Ilustrasi: Illustruth
PENINGKATAN kasus pasien positif COVID-19 di Indonesia secara drastis telah menyebabkan fasilitas kesehatan tumbang. Beberapa rumah sakit besar rujukan COVID-19 harus menyediakan tambahan kapasitas rawat inap. Bahkan, beberapa tempat menolak tambahan pasien baru. Berita dan cerita mengenaskan tentang kondisi tenaga kesehatan dan pasien ramai terdengar dan terasa dekat.
Namun, tumbangnya tenaga medis dan fasilitas kesehatan ketika menangani lonjakan pasien berbanding terbalik dengan orientasi pemerintah dalam penanganan pandemi. Berbagai kebijakan yang berorientasi pada agenda ekonomi pasar seperti pengesahan UU Cipta Kerja dan UU Minerba yang mendapat dukungan dari Bank Dunia (World Bank) karena Indonesia dinilai terbuka untuk bisnis dan investasi yang baik untuk pemulihan nasional. Tentu saja kebijakan ini ditolak secara cukup keras oleh aliansi masyarakat sipil dan mahasiswa. Tindakan pemerintah yang juga menimbulkan kontroversi adalah kebijakan karantina yang setengah hati dan tidak dibarengi dengan kebijakan bantuan sosial yang masif.
Fenomena politik yang terbaru dan tidak kalah mengesalkan adalah berjamurnya baliho-baliho elit politik nasional dalam rangka kampanye pemanasan jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 yang menghiasi jalanan kota-kota di Indonesia. Fatalnya, para elit politik tersebut merupakan pejabat negara yang memegang tanggung jawab penting dalam penanganan pandemi seperti Puan Maharani yang merupakan ketua DPR RI dan Airlangga Hartanto yang merupakan Ketua Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN).
Menanggapi fenomena tersebut, tulisan ini berargumen bahwa penanganan pandemi di Indonesia ditopang oleh rezim predatoris. Rezim predatoris harus dipahami sebagai bentuk dari corak kekuasaan yang menggurita di level nasional maupun lokal. Di satu sisi, para elit sibuk dengan kepentingan elektoral yang memungkinkan elit-elit dan partai politik pengusungnya melakukan akumulasi kapital via pengesahan UU Cipta Kerja dan UU Minerba yang berjalan mulus karena didukung oleh mayoritas partai politik di parlemen di bawah pimpinan Puan Maharani. Di sisi lain, penanganan pandemi dengan pendekatan yang berorientasi pada kepentingan ekonomi pasar dan elit tidak menyelesaikan permasalahan pandemi dan kondisi rakyat yang semakin merana.
Kehadiran Negara yang Minimal: Problem Kelas
Sejak awal penanganan pandemi di bawah pemerintahan Jokowi menunjukan kegamangan bahkan kontradiksi. Pernyataan mantan juru bicara Satuan Tugas (Satgas) Covid-19, Achmad Yurianto, yang menyampaikan bahwa ‘yang kaya melindungi yang miskin agar bisa hidup dengan wajar dan yang miskin melindungi yang kaya agar tidak menularkan penyakitnya’ turut memperkeruh suasana.
Pernyataan diskriminatif tersebut seolah menujukkan cara pandang pemerintah yang masih belum keluar dari bias dan sentimen kelas. Tak hanya cara pandang pemerintah yang bias kelas, hal ini juga menunjukkan bahwa pemerintah di level nasional kurang tanggap atau bahkan enggan untuk menyiapkan jaring pengamanan sosial atau skenario bantuan sosial bagi warga yang bersifat ekstensif.
Bantuan terhadap warga kelas rentan di masa pandemi melalui aksi komunitas bermunculan dan menjadi perlu. Namun, hal ini telah mengaburkan satu permasalahan struktural yang utama yaitu persoalan corak kekuasaan dan ketimpangan sosial. Seperti diungkapkan oleh Mudhoffir & Hadiz (2021), kita sedang menyaksikan depolitisasi peran pemerintah dalam penanganan pandemi khususnya dalam hal intervensi bantuan sosial ke masyarakat terdampak. Berbagai komunitas secara masif, sukarela, dan insidentil mengorganisasikan upaya jaminan sosial jangka pendek untuk mengatasi dampak pandemi. Upaya solidaritas organik ini justru dijadikan alasan bagi para elit untuk menormalisasi absennya intervensi negara terhadap krisis ekonomi dengan menghembuskan jargon ‘gotong royong.’ Hal ini melanggengkan beroperasinya rezim predatoris. Tidak hanya itu, upaya depolitisasi ini telah mengurangi kapasitas negara dalam penanganan pandemi dan menjadi arena pertarungan kepentingan elitis di level nasional dan lokal.
