Dinamika di Perdesaan: Di Balik Romantisme Perantauan

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Ilustruth


INI adalah catatan lapang saat penulis belajar di salah satu di desa di Bulukumba, Sulawesi Selatan.


Cerita Tua Perantauan

KISAH-kisah yang bertebaran dari masa lalu telah menunjukkan bahwa merantau adalah aktivitas yang telah mendarah daging bagi beberapa etnis yang ada di belahan Nusantara. Kisah-kisah heroik dan romantis perantauan kemudian mendorong banyak individu di tiap generasi untuk menempuh jalan serupa. Merantau dianggap sebagai warisan nenek moyang yang harus tetap dijaga hingga kapan pun. Tidak heran jika merantau selalu identik sebagai suatu wacana kebudayaan dalam bentuk penegasan jati diri kelompok.

Salah satu suku yang tersohor dengan tradisi rantaunya adalah Bugis. Mereka dikenal luas berani mengarungi lautan sejak berabad-abad lalu dengan hanya menggunakan kapal kayu pinisi dan lambo. Mereka dianggap punya interaksi yang intim dengan laut sebab telah memulai pelayaran dari tanah Sulawesi hingga ke banyak tempat, seperti Filipina, Sailan (Ceylon), Madagaskar (Afrika), Malaka, India, sampai ke bagian timur Irian dan Australia. Petualangan untuk melihat wilayah-wilayah baru, baik di dalam maupun di luar Nusantara, tercatat telah dilakukan oleh orang Bugis sejak abad ke-17. 

Orang Bugis menjadi suku yang patut diperhitungkan karena pengetahuan mereka mengenai laut sangatlah tinggi. Bahkan ada pepatah Bugis yang berbunyi, “Di mana perahu terdampar, di sanalah kehidupan ditegakkan”. Ungkapan tersebut seolah memancing jiwa orang Bugis agar berani berpetualang serta berlayar mengarungi samudra dalam mencari daratan maupun tempat pulang demi membangun suatu kehidupan yang baru (Husain, 2011:65). Cerita-cerita heroik soal keberhasilan orang Bugis mendiami tempat baru kemudian ditangkap sebagai kemewahan yang harus pula dilakukan oleh generasi dewasa ini. Sompe’ (merantau) itu merupakan cerita-cerita yang telah berusia tua dalam sejarah peradaban Bugis.

Maraknya fenomena perantauan oleh orang-orang Bugis di masa lalu diakibatkan oleh berbagai faktor. Salah satu yang paling kuat adalah adanya konflik-konflik bersenjata di antara kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi. Deretan konflik yang terjadi berimbas pada terjadinya ketidakstabilan politik serta keamanan. Puncaknya, adanya pertumpahan darah, perang saudara antar wilayah, serta meletusnya perang Makassar pada tahun 1666 (Alamsyah dkk, 2020:158). Meninggalkan kampung adalah alasan sekaligus upaya mencari solusi untuk mengatasi konflik, menghindari penghinaan, kondisi yang tidak kondusif, melarikan diri dari kenyataan sosial yang tidak memuaskan, serta keengganan untuk berdiam diri pada tempat asal yang di dalamnya kekerasan tumbuh subur. 

Namun, alasan-alasan di atas tidak cukup kuat untuk menjelaskan tentang kenyataan keadaan yang terus berubah—fenomena perantauan justru telah menjadi ciri khas yang “ajek” bagi orang Bugis hingga masa kini. (Husain, 2011:66). Dahulu, kesempurnaan diukur jika seseorang telah menempuh perjalanan hidup passompe’. Hal ini ditegaskan dalam ungkapan, “Selama laut masih berombak, maka pasir di pantai tidak akan pernah tenang”. Ungkapan inilah yang mungkin sering terdengar diwarisi oleh orang-orang tua kepada generasi saat ini, seolah-olah ingin menyatakan bahwa bagian dari darah mereka juga harus dialiri darah passompe’ sebagai upaya meneruskan tradisi dan kebudayaan.

