Ilustrasi: Ilustruth
DALAM laporannya, Making Music Under Occupation (2004), peneliti Rutgers University Andrew Kirkman menulis, “Musik menjadi sesuatu yang tidak bisa dilanggar oleh Israel. Musik merupakan kesempatan bagi anak-anak Palestina untuk membuka pikiran mereka ke ruang yang tidak dipenuhi ketakutan, ketidakpastian, dan kebencian yang datang tanpa henti.”
Pernyataan Kikman ini terpancarkan begitu jelas ketika kita mendengar lirik dan melihat klip video “Shouting at the Wall” dari seorang rapper cilik asal Gaza. Nama panggung sang penyanyi rap: MC Abdul.
Dia bernyanyi dengan sangat lantang menyuarakan perjuangan dan harapan penduduk Gaza. Music video dirinya bernyanyi, di tengah situasi Gaza yang porak-poranda, seakan menjadi pesan yang kuat tentang ketabahan dan ketahanan rakyat Palestina dalam menghadapi berbagai tantangan. Jika mendengar dan memahami lirik yang ditulisnya, kita tidak akan mengira bahwa itu keluar dari anak yang masih berusia 11 tahun.
MC Abdul dan Suaranya Tentang Penjajahan di Gaza
Nama aslinya adalah Abdel Rahman Al-Shatti, seorang remaja kelahiran Gaza yang sekarang berusia 15 tahun. Pada usianya yang ke-11, Abdul mengeluarkan karya pertamanya berjudul “Shouting at the Wall” (2020) yang merupakan bentuk dukungan terhadap para keluarga korban pengeboman Israel. Lagu pertamanya berhasil menarik perhatian sebuah label musik hiphop Empire, yang kemudian membantunya dalam memproduksi serta menyebarkan lagu-lagu MC Abdul.
Jika melihat akun Spotify “MC Abdul”, setidaknya delapan lagu telah dirilisnya, baik untuk solo maupun berkolaborasi dengan penyanyi lain: “Shouting at the Wall” (2021), “Palestine Freeverse” (2021), “Can I Live” (2022), “It’s All Good” (2023), “Killing The Game” (2023), “The Pen & The Sword” (2023), “Deira” (2024), dan “Maktub” (2024). Pendengar bulanan di laman Spotify miliknya mencapai 336 ribu, dengan “Deira” menjadi lagu dengan pendengar paling banyak, sebanyak 8 juta.
Selain melalui kanal daring, MC Abdul juga aktif melakukan konser di beberapa panggung besar dunia, misalnya di Oxygen Park pada gelaran Piala Dunia 2022 hingga tampil di markas besar PBB di New York saat perayaan International Day to Protect Education from Attack. Di PBB, ia membawakan “The Pen & The Sword”. Keberhasilan Abdul tidak terlepas dari dukungan artis-artis besar seperti Fat Joe, DJ Khaled, dan Bella Hadid yang telah memuji dan mempromosikan lagu-lagunya secara terbuka.
Lirik-lirik yang ditulis MC Abdul kebanyakan menggambarkan pengalaman menyakitkan orang-orang Palestina karena penjajahan. Simaklah lirik lagu pertamanya, “Shouting at the Wall”: i‘m exhausted (aku lelah) / last night, I couldn’t sleep (tadi malam, aku tak bisa tidur) / and when I did, I could hear bombs in my dreams (dan ketika melakukannya, aku mendengar bom dalam mimpiku) / how could they be so evil? (bagaimana mereka bisa begitu jahat?) / making martyrs out of children and innocent people (membuat anak-anak dan orang-orang yang tidak bersalah menjadi martir).
Perjalanan Musik Hiphop di Palestina
Musik hiphop mulai muncul di Palestina setidaknya pada tahun 1998, ditandai dengan artis rap berkebangsaan Palestina-Israel bernama Tamer Nafar dan saudaranya, Suheil. Nafar kemudian mendirikan salah satu grup musik hiphop Palestina terkemuka bernama DAM. Lagu pertamanya “Min Irhabi” (Siapa Teroris?), rilis pada 2001. Lagu ini terbilang sukses, diunduh oleh lebih dari satu juta pendengar. Pada tahun 2021, Nafer juga mengeluarkan proyek kolaborasi dengan MC Abdul dengan judul “The Beat Never Goes Off”.
Terinspirasi oleh DAM, grup rap pertama dari Gaza, Palestinian Rapper (PR) muncul pada 2022. Grup ini beranggotakan Mohammed Farrah, Moutaz Hwehy, Mahmud Abdallah, dan Nadir Abu Ayash. Melalui lirik-liriknya, mereka menyuarakan perjuangan sehari-hari warga Gaza, seperti pemboman rumah-rumah warga, kemiskinan, dan kebosanan warga karena pembatasan mobilitas oleh Israel. Pembatasan mobilitas ini jugalah yang mengakibatkan PR sulit berkembang. Mereka kesulitan untuk melakukan konser maupun kerja kolaborasi dengan musisi di luar Gaza.
Pada awalnya aliran musik ini cukup sulit diterima oleh masyarakat Palestina. Genre mereka dianggap tidak merepresentasikan budaya dan moral warga Palestina. Pertunjukan musik mereka beberapa kali diprotes karena diduga bertentangan dengan moratorium hiburan publik Palestina. Penentangan ini utamanya datang dari pergerakan berhaluan Islam seperti Hamas.
