Demokratisasi Kampus Sekarang Juga

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Ilustruth


JAUH sebelum Indonesia merdeka, pada saat masih bernama Hindia Belanda, pemerintah kolonial mendirikan kampus sebagai konsekuensi diberlakukannya politik etis. Kita bisa mengingat kampus rintisan kolonial di awal abad ke-20 seperti STOVIA (sekolah kedokteran), RHS (sekolah hukum), dan Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte (Fakultas Sastra dan Filsafat). 

Meskipun banyak intelektual pembangkang yang lahir dari sana, namun sudah tentu pada mulanya kampus dibangun untuk kepentingan kolonial. STOVIA, misalnya, dibangun karena kebutuhan mendesak untuk memerangi penyakit yang merebak di seantero Jawa. Di sana mereka melatih beberapa orang menjadi juru kesehatan, dengan harapan mengurangi distribusi dan frekuensi penyakit. Pembangunan STOVIA tentu saja hanya untuk kepentingan kesehatan kolonialis. Para penjajah akan acuh tak acuh jika ada pribumi mati karena penyakit dan hanya akan peduli ketika penyakit tersebut mulai mengganggu dan menghantui mereka. 

Pendirian STOVIA tak jauh berbeda dengan RHS dan sekolah lainnya. Sekolah hukum dibangun agar para lulusannya menjadi londo ireng yang membela kepentingan kolonial, sementara sekolah sastra dibuat untuk mengarang cerita-cerita yang melenakan masyarakat jajahan. 

Kepentingan sekolah-sekolah itu pada akhirnya tertaut dengan niat memuluskan penjajahan, bukan untuk memerdekakan. Semua dibangun agar kekuasaan bisa menancap lebih mapan.

Proses bersekolah seperti itu mencederai tujuan ideal pendidikan. Biasanya, pendidikan ala kolonial berwujud ultra-positivistik. Pengetahuan dimistifikasi. Pengetahuan dianggap suatu hal yang terlepas dari proses pembentukan institusinya. Kepentingan pendidikan direkayasa demi menghasilkan keuntungan pemilik sekolah. Jadilah pembelajaran sebagai arena imposisi pengetahuan dari mereka yang menganggap tahu segala kepada mereka yang tidak tahu apa-apa. Pendidikan kehilangan bentuknya yang kritis dan dialogis.

Sekolah kolonial jadi alat yang cukup efektif untuk melakukan proses indoktrinasi, meracuni pikiran peserta didik, dan diarahkan guna melanggengkan penjajahan. Proses belajar-mengajar tak bernuansa kritis dan cenderung memiliki motif yang pragmatis. Mahasiswa diajar bukan untuk dicerahkan secara intelektual, melainkan untuk didisiplinkan dan dijajah pikirannya dengan cara yang tak tampak secara langsung.

Hasil dari model sekolah atau kampus ala kolonial itu melahirkan manusia satu dimensi. Patuh. Sekolah bertujuan untuk memproduksi tenaga kerja berpengetahuan yang bisa diupah murah. Kerja bukan untuk masyarakat. Kerja menjauhkan pekerja dari dirinya sendiri. Inilah potret kapitalisme yang mewujud dalam pendidikan kolonial. 

Sebagai subyek, mahasiswa memiliki hak, sementara kampus merupakan ruang publik demokratis. Rianne Subijanto dalam artikel “Ruang Publik Dulu dan Sekarang” mengatakan ruang publik adalah sebuah ruang yang setiap orang dapat berpartisipasi secara deliberatif, ikut serta dalam membahas dan memutuskan hal-hal yang berkenaan dengan tiap aspek kehidupan. Namun, pemerintah kolonial tak pernah mengakui apalagi mengakomodasi itu. Tak pernah ada kesempatan bagi mahasiswa terlibat dalam pengaturan segala aktivitas di dalam kampus. Pengabaian aparatus kampus terhadap hak yang dimiliki mahasiswa berarti juga pengabaian terhadap esensi kampus sebagai ruang hidupnya dialektika pemikiran.

Kolonialisme memastikan bahwa demokrasi dapat mengganggu kekuasaan. Watak seperti itu memiliki implikasi terhadap sistem yang dibangun. Di bidang pendidikan, gagasan dan praktik tentang demokrasi tak pernah dianjurkan untuk diamalkan oleh mahasiswa pribumi. Demokrasi itu ancaman, kata mereka. Demokrasi mampu menjelma gunting dalam lipatan. Lembaga pendidikan kolonial ditujukan untuk menetralisir kekuatan politik yang dikhawatirkan muncul dari golongan pribumi (Prayudi, 2015). 

Berakhirnya era kolonial Belanda tidak berarti mengubah pola pendidikan. Yudi Latif dalam Intelegensia Muslim dan Kuasa (2012) mengabarkan bahwa “pihak Jepang memperkenalkan sebuah rezim pendidikan yang berbeda yang lebih menekankan pada pendidikan militer dan paramiliter. Hal ini menjadi katalis bagi tertanamnya mentalitas militeristik dan bagi terbentuknya inteligensia militer pada masa depan.” Pendidikan ala militer ini, meski tak mengacu dan cenderung anti terhadap pendidikan ala Barat, tetap tak demokratis.

Letnan Jenderal Imamura, panglima tentara Jepang pertama di Jawa, bahkan mengeluarkan dekrit untuk melarang segala bentuk diskusi dan organisasi. Kemudian banyak organisasi dan beberapa perguruan tinggi ditutup. Ruang publik dikontrol secara ketat oleh polisi militer dengan menerapkan kebijakan “imbalan dan hukuman”. Rezim kolonial Jepang menggunakan pendidikan hanya untuk memperkuat fasisme. Dengan demikian, peserta didik, mahasiswa, lagi-lagi tetap menjadi objek. 

Kilas sejarah pendidikan di negeri ini jelas seperti kritik yang dilontarkan Paulo Freire, yang melihat mahasiswa sebagai objek, botol kosong, yang tak tahu apa-apa. Juga anti-demokrasi. Mereka mesti digembleng pikirannya untuk diisi pengetahuan dan kemudian dimanfaatkan bukan untuk kepentingan umum. Proses yang demikian barangkali lebih tepat disebut dengan proyek perbudakan dibanding pencerahan.


Kemerdekaan, Menyuntikkan Demokrasi 

Sejak Indonesia merdeka, peralihan radikal dimulai. Pun dalam bidang pendidikan. Setelah sekian lama hidup dengan model pendidikan ala kolonial yang diskriminatif, semangat demokratis dan egalitarian disuntikkan. Pendidikan menjadi hak untuk semua. UU Pendidikan No. 4 Tahun 1950 yang diratifikasi menjadi UU No. 12 Tahun 1954 menegaskan bahwa “pendidikan adalah hak setiap warga negara”. Yudi Latif mengatakan bahwa sejak saat itu sektor pendidikan tumbuh sangat pesat dan belum pernah ada presedennya.

Semangat demokratis dan kritis menjadi pegangan. Beberapa kampus bahkan dibangun dengan gotong royong. Universitas Baperki adalah contohnya. Kampus yang kelak berubah nama menjadi Universitas Res Publica (Ureca) ini dibangun oleh para anggota Baperki (Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia), masyarakat umum, dan bahkan para mahasiswanya sendiri. Dalam satu esai di buku URECA Berperan Dalam Pembangunan Bangsa (2014), Siauw Tiong Djin menulis, “Para mahasiswa Ureca diimbau untuk membantu usaha pembangunan gedung-gedung universitas. Para mahasiswa teknik-nya bekerja sama dengan para dosen untuk mendesain gedung-gedung serta fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan. Dengan jalan gotong royong ini, banyak gedung bisa diselesaikan pada waktunya dengan ongkos pembangunan yang relatif rendah. Ureca adalah satu-satunya universitas di Indonesia yang dibangun oleh para mahasiswanya.”

Wawancara Luthfi Hamzah Husin dengan Sutaryo dalam buku Gerakan Mahasiswa Sebagai Kelompok Penekan (2014) juga mengatakan bahwa Universitas Gadjah Mada (UGM) dibangun bersama oleh dosen dan mahasiswa. Selain fisik, mahasiswa juga turut andil dalam pembangunan konstruksi filosofis fakultas-fakultas. Tentu Ureca sebagai kampus swasta dan UGM sebagai kampus negeri hanya contoh kecil bagaimana institusi pendidikan bisa dibangun dengan gotong royong dan demokratis.

Pelibatan mahasiswa dalam segala aktivitas pada akhirnya menjadi kekuatan bagi kampus itu sendiri. Dengan semangat demokrasi, relasi antar subjek di dalam kampus dibangun dengan adil dan tak berpretensi saling menguasai.


Orba Meruntuhkan Segalanya

Kebebasan berekspresi dan berpolitik di era Sukarno menjadikan mahasiswa sebagai poros kekuatan baru dengan jumlah massa yang tak sedikit. Akan tetapi, situasi ekonomi-politik yang mulai kacau di pertengahan 1960-an memicu terpecahnya kekuatan mereka menjadi dua kubu besar: yang pro dengan Sukarno dan yang mulai gerah dengan Sukarno. Hal itu diperparah dengan terjadinya peristiwa G30S, yang menurut Usman Sunyoto (1999) memberi stimulan bagi mahasiswa yang bergabung dengan partai dan organisasi massa untuk melakukan gerakan politik, terutama tuntutan pembubaran PKI yang divonis melakukan makar.

Setelah Sukarno tumbang, pendidikan Indonesia memasuki era baru. Universitas yang memiliki keberpihakan politik dan ideologis kepada pemerintahan Sukarno seperti Ureca, Universitas Rakyat (Unra), Akademi Ilmu Sosial Aliarcham, dan beberapa yang lain, diberangus oleh rezim Soeharto. Kampus itu dianggap sebagai tempat memproduksi orang-orang kiri pemberontak. Dengan pemberangusan kampus tersebut, ditambah mereka yang tak bisa pulang menjadi eksil saat menjalankan pendidikan, satu generasi intelektual juga turut hilang.

Watak rezim yang represif dan sentralistik tak memungkinkan iklim pendidikan kampus yang demokratis. Beberapa kali gerakan mahasiswa (yang pada akhirnya memutuskan hubungan dengan militer karena merasa dimanfaatkan rezim) melakukan protes-protes terhadap pemerintah Orde Baru. Tindakan seperti itu dianggap sangat lancang oleh Soeharto. Maka pemerintah melalui Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) membekukan seluruh dewan mahasiswa di semua universitas pada 21 Januari 1978. Kritik dibungkam. Kritisisme dibunuh ketika protes dianggap mengganggu kehidupan bangsa dan merusak konstitusi. Kampus tak lagi beriklim intelektual yang emansipatif. Kampus semakin represif. 

Lewat Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef No. 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK), organisasi mahasiswa intra-kampus ditata ulang, diredefinisi dalam bingkai politik rezim. Dunia mahasiswa semakin sesak ketika setahun kemudian Daoed Joesoef mengeluarkan peraturan baru, Surat Keputusan No. 037/U/1979, yang mengatur bentuk dan susunan organisasi kemahasiswaan sedemikian rupa, yang tidak memungkinkan mahasiswa melakukan aktivitas politik tanpa kontrol pemerintah (Usman, 1999).

Orde Baru yang picik bersembunyi di balik Pancasila. Pancasila yang mencita-citakan penerimaan atas pluralitas dan kemajemukan gagasan ditafsirkan serampangan untuk menunjang kekuasaan. Pancasila menjadi khianat terhadap demokrasi. Ormas, termasuk organisasi kemahasiswaan, dihomogenkan lewat UU No. 8 Tahun 1985. Ormas harus menggunakan asas tunggal Pancasila (ala Orba). Organisasi yang tak menerima kebijakan itu harus menerima nasib dibubarkan paksa.

Iklim pendidikan di rezim seorang yang mendaku diri sebagai Bapak Pembangunan sangat otoriter. Perubahan orientasi pendidikan dari Orde Lama ke Orde Baru tak hanya membuat kampus menjadi senjata ampuh represi negara, tetapi juga sebagai alat legitimasi kekuasaan yang kapitalistik dan menindas. Negara memegang penuh kendali kampus. Hak mahasiswa untuk terlibat dalam segala perencanaan kebijakan dikebiri. 