Lantas, bagaimana meneropong ulang fenomena meninggalkan kampung (merantau) dewasa ini, yang marak terjadi di perdesaan?


Fenomena Perantauan dan Dinamika di Perdesaan

Di luar kisah-kisah heroik masa lalu, kehidupan di perdesaan seperti bekerja dalam alur yang lain. Cerita-cerita dari desa adalah episode panjang yang harus diraba terus-menerus, setidaknya menggunakan kedua telinga yang berperasaan. 

Melihat perdesaan sebagai suatu komunitas yang romantik, guyub, dan adem telah menjebak siapa pun yang akan atau telah mengunjunginya. Apa yang terjadi di desa tidaklah berbeda dari cerita-cerita kuno soal kota yang sumpek dan menjepit. Kehidupan di perdesaan bukanlah hubungan yang penuh kedamaian seperti yang sering dibayangkan. Beberapa orang harus tersingkir dari tanah-tanah mereka di desa tanpa serangan angin ribut, atau wabah, atau perang dan semacamnya. Orang-orang di perdesaan seolah punya pola yang membuat mereka harus berbondong-bondong meninggalkan kampung (merantau).

Perdesaan punya sekelumit kekuatan untuk mengusir “anak-anaknya”. Meskipun secara bersamaan pandangan yang melihat anak-anak sebagai anugerah turut tumbuh dalam benak orang dewasa, namun keterusiran mereka dari desa satu per satu menegaskan bahwa beberapa anugerah itu harus diabaikan. Apakah fenomena tersebut cukup dilihat sebagai tradisi kebudayaan dalam mewarisi darah rantau (passompe’)?

Sebelum membahas soal itu, perlu dipahami bahwa meninggalkan kampung mengakibatkan terjadinya krisis, terutama bagi masa depan pertanian. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2011 menyebutkan dari 62,92 juta pemuda, hanya 6,9 juta atau sekitar 11 % yang bekerja di sektor pertanian. Sisanya bekerja di sektor lain, yang tidak juga bisa didefinisikan sebagai pekerja tetap. Padahal, di Sulawesi Selatan, pertanian masih menjadi tulang punggung perekonomian. Sebanyak 21 % dari barang dan jasa yang dihasilkan di sana merupakan produk pertanian, baik itu tanaman bahan makanan, perkebunan, hortikultura, peternakan, perikanan, maupun kehutanan. 

Dilansir dari data Sensus Pertanian tahun 2003 dan 2013 yang dilakukan oleh BPS, tampak bahwa regenerasi petani di Sulawesi Selatan menemui hambatan yang cukup serius. Jumlah aktor yang berhubungan langsung dengan tanah, dalam hal ini petani, berkurang. Sensus Pertanian 2003 mencatat terdapat 1,05 juta petani di Sulawesi Selatan, tapi kemudian menurun menjadi 980 ribu orang menurut sensus yang sama satu dekade kemudian. Dari Sensus Pertanian 2013 juga diketahui bahwa persentase petani milenial hanya sekitar 15 persen–masih dominan petani berusia 45 ke atas, sekitar 54 persen. 

Luas lahan pertanian selama beberapa tahun terakhir juga turun. Di 2018, lahan pertanian mencapai 35,7 juta hektare, dikelola oleh 7,1 juta petani. Data BPS pun mencatat penduduk yang bekerja pada pertanian, kehutanan, dan perikanan  pada 2019 sebanyak 34,58 juta orang, turun 1,12 juta atau 1,46%.

Terkikisnya anak muda di sektor pertanian adalah fenomena yang telah mengepung banyak perdesaan. Makin rendahnya usia muda di pekerjaan berbasis tanah di berbagai negara di dunia, menurut White (2011: 6) adalah akibat dari kebijakan dan kondisi struktural pertanahan yang kompleks. Salah satu alasannya adalah semakin melemahnya pengetahuan dan keahlian di bidang pertanian (deskilling youth on agriculture knowledge).