Namun, perbedaan pendapat dan ragam bentuk perjuangan bukanlah hal yang asing dalam dinamika perjuangan rakyat Palestina. Para musisi rap tetap produktif memproduksi lagu dan berkolaborasi dengan musisi-musisi lain. Berkat mereka juga suara perjuangan dan eksistensi Palestina tetap terjaga, utamanya melalui industri musik.
Musik Sebagai Bentuk Perlawanan Terhadap Penjajahan Palestina
Seperti yang dijelaskan di atas, musik menjadi media perlawanan terhadap penjajahan yang terjadi di Palestina. Lantas bagaimanakah sejarah penggunaan musik sebagai alat perlawanan Palestina?
Musik sebagai senjata perlawanan rakyat Palestina sudah berlangsung sejak lama, bahkan sejak peristiwa Nakba (1948), sebuah tragedi pembersihan etnis Arab di Palestina untuk pembentukan negara Israel. Pada era itu para musisi Arab, terutama dari Kairo seperti Abd al-Wahhab dan Ummi Kulthum, serta dari Lebanon seperti komposer Rahbani bersaudara dan Fairus, memainkan peran dalam menyuarakan persatuan Arab dan pembebasan bangsa Palestina melalui lagu-lagu yang mereka nyanyikan.
Hingga era awal 1990-an, terjadi penyensoran ketat terhadap musik-musik yang menyerukan solidaritas nasional dan pemberontakan Palestina. Bagi otoritas penjajah Israel, musisi sama bahayanya dengan para milisi dan pemberontak. Salah satu musisi yang mendapatkan tekanan ini adalah Mustafa al-Kurd, penulis lagu kelahiran Yerusalem yang aktif menggubah lagu-lagu perlawanan Palestina pada 1960 hingga 1970-an. Mustafa al-Kurd ditangkap beberapa kali pada tahun 1976 dan kemudian diasingkan oleh Israel selama sembilan tahun. Pada tahun 1987, setelah kembali ke Palestina, ia kemudian mendirikan Jerusalem Center for Arabic Music.
Musik juga memainkan peran dalam meletusnya perlawanan rakyat Palestina dalam Intifada pertama pada tahun 1987-1993, dan Intifada kedua pada tahun 2000. Lagu-lagu yang berkaitan dan bertemakan perjuangan Palestina dikumpulkan dalam kaset audio dan disebarluaskan untuk memprovokasi serta membakar semangat warga Palestina dalam aksi perlawanan. Lagu-lagu Intifada tidak hanya mencerminkan kehidupan di bawah pendudukan dan pemberontakan, tetapi juga menyerukan komitmen dan tindakan dari para pendengarnya.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Musik Menjadi Pelindung Bagi Anak-Anak Palestina
Seperti pada kutipan awal tulisan ini, Andrew Kirkman dalam lawatannya ke Palestina menemukan fakta bahwa anak-anak Palestina tumbuh dalam situasi yang tidak normal. Tidak seperti orang tua pada umumnya yang melindungi anak-anak mereka dengan aman, para orang tua Palestina tidak mempunyai kemampuan untuk melindungi anak-anak mereka dari serangan bom dan tembakan senjata para tentara Israel. Jaminan keselamatan, apalagi kenyamanan, tidak dimiliki oleh anak-anak. Mereka hidup dalam situasi yang mencekam, menakutkan, dan penuh kekhawatiran.
Situasi sulit yang mereka hadapi setiap hari ini memaksa anak-anak menjadi dewasa dengan lebih cepat. Anak-anak tumbuh tanpa melewati dan menikmati masa kanak-kanak yang memberinya kesempatan untuk bersikap impulsif, egois, dan ceroboh, sebagaimana anak-anak di belahan dunia lain.
Ini seperti apa yang saya lihat ketika pertama kali melihat dan mendengar MC Abdul bernyanyi, yaitu kedewasaan dalam ekspresi musik yang dimiliki oleh anak berusia 11 tahun. Hal senada juga disadari oleh Kikman; setelah mengunjungi teater dan penampungan tempat anak-anak Palestina berlatih musik, ia heran dengan kedewasaan yang terpancarkan ketika anak-anak tersebut mengekspresikan diri dalam bermusik, bahkan ketika harus mengungkapkannya dalam lirik berbahasa Inggris.
Yassir, seorang pendiri penampungan anak yang ditemui Kirkman, mengatakan bahwa misinya menyediakan sanggar seni adalah untuk memberikan kesempatan bagi anak-anak menjadi dirinya sendiri. “Saya mengatakan kepada anak-anak yang berada di sini, ketika kalian pergi dari sini, kalian boleh menjadi Hamas ataupun anggota Islamic Jihad, tetapi selagi kalian berada di sini, jadilah diri kalian sendiri.”
Selain menjadi media dalam perjuangan melawan penjajahan yang tidak berkesudahan, musik bagi anak-anak Palestina juga menjadi tempat berlindung dari ketakutan-ketakutan yang mereka hadapi setiap waktu. Ketika bermusik, mereka keluar sejenak dari bayang-bayang kokangan senjata tentara dan suara deruman tank Israel yang mereka dengar setiap hari. Musik menjadi bantuan emosional bagi mereka untuk beristirahat dari realitas kehidupan sehari-hari yang menyakitkan.
Alvin NR adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal.