Ilustrasi: illustruth
RATUSAN ORANG memadati jalanan pada hari itu. Sebagian dari mereka mengenakan seragam berwarna oranye. Di depan barisan massa ada sebuah mobil komando dengan orator yang tidak berhenti bicara. Selintas itu seperti demonstrasi biasa, padahal bukan. Itu adalah massa Partai Buruh yang merayakan kelolosan sebagai salah satu peserta Pemilu 2024, Rabu 14 Desember tahun lalu. Komisi Pemilihan Umum (KPU) resmi memberikan mereka nomor urut 6.
Partai Buruh, yang didirikan oleh empat konfederasi serikat pekerja terbesar dan 50 serikat pekerja tingkat nasional, juga forum guru, tenaga honorer, dan organisasi tani serta nelayan terbesar di Indonesia, memilih asas negara kesejahteraan atau welfare state. Konsep ini kemudian memicu diskusi publik. Sebuah opini di Kompas, misalnya, membahasnya secara pesimistis–termasuk tentang “sisi gelap” negara kesejahteraan yang sudah eksis. Indoprogress juga sempat menggelar forum daring akhir tahun lalu.
Artikel ini akan turut serta meramaikan diskusi tersebut, terutama tentang hal paling dasar: bagaimana konsep negara kesejahteraan itu sesungguhnya.
Negara, arena berebut kuasa
Pembahasan tentang negara kesejahteraan harus dimulai dari memahami negara itu sendiri. Perspektif paling umum adalah perspektif weberian, yang secara garis besar melihat negara sebagai entitas yang otonom dari masyarakatnya sehingga memiliki logika sendiri. Namun pengertian tersebut tidak membawa kita ke mana-mana dan tak menjelaskan apa-apa. Negara dalam artikel ini akan dipahami sebagai entitas yang geraknya dipengaruhi oleh kontestasi kelas sosial. Negara menjadi arena berebut kuasa sebab menjadi sarana sentral merealisasikan (dan melanggengkan) kepentingan kelas.
Secara ringkas, gagasan utama dari negara kesejahteraan adalah menjinakkan kekuatan kapital/modal secara umum lewat kontrol politik yang demokratik. Sekali lagi: menjinakkan, bukan mengalahkan atau melampaui. Ini adalah ciri paling radikal dari praktik tersebut sekaligus yang membedakannya dengan bentuk-bentuk negara lain. Negara kesejahteraan selalu dalam batas-batas kapitalisme; negara sosialis menyimpan agenda transformasi melampaui kapitalisme–dengan realisasi yang beraneka; sementara negara liberal justru melanggengkan sistem ekonomi-politik tersebut dengan berperan sebagai pemberi iklim yang kondusif bagi modal bahkan jika itu termasuk memiskinkan masyarakat.
Esensi negara kesejahteraan yang pada dasarnya tetap berwatak kapitalis tidak muncul dari ruang hampa. Ia adalah produk sejarah yang spesifik. Negara kesejahteraan hadir dalam konteks ketika konflik kelas semakin runcing tapi berakhir dengan kompromi.
Konfrontasi kelas di negara kapitalis maju semakin sering terjadi pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, bersamaan dengan pertumbuhan bisnis skala besar yang belum pernah terjadi sebelumnya karena teknologi baru memungkinkan pelipatgandaan skala produksi. Pemogokan muncul di mana-mana, demikian pula represi dari aparat, termasuk di negara-negara Nordik, wilayah yang kemudian menjadi tempat bersemainya negara kesejahteraan. Konflik meningkatkan kesadaran kelas para pekerja dan mereka dengan cepat beralih ke sosialisme bahkan komunisme. Hal ini juga karena pengaruh dari Revolusi Oktober di Uni Soviet yang membuka mata bahwa dunia yang lain itu mungkin.
