Ilustrasi: Ilustruth
“SETIAP kali perjalanan, rata-rata buruh gendong bisa mengangkut 50 sampai 120 kilogram barang. Usia mereka sendiri rata-rata sudah di atas 40 tahun, bahkan ada yang 80 tahun,” ungkap Sariroh, Direktur Yasanti, lembaga nirlaba yang mengadvokasi buruh gendong perempuan di Pasar Beringharjo, Yogyakarta.
Profesi buruh gendong merupakan salah satu bukti bagaimana lansia masih aktif bekerja, meskipun mengacu peraturan di sektor formal usianya sudah melebihi batas pensiun. Fakta yang sangat banyak ditemukan di sektor informal adalah lansia harus bekerja dengan waktu panjang, lebih dari 40 jam, dan dengan penghasilan rendah.
Fenomena Lansia Produktif
Lansia dan produktif menjadi dua kata yang jarang disandingkan bersamaan. Usia produktif sesuai Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) dipatok di kisaran 15-64 tahun, dan di atas itu termasuk lansia. Lansia yang dianggap non-produktif, tenyata 54 persennya masih aktif bekerja dan 41 persen di antaranya adalah perempuan, demikian menurut Statistik Penduduk Usia Lanjut 2023,. Dari populasi tersebut, 24 persen merupakan lansia aktif bekerja berusia lebih dari 80 tahun.
Lansia bekerja di sektor informal memiliki kerentanan tersendiri. PBB memproyeksikan bahwa pada tahun 2050 jumlah lansia di Indonesia akan mencapai 74 juta atau sekitar 25 persen dari populasi. Banyak dari mereka sangat rawan untuk masuk dalam kelompok miskin.
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas)bulan Maret tahun 2023 menyoroti rasio ketergantungan lansia. Setiap 100 orang penduduk usia produktif berumur 15-59 tahun dikalkukasikan menanggung sekitar 17 orang lansia. Populasi lansia perempuan sendiri sekitar 53 persen lebih banyak dibandingkan dengan lansia laki-laki.
Riset terkini dari MicroSave Consulting (MSC) tentang pekerja informal perempuan menemukan bahwa motivasi bekerja perempuan di sektor informal, terlepas kelompok usianya, masih didominasi oleh fleksibilitas waktu kerja dan kebutuhan ekonomi. Riset ini juga meneliti jam kerja mereka. Pekerja informal perempuan yang berusia di atas 60 tahun, lebih dari setengahnya bekerja lebih dari 40 jam per minggu, dan 37 persen dari mereka berpenghasilan kurang dari Rp1 juta per bulan. Angka ini jauh di bawah rata-rata upah minimum.
Keadaan di atas menjadikan perempuan, sebagai penyumbang pekerja terbesar di sektor informal namun tanpa jaring pengaman dan kepastian kerja layak, harus menanggung kerentanan berlapis. Ini ditambah tanggung jawab perawatan dan pengasuhan yang tidak didistribusikan dengan seimbang di rumah tangga.
Kesenjangan Pelindungan Pekerja Lansia
Susenas tahun lalu menunjukkan hanya sekitar lima persen rumah tangga lansia yang dibiayai oleh jaminan pensiun. Bagi pekerja informal, JHT (Jaminan Hari Tua) atau jaminan pensiun termasuk dalam skema BPJS Ketenagakerjaan BPU (Bukan Penerima Upah) yang didaftarkan secara mandiri. Selain JHT, ada juga skema Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JK).
Kontribusi BPU yang sebesar Rp36.800 per bulan (JHT, JP, JKK) merupakan nominal yang cukup besar bagi kelompok pekerja informal berpenghasilan rendah. Selain kesulitan membayarkan kontribusi bulanan, banyak pekerja informal yang tidak tahu cara mendaftar dan bingung dengan status kerjanya.
Yayasan BITRA di Sumatera Utara, yang mengadvokasi hak-hak pekerja rumahan, menyadari bahwa pekerja informal yang mereka dampingi selain terkendala biaya, juga tidak mendapatkan akses dan informasi yang cukup mengenai skema perlindungan. Butuh pendampingan dari mereka untuk menyosialisasikan pentingnya terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan mengingat risiko kecelakaan kerja yang tidak ditanggung oleh pemberi kerja.
