Marxisme dan Interseksionalitas: Wawancara dengan Ashley Bohrer

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Illustruth


Pengantar penerjemah: Salah satu isu penting yang kerap menjadi sumber ketegangan di kalangan akademisi dan aktivis gerakan sosial adalah kelas dan identitas. Ketegangan itu muncul di seputar pertanyaan: mana yang lebih menentukan (determinan), kelas atau identitas? Sebagian menjawab bahwa kelas lebih determinan ketimbang identitas, sebagian lainnya sebaliknya. Ada pula yang mencoba mendamaikan ketegangan itu dengan mengatakan bahwa baik kelas maupun identitas berada dalam posisi yang setara satu sama lain. Sebagian lainnya memilih posisi bahwa baik identitas maupun kelas adalah dua tradisi analisa dan praktik politik yang berbeda tetapi tidak berhadapan secara oposisional bahkan keduanya saling bersinggungan erat (interseksionalitas). Artikel di bawah ini turut mendiskusikan hal tersebut, berisi wawancara George Souvlis dari Salvage dengan Ashley J. Bohrer, seorang akademisi dan aktivis marxis yang menulis buku Marxism and Intersectionality.


George Souvlis (GS): Mengapa Anda memilih untuk menulis buku Marxism and Intersectionality: Race, Gender, Class and Sexuality Under Contemporary Capitalism?

Ashley Bohrer (AB): Saya menulis buku ini sebagian karena rasa frustrasi dengan kondisi pembicaraan saat ini tentang politik identitas dan anti-kapitalisme. Saya adalah seseorang yang bergerak dengan cukup fleksibel (baik sebagai aktivis maupun akademisi) di antara komunitas marxis dan politik identitas. Meskipun ada banyak perdebatan di antara mereka, saya mulai merasa bahwa tidak banyak percakapan yang produktif di antara kedua aliran ini, yang ada hanyalah kritik tanpa ampun untuk meruntuhkan satu sama lain. Saya frustrasi dengan keadaan itu. Bagi saya, berpikir tentang interseksionalitas telah meningkatkan dan memperdalam komitmen saya pada pemahaman marxis tentang kapitalisme. Pada saat yang sama, anti-kapitalisme saya hanya mempertajam dan memperjelas pentingnya memahami bagaimana perbedaan membentuk dunia tempat kita hidup, berpikir, dan berorganisasi. Dan saya pikir saya tidak sendirian dalam hal ini – banyak orang yang berorganisasi dengan saya tahu bahwa ada kekuatan dan sinergi di antara cara-cara berpikir ini. 

Karena itu, saya ingin menulis sesuatu yang menyoroti aspek interseksionalitas dan marxisme, bukan hanya perdebatan sengit di antara keduanya. Saya selalu berpikir bahwa adalah tugas kita untuk membaca secara luas – dan menemukan wawasan di berbagai tempat. Mungkin ini berasal dari pengalaman saya sebagai seorang organisator – untuk menjalankan kampanye yang sukses, kita selalu mengambil potongan-potongan dari berbagai tempat, menemukan sumber daya dan sekutu yang tak terduga untuk mencoba memobilisasi kekuatan dan melawan ketidakadilan. Jadi, meskipun buku ini berbicara banyak tentang kritik antara tradisi marxis dan tradisi interseksional, saya menulis buku ini karena saya ingin kita bergerak melampaui apa yang terasa seperti jalan buntu. Bagaimana kita dapat mengambil sesuatu yang berwawasan luas, kuat, memobilisasi, dan benar dari kedua tradisi ini dan memajukannya? Bagaimana kita dapat melibatkan diri dengan kedua tradisi ini untuk mengungkap wawasan baru bagi pengorganisasian dan teori kita?

Selain itu, saya juga menulis buku ini buat diri saya sendiri guna menginterogasi beberapa keyakinan dan praktik saya sendiri. Para akademisi tidak selalu membicarakan hal ini, tetapi penting untuk terbuka dalam mengubah ide-ide Anda selama penelitian. Menulis adalah salah satu praktik yang memberi kita kesempatan untuk menginterogasi apa yang kita (baik dalam arti kolektif maupun dalam arti kepenulisan) yakini dan mengapa. Apa yang selama ini saya anggap benar? Narasi apa yang telah saya terima melalui percakapan-percakapan dan konferensi-konferensi? Apa kearifan kolektif dari ruang-ruang pengorganisasian saya atau jaringan akademik saya, dan seberapa sejalankah saya dengannya? Saya mendekati menulis sebagai semacam hadiah, sebagai persembahan atau pembuka untuk mendorong diri saya berpikir lebih jauh dan lebih keras, untuk menekan asumsi-asumsi saya sendiri, untuk memaksa diri saya membenarkan posisi saya dengan cara-cara yang biasanya tidak dituntut oleh presentasi konferensi selama 15 menit atau keputusan-keputusan yang cepat dalam pengorganisasian.

GS: Apakah Anda ingin membongkar argumen kunci yang mendukung penelitian Anda?

AB: Jika saya harus mengatakannya dalam istilah yang paling jelas yang saya bisa, saya akan mengatakan, buku ini menyajikan argumen yang sangat sederhana: analisis menyeluruh tentang kapitalisme membutuhkan wawasan dan alat dari tradisi marxis dan tradisi interseksional.

GS: Apa yang dimaksud dengan interseksionalitas? Apakah hal ini sesuai dengan marxisme? Jika ya, apa implikasi dari dialektika ini terhadap studi realitas sosial?

AB: Ha! Ini adalah pertanyaan yang sangat bagus. Beberapa bentuk marxisme tentu saja cocok dengan beberapa bentuk interseksionalitas. Marxisme yang mereduksi segalanya sebagai melulu persoalan kelas tidak cocok dengan interseksionalitas, seperti halnya interseksionalitas yang berorientasi pada reformasi liberal tidak cocok dengan marxisme reproduksi sosial revolusioner. Versi lain dari marxisme dan interseksionalitas jauh lebih dekat, bahkan mungkin dapat disintesiskan. Saya pikir kita sering berbicara tentang marxisme atau interseksionalitas seolah-olah keduanya merupakan satu kesatuan yang utuh. Dan meskipun saya pikir ada beberapa prinsip yang menjadi ciri khas masing-masing, keduanya merupakan bidang yang heterogen dan harus didekati dengan cara itu. Itulah yang saya maksudkan ketika mengatakan bahwa kita harus berpikir tentang marxisme dan interseksionalitas sebagai “tradisi” dan bukan sebagai “posisi” yang jelas.

Alih-alih menanyakan apakah kerangka-kerangka kerja ini secara keseluruhan kompatibel, buku ini justru menanyakan hal-hal bermanfaat dan penting apa yang dapat kita pikirkan jika kita menyatukan versi terbaik, terkuat, dan paling luas dari masing-masing kerangka kerja tersebut untuk mendefinisikan kembali arti kapitalisme.

GS: Bisakah kita menghindari pembacaan yang tidak reduksionis terhadap kapitalisme? Apa implikasinya secara teoretis dan politis?

AB: Saya terkadang berpikir bahwa percakapan seputar kapitalisme, setidaknya dalam ruang teori, menunjukkan bahwa pemahaman kita tentang kapitalisme adalah yang terbaik atau terkuat ketika kapitalisme dapat direduksi menjadi faktor-faktor yang paling sedikit atau dapat dijelaskan oleh logika tunggal yang univokal – semacam argumen pisau cukur Ockham. Namun, tatanan sejarah kapitalisme yang sebenarnya tidaklah seperti itu – kapitalisme sangat luas, bervariasi, dan tidak merata. Kapitalisme itu bervariasi dan dapat berubah, bersifat plastis dan responsif terhadap berbagai kondisi. Saya pikir, kadang-kadang ketika kita mencoba untuk mengikis semua keragaman dan kerumitan tersebut untuk mendapatkan teori yang paling “elegan” atau teori yang paling mudah dicerna dalam satu kalimat singkat, kita kehilangan banyak hal yang membuat kapitalisme menjadi sebuah sistem yang berbeda.

Dalam pengertian ini, saya mendukung pendekatan maksimalis daripada minimalis dalam memikirkan kapitalisme – bagaimana kita dapat mempertahankan sebanyak mungkin faktor, sebanyak mungkin kekhususan historis, sebanyak mungkin perbedaan internal? Bagaimana kita dapat berpikir tentang cara kapitalisme menggunakan, memobilisasi, dan juga terkadang berusaha menghilangkan perbedaan sebagai bagian dari apa itu kapitalisme, apa yang dilakukannya, dan apa yang kita perlukan untuk melawannya?

Salah satu area utama di mana saya pikir pendekatan “maksimalis” terhadap kapitalisme sangat membantu adalah dalam memikirkan tentang penindasan. Saya pikir di kalangan marxis, kita sering mendapatkan argumen bahwa kapitalisme (hanya) pada dasarnya adalah eksploitasi (penghisapan). Dalam pendekatan ini, penindasan (opresi) hanyalah sesuatu yang membuat Anda lebih rentan terhadap eksploitasi – semacam penguat eksploitasi, atau sebuah narasi sosial yang digunakan untuk mempertahankan eksploitasi. Tentu saja ini adalah beberapa cara kapitalisme berhubungan dengan penindasan, tapi tentu saja tidak semuanya. Bagian dari pertanyaan yang ingin saya ajukan dalam buku ini adalah – jika kita memiliki pemahaman yang kuat tentang berbagai cara eksploitasi dan penindasan terhubung dan berhubungan di bawah kapitalisme, bagaimana hal tersebut dapat meningkatkan pemahaman kita tentang kapitalisme, baik secara historis maupun logis?

Jadi, dalam buku tersebut, saya berpendapat bahwa kita harus memikirkan kembali kapitalisme sebagai sebuah sistem yang pada dasarnya, secara logis, dan historis dibentuk melalui eksploitasi dan penindasan. Dalam buku ini, saya melakukan pembacaan cermat (close readings) yang luas untuk menunjukkan bagaimana, pada dasarnya, sebagian besar teoretisi telah mereduksi kapitalisme hanya menjadi soal penindasan atau eksploitasi semata.

Namun, cara kapitalisme sebagai sebuah sistem global berfungsi tidak dapat dipahami secara memadai hanya dengan eksploitasi atau penindasan saja. Keduanya bekerja sama untuk membentuk sistem. Tentu saja kapitalisme tidak dapat berfungsi tanpa eksploitasi tenaga kerja, tetapi kapitalisme akan dengan mudah digulingkan tanpa penindasan. Saya akan memberikan satu contoh saja dari sekian banyak jenis hubungan yang saya telusuri dalam buku ini: pikirkan tentang akses terhadap institusi-institusi sosial, politik, dan kehidupan bersama. Salah satu cara kapitalisme mereproduksi dirinya sendiri adalah melalui narasi bahwa beberapa kehidupan tidak ada gunanya, bahwa ini bukanlah kehidupan yang layak untuk dijalani. Pikirkan bagaimana pendidikan di bawah kapitalisme terstruktur, bagaimana institusi-institusi produksi ideologi seperti media terus menerus berfungsi untuk mendisiplinkan kita agar menerima gagasan bahwa kita bukan siapa-siapa dan tidak pantas mendapatkan apa-apa. Pikirkan tentang bagaimana hambatan-hambatan terhadap sistem politik yang benar-benar demokratis diberlakukan: tes melek huruf, hukuman pidana, menolak memberikan surat-surat kepada para migran dan pengungsi, cara-cara korporasi memengaruhi keputusan-keputusan politik – ini semua adalah cara-cara signifikan kapitalisme beroperasi dan berubah, dan tak satu pun dari mereka yang dapat ditangkap secara memadai hanya dengan “eksploitasi” saja (meskipun tentu saja mereka melibatkan eksploitasi). Anda tidak dapat memiliki sistem kapitalis di mana orang-orang yang dieksploitasi mengetahui nilai mereka. Dalam hal ini, kapitalisme direproduksi dan dijamin tidak hanya melalui eksploitasi tetapi juga melalui penindasan.

GS: Dalam studi Anda, Anda berargumen bahwa “kapitalisme telah dan masih sangat terlibat dalam bentuk tertentu dari berbagai penindasan yang saling bertautan, di tingkat politik, ekonomi, sosial, dan ideologi”. Dapatkah Anda menguraikannya lebih lanjut?

AB: Kita tidak dapat memahami dunia yang kita tinggali ini tanpa memahami kapitalisme. Salah satu pelajaran yang saya ambil dari interseksionalitas adalah berbagai cara yang berbeda dan terputus-putus di mana gender, ras, seksualitas, kemampuan, kewarganegaraan, dan lain-lain secara fundamental saling terkait. Mereka bukanlah sistem yang terpisah yang melintas di tempat tertentu atau pada orang tertentu. Gender dirasialisasikan dan diklasifikasikan serta ditembakkan dengan ekspektasi kemampuan normatif. Hal ini berlaku untuk semua identitas dan posisi sosial; mereka mendapatkan makna melalui konstitusi yang bersifat relasional, dalam sebuah matriks.

Sebagaimana yang saya soroti dalam buku ini, baik teoretisi marxis maupun interseksional sangat jelas mengatakan bahwa kapitalisme juga merupakan bagian dari kisah ini, baik secara historis maupun di dunia kontemporer. Kita tidak dapat memahami ras (dalam pengertian gender, seksual, dan ableist) tanpa memahami bahwa gagasan modern tentang ras diciptakan di dunia kapitalis, bahwa kita semua mengalami ras di dunia kapitalis. Tidak ada yang bisa memisahkan kategori-kategori ini dari kapitalisme dan tidak ada yang bisa memisahkan kapitalisme dari ras, gender, seksualitas, ableist, atau kebangsaan.

Artinya, para ahli teori kapitalisme yang mencoba memberi tahu Anda apa itu kapitalisme tanpa menjelaskan bagian yang sangat penting dari cerita ini telah sepenuhnya menutupi beberapa bagian yang paling kuat dan penting tentang bagaimana kapitalisme beroperasi secara logis dan historis, dan oleh karena itu, apa itu kapitalisme.

Dari sudut pandang praktis, mereka (para teoretisi) itu juga telah mengorbankan sejumlah besar pengorganisasian. Padahal kebijaksanaan lama mengajarkan bahwa dalam melakukan pengorganisiran kita akan bertemu dengan orang-orang dengan kondisi konkret di mana mereka berada. Kita akan lebih mudah untuk terhubung dengan operasi skala besar dari sistem kekuasaan yang luas dengan melihat bagaimana hal itu terhubung dengan situasi spesifik dan kehidupan spesifik Anda. Kita semua hidup di dalam dan melalui identitas, dan sering kali berdasarkan identitas itulah kita memahami dunia. Dalam beberapa situasi, memulai dengan status kelas seseorang mungkin merupakan jalan masuk terbaik untuk memikirkan kapitalisme sebagai sebuah sistem. Kadang-kadang bukan gaji saya yang paling mengacaukan hari saya, tetapi adalah bos saya yang terus mengirimi saya foto-foto tentang alat kelaminnya. Atau status dokumentasi saya. Atau bagaimana saya harus berjuang mati-matian untuk mendapatkan segala bentuk akomodasi untuk disabilitas saya, baik di tempat kerja atau di dunia secara umum. Kapitalisme jelas berkelindan dalam semua contoh ini, kapitalisme yang telah dibentuk oleh seksisme, xenofobia, kolonialisme, dan ableism. Kita harus mampu menunjukkan logika ini secara keseluruhan agar mampu tanggap terhadap kebutuhan masyarakat dan memastikan bahwa dalam gerakan kita dan apapun yang kita impikan untuk menggantikan neraka tempat kita hidup ini, dan tidak berakhir dengan mereproduksinya.

GS: Bagaimana Anda memandang dialektika antara teori dan politik? Bagaimana posisi Anda terkait topik ini?

AB: Saya adalah seorang aktivis dan teoritikus sekaligus. Saya menghabiskan banyak waktu di ruang-ruang gerakan dan melakukan kerja-kerja gerakan. Terkadang teori dapat membantu memandu pilihan strategi dan taktik kita pada saat tertentu; terkadang wawasan yang paling penting untuk teori datang dari jalanan. Sebagian besar dari buku ini adalah refleksi teoretis atas beberapa masalah dan komplikasi yang saya temui selama satu dekade terakhir di ruang-ruang aktivisme – bagaimana mendamaikan pendekatan marxis dengan pendekatan interseksional, bagaimana memikirkan penindasan dengan cara yang anti-kapitalis, dan bagaimana memikirkan solidaritas di berbagai lokasi sosial yang berbeda.

Namun, saya rasa sering kali ketika kita mengajukan pertanyaan tentang teori-politik, kita memiliki pemahaman yang sangat terbatas tentang apa yang dimaksud dengan masing-masing istilah tersebut. Teori tidak hanya berarti buku-buku tentang topik-topik abstrak yang ditulis oleh orang-orang yang memiliki gelar PhD. Para aktivis, yang terlibat, maka tak terhindarkan dalam proses membaca, berpikir, berefleksi, dan bermimpi, juga berteori sepanjang waktu, sama seperti apa yang disebut sebagai “ahli teori” yang juga terlibat dalam aktivitas politik sepanjang waktu, bahkan ketika mereka tidak melakukannya di tempat-tempat politik yang “terorganisir” secara tradisional. Teori adalah sebuah praksis, berpikir adalah sebuah tindakan. Saya tidak terlalu tertarik dengan pemisahan tradisional antara teori dan politik. Saya lebih tertarik untuk mengajukan pertanyaan: bagaimana yang Anda lakukan dan pikirkan dapat berkontribusi pada pembebasan?

Menurut saya, pertanyaan ini lebih menarik dan lebih jujur. Dan pada akhirnya, saya pikir ini adalah pertanyaan yang lebih mendesak untuk diajukan. Tentu saja ada beberapa orang yang menghabiskan lebih banyak waktunya untuk “politik”, yang kesetiaan utamanya bukan pada pembebasan. Dan juga ada banyak sekali orang yang menulis teori “radikal”, berkoar-koar tentang dominasi, yang pekerjaannya tidak benar-benar membantu orang untuk bebas. Jadi bagi saya, pertanyaannya bukan tentang apakah seseorang melakukan kerja teori atau kerja politik, tetapi apa pun keterampilan dan keahlian seseorang, bagaimana itu berguna dalam perjuangan? Bagaimana Anda menilainya? Kriteria apa yang Anda gunakan untuk menentukan apakah proyek Anda saat ini (politik atau teoretis) hanyalah obsesi pribadi Anda atau apakah ini adalah bagian dari upaya untuk membebaskan kita semua? Saya pikir gerakan akan lebih kuat dan hubungan antara aktivis dan akademisi akan lebih dekat dan tidak terlalu mengasingkan jika pertanyaan-pertanyaan ini menjadi jangkar bagi kita, bukannya asumsi-asumsi mengenai aktivitas kita.

GS: Anda menjelaskan bahwa Anda melakukan “pembacaan gerilya” terhadap teks-teks yang Anda teliti. Bisakah Anda menjelaskan kepada kami apa yang dimaksud dengan hal ini secara politis dan epistemologis?

AB: Saya pikir ada manfaat yang besar dalam memahami apa yang dikatakan oleh berbagai penulis, terutama ketika karena rasisme dan heteroseksisme, kata-kata mereka tidak ditanggapi dengan serius atau dibaca dengan cermat. Banyak hal yang saya soroti dalam hal interseksionalitas adalah bahwa tradisi ini sengaja disalahartikan oleh kaum marxis (kulit putih) untuk menafikannya. Dan saya pikir ada politik pengetahuan yang sangat merusak yang terjadi ketika kita punya waktu untuk membaca setiap “daftar belanjaan” yang pernah dibuat oleh seorang marxis laki-laki kulit putih, tetapi mengabaikan seluruh tradisi perempuan kulit berwarna yang berteori hanya dengan membaca sekilas. Saya tidak bisa mengatakan seberapa sering dalam ruang-ruang marxis seseorang ingin mereduksi semua interseksionalitas menjadi argumen yang dibuat oleh Kimberlé Crenshaw dalam upaya pertamanya untuk mengartikulasikan konsep tersebut. Artikel itu ditulis pada tahun kelahiran saya. Dan itu bukanlah satu-satunya hal yang ditulis Crenshaw selama kariernya yang panjang, dan bagaimanapun juga, Crenshaw tidak memiliki monopoli atas interseksionalitas; ada banyak versi, ketidaksepakatan, dan perbedaan dalam bidang ini sehingga banyak orang yang membawa konsep ini ke tempat yang berbeda dari Crenshaw. Jadi, pertama-tama, saya pikir penting untuk mengatakan bahwa ketika kita mendekati sebuah tubuh pengetahuan yang diciptakan oleh orang-orang yang tertindas dan berbicara tentang penindasan mereka, kita memiliki kewajiban untuk membaca dengan cermat dan memahami apa yang dikatakan dan dimaksudkan oleh sang penulis. Menolak untuk terlibat dengan itikad baik dalam situasi seperti ini adalah sebentuk kekerasan epistemik.