Kondisi ini lambat laun menjadikan mahasiswa memiliki pemahaman bahwa urusan selain belajar tak perlu untuk diurusi. Hal-hal terkait administrasi, manajemen pengelolaan kampus, tujuan politik-ideologis kampus, dll, lantas diabaikan dan dianggap tak penting. Mereka sengaja dikondisikan agar tutup mulut untuk hal yang bukan urusannya. Hal ini menafikan mahasiswa sebagai subjek dalam kampus. Dengan begitu, kampus mengingkari hakikatnya sebagai alat politis yang bertugas mencerahkan dan membebaskan. Di Orde Baru, kampus ibarat manusia dengan fisik yang rupawan tetapi tak memiliki jiwa. Kampus kehilangan ruhnya.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Wajah Kampus Hari Ini

Terbitnya fajar Reformasi menandai bergesernya sistem politik yang bersifat otoriter ke sistem yang demokratis. Kondisi itu lantas memberi harapan segar untuk pendidikan nasional. Namun, harapan itu tak pernah terwujud hingga hari ini. Janji politik untuk mereformasi pendidikan menjadi lebih demokratis dan partisipatif hanyalah retorika. 

Hal ini dapat dengan jelas terlihat dari isu yang sedang ramai belakangan ini, Uang Kuliah Tunggal (UKT). Meskipun beberapa kampus telah mengatakan bahwa penentuan UKT dilakukan secara demokratis, partisipatif, dan transparan, semua itu hanya omong kosong. Di mana letak partisipatifnya jika seluruh persyaratan agar bisa memilih di UKT mana mahasiswa membayar ditentukan sepihak oleh kampus? Di mana letak demokratisnya kalau semua tuntutan mahasiswa terkait UKT dibungkam dan dihadapkan dengan aparatus kekerasan? Tidak perlu bicara transparansi. Klaim-klaim itu hanya tempelan dan gincu untuk memoles citra kampus.

Wajah pendidikan hari ini bisa kita lihat di kampus-kampus negeri yang kadung mirip dengan kampus swasta. Tampaknya tak ada perbedaan yang signifikan dengan praktik pendidikan ala Orde Baru. Pengelolaan kampus tetap tidak demokratis, tidak partisipatif, represif, dan hegemonik.

Wajah kampus hari ini merupakan akumulasi dari serangkaian proses yang hanya berorientasi profit. Kampus dijadikan ladang bisnis. Jika di masa kolonial ada diskriminasi ras bagi orang yang ingin belajar, hari ini kampus kita mendiskriminasi orang yang tak memiliki kemampuan finansial. Yang kaya boleh sekolah dan tidak untuk yang miskin. Tidak dicabutnya serangkaian produk legislasi seperti UU BHP–yang kemudian berubah nama menjadi UU PT No. 12 Tahun 2012–sebagai jangkar komersialisasi pendidikan menambah keyakinan kita bahwa praktik pendidikan kita sangat jauh melenceng dari cita-cita pendidikan nasional di awal kemerdekaan: mencerdaskan seluruh rakyat Indonesia. 

Kampus bukan pabrik. Kampus semestinya menempa kesadaran. Hanya kampus yang demokratis yang bisa mengantarkan mahasiswa menjadi seorang manusia yang utuh. Sayangnya kampus dengan wajah seperti itu telah lama dihancurkan dan terus dipertahankan demikian. Kampus yang demokratis, kritis, dan partisipatif telah lama terkubur. Kita hanya bisa menemukannya dalam remah-remah teks sejarah. Namun satu hal yang mesti kita ingat, ia pernah terlahir dan hidup! Oleh karena itu, jalan untuk melahirkannya kembali, menjadi satu hal yang tidak mustahil untuk dilakukan bersama-sama. Selalu ada alternatif untuk pendidikan Indonesia, untuk kampus kita, ditengah krisis multidimensi hari ini. Mari melakukan apa-apa untuk itu semua. 

Dengan mengingat slogan Mei 68, “jadilah realistis, tuntut yang tidak mungkin”, kini kita harus bersuara: Demokratisasi kampus sekarang juga.


Mario Hikmat, bergiat di Semesta Project

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.