Pendidikan dalam bentuknya yang beragam telah memperkokoh paradigma yang melihat pertanian serta perdesaan sebagai sesuatu yang telah usang dan tidak menjanjikan hari depan yang cerah. Kunci yang baru harus dicari, dan kadang itu adalah pabrik-pabrik besar di luar sana. Masa depan akhirnya dilihat dalam mesin yang canggih, upah yang dianggap lebih besar (dan stabil) dibanding menjual hasil pertanian, hingga jaminan hidup tenteram bersama keluarga kelak.

Tidak mengherankan pula jika fakultas pertanian di beberapa universitas cenderung hanya berkutat pada subjek yang ujungnya selalu berpangkal pada mekanisasi pertanian. Di dalam ruang kelas, ceramah dosen atau “orang-orang besar” kepada pada mahasiswa (yang dilihat sebagai gelas kosong) adalah solusi tunggal pertanian modern. Beberapa istilah asing turut digembar-gemborkan, termasuk oleh mantan Menteri Pertanian bermasalah Syahrul Yasin Limpo, bahwa “smart farming ataupun green house yang sudah menggunakan teknologi mekanisasi harus kita kembangkan bersama. Melalui cara itu pertanian kita akan masuk pada pertanian modern.” 

Hubungan antarmanusia di atas tanah pertanian seolah dipinggirkan, padahal sebelum membicarakan mekanisasi, beberapa orang-orang di perdesaan sebetulnya tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai petani karena tidak memiliki tanah. Kenyataan ini seolah bukan sesuatu yang pantas dibicarakan di ruang yang mewah bernama kampus. Gedung-gedung tinggi kampus mengokohkan diri menjadi ruang yang terpisah dengan sesuatu yang terjadi di luar sana. Potret pendidikan saat ini dipenuhi dengan ajaran “ilmu pergi” (Lutfhi & Saluang, 2015) dari kerja-kerja yang dianggap kotor, terlebih jika harus seterusnya dengan tanah dan lumpur.

Generasi muda kelas menengah atau golongan kaya cenderung gandrung dengan corak berpikir demikian. Orang tua tidak rela jika anak turun ke sawah setelah membiayai mereka mengenyam pendidikan di kota. Merupakan sebuah kehormatan bisa melihat anak-anak bekerja sebagai karyawan perusahaan, pegawai negeri, polisi, tentara, dokter, atau jenis pekerjaan lain yang memiliki kantor dilengkapi mesin pendingin ruangan. Pekerjaan anak menjadi modal kultural yang memenuhi setiap obrolan pada pesta-pesta yang ada di kampung maupun di luar kampung, setidaknya menjadi penegasan bahwa sebagai orang tua mereka telah berhasil mendidik anak-anak. Pertanian-perdesaan bukan dilihat sebagai tempat yang patut ditinggali setelah bertahun-tahun hidup dan belajar di kota dengan berbagai pengorbanan. 

Belum lagi, perdesaan hanya dilihat sebatas tempat yang menyediakan tenaga kerja murah. Beberapa orang kota datang dan menawarkan orang desa bekerja di luar, dengan iming-iming pendapatan yang jauh lebih menjanjikan. Sangat banyak cerita tentang hal ini, termasuk di desa BL (nama disamarkan). Beberapa perempuan hingga anak muda menyambut baik tawaran orang kota. Mereka berbondong-bondong meninggalkan sementara kampung, biasanya satu hingga dua bulan, untuk menjadi buruh panen (massangki). Dengan terlibat, mereka akan merasa bahagia sebab kembali ke kampung dengan beberapa karung gabah (biasanya dua sampai tiga karung untuk masa dua bulan kerja). 

Selama pergi, sebisa mungkin mereka menekan segala bentuk kekhawatiran, termasuk perasaan rindu keluarga atau cemas sebab harus berada jauh dari lahan yang mereka garap.

Tenaga yang mereka kerahkan di perkotaan sebetulnya tidak jauh berbeda dengan saat menggarap kebun. Tetap saja panas dan capek. Bedanya, muncul euforia yang dianggap harus diulang terus-menerus. “Begitumi kalau mauki cari apa yang mau dimakan,” demikian kata Ibu S kepada saya beberapa waktu lalu. Saat truk pengangkut buruh panen tiba di desa, warga serentak dan meriah mendatangi, seperti semut yang mengepung sumber makanan.

Gambar 1. Rumah warga yang turut terlibat menjadi buruh panen di kota.

Alasan menjadi buruh panen di desa ini adalah rangkaian puzzle yang bagian-bagiannya mungkin belum tampak. Menurut beberapa orang, sebelum ada fenomena massangki, orang-orang di desa BL bergantung pada nasi jagung dan umbi-umbian. Akses jalan yang sulit membuat mereka seperti terjebak di kampung yang cenderung jalan di tempat. Setelah beberapa orang di desa mulai punya pengalaman berhubungan dengan kampung yang ada di luar, mereka akhirnya mengenal beras dan muncullah keinginan untuk merasakannya pula. Seperti kata Ibu S, “Kapan itu dih bisa banyak berasku di rumah.”

Beras merupakan kebutuhan yang sulit didapatkan. Lahan-lahan mereka lebih banyak ditanami jagung, kopi, atau umbi-umbian. Untuk mendapatkan besar, mereka harus ke pasar yang jaraknya sekian kilometer, dengan berjibaku melawan hawa dingin pegunungan saat hari masih gelap, bisa berjalan kaki atau menunggangi kuda (bagi yang memiliki). Mereka biasanya tiba di pasar saat matahari sudah muncul. Jika terlambat sedikit saja, mereka harus mengubur harapan mendapat beras yang banyak. 

Pilihan lain tidak bukan menjadi massangki. Mereka menganggap ini jauh lebih instan ketimbang harus merawat, menyiangi, hingga memanen hasil kebun lalu menjualnya ke pasar untuk mendapat uang tunai yang kemudian dipakai membeli beras. Belum lagi menggarap lahan tidak lain adalah perjudian sebab belum tentu biaya yang dikeluarkan untuk pupuk, bibit, juga tenaga, sebanding dengan hasil yang didapat. Bagi mereka, berkebun adalah skema cukup panjang sebelum akhirnya dapat melihat hasilnya: beras di dapur. Sementara hanya dengan menjadi massangki selama dua sampai tiga bulan, tiga karung gabah akan memenuhi rumah. Ada rasa senang saat melihat karung-karung itu berdempetan di dapur meski capek dan terik matahari adalah serangan yang harus diterima bertubi-tubi selama bekerja di sawah milik orang kota.

Strategi buruh tani di perdesaan adalah menyambung harapan demi harapan menjadi rangkaian “asal bisa hidup”. Menjadi buruh panen termasuk di dalamnya. Selain itu, fenomena ini juga membuat bagaimana gambaran perdesaan sebagai penyuplai tenaga kerja murah yang ditarik oleh magnet akumulasi di perkotaan menjadi lebih terang.


Budaya Rantau yang Menubuh?

Kemiskinan yang menggerogoti rumah tangga buruh tani merupakan sebuah penghinaan. Penghinaan itu bukan hanya karena tidak dapat dibenarkannya kesengsaraan, penderitaan, dan kematian-kematian konyol yang sebenarnya bisa dicegah, tetapi juga karena kemiskinan itu berdampingan dengan kemakmuran yang mengalir di sekitarnya (Mulyanto, 2006).

Alasan meninggalkan kampung, merantau, turut dibangun di atas budaya yang telah mendarah daging. Generasi muda yang memiliki keinginan bertani selalu punya hubungan terbatas dengan tanah. Akses mereka terhadap tanah selalu dibayang-bayangi oleh generasi tua sebagai pemilik penuh di belakangnya. Budaya semacam ini telah menubuh di perdesaan. “Gerontokrasi” telah membuat relasi antara anak muda dan orang dewasa menjadi lebih runcing, sebab anak muda tidak diberi akses langsung atas tanah dan masyarakat cenderung lebih mementingkan orang dewasa, yang tercermin dalam budaya pewarisan. Gerontokrasi adalah relasi sosial di dalam masyarakat yang lebih banyak dikendalikan oleh orang-orang yang lebih tua. Warisan kadang baru dialirkan ke generasi muda saat orang tua merasa bahwa ajal telah mengikatnya lebih dekat; saat kematian dianggap telah menanti di depan mata.

Orang tua terjebak pada pilihan untuk terus bekerja atau membaringkan badan setiap saat di kasur yang empuk. Orang-orang kampung punya kecenderungan menilai tinggi orang-orang tua yang masih bekerja. Berhenti bekerja merupakan pilihan yang berat dan menghasilkan tekanan dari mana-mana, sebab hal ini menegaskan bahwa orang tua memang telah kelelahan dimakan usia dan harus menerima nasib untuk bergantung pada yang muda. Pilihan atas dilema ini beragam, sesuai dengan kondisi ekonomi rumah tangga yang menopangnya. Petani miskin yang berusia tua terpaksa akan terus bekerja selama hidup, terlebih jika dalam keluarga salah satu dari mereka terlilit utang. Mau tidak mau, suka tidak suka, orang tua akan mengerahkan sisa tenaga yang masih dimilikinya sebagai sumbangan bagi keluarga, sekaligus demi mengokohkan martabatnya sebagai orang tua.

Gambaran mengenai bagaimana usia turut bekerja dan memengaruhi kehidupan ekonomi dapat dilihat dalam beberapa kasus. Usia menjadi bagian dari identitas demi menunjukkan suatu karakter bermartabat yang beroperasi dalam menentukan “siapa yang harus tersingkir”. Penyingkiran orang-orang dari pekerjaan produktif berbasis tanah, khususnya yang dialami langsung oleh generasi muda, merupakan bagian dari kenyataan yang menubuh di perdesaan dalam proses menyejarah.

Gambar 2. Saat menggali cerita soal perantaun.

Komposisi keluarga yang terdiri dari beberapa anak membuat perkara warisan tanah menjadi lebih kompleks. Hal ini misalnya terjadi di keluarga MS, masih di desa BL. Demi menghindari konflik, lahan warisan dipusatkan pada satu orang, yakni anak paling tua, sedangkan yang lebih muda hanya diberikan akses untuk sekadar mengelola lahan, yang hasilnya tetap harus dibagi sesuai persentase yang telah disepakati kedua belah pihak. Tidak ada pula jaminan bahwa adik si penggarap akan mendapatkan hasil yang jauh lebih banyak sesuai dengan kerja yang telah dikeluarkan dibandingkan kakak si pemilik. Dalam kasus ini tidak ada lagi garis darah, melainkan relasi antara “si pemilik” dan “si penggarap”. 

Bentuk-bentuk kepemilikan atas lahan di lingkup keluarga selalu beriringan dengan menubuhnya budaya bahwa “yang tua” jauh lebih perlu didahulukan sebelum “yang muda”. Kondisi ini sepertinya turut mempersempit pilihan hidup bagi “yang muda” untuk tetap bertahan di perdesaan.

Meski mendapatkan warisan tanah, bukan berarti anak yang lebih tua akan tetap di perdesaan. Masih di keluarga MS, anak paling tua tetap meninggalkan kampung. Pilihan ini ditempuh bukan untuk sekadar mengokohkan diri sebagai passompe’. Faktanya luas kepemilikan lahan berkelindan dengan alasan meninggalkan kampung. Dalam hal ini, lahan mereka untuk menanam kopi hanya beberapa hektare, dianggap tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga yang semakin meningkat (seperti turut membiayai pendidikan adik serta menyisihkan sisa gaji untuk orang tua). Mereka memang menganggap kebutuhan harian masih dapat ditopang oleh lahan-lahan yang ada di kampung, namun tentu melalui upaya keras setiap saat. Beberapa kebutuhan lain dianggap tidak dapat dipenuhi oleh lahan mereka. Kebutuhan akan uang tunai jauh lebih mendesak. 

Menurut ingatan warga, harga kopi di pasar melejit pada 2014. Kopi di desa mereka pun jadi lebih dikenali di luar sana. Namun, pada tahun-tahun sebelumnya, harga kopi hanya berkisar di angka Rp2.000-an per liter, dengan skema masa panen pertahun. “Apa yang bisa diharapkan kalau begitu?” kata MS. Orang-orang akan berlomba-lomba memetik kopi saat masa panen tiba, sebab jika terlambat sedikit saja bakal tidak akan terjual karena pedagang atau tengkulak telah pergi dari kampung. Otomatis mereka juga tidak punya kesempatan mendapatkan uang tunai. Biasanya hasil panen dibiarkan menganggur sembari menunggu tahun selanjutnya datang, atau dikonsumsi sendiri demi meluruskan kembali pikiran yang silang sengkarut. 

Nasib petani seperti MS berkebalikan dengan nasib seperti keluarga N, pemilik kebun kopi yang relatif luas, lebih dari 5 hektare. Lahan mereka mampu menopang biaya reproduksi keluarga, bahkan mungkin lebih hingga mampu membiayai sekolah anak yang salah satunya tengah menempuh pendidikan tinggi di kota besar. Hal ini turut dipertegas dengan fakta bahwa bapak N tidak pernah merantau untuk mencari uang. 

Hanya ada dua kemungkinan di balik booming komoditas, khusunya kopi, dewasa ini. Pertama, beberapa orang akan tersingkir lalu meninggalkan kampung demi mencari penghidupan yang lebih layak akibat patok-patok lahan yang semakin tegas, meskipun apa yang akan ditemukan di luar sana tidak pernah menjanjikan kemakmuran instan. Menjadi buruh di perusahaan sawit seperti yang harus ditempuh oleh kakak MS mungkin bahkan lebih kejam dari aktivitas berkebun di kampung yang telah digeluti sejak dulu. Kedua, segelintir yang lain dapat bertahan sembari memiliki kesempatan untuk mengakumulasi lahan.

Akumulasi lahan kepada segelintir orang juga relatif mudah sebab ada kecenderungan orang-orang memilih jalan singkat untuk mendapatkan uang tunai. Membiayai kebutuhan seperti pendidikan, perantauan, hingga pernikahan atau seremoni dalam bentuk lain telah mengeruk ekonomi rumah tangga. Pilihan yang mungkin sangat ampuh untuk mereka adalah dengan menjual tanah (jika punya) atau berhutang pada bank hingga tengkulak tanpa pertimbangan yang lebih jauh dan matang. Pun demikian untuk memodali anak. Jika suatu saat panggilan bagi sang anak untuk bekerja di luar kampung telah terdengar, maka orang tua sesegera mungkin mencari cara agar panggilan tersebut dapat segera terwujud, sembari membayangkan bahwa nasib baik telah muncul di tempat yang jauh di sana. Tragisnya, sang anak hanya akan menjadi buruh kota, umumnya mereka bekerja sebagai buruh sawit di Malaysia. Akibatnya generasi tua dan generasi muda perdesaan terpaksa harus meratapi nasib melihat tanah mereka berpindah tangan atau hilang.

Bagi generasi muda, keinginan untuk kembali ke pertanian menjadi sesuatu yang mustahil dilakukan sebab mereka telah kehilangan akses terhadap tanah. Tanpa tanah, mustahil untuk bekerja di sektor pertanian. Jika pun mungkin, itu hanya dapat ditempuh dengan menyewa tanah pada tuan tanah (serta petani kapitalis) melalui skema bagi hasil atau tercebur menjadi buruh tani. Relasi-relasi produksi berbasis tanah yang hadir kemudian hanyalah hubungan eksploitatif. Keterceburan tersebut turut membuat orang-orang tanpa sarana produksi jatuh dalam lubang kemiskinan lebih dalam.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Merantau: Mencari Jalan Keluar dari Kelaparan

Berbagai dinamika di perdesaan yang berkelindan satu sama lain turut mendorong banyak generasi, mau tidak mau, suka tidak suka, meninggalkan kampung (merantau), meninggalkan hubungan intim dengan tanah asal mereka, sembari merawat harapan hidup yang jauh lebih baik di benak masing-masing, seminimal mungkin keluar dari kelaparan.  

Ini berbeda dengan dahulu kala. Dulu orang Bugis merantau (sompe’) dan bermigrasi (mallekke’ dapureng) bukan karena kelaparan, dapur tidak lagi berasap, tidak ada pekerjaan, daerah asalnya tandus kering, tetapi kebutuhan akan kebebasan. Kebebasan bekerja (berdagang, bertani, atau jadi nelayan), kebebasan dari gangguan keamanan, kebebasan dari situasi yang mencekam, dan sebagainya. Singkatnya, untuk mencari ketenangan hidup. Lebih lanjut Patji menjelaskan bahwa orang Bugis merantau sebagai bukti kesediaan untuk mengikuti perubahan. Ada faktor pengorbanan dan perjuangan, karena hanya dengan begitu mereka dapat diterima dengan baik dalam lingkungan sosial yang baru. 

Kisah romantik ini tidak lagi menjadi alasan. Tanpa sedikit pun semangat untuk meneguhkan identitas kedaerahan apalagi mengamini tradisi passompe’, fenomena meninggalkan kampung telah menunjukkan bahwa ketimpangan di perdesaan masih mengemuka di setiap sudutnya. Meninggalkan kampung bukan hanya soal pilihan individu, penyebabnya lebih jauh dipicu oleh ketimpangan agraria yang mengakar kuat. Bukan suatu kebetulan jika jawaban dari “kenapa mereka meninggalkan kampung?” adalah karena tidak ada harapan untuk menyambung hidup. Tanah rantau seolah surga, yang padahal bisa jadi peti mati–beberapa hal yang sering dialami oleh mereka yang merantau termasuk kekerasan fisik hingga beban kerja berlebih.

Cerita rantau yang heroik dan romantik patut dipertanyakan ulang dewasa ini. Rantau tidak bisa lagi dilihat sebagai tradisi, tetapi keinginan untuk mencari sesuap nasi yang tidak lagi mampu disediakan oleh tanah asal. Kelaparan membuat sebagian orang desa harus bergerak, pamit, lalu meninggalkan rumah. Kamu yang masih tinggal di kampung mungkin sadar bahwa banyak teman kecil sudah hengkang, dan kekhawatiran kamu semakin kuat bahwa yang akan tersisa (entah sampai kapan) hanyalah dirimu seorang.


Referensi

Alamsyah, dkk, 2020. Migrasi, Diaspora, dan Bajak Laut Bugis. Semarang: Tiga Media.

Husain, S. B. (2011). Diaspora orangorang Bugis Makassar di Surabaya, Abad XV-XXI (Makalah dipresentasikan pada Konferensi nasional Sejarah IX, Jakarta, 5-7 Juli 2011)

Lutfhi, Ahmad Nashih dan Surya Saluang, 2015. Masa Depan Anak Muda Pertanian di Tengah Liberalisasi Pertanahan. Jurnal Bhumi Vol.1:1

White, Ben, 2012. “Changing Childhoods: Javanese Village Children in Three Generation”. Journal of Agrarian Change, Vol 12:1

Mulyanto, Dede, 2006. Bekerja Sampai Mati: Kerja dan Hidup Petani Tua di Indramayu Selatan. Jurnal Analisis Sosial, Vol.11:1


Muhammad Riski, akrab disapa Yoyo, saat ini terlibat aktif dalam aktivitas riset, pengorganisasian, dan pendidikan kritis di Cita Tanah Mahardika (CTM), selain itu juga aktif di organisasi Korps Pencinta Alam (KORPALA) Universitas Hasanuddin

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.