Dengan semua hal tersebut, ada juga beberapa hal yang perlu kita pikirkan di luar teks sebagaimana yang tertulis atau dimaksudkan. Saya pikir kita memang memiliki kewajiban untuk terlibat dengan itikad baik dengan teks, tetapi tidak berarti hanya membatasi diri pada apa yang dipikirkan atau dikatakan oleh orang lain. Ketika saya menggunakan istilah “membaca gerilya”, saya menggunakannya untuk membaca teks-teks di luar teks itu sendiri, mencoba menemukan tempat-tempat di mana sesuatu dikatakan secara implisit atau secara tersirat. Bagaimana dan di mana kita dapat menambang teks, mengungkap prasangkanya, menemukan apa yang berguna dan kuat di dalamnya, dan bagaimana kita perlu membawa teks ke luar teks itu sendiri untuk, kadang-kadang, memanfaatkan wawasan yang baru lahir? Saya tidak pernah merasa puas, bahkan sebagai seorang yang memiliki gelar PhD dalam bidang filsafat, bahwa semua pemikiran yang baik adalah sekadar eksplikatif – yaitu, kembali lagi dan lagi ke teks yang sama untuk mencoba menemukan apa yang “benar-benar” dikatakan atau apa yang “benar-benar” dimaksudkan oleh penulisnya, seolah-olah itulah satu-satunya hal yang penting, seolah-olah, jika kita akhirnya sampai pada apa yang sebenarnya dimaksudkan atau dipikirkan oleh Marx atau Crenshaw atau Cedric Robinson, seolah-olah hal tersebut akan menyelesaikan semua masalah kita, baik secara filosofis maupun praktis. Ini adalah proyek yang layak, ini bisa menjadi proyek yang bermanfaat, dan terkadang, seperti yang telah saya katakan, kita melakukannya terlalu sedikit. Tetapi tidak semua pertanyaan yang kita miliki dapat diselesaikan dengan membaca Alkitab tentang apa yang telah ditulis. Kadang-kadang kita perlu mendorong teks lebih jauh, dan salah satu cara untuk melakukannya adalah dengan membaca teks itu sendiri untuk mengekspos celah-celah dan komplikasi serta arah baru untuk berpikir, yang saya dan yang lainnya sebut sebagai “pembacaan gerilya”.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

GS: Anda juga merefleksikan pertanyaan tentang solidaritas. Apa pendapat Anda tentang istilah ini, baik sebagai konsep analitis maupun sebagai realitas politik?

AB: Solidaritas sejati adalah kehidupan. Tidak ada cara lain, menurut saya, untuk tidak mengorientasikan diri kita pada perjuangan dan pada satu sama lain. Ada sesuatu yang sangat indah tentang solidaritas, tentang cara jutaan orang bekerja untuk mencapai kepentingan bersama, bukan atas dasar hubungan pribadi atau kenalan perorangan, tetapi atas dasar kejelasan dan keyakinan bahwa kita semua layak mendapatkan dunia yang lebih baik. Kami melakukan wawancara ini di tengah-tengah krisis Covid dan kerja gotong royong yang saya dan banyak orang lain telah berpartisipasi di dalamnya, saya pikir, telah membawa sekelompok orang yang sama sekali baru untuk memahami perasaan itu.

Namun saya pikir terkadang ketika menggunakan istilah solidaritas, yang kita maksud adalah semacam penyelamatan. Saya sering melihat hal ini ketika orang berbicara tentang perbedaan kekuatan sosial: “Saya bukan queer/trans/POC/tidak berdokumen/dipenjara/dll, tapi saya bersolidaritas dengan mereka”. Dalam hal ini, orang terkadang menggunakannya untuk menunjukkan bahwa mereka memiliki kepedulian politik yang tidak dapat direduksi dengan penindasan yang mereka alami. Tentu saja, saya pikir, kita perlu menunjukkan kepada orang-orang dari berbagai identitas, lokasi sosial, dan pengalaman. Namun, menurut saya apa yang terlewatkan oleh pemahaman semacam solidaritas ini adalah bahwa bagaimanapun kita semua terpengaruh oleh sistem dominasi yang ada. Kita semua diciptakan di dalam dan melalui sistem-sistem tersebut, dan kita semua menjadi lebih buruk karena keberadaan sistem-sistem itu.

Mari ambil contoh tentang supremasi kulit putih (white supremacy). Saya adalah seorang Yahudi Ashkenazi berkulit putih, saya tinggal dan memiliki hak istimewa karena berkulit putih dan segala sesuatu yang terkait dengannya. Sebagian besar hidup saya ditempa untuk tidak belajar dan menentang supremasi kulit putih, dan tumbuh di dunia supremasi kulit putih memiliki efek yang sangat mendasar sehingga hampir tidak terlihat oleh saya. Inilah yang dimaksud, dalam arti tertentu, untuk percaya pada penjelasan materialis tentang dunia – lingkungan dimana kita hidup mencipta dan membentuk, bahkan bertentangan dengan keinginan kita (dan tentu saja, bahkan mencipta dan membentuk keinginan kita). Diciptakan di dalam dan melalui dunia supremasi kulit putih, tidak peduli seberapa besar komitmen saya untuk membatalkan dan menghapusnya, tetap saja saya telah dirusak oleh supremasi kulit putih. Frantz Fanon, misalnya, sangat jelas dalam hal ini: mengambil manfaat dari sistem eksploitasi dan penindasan, yang dibuat di dalam dan melalui sistem tersebut, merendahkan kemanusiaan kita. Jadi, ketika saya berpikir untuk menghapus supremasi kulit putih, saya tidak berkomitmen untuk perjuangan itu hanya atas nama orang lain. Saya tidak berada di luar perjuangan atau sistem ini. Saya juga merupakan bagian darinya.

Ketika kita berpikir tentang proyek untuk menghapuskan dominasi, kita harus memahami bahwa kapitalisme, supremasi kulit putih, heteroseksisme, ableism, dan sebagainya, semuanya merugikan bahkan bagi mereka yang “diistimewakan” olehnya. Supremasi kulit putih tentu saja memberikan keuntungan, hak istimewa, mobilitas sosial dan fisik, dan sebagainya kepada orang kulit putih, seperti halnya logika-logika lainnya. Namun, hidup di dunia yang ditempa melalui struktur yang mengajarkan kita, di setiap kesempatan, bahwa ada kehidupan yang berharga dan ada yang tidak berharga, memengaruhi kita semua. Inilah, menurut saya, perbedaan krusial antara pendekatan liberal dan revolusioner terhadap pembebasan. Kaum liberal menginginkan inklusi ke dalam sistem; mereka ingin kaum proletar menjadi “sama seperti” kaum kapitalis atau perempuan menjadi “sama seperti” kaum laki-laki. Filosofi liberal mempertahankan gagasan-gagasan yang berkuasa tentang bagaimana seharusnya kita. Kaum revolusioner tahu bahwa bahkan mereka yang memiliki keuntungan paling besar dalam sistem yang ada saat ini adalah salah. Mereka adalah produk dari dunia yang salah. Kami tidak menginginkan kesetaraan dengan mereka; kami menginginkan sesuatu yang sama sekali berbeda. Kita menginginkan sebuah dunia yang belum pernah ada.

Itulah mengapa ketika orang mengambil pendekatan bahwa “Saya bukan X, saya bersolidaritas”, saya sedikit merasa ngeri, karena hal ini menunjukkan bahwa mereka yang memiliki hak istimewa atau memiliki kekuatan sosial tidak melihat diri mereka sendiri sebagai bagian dari apa yang perlu diubah. Dan saya pikir, pada dasarnya, solidaritas adalah cara untuk bersatu melawan dominasi, kita mengubah komunitas kita, diri kita sendiri, dan dunia. Jadi, ketika saya berpikir tentang solidaritas, saya menggunakannya untuk menandai pengakuan akan sebuah hubungan. Sekarang, kita perlu memperjelas: solidaritas tidak berarti kesamaan. Saya sama sekali tidak mengatakan bahwa supremasi kulit putih atau apa pun memengaruhi kita semua dengan cara yang sama. Ini tidak masuk akal. Ada konsekuensi yang sangat berbeda untuk menjadi orang kulit putih di bawah supremasi kulit putih dan menjadi orang kulit berwarna. Saya jelas tidak berada di posisi yang sama di bawah supremasi kulit putih dengan orang kulit berwarna (yang tidak semuanya berada di posisi yang sama dalam hubungan satu sama lain). Seperti yang sering diingatkan oleh para neo-Nazi, sebagai seorang Yahudi Ashkenazi, posisi saya tidak sama dengan kulit putih lainnya di bawah supremasi kulit putih. Namun, apa yang disebut solidaritas adalah pemahaman bahwa ada logika (supremasi kulit putih) yang menyentuh kita semua – neo-Nazi, saya sendiri, orang kulit berwarna, dll. Ketika saya berjuang melawan supremasi kulit putih bersama dengan orang lain dalam perjuangan itu dan melawan neo-Nazi, kita terlibat dalam perjuangan ini dari dalam, bahkan jika kita berada di dalamnya dari posisi dan tempat yang berbeda. Namun dalam kasus ini, solidaritas menandai sebuah koneksi (tetapi bukan kesamaan); solidaritas menandai pengakuan bahwa, di berbagai lokasi sosial, sistem dominasi menghubungkan kita dan hanya dengan memobilisasi dan memutus koneksi tersebut kita dapat menggulingkan sistem tersebut.

GS: Optimisme kehendak atau pesimisme intelek?

AB: Kedua-duanya! Ini adalah keyakinan yang mesti dimiliki oleh para organiser: kita harus bertindak seolah-olah dunia dapat berubah secara radikal setiap saat, seolah-olah revolusi dapat terjadi di setiap tarikan napas. Pada saat yang sama, kita tidak boleh memiliki optimisme tak berdasar yang memperlakukan revolusi sebagai sesuatu yang tak terelakkan. Gerakan revolusioner sering kali mengkhianati diri mereka sendiri tepat pada saat mereka meremehkan betapa dalamnya penindasan dan eksploitasi.

Kita membutuhkan kritik tajam/brutal (ruthless criticism) terhadap segala sesuatu yang ada (termasuk diri kita sendiri) dan keyakinan yang tak tergoyahkan, hampir seperti mesianis, bahwa kita dapat dan akan membangun dunia baru dari abu yang lama.***


Ashley J. Bohrer adalah seorang akademisi, aktivis dan intelektual publik. Penulis buku Marxism and Intersectionality: Race, Gender, Class and Sexuality under Contemporary Capitalism. Saat ini ia menjadi assistant professor di University of Notre Dame, AS, dan sebelumnya memangku posisi postdoctoral di Hamilton College. Lingkup penelitiannya mencakup filsafat, studi ras kritis, teori dekolonial, feminisme interseksional, dan marxisme yang mengeksplorasi interseksi antara kapitalisme, kolonialisme, rasisme, dan hetero/seksisme. Sebagai seorang aktivis, Ashley terafiliasi dengan berbagai kolektif akar rumput feminis, anti-rasis, dan anti-kapitalis. 

Artikel ini terbit pertama kali di majalah Salvage pada 28 Mei 2020, diterjemahkan dan diterbitkan ulang di sini untuk tujuan pendidikan.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.