Kelompok kiri semakin signifikan setelah Perang Dunia II, apalagi berkat peran mereka melawan fasisme. Demikian pula dengan tuntutan akan perubahan radikal. Revolusi seperti akan terjadi esok hari.
Untuk mencegah revolusi yang dipimpin oleh kelas buruh, maka kelas kapitalis bersiasat dengan memberikan sogokan. Sogokan ini berupa berbagai produk jaminan sosial yang tak jarang sifatnya universal. Di negara Nordik, layanannya termasuk pendidikan dan kesehatan gratis, asuransi pengangguran, dan pensiun (selengkapnya baca laporan Deloitte). Di Inggris, wujudnya adalah National Health Service (NHS) yang kerap jadi rujukan banyak negara ketika hendak merancang program kesehatan nasional.
Kemampuan negara-negara tersebut membiayai semua program ditopang oleh kemajuan pesat ekonomi sehabis luluh lantak oleh perang. Periode ini dikenal dengan nama “postwar economic boom” atau “golden age of capitalism”.
Negara kesejahteraan diinterpretasikan beragam di banyak literatur. Salah satunya adalah itu tidak lain merupakan pemberian dari kapitalis. Bahkan beberapa sarjana feminis menganggap welfare state sebagai patriarkis, sebagaimana watak kapitalisme secara umum, karena tetap menempatkan perempuan pada posisi tradisional: rumah tangga (berbagai pendekatan tentang negara kesejahteraan dapat dibaca di artikel Chris Pierson, 1999).
Negara kesejahteraan dianggap alat kontrol sosial yang justru dalam jangka panjang menguntungkan kapitalis karena memastikan selalu ada tenaga kerja prima yang siap dieksploitasi (karena terjaminnya produksi dan reproduksi sosial). Tujuan fundamental dari negara borjuis memang melestarikan hubungan kerja upahan untuk akumulasi modal, yang adalah inti dari kapitalisme. Dalam hal ini bentuknya bisa bermacam-macam, bisa monarki, otoriter bahkan fasis, dan yang sedang dibahas, negara kesejahteraan.
Masalahnya, pendekatan yang melihat negara kesejahteraan merupakan iktikad para borjuis untuk menerapkan “kapitalisme baik hati” mengabaikan aspek perjuangan kelas. Aspek ini mengakui proletar sebagai agensi kolektif yang aktif dan sadar mengupayakan perubahan sosial.
Perspektif yang melihat peran aktif kelas pekerja, mengutip artikel di Monthly Review, bahkan “sebagian besar hilang dari pandangan utama marxis tentang kesejahteraan.” Padahal, Marx sendiri mengakui dan bahkan mengadvokasi reformasi sosial–yang adalah pijakan untuk proyek lebih besar negara kesejahteraan. Hal ini terlihat dari komentarnya tentang serangkaian regulasi tentang pabrik di Inggris pada abad ke-19.
Ketika parlemen mengesahkan Factories Act 1847, yang membatasi jam kerja perempuan dan anak di pabrik tekstil menjadi 10 jam per hari, Marx mengatakan itu adalah “keberhasilan luar biasa.” Berbicara di forum Internasional Pertama pada Oktober 1864, Marx mengatakan peraturan tersebut, yang diupayakan tak kurang dari 30 tahun, “tidak hanya sukses besar secara praktis; itu adalah kemenangan prinsip; itu adalah kali pertama di siang bolong ekonomi kelas menengah kalah dengan ekonomi politik kelas pekerja.”
Memang akhirnya kapitalis bersiasat kembali dengan memperkenalkan pola kerja yang sekarang dikenal sebagai sistem sif. Namun pembatasan jam kerja tetap termasuk bagian dari memajukan kepentingan langsung proletar di alam kapitalisme. Termasuk pula reformasi dan praktik jaminan sosial secara umum yang diadvokasi lewat negara. Perbaikan-perbaikan taraf hidup semestinya memang tak mesti menunggu munculnya sosialisme.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Keterbatasan dan pertanyaan
Politik kelas yang bertarung di jantung negara sudah lama absen dari Indonesia. Absennya mereka membuat para kapitalis bisa melakukan hampir apa pun yang dapat kita bayangkan. Karena alasan itu keberadaan Partai Buruh yang dapat dikategorikan sebagai partai sosial demokrasi meski di atas kertas menyatakan berideologi Pancasila patut disambut dengan tangan terbuka. Dan sambutan terbaik bukanlah seperti fans terhadap idolanya sebagaimana politik Indonesia hari ini, tapi dengan kritisisme.
Kunci mendirikan negara kesejahteraan di Eropa, seperti yang telah disinggung di atas, adalah signifikannya kekuatan proletar. Partai Buruh Indonesia memimpikan utopia yang sama, tapi dengan konteks yang berbeda 180 derajat. Secara umum gerakan buruh di Indonesia terus mengalami kekalahan demi kekalahan. Paling baru adalah disahkannya UU Cipta Kerja yang membuat pekerja kian rentan.
Serikat buruh daya gedornya kian lemah. Secara kuantitatif, tahun 2018 lalu, pemerintah menyebut hanya 2,7 pekerja yang berserikat, padahal jumlah angkatan kerja saja mencapai 144 juta per Februari 2022. Bangkitnya pekerja gig juga belum mampu direspons dengan cekatan oleh serikat yang bagi banyak orang masih terlampau bercorak konvensional atau masih terbatas oleh sekat tebal dinding pabrik. Tidak menariknya serikat tentu persoalan lain yang harus dibahas tersendiri.
Memang tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi pada Partai Buruh dalam pemilu nanti. Mereka sendiri menargetkan dapat 7 juta suara dan lolos parlemen. Namun, dilihat dari situasi hari ini, ada setumpuk pekerjaan berat yang harus diselesaikan.
Situasi di luar negeri saat ini sebenarnya juga demikian meski memiliki sejarah gemilang. Partai-partai kiri-tengah tertatih-tatih di arena politik. Misalnya partai sosial demokrasi di Swedia. Dari lima pemilu terakhir sejak 2006, mereka hanya jadi bagian dari pemerintahan sebanyak dua kali, itu pun minoritas di koalisi. Di sisi lain, kita melihat politik dan partai kanan bangkit dan mendapat dukungan cukup signifikan, salah satunya berkat solusi sederhana untuk masalah yang rumit (Tidak ada lapangan kerja? Solusinya usir imigran!).
Bandau (2022) mengatakan berdasarkan berbagai literatur yang dipublikasikan sejak 2010, “krisis elektoral” yang dialami partai-partai buruh di Eropa adalah fenomena kompleks yang disebabkan oleh banyak sekali faktor. Namun akar dari hal tersebut sebenarnya jelas. Partai Buruh gagal sebab justru menjadi mediator dan manajer yang memoderasi kelas buruh. Mereka menerapkan kompromi alih-alih konfrontasi kelas.
Gagasan tentang kompromi kelas tidak bisa dilepaskan dari pandangan para sosial demokrat tentang kapitalisme itu sendiri. Mereka percaya bahwa corak produksi ini dapat diubah secara gradual dengan kerja sama dengan para kapitalis. Gagasan ini dikenal dengan istilah “kemitraan sosial”. Mereka bahkan percaya bahwa para pemodal juga memiliki pemahaman yang sama. Para sosial demokrat yakin kapitalisme yang diregulasi akan bebas krisis.
Kompromi pada akhirnya juga mengubah kelas pekerja secara umum. Para pekerja menganggap apa yang mereka nikmati bukan hasil perjuangan orang-orang terdahulu, tapi sebab perdamaian dan kerja sama dengan kapitalis. Apa yang terjadi sekarang menjadi lepas dari konteks sejarah yang membentuknya. Akibatnya adalah depolitisasi gerakan buruh sekaligus birokratisasi para pengurus serikat. Itulah peran historis serikat dan partai berasas sosial demokrat di Eropa.
Di sisi lain, kaum pemodal melihat ideologi kemitraan sosial secara lebih realistis. Ketimbang sebagai kontrak permanen, mereka melihat kemitraan sosial lebih sebagai momen gencatan senjata dan sudah seharusnya diakhiri ketika ternyata (atau: tentu saja) kapitalisme tetap mengalami krisis.
Para borjuis tidak ragu menjawab persoalan tersebut, yaitu inflasi dan stagnasi di tahun 1970-1980-an, dengan neoliberalisme. Neoliberalisme membongkar ulang peran negara menjadi seminimal mungkin lewat privatisasi dan deregulasi. Bahkan partai sosial demokrasi pun pada akhirnya mengadopsi neoliberalisme meski lebih lambat dibanding yang lain dan program-program hasil negara kesejahteraan, sampai sekarang, terus berupaya dihapus digantikan mekanisme pasar.
Namun kompromi kelas dan kebuntuan bukanlah satu-satunya takdir dari partai yang mengusung visi negara kesejahteraan; ia bukanlah ujung tunggal dari praktik politik sosial demokrasi.
Kerala di India adalah salah satu buktinya. Kerala, kata Sandbrook dkk (2006), “dalam banyak hal menjadi contoh kasus sosial demokrasi di (negara) pinggiran” meski partai yang dominan di sana, Communist Party of India (Marxist), “akan sangat tegas menolak (label itu).” Kerala membuktikan betapa sosial demokrasi bisa sangat transformatif. Kerala memiliki sumber daya yang sangat terbatas, tapi mampu berubah dari corak feodal dengan masyarakat yang eksklusif dan sama sekali tidak egaliter menjadi negara yang mampu menyediakan warganya fasilitas yang bisa diadu dengan negara industri (termasuk negara kesejahteraan Eropa).
Apa yang membedakan Kerala dengan tempat-tempat lain di Eropa sana adalah peran partai. Ketimbang sekadar menyediakan beragam program kesejahteraan, partai yang meski bernama komunis mengambil jalan parlementer secara aktif mentransformasi relasi antara negara dan masyarakat dan masyarakat itu sendiri (termasuk kasta dan gender) secara fundamental. Mereka terus menciptakan ruang baru agar masyarakat terlibat aktif dalam kebijakan. Bahkan fokus partai adalah meningkatkan partisipasi massa dalam politik sejak 1980-an.
Di sisi lain, massa pun yakin bahwa partai memang mewakili mereka, atau setidaknya melihat bahwa kepentingan mereka terinstitusionalisasi dalam tubuh negara. Itu pula mengapa partai komunis tetap berkuasa lewat pemilihan umum yang demokratis meski bersaing dengan partai lain.
Ketika di Eropa sosial demokrasi pada akhirnya membuat gerakan pekerja jadi terdepolitisasi, hal sebaliknya terjadi di Kerala. Saat di Eropa negara kesejahteraan dipertanyakan eksistensinya dan didesak melakukan perubahan secara dramatis oleh agen neoliberalisme IMF, eksperimen mewujudkan masyarakat baru masih terus berjalan di India. Waktu partai buruh justru semakin ditinggal di Barat dan melalui jalan sunyi sebab mempraktikkan kompromi kelas, di Kerala partai justru menjadikan massa sebagai segalanya. (Praktik sosialisme dari bawah ala Kerala bisa dibaca lebih detail dalam artikel Coen Pontoh berikut).
Pada akhirnya masa depan Partai Buruh di Indonesia juga akan sangat tergantung pada relasi dengan massa. Bukan hanya karena itu menentukan mereka berhasil masuk arena kekuasaan atau tidak, tapi juga bakal menjawab apakah jalan sejarahnya akan seperti model Eropa atau Kerala.
Rio Apinino, editor Indoprogress