Foto: AFP/Getty Images
Pemerintahan persatuan nasional yang dipimpin sang “teknisi” Mario Draghi ambruk. Draghi, mantan presiden Bank Sentral Eropa, gagal membendung perpecahan politik di dalam kabinet.
HANYA segelintir orang yang tahu bahwa di belantara topik yang menjadi perhatian Marx, ia juga sempat menulis kritik terhadap apa yang disebut-sebut “pemerintahan teknis” (atau pemerintahan teknokrat). Sebagai kontributor New York Tribune, salah satu suratkabar dengan sirkulasi terluas pada masanya, Marx mengamati arah perkembangan politik dan institusional yang kelak melahirkan satu di antara pemerintahan teknokrat pertama dalam sejarah: kabinet Earl of Aberdeen, yang berlangsung sejak Desember 1852 hingga Januari 1855.
Laporan-laporan Marx menonjol karena ketajaman dan sarkasmenya. Harian The Times merayakan momen-momen 1852 itu sebagai tanda bahwa Inggris berada di fajar ‘ketika ruh partai politik lenyap dari bumi, digantikan kejeniusan, pengalaman, industri, dan patriotisme yang menjadi satu-satunya kualifikasi untuk menduduki jabatan’. Suratkabar London ini menyerukan ‘orang-orang dari semua kubu politik’ untuk bersatu menyokong pemerintah baru karena ‘prinsip-prinsipnya yang didukung dan bisa diterima semua kalangan’. Argumen serupa dikemukakan pada Februari 2021, ketika Mario Draghi, mantan Presiden Bank Sentral Eropa, menjadi Perdana Menteri Italia.
Dalam artikel bertajuk “A Superannuanted Administration: Prospect of the Coalition Ministry” (1853), Marx mencemooh sudut pandang The Times. Hal-hal yang dianggap modern dan memikat bagi suratkabar terdepan Inggris itu sangat rupanya sekadar lelucon di mata Marx. Ketika The Times mendeklarasikan “sebuah kabinet yang terdiri dari sosok-sosok baru, muda, dan menjanjikan”, Marx menyatakan bahwa “dunia pastinya tidak akan kaget menyaksikan era baru dalam sejarah Inggris Raya ini diresmikan oleh orang-orang kepala delapan yang sudah bau tanah”. Di samping menyoroti orang-orang di kabinet tersebut, Marx juga menyoroti kepentingan yang lebih besar dan kebijakan-kebijakan dalam kabinet ini: “Kita dijanjikan bahwa konflik antar partai—bahkan partai itu sendiri—akan lenyap,” kata Marx. “Lalu apa artinya The Times?”
Sayangnya isu yang diangkat Marx sangat penting buat hari ini, ketika kuasa kapital atas pekerja semakin liar persis seperti yang terjadi pada pertengahan abad ke-19. Pemisahan antara ekonomi dan politik—yang membedakan kapitalisme dari mode produksi sebelumnya—telah mencapai puncak. Tak hanya mendominasi politik dan mendikte agenda beserta keputusan-keputusannya, kuasa ekonomi bahkan berada di luar yurisdiksi politik dan kontrol demokratik—sampai-sampai perubahan pemerintahan tidak lagi mengubah arah kebijakan sosial dan ekonomi, yang tidak bergeser sama sekali.
Selama tiga puluh tahun terakhir, kewenangan dalam pengambilan keputusan telah berpindah dari ranah politik ke ekonomi. Opsi-opsi kebijakan yang sesungguhnya partisan kini sudah menjadi imperatif ekonomi yang menutup-nutupi proyek politik dan reaksioner ini dengan topeng ideologis kepakaran yang seolah apolitis. Diopernya unsur-unsur politik ke ekonomi, sebagai ranah khusus yang tahan perubahan, turut memunculkan ancaman terbesar terhadap demokrasi di zaman kita. Parlemen—yang marwah perwakilannya sudah terkikis oleh sistem pemilu yang berat sebelah dan campur tangan otoriter terhadap hubungan eksekutif-legislatif—mendapati kekuasaannya dirampas dan dioper ke ‘pasar’. Pemeringkatan oleh Standard & Poor’s dan indeks Wall Street—jimat sakti masyarakat dewasa ini—dianggap lebih lebih besar bobotnya ketimbang kehendak rakyat. Paling banter, pemerintah hanya mampu ‘mengintervensi’ ekonomi. Kelas penguasa terkadang memang perlu mengurangi anarki kapitalisme beserta krisis-krisisnya yang merusak. Namun, pemerintah tidak akan bisa menggugat aturan dan pilihan-pilihan mendasar di bidang ekonomi.
