Ilustrasi: Ilustruth
HOMOSEKSUALITAS telah dijumpai di berbagai peradaban dan periode sejarah. Hubungan romantik antara dua laki-laki merupakan norma di peradaban Mesopotamia, Yunani, Roma, Jepang, hingga Tiongkok Kuno (Mark, 2021). Bahkan beberapa suku mengenal ritual-ritual yang menempatkan homoseksualitas pada kedudukan yang lebih mulia daripada heteroseksualitas. Tafsiran ini, yang dijuluki “ritualized homosexuality” oleh antropolog Gilbert Herdt (1984), ditemukan, misalnya, pada suku Etoro di Papua Nugini. Mereka memaknai ritual hubungan seksual antara sesama laki-laki sebagai proses menuju pendewasaan sejati.
Banyaknya praktik homoseksual dalam sejarah manusia menjadi landasan bagi argumen “eternal homosexual” yang marak bersirkulasi pada awal masa pergerakan hak-hak asasi komunitas LGBTQIA+ (D’Emilio, 1993). Pihak yang sepakat dengan argumen ini meyakini bahwa homoseksualitas telah ada sejak lama dan merupakan fakta sosial yang tidak terbantahkan. Namun, satu hal yang luput dari pengamatan argumen tersebut ialah bahwa perilaku homoseksual (homosexual behavior) tidak sama dengan identitas homoseksual (homosexual identity). Praktik-praktik hubungan sesama jenis pada masa peradaban kuno belum disertai pembentukan suatu identitas yang terkonsolidasi. Munculnya identitas homoseksualitas justru merupakan konstruksi sosial (Foucault, 1978); dalam hal ini, ia lahir karena kapitalisme dan berkaitan erat dengan relasi kuasa antarkelas.
Kapitalisme dan Pasang Surut Identitas Kolektif Homoseksualitas
Sebelum kapitalisme, keuangan diatur secara kolektif dan produksi barang sehari-hari seperti roti, pakaian, sabun, dan lilin dilakukan secara mandiri oleh setiap keluarga, dilaksanakan secara interdependen sehingga keberhasilannya tergantung pada kerja sama (Engels, 1884; D’Emilio, 1993). Munculnya kapitalisme yang mengedepankan kepemilikan pribadi dan relasi dengan dasar persaingan mengubah hakikat produksi (Sachs, 1999). Perputaran kapital menyebabkan produksi yang awalnya dimaknai sebagai kegiatan mandiri secara “tiba-tiba” berubah menjadi kegiatan yang dilakukan buruh untuk memenuhi kepuasan pemilik modal dengan upah sebagai balas jasanya. Dalam analisis marxian, fenomena ini dikenal dengan istilah “wage labor”.
“Ditariknya” kegiatan ekonomi keluar rumah memberi otonomi bagi individu untuk mengeksplorasi jati diri dan bertemu dengan individu lain dalam komunitas-komunitas. Gelombang “Pansy Craze” yang menyapu Amerika Serikat pada 1920-an menandai kemunculan bibit-bibit pembentukan identitas homoseksual kolektif. Laki-laki homoseksual berkumpul di tempat-tempat umum seperti Riverside Drive (New York), Taman Lafayette (Washington), hingga pemandian umum dan perkumpulan YMCA. Representasi kaum homoseksual di bidang seni teater dan sastra juga meningkat.
Masa ini ditandai dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi akibat pembangunan pasca-Perang Dunia Satu dan derasnya aliran komoditas ke Amerika Serikat. Namun, pada saat bersamaan, ekspansi ekonomi ini memunculkan gelembung keuangan yang kemudian pecah saat harga barang dan jasa terjun bebas memasuki masa Depresi Besar pada akhir 1920-an hingga awal 1930-an (White, 1990). Depresi Besar ditandai dengan meningkatnya radikalisme dan konservatisme dalam kehidupan politik yang berdampak pada penerimaan masyarakat terhadap homoseksualitas (Koppes, 1996). Identitas homoseksualitas sempat mengalami kemacetan.
Meski sempat mengalami kemacetan, aliran kapital yang lancar pada masa Perang Dunia Dua akibat terbukanya keran industri-industri penunjang perang memberi peluang bagi masyarakat untuk mengeksplorasi identitas seksualnya kembali (D’Emilio, 1993).
Didorong oleh dinamika represi dan kapitalisme, beberapa puluh tahun kemudian, tepatnya ketika demonstrasi Stonewall di New York pecah pada 1969, identitas homoseksual yang kolektif telah terbentuk. Revolusi seksual 1960-an dan demonstrasi Stonewall membuka tirai menuju liberalisasi orientasi seksual yang telah lama diperjuangkan dalam senyap. Lagi-lagi, iklim positif terhadap homoseksualitas ini terjadi pada dekade ketika ekonomi stabil. Hal ini karena kebijakan pemotongan pajak Presiden Kennedy, sebuah keputusan yang menyebabkan pertumbuhan produk domestik bruto dan ekspansi ekonomi hingga sekitar delapan tahun (Perry, 2013). Gerakan liberalisasi di Stonewall menghasilkan prestasi mentereng bagi komunitas gay dan lesbian: perlindungan hak-hak sipil diwujudkan, larangan bekerja di pemerintahan dan militer dicabut, dan homoseksualitas dihapuskan dari daftar penyakit jiwa resmi ikatan psikiater.
Namun, naiknya Presiden Reagan dengan kebijakan yang menyebabkan meroketnya utang negara, meningkatnya pengangguran, menurunnya standar hidup, dan melanggengkan masalah struktural dalam ekonomi Amerika Serikat (Gilpin, 1987) memutarbalikkan iklim tersebut kembali. Aktifnya politik neoliberal Reagan disertai dengan “McCarthyisme” terhadap orang-orang gay. Keengganan Reagan untuk menuntaskan wabah AIDS juga memupuk stigma negatif terhadap komunitas gay dan merugikan kelompok-kelompok marginal yang memiliki ketergantungan terhadap fasilitas kesehatan publik (IBT, 1995).
Kontradiksi Kapitalisme terhadap Homoseksualitas
Dinamika sosial-politik Amerika Serikat menunjukkan bahwa identitas homoseksual justru berkembang pesat saat keadaan ekonomi, di bawah sistem kapitalis, sedang baik. Ironisnya, pada saat yang bersamaan, kapitalisme—sistem yang melahirkan identitas homoseksual—justru mengharamkan homoseksualitas. Hubungan sesama jenis dianggap dosa karena tidak produktif dalam hal ekonomi. Hubungan homoseksual tidak mampu menghasilkan keturunan yang nantinya dapat tumbuh besar menjadi buruh dan tentara yang menunjang sistem.
Kontradiksi ini menekankan bahwa tujuan keluarga inti adalah memastikan bahwa akumulasi kapital dapat menghasilkan stabilitas ekonomi yang diperlukan untuk menjamin keberlangsungan hidup kelas borjuis. Definisi cinta lalu dipersempit dalam sangkar pernikahan heteronormatif. Dalam sudut pandang borjuis, yang berdasar pada individualisme dan persaingan, cinta kasih di luar “batas halal” tersebut merupakan sebuah kelemahan dan tanda jiwa yang “terlalu sentimental”.
Relasi kepemilikan pribadi mendorong pergeseran makna keluarga inti (nuclear family) ke arah yang lebih patriarkis sebagai unit dasar kapitalisme. Kapitalisme turut mendiktekan peran-peran gender dalam keluarga: istri dituntut berperan sebagai pembantu, pelayan, dan sahabat suami dalam mengatur keuangan dan akumulasi kapital keluarga. Cinta kasih mulai dianggap krusial karena melanggengkan akumulasi kapital dalam keluarga, padahal di masa feodalisme tidak dianggap sebagai unsur penting dalam kehidupan bermasyarakat–karena pernikahan dilangsungkan semata-mata untuk menjamin warisan kepemilikan tanah.
Dengan begitu, tercipta sebuah “materialisme historis gaya baru” sebab perasaan cinta kasih dipandang dalam kaitannya dengan kepemilikan materi dan kapital. Cinta dianggap legal dan wajar jika sesuai dengan kepentingan kapitalis, tetapi dianggap haram jika bertentangan dengannya (Kollontai, 1923). Kenyataan ironis ini menyoroti kenyataan bahwa, sebagaimana diungkapkan Karl Marx dan Rosa Luxemburg bertahun-tahun sebelumnya, kapitalisme adalah sistem yang tidak stabil dan sarat kontradiksi.
Di bawah borjuisme, cinta kasih dianggap sebagai konsep yang demikian kompleks sehingga menciptakan permasalahan-permasalahan yang tak mampu dipecahkan (Kollontai, 1923). Cinta dikotak-kotakkan menjadi apa yang boleh dan tidak boleh, lalu ideologi dominan ini dilanggengkan dalam hegemoni kultural berupa budaya pop dan berita yang menampilkan interaksi sosial heteronormatif. Orientasi seksual menjadi komoditas di dalam gelanggang konsumerisme massal (Kirsch, 2006). Perusahaan-perusahaan menerapkan strategi rainbow capitalism dengan mengiklankan citra yang pro-LGBTQIA+ untuk menggaet pembeli. Bahkan, homoseksualitas dijadikan “tolok ukur” kemuliaan moral di suatu negara. Di Barat, agenda pro-LGBTQIA+ dipakai untuk mengiklankan citra diri sebagai negara yang bermoral dan peduli hak asasi–khususnya dalam perbandingan terhadap negara-negara Islam yang “terbelakang dan homofobik”–dan, dalam perkembangannya, dipropagandakan demi kepentingan nasional semata (homonationalism, dalam istilah Jasbir Puar [2007]).
Kontradiksi lain kapitalisme ialah munculnya identitas homoseksual tertentu yang lebih prevalen. Secara tradisional, homoseksualitas pada laki-laki dianggap “lebih mudah diterima” karena kapitalisme memprioritaskan mereka dalam pasar tenaga kerja, misalnya, melalui upah yang lebih tinggi (D’Emilio, 1993). Sementara itu, perempuan dianggap inferior sehingga isu orientasi seksualnya pun dinilai tidak sepenting laki-laki (IBT, 1995).
Kemudian, media-media yang berperan sebagai counter-hegemony heteronormativitas—seperti lagu “Take Me to Church” Hozier—walaupun lahir sebagai produk industri hiburan yang kapitalistik, nyatanya telah melahirkan diskursus yang menyadarkan masyarakat sipil akan pentingnya hak-hak asasi, yang tidak lain adalah fondasi gerakan LGBTQIA+.
Homoseksualitas dalam Bingkai Kapitalisme Global
Cinta kasih bukan hanya keniscayaan biologis akibat reaksi-reaksi kimia yang berlangsung di otak, melainkan juga unsur yang penting dalam budaya dan interaksi sosial. Namun, memandang heteronormativitas dan homofobia semata-mata sebagai sesuatu yang “merely cultural” justru dapat membuat aktor-aktor kapitalis mengabaikan faktor-faktor ekonomi di baliknya (Rao, 2015). Homofobia merupakan diskriminasi yang bersifat sistemik sehingga menganalisisnya membutuhkan pendekatan yang turut menyoroti faktor-faktor struktural yang melanggengkannya. Namun, pendekatan queer theory yang berkembang pada akhir 1960-an, bersamaan dengan gerakan-gerakan sosial yang mempromosikan kesetaraan bagi komunitas LGBTQIA+, secara ironis, tidak mengindahkan faktor-faktor struktural tersebut.
Akademisi queer theory meyakini bahwa studi tentang orientasi seksual dan gender seharusnya merupakan subjek otonom yang terpisah dari studi tentang homoseksualitas dan budaya pada umumnya. Hanya saja, latar belakang queer theory yang posmodernis–terlalu fokus pada pengalaman individu (human experience)–justru menjadikan faktor-faktor struktural, sebagaimana dikaji secara intensif dalam perspektif marxis, luput dari pengamatan (Kirsch, 2006). Pendekatan ini justru menyoroti hakikat individu yang autarkis dalam kapitalisme walaupun queer theory diklaim sebagai counter-hegemony untuk menentang kapitalisme. Diskriminasi pada komunitas gay tidak dapat dipandang sebagai isu yang terpisah dari eksploitasi dan alienasi ekonomi.
Perkembangan queer theory dan pergerakan gay dan lesbian secara umum merupakan bentuk resistance identity. Castells (2010) menjelaskan bahwa resistance identity membentuk sebuah komunikasi kolektif untuk melawan dominasi. Tahap selanjutnya adalah project identity–tahap yang ditandai perombakan ulang posisi aktor dalam masyarakat serta keseluruhan struktur sosial–yang, sayangnya, belum dicapai oleh pergerakan komunitas gay dan lesbian karena tersandung kepentingan politik dan hambatan struktural. Walaupun banyak negara sudah melegalkan pernikahan sesama jenis, diskriminasi dan kekerasan fisik pada komunitas gay dan lesbian, nyatanya, masih terus terjadi. Laporan FBI membuktikan bahwa sepanjang 2022, kekerasan berbasis diskriminasi orientasi seksual melonjak sebesar 13,8% dari tahun sebelumnya (Luneau, 2023).
Bukti bahwa diskriminasi orientasi seksual merupakan masalah struktural ialah banyaknya individu gay dan lesbian yang didiskriminasi dari institusi pendidikan dan sektor pekerjaan tertentu. Padahal, kapitalisme mengklaim memaksimalkan keuntungan melalui pasar tenaga kerja. Rendahnya produktivitas ekonomi dan kualitas sumber daya manusia akibat diskriminasi pada komunitas gay dan lesbian juga dibarengi kesenjangan upah. Penelitian pada 2014 membuktikan bahwa laki-laki homoseksual menerima upah 11% lebih sedikit daripada laki-laki heteroseksual (Rao, 2015).
Terpinggirkannya komunitas gay dan lesbian dari pendidikan, pekerjaan, hingga pariwisata terbukti dapat mencederai pendapatan negara. Bank Dunia melaporkan bahwa diskriminasi LGBTQIA+ di India membuat pemerintahannya kehilangan sekitar 0,1–1,7% dari total produk domestik bruto (Rao, 2015).
Kesenjangan antara negara maju dan negara periferi merupakan tantangan tersendiri dalam aktivisme LGBTQIA+ internasional. Orientasi seksual dianggap produk Barat sehingga privilese seperti kesetaraan cenderung dinikmati komunitas gay dan lesbian di negara-negara Barat (Kleitz, 2000). Sementara itu, timpangnya kualitas pendidikan dan kuatnya nilai-nilai budaya konservatif menyebabkan negara-negara miskin lebih homofobik daripada negara-negara kaya (Rao, 2015).
Homoseksualitas kerap dibingkai tanpa objektivitas sebagai akar permasalahan sosial seperti AIDS sehingga pembangunan internasional menjadi berat sebelah. Agenda-agenda aktivisme LGBTQIA+ pun masih sering hanya fokus pada hak-hak komunitas gay dan lesbian di kelas borjuis. Kesenjangan ini turut diperparah adanya agenda dan pembingkaian narasi Barat mengenai homoseksualitas di negara-negara periferi, misalnya melalui institusi keuangan internasional Bretton Woods seperti Bank Dunia dan IMF (Kleitz, 2000). Institusi keuangan internasional, yang menjadi tulang punggung kapitalisme global, dapat menjadi biang kerok maraknya homofobia di suatu negara melalui kebijakan yang tidak mengindahkan kondisi-kondisi lokal.
Homofobia yang marak di Haiti, misalnya, dapat ditarik kembali ke lemahnya perekonomian setelah pergantian rezim Duvalier pada 1986 ketika IMF memaksakan reformasi mata uang dan liberalisasi perdagangan beras (Gros, 2010; Rao, 2015). Lemahnya ekonomi yang disebabkan oleh tekanan negara maju dengan perantara institusi keuangan global, sesuai dengan hipotesis utama yang telah dipaparkan, mendorong suburnya homofobia dan menempatkan individu gay dan lesbian miskin dalam posisi yang rentan.
Lembaga seperti IMF dan Bank Dunia cenderung melihat isu-isu HAM, termasuk kesetaraan bagi komunitas gay dan lesbian, sebagai isu yang politis dan tidak sesuai dengan hakikat mereka sebagai institusi keuangan (Forsythe, 2000). Dalam hal ini, lembaga kapitalisme global cenderung hanya ingin menyelesaikan isu-isu HAM jika terdapat keyakinan bahwa hal tersebut dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, atau jika pembiaran isu tersebut akan menghambat aliran kapital. Tanpa adanya hubungan (linkage) ke faktor-faktor materiel, isu kesetaraan LGBTQIA+ dan HAM tetap dalam bayang-bayang sebagai permasalahan “abstrak”.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Solusi Sosialis bagi Komunitas LGBTQIA+
Tidak seperti perspektif kapitalisme yang menitikberatkan relasi material, dalam sosialisme, cinta kasih merupakan unsur yang perlu diikutkan dalam analisis tentang pergerakan kelas proletar (Kollontai, 1923). Melalui kebebasan ekspresi orientasi seksual, proletar dapat meningkatkan kualitas keadaan psikologisnya sehingga ia memiliki kapasitas untuk menentang penindasan borjuis. Kebutuhan nurani, di samping kebutuhan fisik, diadvokasi oleh sistem sosialis.
Homofobia, sebagaimana bentuk diskriminasi lain, pada umumnya, dipandang sebagai “anak” kapitalisme dalam perspektif kiri. Heteronormativitas mematikan daya juang kolektif dan memunculkan polemik baru. Sebagai contoh, untuk menutupi orientasi seksualnya, banyak individu gay dan lesbian yang menikah dengan lawan jenis demi mematuhi ekspektasi masyarakat (compulsory heterosexuality). Individu homoseksual yang terpaksa menjalani pernikahan heteroseksual demi menutupi identitasnya terpaksa menyaksikan bagaimana kapitalisme mencitrakan institusi pernikahan sebagai cara memenuhi kebutuhan material dan menjauhi alienasi. Padahal, kenyataannya berbalik: pernikahan semacam itu merupakan wujud baru represi dan alienasi identitas.
Keterasingan ini juga mengejawantahkan diri dalam bentuk pergolakan individu dengan makna identitas. Seorang individu yang kebingungan dengan identitas orientasi seksualnya terperangkap dalam dikotomi heteroseksualitas dan homoseksualitas; tanpa adanya pilihan lain, ia dipaksa “berpihak pada satu kubu.”
Perspektif kiri menekankan pentingnya membangun masyarakat dengan asas-asas solidaritas, persaudaraan, dan kolektivisme dengan menempatkan inklusivitas cinta kasih sebagai salah satu cita-cita utama. Dalam perjuangan menuju kesetaraan bagi kaum homoseksual, membangun kolektivisme bersifat komplementer bagi kampanye-kampanye hak sipil yang telah digalakkan (Weeks, 1985). Perlawanan terhadap heteronormativitas, homofobia, dan kapitalisme hanya dapat dilakukan dengan cara mengakui adanya dominasi dan turut melawan aksi-aksi diskriminatif yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dengan berfokus pada praksis (Kirsch, 2006).
Kirsch (2006) menyebut bahwa pergerakan dibutuhkan untuk menelurkan identitas kolektif dan rasa persaudaraan sehingga orang-orang yang tidak termasuk dalam komunitas LGBTQIA+ pun menyadari gentingnya pelanggaran hak asasi manusia dalam bentuk homofobia. Dalam masyarakat anyar yang mengedepankan spirit kolektif itu, cap (label) dikotomis hetero-homo akan mengalami kerontokan makna dan kesetaraan akan melampaui kelas sosial serta orientasi seksual.