Dalam riset pekerja informal MSC, ditemukan bahwa 88 persen dari responden tidak mempunyai BPJS Ketenagakerjaan. Menariknya, mereka yang tergabung dalam serikat pekerja atau asosiasi mempunyai akses yang lebih besar terhadap keanggotaan BPJS dibandingkan mereka yang tidak. Hal ini menunjukkan pentingnya kegiatan kolektif pekerja untuk memastikan advokasi hak-hak pekerja.
Organisasi seperti Yasanti melakukan sosialisasi dan pendampingan administrasi pendaftaran dan pencairan BPJS Ketenagakerjaan kepada anggota serikat pekerja rumahan dan buruh gendong perempuan. Yasanti rutin melakukan edukasi mengenai keselamatan dan risiko bekerja dan kecelakaan kerja, juga memberikan informasi mengenai manfaat proteksi BPJS Ketenagakerjaan. Selain itu, organisasi ini juga aktif mencarikan dana perusahaan atau CSR untuk meringankan pembayaran premi bulanan bagi peserta yang paling membutuhkan.
Konsep asuransi sendiri, bagi pekerja informal berpenghasilan dan berpendidikan rendah, belum sepenuhnya bisa diterima. Untuk itu, organisasi seperti Yasanti dan BITRA harus dengan konsisten memberikan contoh-contoh perlindungan keselamatan kerja bagi mereka. “Mereka harus melihat sendiri temannya yang terkena musibah dan berhasil terlindungi BPJS Ketenagakerjaan, baru mereka mengerti manfaatnya,” kata Direktur Yasanti, Sariroh.
Ketiadaan jaminan pensiun bagi pekerja lansia juga dipengaruhi oleh ketidaksiapan mereka ketika usia muda dan produktif. Pengetahuan mengenai produk keuangan untuk investasi jaminan hari tua belum sepenuhnya sampai ke masyarakat. Kalaupun ada, opsinya masih terbatas dan tidak transparan dalam penjelasan mengenai kontribusi, benefit, dan skema pencairan.
Inklusi dan literasi keuangan memang memegang peranan penting dalam penentuan jenis produk keuangan yang diambil. Namun, menaikkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap produk investasi pensiun, adalah intervensi yang sangat signifikan, terutama untuk produk pensiun yang dikelola oleh negara. Hal ini penting mengingat peristiwa gagal investasi yang marak terjadi. Isu perlindungan konsumen menjadi krusial dalam konteks ini.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Lansia Ditanggung Negara
Data terkini menyebutkan bahwa enam dari 10 negara ASEAN mempunyai program pensiun non-kontributif, dan hanya Brunei Darussalam dan Thailand yang mempunyai skema pensiun yang hampir universal. Thailand menerapkan Universal Pension Scheme bagi lansia mulai umur 60 tahun yang nominalnya bertambah sesuai dengan tingkatan usia, yakni dari 600-1.000 Baht per bulan (atau senilai Rp267.000-Rp450.000). Skema universal ini bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan lansia di negara tersebut.
Meskipun programnya saat ini sedang dalam proses evaluasi, kebijakan ini bertanggung jawab terhadap pengurangan kemiskinan hampir 75 persen pada lansia, terutama mereka yang masuk dalam kategori kemiskinan ekstrem di Thailand.
Usaha di daerah juga perlu disoroti. Kabupaten Aceh Jaya melalui program Alsureti sejak 2012 memberikan kontribusi sebesar Rp200.000 per bulan bagi lansia berumur 70 tahun ke atas tanpa persyaratan, asal namanya terdaftar. Provinsi DKI Jakarta melalui Kartu Lansia Jakarta (KLJ) juga memberikan kontribusi sebesar Rp600.000 per bulan bagi lansia usia lebih dari 60 tahun yang tidak memiliki penghasilan tetap atau mempunyai penyakit yang sudah menahun.
Inisiatif perlindungan sosial bagi lansia ini merupakan langkah baik bagi penanggulangan kerentanan lansia yang masih ingin aktif secara ekonomi. Keberadaannya sangat penting untuk menunjang agenda kerja layak, menghilangkan diskriminasi, mengentaskan kemiskinan, dan memperluas cakupan pelayanan kesehatan untuk pada akhirnya mengurangi beban ageing population.
Putu Monica Christy adalah Senior Manager (GESI) MicroSave Consulting (MSC) Indonesia, sebuah perusahaan konsultan global yang memungkinkan inklusi sosial, keuangan, dan ekonomi dengan pemahaman lokal di lebih dari 68 negara berkembang.