Secara historis, tendensi minimnya intervensi negara kapitalis terhadap kondisi kehidupan rakyat kerap kali hadir ketika krisis menerpa di Indonesia, satu pola yang terus berulang sejak era kolonialisme. Ini terjadi misalnya di saat Krisis Ekonomi Global 1930, ketika kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda secara diskriminatif membebankan beban dan dampak krisis berdasarkan latar belakang ras yang berbeda (Ingleson, 2013: 183).
Ini terlihat di dalam kebijakan jaminan sosial yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial. Bagi pemerintah kolonial, krisis saat itu tak akan banyak berdampak bagi kehidupan kaum pribumi karena mayoritas bekerja pada sektor informal dan tak akan terkena dampak krisis ekonomi secara langsung. Pemerintah kolonial hanya berfokus pada bantuan bagi pengangguran Eropa dengan alasan ketidakmampuan pembiayaan sistem bantuan sosial jika peruntukkannya bagi warga Hindia Belanda secara luas. Selain itu, pemerintah kolonial menganggap banyaknya bantuan dari kelompok agama, organisasi buruh, serta kelompok informal menjadi pembenar bagi pemerintah kolonial untuk tidak mengeluarkan kebijakan jaminan sosial bagi warga yang terdampak krisis ekonomi global 1930.
Merespon berbagai desakan, pemerintah kolonial akhirnya membentuk Komite Pusat untuk Bantuan Pengangguran yang mendirikan komite-komite di tingkat lokal berbasis teritorial. Namun dalam distribusi bantuan, tetap saja pemerintah kolonial cenderung diskriminatif – terlebih kepada para pribumi yang dilabeli sebagai intelektual dan memiliki keterampilan. Singkat kata, pemerintah kolonial dapat dibilang gagal dalam membangun bentuk jaminan sosial.
Tidak hanya kegagalan dalam menjamin hak kewargaan saja, negara memiliki hubungan problematik dengan warga negaranya di ranah hubungan kerja dan demokrasi ekonomi seperti terlihat pada rezim Orde Baru. Pemberangusan PKI dan kaum Kiri secara brutal oleh Orde Baru mengakibatkan pelemahan kekuatan masyarakat berdasarkan mobilisasi kelas dan prinsip egalitarianisme. Hal ini tidak lepas dari agenda struktur kapitalis yang menopang rezim tersebut. Penerapan asas tunggal ideologi Pancasila menutup telak kelompok oposisi rezim tak terkecuali kalangan kelompok buruh. Corak penertiban kelompok buruh juga terjadi dikawasan Asia Tenggara dan Asia Timur pada awal 1970-an ketika berbagai negara di dua kawasan tersebut sedang melakukan industrialisasi dengan model kapitalis, yang mensyaratkan pelumpuhan gerakan dan organisasi buruh yang militan dan independen.
Hadiz (1997) serta Hadiz dan Robison (2014) berargumen bahwa pendisorganisasian kekuatan masyarakat berbasiskan mobilisasi kelas merupakan implikasi logis dari praktek oligarki yang meluas sejak lama di Indonesia. Bahkan pasca reformasi, format kekuasaan predatoris masih ada. Politik elektoral misalnya, telah membawa pada transisi pada sistem politik uang. Dimana kekuasaan predatoris lama maupun baru, terbentuk ulang, mengkonsolidasikan ulang pengaruhnya, dan menyebar sejalan dengan agenda desentralisasi.
Hal inilah yang terjadi di dalam alam politik ‘demokratis’ pada masa krisis pandemi ini. Pemerintah kembali gagal dalam menyediakan jaring pengaman sosial bagi warganya saat krisis. Jaringan pengaman sosial (Social safety net) melalui Program Keluarga Harapan (PKH) yang disiapkan pemerintah sejak awal pandemi pun sesungguhnya omong kosong. Jokowi pada Maret 2020 menyebut akan meningkatkan penerimaan program PKH dari 9,2 Juta menjadi 10 juta rumah tangga. Padahal peningkatan penerimaan program tersebut telah tertuang jauh sebelum pandemi, yaitu dalam aturan Presiden No. 61 tahun 2019. Namun Ironisnya di awal pandemi, pemerintah justru menstimulasi sektor korporasi melalui insentif pajak sebesar Rp34,95 triliun dibawah program Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Tidak hanya itu, penyelewengan bantuan sosial juga terhadi secara massif, terlihat misalnya dari kasus korupsi Menteri Sosial, Juliari Batubara, yang menerima suap kontraktor paket bantuan COVID-19 sebesar Rp32,48 milyar pada akhir 2020 serta kasus Korupsi Bupati Bandung Barat, Aa Umbara Sutisna dalam pengadaan barang tanggap darurat bencana pandemi COVID-19 Bandung Barat.
Perkembangan terbaru ini semakin menunjukkan sifat alamiah negara kapitalis yang abai terhadap hak warga negara, terutama lapisan-lapisan yang paling rentan dan marginal. Abainya negara terhadap hak masyarakat memperparah jurang ketimpangan kelas dan kerentanan kehidupan yang sudah tinggi. Kelas pekerja misalnya, merupakan kelas yang mengalami kerentanan paling tinggi di masa pandemi. Laporan Sindikasi (2020) menjelaskan perkembangan industri teknologi telah membawa bentuk kelas pekerja dalam bentukflexible labour market atau pasar tenaga kerja fleksibel. Relasi-relasi kerja baru a la wacana perburuhan global seperti future of work menempatkan fleksibilitas sebagai model utama yang mengaburkan relasi kerja yang eksploitatif dan merugikan kelas pekerja. Kelas pekerja jenis baru tersebut antara lain adalah pekerja lepas (freelance), kurir, pengemudi ojek daring, dan pelaku profesi sejenis yang tidak memiliki jaminan sosial yang jelas, jam kerja yang “eksploitatif”, hingga upah yang tidak menentu di masa pandemi. Namun peningkatan kinerja di masa pandemi justru naik tajam. Laporan jurnalistik Viriya Singgih dalam artikel “Bak Diikat Tali Sehasta: Saya Wartawan, Saya Menjajal Jadi Kurir, Saya Ngos-ngosan” secara jelas menggambarkan bagaimana kelas pekerja kurir sangat rentan dan tereksploitasi oleh perusahaannya.
Kondisi ini menjadikan argumen Mudhoffir (2021) logis dan relevan. Mudhoffir menggarisbawahi kembali bahwa negara modern secara alamiah adalah pelayan dari kelas dominan. Di saat yang bersamaan, kekuatan politik progresif yang dapat menekan aliansi predatoris negara dengan kelas dominan cenderung absen atau tidak terkonsolidasi dengan baik. Praktis, kesejahteraan kaum buruh tak bisa diperjuangkan dan dinegosiasikan hanya dengan aksi-aksi gerakan-gerakan sosial akhir-akhir ini. Gerakan #ReformasiDikorupsi yang sempat memberikan harapan juga tidak efektif membendung aliansi predatoris pro-pengesahan UU Cipta Kerja.
Menguatnya Elit Lokal
Melihat respon elit di level lokal juga menjadi penting untuk memberikan gambaran bagaimana krisis pandemi ditopang rezim predatoris. Rakhmani dan Permana (2020) menunjukkan bahwa para kepala daerah gagap dalam merespon kebijakan pandemi dari pusat. Adanya kepentingan ekonomi-politik yang berbeda antar elit di wilayah yang sama menunjukkan ketidakseragaman dan ketidaksungguhan pemerintah dalam penanganan pandemi. Sebaliknya, fenomena tersebut menunjukkan bahwa elit-elit lokal cenderung bertindak otonom secara politik dan memiliki kepentingan pribadi dalam kebijakan penanganan pandemi.
Secara struktur kelembagaan, para kepala daerah berada di bawah pemerintah pusat. Namun kuatnya pemimpin lokal menunjukkan bagaimana kekuasaan lokal memanfaatkan penanganan pandemi. Ini dapat dilihat dari pelaksanaan program vaksinasi misalnya. Sejak Januari 2021 pemerintah mulai melakukan vaksinasi dengan target 70 persen dari total populasi nasional. Per 17 Agustus 2021, sebesar 57,3 juta penduduk atau 27,52 pesen penduduk telah menerima vaksin dosis pertama. Namun ketimpangan distribusi vaksin terlihat antarprovinsi. Tingkat vaksinasi di tujuh belas provinsi telah mencapai lebih dari 20 persen. Sedangkan tiga provinsi dengan persentase tingkat vaksinasi terbawah, yaitu Sumatera Barat (15,24%), Maluku Utara (13,44%), dan Lampung (10,8%) menunjukkan permasalahan ketimpangan dalam hal distribusi vaksin (Kemenkes per 18 Agustus 2021 dan Kompas.id 2021).
Melihat fenomena ini, kita perlu mengingat bahwa pola patronase yang menjadi gaya Orde Baru diadaptasi oleh tokoh lokal, politisi, hingga pengusaha lokal. Kekuatan ini tidak lebih dari sebuah relasi predatoris di level lokal. Argumen Kusman (2019) menggambarkan bahwa penguatan kekuatan elit lokal yang predatoris telah terjadi di alam demokrasi neoliberal. Kekuatan elit lokal ini disokong oleh kelompok intelektual. Pusaran kekuasaan predatoris berdasarkan aliansi elit dan intelektual lokal ini secara nyata telah mengamankan posisi elit lokal dalam melakukan akumulasi kapital dan memperkuat posisi politik mereka di daerah melalui politik elektoral.
Dalam konteks pandemi, penanganan pandemi oleh elit-elit lokal harus dipahami sebagai bagian dari relasi predatoris tersebut. Program vaksinasi nasional (maupun program penaganan pandemi lainnya) direspon dan dimanfaatkan secara beragam oleh beberapa elit lokal. Di Jawa Timur, Gubernur Khofifah memanfaatkan momentum vaksinasi dengan menggandeng Ikatan Alumni Universitas Airlangga (IKA UNAIR) pasca dipilih sebagai Ketua IKA UNAIR. Berlokasi di Pondok Pesantren Yanabi’ul Ulum Wal Hikam, Surabaya, IKA UNAIR dan Khofifah mendistribusikan 1.200 vaksin. Secara bersamaan, Khofifah telah memperkuat pengaruhnya di jaringan komunitas IKA UNAIR sekaligus di kalangan pondok pesantren. Di Kabupaten Sidoarjo, Bupati Ahmad Muhdlor bersama kelompok paramiliter, Pemuda Pancasila (PP), melaksanakan vaksinasi. Bahkan Mudlor mendukung PP untuk mengambil bagian dalam upaya percepatan 9.000 vaksinasi per hari di Kabupaten Sidoarjo. Relasi PP dengan Muhdlor menjadi dekat pasca Pilkada 2020. Sebelumnya Majelis Pimpinan Cabang (MPC) PP mendukung lawan dari Muhdlor, Kelana Aprilianto. Bagi Muhdlor, momen vaksinasi ini penting untuk menggalang dukungan massa PP di Sidoarjo. Masifnya kekuatan PP sebagai representasi dari kelompok paramiliter menyiratkan bahwa kelompok ini sedang mengisi ruang-ruang yang ditinggalkan oleh militer yang semula menjamin keamanan di ranah ekonomi-politik (Hadiz, 2005: 203). Eksistensi kelompok paramiliter dalam ranah politik lokal menjadi perwujudan dari aliansi predatoris yang mengakar.
Di Provinsi Bali, Gubernur I Wayan Koster menunjukkan betapa kuatnya cengkraman kekuasaan yang dimilikinya dalam penanganan pandemi. Kuatnya posisi Koster dapat dilihat dari penggunaan nilai-nilai dan instrumen lokal. Koster menerbitkan Peraturan Gubernur Bali No. 46 Tahun 2020 tentang Penerapan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan sebagai Upaya Pencegahan dan Pengendalian COVID-19 dalam Tatanan Kehidupan Era Baru sebagai upaya pelibatan entitas adat dalam penanganan pandemi. Koster juga memiliki unsur Satgas COVID-19 yang berbeda dengan daerah lainnya, yaitu Satgas Gotong Royong Desa Adat. Bahkan Gubernur Koster menginstruksikan warga Bali untuk menggelar Upacara Ngrastiti Bhakti di masing-masing Pura Khayangan Tiga di seluruh desa adat di Bali pada Juli 2021 lalu. Upacara ini menjadi salah satu ritus yang diinstruksikan langsung oleh Koster untuk meminimalisir persebaran COVID-19 di Bali. Ini adalah upaya untuk memanfaatkan tatanan adat untuk kepentingan dan aliansi predatoris yang dilakukan Koster.
Walikota Solo, Gibran Rakabuming, dan Walikota Medan, Bobby Nasution juga mendapat prioritas distribusi vaksin di masing-masing wilayah mereka. Terjadi ketimpangan yang signifikan terjadi di kawasan Solo raya, dimana tingkat vaksinasi di Kota Solo telah mencapai 60 persen lebih sedangkan kabupaten-kabupaten di Solo raya baru mencapai 20 persen – bahkan kurang. Di Kota Medan, tingkat vaksinasi mencapai 37,19 persen. Ini cukup tinggi dibanding dengan wilayah sekitarnya, seperti Deli Serdang yang masih sebesar 13,82 persen dan Binjai sebesar 22,31 persen dari populasi (Kemenkes per 18 Agustus 2021). Ini tidak lepas dari pengaruh Gibran dan Bobby yang merupakan anak dan menantu Jokowi, dimana hal ini berpengaruh pada prioritas vaksinasi di wilayahnya. Implikasinya, ketimpangan distribusi vaksinasi semakin mengemuka di daerah-daerah di sekitar Kota Solo dan Kota Medan.
Kesimpulan
Krisis Pandemi telah membuka fakta relasi predatoris yang masih kuat di era Pasca-Orde Baru. Keputusan politik yang diambil pemerintah di masa pandemi jelas memprioritaskan agenda pasar yang dimanfaatkan elit nasional. Hal ini diperparah dengan ilusi bantuan sosial yang diberikan oleh pemerintah saat pandemi. Nyatanya, skema bantuan sosial tersebut merupakan program yang sebelumnya sudah dicanangkan pemerintah melalui Program Keluarga Harapan (PKH). Praktis, sejak awal tidak ada skema bantuan sosial dari pemerintah untuk merespon pandemi.
Untuk merespon hal ini, pemerintah mendorong narasi dominan ‘gotong royong’ sembari menormalisasi upaya swadaya rakyat dalam menghadapi pandemi. Hal ini merupakan solusi yang apolitis karena menormalisasi absennya negara dalam menyediakan kebutuhan mendasar bagi warganya.
Ketika publik dan para elit juga ikut andil dalam menormalisasi absennya negara, maka praktek predatory power atau kekuasaan predatoris akan terus berlangsung. Indikasinya, kasus korupsi bantuan sosial untuk pandemi kembali bermunculan dan marak. Kelas pekerja rentan seperti sudah jatuh tertimpa tangga pula, yang seharusnya dalam situasi pandemi mendapat perlindungan masif dari negara namun justru harus terjebak dengan kebijakan flexible labour market yang mengabaikan hak-hak pekerja.
Konfigurasi rezim predatoris di tengah pandemi ini juga disokong oleh elit lokal. Hal ini dapat dilihat dari corak kekuasaan yang muncul di beberapa daerah di Indonesia yang memanfaatkan situasi pandemi untuk memantapkan posisi para elit di tingkat lokal. Beberapa elit daerah seperti Gubernur Khofifah dan Koster memelihara relasi kekuasaanya dengan menempatkan basis sosial-politik elektoralnya pada posisi sentral dalam penanganan pandemi ini. Berbeda lagi dengan Bupati Muhdlor yang menggunakan unsur kelompok milisi untuk memperkuatnya posisinya. Bersamaan dengan itu, Muhdlor juga melakukan rekonsiliasi dengan unsur pendukung lawan politiknya, PP, melalui program vaksinasi yang dilakukan bersama dengan PP. Implikasi yang cukup ketara dari corak kekuasaan predatoris dapat dilihat dari ketimpangan distribusi vaksinasi. Walikota Gibran dan Bobby mendapat distribusi vaksin yang cukup memadai sementara daerah-daerah di sekitaran wilayah pemerintahan mereka cenderung terabaikan. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena hubungan keduanya yang merupakan anak dan menantu Jokowi. Singkat kata, walaupun bukan menjadi faktor tunggal, konfigurasi rezim predatoris berkorelasi dengan ketimpangan distribusi vaksin di berbagai daerah di Indonesia.
Kondisi ini diperparah dengan melempemnya kekuatan politik progresif yang berdasarkan aliansi luas antara berbagai elemen gerakan rakyat dan sokongan intelektual yang diberikan kepada politik predatoris ini di level lokal maupun nasional. Pada akhirnya, upaya penanganan pandemi di Indonesia selalu terbatas dan konterproduktif karena terhambat oleh kepentingan elit-elit predatoris.***
Deda R. Rainditya adalah lulusan ilmu politik Universitas Airlangga, anggota Asian Studies Association of Australia (ASAA), dan Asisten Peneliti Departemen Politik Universitas Airlangga. Sandry Saraswati adalah lulusan ilmu politik Universitas Airlangga. Saat ini menjadi Asisten Peneliti di Australian National University (ANU) College of Asia and the Pacific.
Kepustakaan
Ardianto, Teddy. 23 Oktober 2020. Pemuda Pancasila Sidoarjo dukung Kelanan Dwi Astutik. Dalam https://beritajatim.com/politik-pemerintahan/pemuda-pancasila-sidoarjo-dukung-kelana-dwi-astutik/ (diakses 10 Agustus 2021)
Afifa, Laila. Maret 2020. Coronavirus Pandemic: Jokowi Sets 6 Social Assistance Programs. Tempo.co. Dalam https://en.tempo.co/read/1326272/coronavirus-pandemic-jokowi-sets-6-social-assistance-programs (diakses 6 Agustus 2021)
Aqil, A. Muh. Ibnu. 22 April 2021. Ex-minister Juliari Stands Trial in COVID-19 Food Air Bribery Case. The Jakarta Post. Dalam https://www.thejakartapost.com/news/2021/04/22/ex-minister-juliari-stands-trial-in-covid-19-food-aid-bribery-case.html(diakses 6 Agustus 2021)
Arif, Ahmad. 30 Juli 2021. Atasi Ketimpangan Vaksinasi. Kompas.id. dalam https://www.kompas.id/baca/ilmu-pengetahuan-teknologi/2021/07/30/atasi-ketimpangan-vaksinasi?utm_source=bebasakses_kompasid&utm_medium=whatsapp_shared&utm_content=sosmed&utm_campaign=sharinglink(6 Agustus 2021)
CNN Indonesia. 27 Maret 2020. Darurat Corona, Si Kaya dan Miskin Diminta Saling Menolong. CNN Indonesia. Dalam https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200327205844-20-487706/darurat-corona-si-kaya-dan-miskin-diminta-saling-menolong (diakses 5 Agustus 2021)
Hadiz, Vedi R. 1997. Workers and the State in New Order Indonesia. London: Routledge
___________.2005. Dinamika Kekuasaan Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto. Jakarta: LP3ES
Hadiz, Vedi R. dan Robison, Richard. The Political Economy of Oligarchy and the Reorganization of Power in Indonesia (pp. 35-56). Dalam Ford, Michele dan Pepinsky, Thomas B (eds.). 2014. Beyond Oligarchy: Wealth, Power and Contemporary Indonesian Politics. New York: Cornell University Press.
Ingleson, John. 2013 [Ed: Iskandar P. Nugraha]. Perkotaan, Masalah Sosial & Perburuhan di Jawa Masa Kolonial. Jakarta: Komunitas Bambu
Kusman, Airlangga P. 2019. The Vortex of Power: Intellectuals and Politics in Indonesia’s Post Authoritarian Era. London: Palgrave
Mudhoffir, Abdil Mughis. 2021.Aktivisme Borjuis: Mengapa Kelas Menengah Reformis Gagal Mempertahankan Demokrasi?. Project Multatuli. Dalam https://projectmultatuli.org/aktivisme-borjuis-kelas-menengah-reformis- gagal/ (diakses 17 Agustus 2021)
Mudhoffir, Abdil Mughis & Hadiz, Vedi R. 2021. Social Resilience Against COVID-19 Masks Indonesian Class Divide. Dalam Georgetown Journal of International Affairs, Volume 2, Number 1, Spring 2021 pp. 45-52. Bailtimore: Johns Hopkins University Press
Nathaniel. Felix. 16 Agustus 2021. Kepak Sayap Kebhinekaan” Tak Cukup “Selamatkan” Puan”, Tirto.id. dalam https://tirto.id/giB4 (diakses 17 Agustus 2021)
Novanty, Erika Eight.Juli 2021. IKA UA Selenggarakan Vaksin Bagi Warga Daerah Perkampungan dan Pesisir. UNAIR NEWS.
Dalam http://news.unair.ac.id/2021/07/19/ika-ua-selenggarakan-vaksinasi-bagi-warga-daerah-perkampungan-dan-pesisir/ (diakses 11 Agustus 2021)
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. per 18 Agustus 2021. Cakupan Vaksinasi COVID-19 Dosis 1 dan 2 di Indonesia. dalam https://vaksin.kemkes.go.id/#/vaccines
Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Program Pemulihan Ekonomi Nasional.
Dalam https://www.kemenkeu.go.id/media/15149/program-pemulihan-ekonomi-nasional.pdf (diakses 21 Agustus 2021)
Praptono, Didiek Dwi. 14 Juli 2021. Ajak Lawan COVID Pakai Doa, Koster Malah Tak Hadir di Ngrastiti Bhakti. Radar Bali. Dalam https://radarbali.jawapos.com/read/2021/07/14/275466/ajak-lawan-covid-pakai-doa-koster-malah-tak-hadir-di-ngrastiti-bhakti (diakses 6 Agustus 2021)
Rakhmani, Inaya & Panji Anugrah Permana. 2020. The Influence of Elite Interests are Crucial to Understanding Indonesia’s Response to Covid-19. Melbourne: Melbourne Asia Review dalam https://melbourneasiareview.edu.au/the-influence-of-elite-interests-are-crucial-to-understanding-indonesias-response-to-covid-19/
sidoarjokab.go. Juli 2021. Gus Muhdlor targetkan Vaksinasi Sehari 9000 Orang Pemuda Pancasila Siap Dukung Pemerintah. Dalam https://www.sidoarjokab.go.id/gus-muhdlor-targetkan-vaksinasi-sehari-9000-orang-pemuda-pancasila-siap-dukung-pemerintah (diakses 11 Agustus 2021)
Singgih, Viriya. 2021. Bak Diikat Tali Sehasta: Saya Wartawan, Saya Menjajal Jadi Kurir, Saya Ngos-ngosan. Project Multatuli. Dalam https://projectmultatuli.org/pengalaman-saya-sebagai-wartawan-menjadi-kurir-shopee/
Suparman, Fana F. 9 Juli 2021. Kasus Korupsi Bansos, KPK Perpanjang Penahanan Bupati Bandung Barat. Beritasatu. Dalam https://www.beritasatu.com/nasional/798205/kasus-korupsi-bansos-kpk-perpanjang-penahanan-bupati-bandung-barat(diakses 6 Agustus 2021)
Susilo, Heru. 26 Juli 2021. Vaksinasi di Solo Capai 60 persen, Bupati Sragen: Treatmennya Tidak Hanya untuk Satu Kota tetapi se-Solo Raya. Suaramerdeka.com. Dalam https://solo.suaramerdeka.com/solo-raya/pr-05476563/vaksinasi-di-solo-capai-60-persen-bupati-sragen-treatmennya-tidak-hanya-untuk-satu-kota-tetapi-se-solo-raya?page=all (diakses 5 Agustus 2021)
World Bank. Oktober 2020. World Bank Statement on Omnibus Law Job Creation. New Yok. Dalam https://www.worldbank.org/en/news/statement/2020/10/16/world-bank-statement-on-omnibus-law-job-creation