Seorang wakil terkemuka dari fenomena ini adalah mantan Perdana Menteri Italia Draghi. Selama 17 bulan, ia memimpin koalisi yang sangat luas. Isinya termasuk Partai Demokrat, Silvio Berlusconi (musuh bebuyutan Draghi), hingga Five Star Movement yang populis dan partai kanan Lega Nord. Kita bisa menyaksikan ditangguhkannya politik di balik kedok istilah “pemerintahan teknis”—atau dalam bahasa mereka: “pemerintah yang terdiri dari orang-orang terbaik” atau “pemerintahan yang diisi orang-orang berbakat’ Dalam beberapa tahun terakhir, pendapat bahwa tidak boleh ada pemilu baru setelah krisis politik kian santer; politik harus menyerahkan seluruh kendali kepada ekonomi. Dalam sebuah artikel yang terbit pada April 1853, “Achievements of the Ministry”, Marx menulis bahwa “Kabinet Koalisi (‘teknis’) adalah simbol ketidakberdayaan politis”. Pemerintah tidak lagi membahas haluan ekonomi mana yang akan diambil. Sekarang haluan ekonomilah yang melahirkan pemerintahan.
Sebuah mantra neoliberal terus didengungkan beberapa tahun terakhir di Eropa: guna memulihkan ‘kepercayaan’ pasar, diperlukan percepatan ‘reformasi struktural’, sebuah ungkapan yang kini sama artinya dengan kehancuran sosial: pemotongan upah, serangan terhadap hak-hak kelas pekerja terkait perekrutan dan pemecatan, kenaikan usia pensiun, dan privatisasi berskala besar. Jalan ‘reformasi struktural’ ini telah ditempuh “pemerintahan-pemerintahan teknokratik” baru pimpinan orang-orang yang CV-nya penuh pengalaman pernah bekerja di institusi-institusi ekonomi yang paling bertanggung jawab atas krisis ekonomi. Mereka mengaku harus mengambil kebijakan-kebijakan tersebut “demi kemaslahatan negara” dan “generasi mendatang”. Tak hanya itu, kuasa ekonomi dan media arus utama pun mati-matian membungkam siapapun yang bersuara kritis.
Per hari ini Draghi tidak lagi menjadi Perdana Menteri Italia. Koalisinya telah ambruk karena ekstremnya perbedaan kebijakan-kebijakan dari partai-partai pendukungnya. Pemilu Italia akan diadakan lebih awal pada 25 September. Jika kaum Kiri tidak ingin lenyap, mereka harus berani mengusulkan kebijakan radikal yang diperlukan untuk mengatasi masalah-masalah kekinian yang paling mendesak, dimulai dari krisis lingkungan. Orang-orang yang tidak mampu menjalankan program transformasi sosial dan redistribusi kekayaan adalah para ‘teknokrat’—yang sebenarnya sangat politis—seperti bankir Mario Draghi.
Dan Draghi tidak akan dirindukan.***
Marcello Musto adalah Profesor Sosiologi di Universitas York (Toronto, Kanada). Tulisan- tulisannya yang bisa diakses di www.marcellomusto.org telah diterjemahkan ke dalam dua puluh lima bahasa. Artikel jurnal terbarunya berjudul “War and the Left: Considerations on a Chequered History” dan diterbitkan oleh Critical Sociology.