Dengan meningkatkan kolektivisme, diharapkan signifikansi keluarga inti yang heteronormatif akan menurun. Hal ini bukan bertujuan untuk menghapuskan institusi keluarga secara absolut, melainkan untuk membuka terowongan menuju tatanan masyarakat yang memandang ketertarikan mutual yang sehat sebagai dasar bagi segala hubungan romantik, terlepas dari gender dan orientasi seksual, serta menghapus peran politis keluarga inti dalam proses akumulasi kapital.
Referensi
Castells, Manuel (2010). The Power of Identity. West Sussex, UK: Wiley-Blackwell.
D’Emilio, John (1993). Capitalism and Gay Identity. Dalam Henry Abelove, Michele Aina Barale, dan David M. Halperin (Eds.), The Lesbian and Gay Studies Reader (467-476). UK: Routledge.
Engels, Frederick (1884). The Origin of the Family, Private Property and the State. Marx/Engels Internet Archive. https://www.marxists.org/archive/marx/works/1884/origin-family.
Forsythe, David P. (2000). US foreign policy and human rights: The price of principles after the Cold War. Dalam David P. Forsythe (Ed.), Human rights and comparative foreign policy (21-48). Tokyo; New York: United Nations University Press.
Foucault, Michel (1978). The History of Sexuality, Volume I: An Introduction (Diterjemahkan oleh Robert Hurley). New York: Pantheon Books.
Gilpin, Robert (1987). American Policy in the Post-Reagan Era. Daedalus, Vol. 116(3), 33-67.
Gros, Jean-Germain (2010). Indigestible Recipe: Rice, Chicken Wings, and International Financial Institutions: Or Hunger Politics in Haiti. Journal of Black Studies, Vol.40(5), 974-986.
Herdt, Gilbert (1984). Ritualized Homosexuality in Melanesia. California: University of California Press.
International Bolshevik Tendency (1995). Marxism and the Struggle for Gay/Lesbian Rights: Capitalism & Homophobia. 1917, No.15.
Kirsch, Max (2006). Queer Theory, Late Capitalism, and Internalized Homophobia. Journal of Homosexuality, Vol.52(1-2), 19-45.
Kleitz, Gilles (2000). Why is development work so straight? Queering Development Seminar Series Session 2 Paper, Institute for Development Studies.
Kollontai, Alexandra (1923). Make way for Winged Eros: A Letter to Working Youth. Young Guard 3, 111-124.
Koppes, Clayton R. (1996). A Golden Age in Gay Gotham. Reviews in American History, Vol.24(2), 304-309.
Luneau, Delphine (2023, 16 Oktober). FBI’s Annual Crime Report – Amid State of Emergency, Anti-LGBTQ+ Hate Crimes Hit Staggering Record Heights. Human Rights Campaign. https://www.hrc.org/press-releases/fbis-annual-crime-report-amid-state-of-emergency-anti-lgbtq-hate-crimes-hit-staggering-record-highs.
Mark, Joshua J. (2021, 25 Juni). LGBTQ+ in the Ancient World. World History Encyclopedia. https://www.worldhistory.org/article/1790/lgbtq-in-the-ancient-world/.
Perry, Mark J. (2013, 17 Agustus). Let’s Not Forget the Decade the Liberals Love to Hate: The 1960s and President Kennedy’s Successful, Supply-side Tax Cuts. American Enterprise Institute. https://www.aei.org/carpe-diem/lets-not-forget-the-decade-the-liberals-love-to-hate-the-1960s-and-president-kennedys-successful-supply-side-tax-cuts/.
Puar, Jasbir K. (2007). Terrorist Assemblages: Homonationalism in Queer Times. Durham, NC; London: Duke University Press.
Rao, Rahul (2015). Global homocapitalism. Radical Philosophy, Vol.194.
Sachs, Jeffrey D. (1999). Twentieth-Century Political Economy: A Brief History of Global Capitalism. Oxford Review of Economic Policy, Vol.15(4), 90-101.
Weeks, Jeffrey (1985). Sexuality and its discontents. London: Routledge and Kegan Paul.
White, Eugene N. (1990). The Stock Market Boom and Crash of 1929 Revisited. The Journal of Economic Perspectives, Vol.4(2), 67-83.
Dinar Maharani H., mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia