analisis marxisme yang sejati harus cukup lincah, ulet, dan cerdik untuk bisa menjalankan dua fungsi ini, “hermeneutika negatif” dan “hermeneutika positif”, tafsiran yang intervensionis dan tafsiran yang antisipatoris, secara bersamaan. Jauh dari stereotipe bahwa kritik harus melulu penuh dengan kegaringan dan penghakiman, Jameson justru mengajarkan saya bahwa kritik marxisme yang sejati itu menyenangkan—penuh dengan gaya, berkobar-kobar, mengajak, menyegarkan, dan memberi semangat (hal yang sama telah ditunjukkan oleh penyair dan filsuf marxis dari Venezuela Ludovico Silva tentang Marx sendiri dalam Marx’s Literary Style). Inilah kerangka umum yang menurut saya bisa digunakan oleh peneliti Indonesia.
Namun, sayangnya, tulisan Jameson kurang mendapat perhatian. Membaca Jameson, tak dapat dielakkan lagi, memang tidak mudah—kalimat-kalimatnya cenderung panjang dan kosakatanya kadang terasa abstrak dan penuh dengan rujukan-rujukan ke hal-hal lain. Setahu saya hanya Saut Situmorang yang cukup nekat menerjemahkan salah satu esainya ke bahasa Indonesia. Namun sepertinya ada satu alasan lagi mengapa tulisan Jameson kurang dilirik para akademisi Indonesia (toh para pemikir yang gaya menulisnya tidak lebih mudah dari Jameson seperti Homi Bhabha, Judith Butler, Jacques Derrida, dan Gayatri Spivak bukanlah nama asing): hegemoni teori pascakolonialisme.
Banyak kritik yang dilayangkan kepada Jameson setelah dia menerbitkan esai kontroversial berjudul “Third-World Literature in the Era of Multinational Capitalism” (1986). Profesor saya pernah mengaku bahwa dia “pecah” dengan Jameson setelah esai itu terbit. Para penganut pascakolonial kurang lebih menuduhnya telah menggeneralisasi heterogenitas budaya non-Barat di bawah rubrik “budaya dunia ketiga” dan semena-mena menganggap bahwa sastra dunia ketiga harus selalu menjadi ungkapan “alegori nasional”. Memang tidak bisa disangkal bahwa terdapat beberapa kekurangan dari esai tersebut. “Budaya dunia ketiga”, frasa yang muncul beberapa kali di esai itu, terdiri dari berbagai macam perbedaan yang begitu banyak hingga pengelompokan ini tidak masuk akal.
Namun, kesamaan seluruh budaya dunia ketiga sama sekali bukan argumen Jameson. Hal tersebut adalah: di hadapan imperialisme budaya negara-negara dunia pertama, negara-negara dunia ketiga sedang “terkunci dalam perjuangan hidup-mati” sehingga budaya-budayanya tidak bisa dianggap “otonom atau bebas secara antropologis.” Dengan kata lain, yang ditekankan Jameson adalah bahwa “budaya dunia ketiga” bukanlah pasif dan eksotis, tetapi justru sedang terlibat dalam proses perlawanan yang aktif melawan imperialisme. Ini wawasan yang menurut saya, yang rutin mengajar tentang karya-karya sastra non-Barat, belum dicerna banyak pembaca dunia pertama—mereka kerap ingin membaca karya-karya ini sekadar untuk memperoleh “pengetahuan budaya” (di suatu konferensi, seorang profesor mendatangi saya setelah saya membacakan makalah tentang Max Havelaar dan Arus Balik dan memuji saya karena telah mengkritik Jameson. Entah beliau sesungguhnya tidak pernah membaca esai itu atau ketiduran waktu saya presentasi).
Justru bagi Jameson perjuangan hidup-mati “budaya dunia ketiga” inilah yang memberikan hasil budayanya sebuah keunggulan epistemik. Apabila karya-karya budaya dunia pertama masih bisa berpura-pura bersembunyi di balik apolitisme, kemewahan ini tidak ada untuk karya-karya budaya non-Barat “yang mau tidak mau telah dengan sendirinya menjadi situasional dan materialis.” Dan, perlu ditekankan, target Jameson di esai ini adalah gaya tafsir pembaca dunia pertama, sehingga tidak bisa dibilang bahwa ia sedang memberi instruksi bagi penulis non-Barat. Sekali lagi, penekanannya jatuh kepada utopia sebagai lensa penafsiran marxis itu sendiri.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Di buku-buku selanjutnya—yang begitu banyak dan kaya dengan ide-ide, jadi saya hanya bisa memilih sejumput contoh—utopia menjadi tema yang semakin sentral dan eksplisit. Buku Archeologies of the Future: The Desire Called Utopia and Other Science Fictions (2005) meneliti persimpangan antara tradisi pemikiran utopis dan praktiknya dalam karya sastra bergenre science fiction. Namun, berbeda dengan studi-studi yang sering hanya mengkatalogkan tema atau perumpamaan ini itu, Jameson melacak keberadaan utopia melalui kontradiksi itu sendiri, menempatkannya terutama di kontradiksi antara bentuk (form) dan isi (content). Di satu sisi, Jameson mengaitkan bentuk dengan Imagination, tradisi pemikiran utopis-romantik yang menekankan kelahiran sebuah masyarakat baru dalam skala besar, yang biasanya digambarkan melalui perpecahan dan pembangunan sebuah daerah terpisah atau enclave, mulai dari Utopia-nya Thomas Moore hingga The Dispossessed-nya Ursula Le Guin. Di sisi lain, ia mengaitkan isi dengan Fancy, revolusi skala lebih sederhana yang biasanya tampil melalui penciptaan gadget-gadget ini itu atau kemunculan kebiasaan-kebiasaan sosial baru, seperti (apa yang secara anakronistis bisa disebut) online dating melalui teknologi Web di Stars in My Pocket Like Grains of Sand-nya Samuel Delany.
Pada awalnya Jameson terlihat lebih berpihak ke utopia sebagai bentuk atau Imagination—mungkin karena revolusi skala besar biasanya merupakan impian marxisme. Namun alasan Jameson menelusuri berbagai karya-karya ini bukan untuk semata-mata mengesahkan mereka, tetapi malah demi meraba batas-batas bentuk narasi tersebut. Contohnya, apa logika diferensiasi sosial yang membawahi organisasi masyarakat baru? Apakah mengimpor tendensi xenofobia atau otoriter dari dunia “lama” (kendatipun terkaitnya sejarah komunitas utopia dengan ideologi settler colonialism)? Atau secara lebih mendasar: bagaimana sebuah cerita dapat merepresentasikan dunia yang begitu baru tapi masih harus bisa dipahami pembaca? Dengan kata lain, keterbatasan utopia sebagai bentuk terletak di kemampuan kita membayangkan dan menggambarkan proses transisi itu sendiri, pemutusan (break) yang memisahkan kehidupan sosial baru dari kehidupan sosial lama.
Kegagalan utopia sebagai bentuk menuntun Jameson untuk berbalik ke arah utopia sebagai isi atau Fancy, yang pada awalnya justru terlihat berhasil: melalui ciptaan-ciptaan yang baru ini (kritikus Darko Suvin menyebutnya sebagai novum) kita mampu mendiagnosis masalah-masalah sosial dengan lebih kreatif dan bahkan seakan-akan menyelesaikannya. Di alam utopia sebagai isi inilah kita menemukan berbagai objek yang menjadi ciri khas banyak cerita science fiction, mulai dari yang sederhana seperti lightsaber film-film Star Wars hingga yang jauh lebih kompleks seperti teknologi Web di contoh Delany di atas, yang menjungkirbalikkan norma-norma seksualitas borjuis melalui hubungan makhluk antar galaksi. Pada saat sama, yang menjadi keunggulan Fancy kembali menjadi kelemahannya: kontradiksi materiil cenderung diselesaikan secara imajiner atau, terlebih lagi, teknokratis. Utopia sebagai isi memuaskan angan-angan kita sebagai pembaca sehingga kita terjerumus: melihat sejarah semata-mata sebagai kemajuan positif belaka.
Mungkin di sini kita berhenti dan bertanya: lalu apa fungsi narasi-narasi utopia ini apabila baik dalam bentuk maupun isi ujung-ujungnya hanya kegagalan? Di sinilah Jameson kembali memainkan dialektikanya. Apabila utopia sebagai isi pada akhirnya gagal karena terlalu “sukses” menyelesaikan kontradiksi melalui pembaruan teknologi, kita harus kembali kepada kegagalan utopia sebagai bentuk—yang justru sekarang bisa dilihat sebagai kesuksesan, tepatnya karena kegagalan inilah yang terus-menerus mendorong kita ke arah alternatif-alternatif yang lain:
Kekurangan bentuk—bagaimana kita dapat mengartikulasikan pemutusan utopis [the utopian break] dengan cara yang sebegitunya hingga ia menjadi transisi politik yang praktis—sekarang berbalik menjadi kekuatan retorik dan politiknya—karena ia justru memaksa kita untuk memusatkan perhatian kita atas pemutusan itu sendiri: sebuah renungan akan apa yang tidak mungkin, yang tidak bisa diwujudkan. Ini begitu jauh dari kepasrahan liberal terhadap keharusadaaanya kapitalisme; sebaliknya, ini sebuah penggemeretakan jeruji, sebuah pemusatan spiritual yang hebat dan persiapan bagi tahap selanjutnya yang masih akan datang.
Inilah “hasrat bernama Utopia” itu: tidak lain dari nama bagi semacam kepekaan radikal, semacam “kegelisahan akan hilangnya masa depan”, kehilangan yang makin hari makin nyata di dunia kapitalisme global yang memproklamasikan keabadiannya ini. Dan kegelisahan ini hanya bisa tetap hidup apabila kita berkomitmen untuk menafsir tidak hanya secara kritis tapi juga utopis, terus mencari kehadiran kontradiksi dalam tiap karya-karya budaya yang kita temui.
Kontradiksi sebagai wujud hubungan dialektis antara isi dan bentuk. Inilah salah satu pelajaran terpenting dari pemikiran Jameson yang dapat dipetik para kritikus sastra Indonesia. Isi dari sastra Indonesia bukanlah apa yang sering disebut budaya atau identitas bangsa, seakan-akan hal ini adalah roh yang statis. Asumsi semacam ini, yang menjadi kerangka kritikus-kritikus seperti A. Teeuw, harus dipertanyakan dengan keras dan bukan hanya melalui pendekatan pascastrukturalis yang sudah dipelopori Katrin Bandel, Manneke Budiman, Tony Day, Henk Maier, dan lain-lain, tetapi juga lewat dialektika marxis. Inilah mengapa bentuk menjadi penting. Bukan karena ia menjadi ukuran kesempurnaan sehingga bentuk dan isi menjadi, mengutip A. S. Dharta dalam salah satu pidatonya, “totalitas yang harmonis,” karena bagi estetika marxisme sudut pandang totalitas bentuk dan isi adalah di mana kontradiksi terlihat mencuat paling jelas dan tidak terelakkan.
Sebaliknya, membaca lewat lensa bentuk menunjukkan bahwa karya sastra tidak bisa lepas dari kehidupan sosial dan proses sejarah, tepatnya karena berbagai bentuk narasi—utopis, horor, bildungsroman, dan seterusnya—bukan milik pribadi penulis tertentu (di sini mungkin bentuk bisa disamakan dengan genre) dan relevansi tiap-tiapnya datang dan pergi secara historis. Misalnya, mengapa unsur horor menjadi dominan di karya-karya sastra pasca-98, seperti di tulisan-tulisan Ida Fitri, Eka Kurniawan, Intan Paramaditha, dan Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie? Tentu cara tiap penulis mengerjakan genre horor itu sendiri tidak sama (misalnya, secara singkat, menurut saya Cantik Itu Luka berkutat dengan komodifikasi narasi sejarah di era pasar sastra dunia, sementara Kita Pergi Hari Ini memadukan bentuk dongeng dengan kritik reifikasi model nasionalis-developmentalis tentang anak-anak). Dengan kata lain, bentuk atau genre horor bukanlah pelarian dari sejarah tetapi justru cara penulis-penulis ini “membuat Sejarah muncul” (inilah slogan yang membimbing proyek Jameson di buku Valences of the Dialectic [2014]). Bisakah kita menilai bahwa nilai epistemik dan politik genre horor itu lebih rendah di hadapan karya-karya sastra “serius” seorang Leila Chudori atau Laksmi Pamuntjak? Belum tentu.
***
Saya tidak pernah bertemu Fredric Jameson. Tetapi, ketika mendengar berita kepergian beliau, saya merasakan semacam kekosongan dan sedih, seakan-akan telah kehilangan teman berpikir yang begitu dekat. Aneh rasanya bahwa kalimat-kalimat yang begitu panjang tapi lincah, rumit tapi cerah, sabar tapi penuh kejutan itu sudah lepas terpisah dari sumbernya. Tapi saya tahu apabila masih hidup, beliau akan menegur cara berpikir yang begitu individualis ini. Kata-kata Bung Fredric bukan miliknya sendiri. Karena itu mereka akan hidup—
Di mana pun dan selamanya cahaya biru di nun jauh!
Selamanya… selamanya…
Reuven Pinnata, asisten profesor di Department of English and Center for Southeast Asian Studies, Northern Illinois University