Ilustrasi: Jonpey
DALAM sejarah peradaban umat manusia, krisis besar selalu bermakna ganda. Di satu sisi, ia menghancurkan, melumat dan mengubur apa-apa yang hidup: manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan; merekonfigurasi bentang alam, mengubah iklim, dan lain sebagainya. Di sisi lainnya, krisis besar juga melahirkan peluang-peluang baru, imajinasi-imajinasi baru, dan pemikiran-pemikiran baru untuk membangun kehidupan baru yang dibayangkan bisa menghindari terjadinya krisis serupa di masa depan. Singkatnya, krisis besar biasanya melahirkan Revolusi Politik dan/atau Revolusi Pemikiran.
Saya tidak ingin kembali jauh ke masa lalu ke zaman batu, ketika perubahan iklim di benua Afrika memaksa orang untuk bermigrasi ke berbagai belahan dunia, atau ke abad ke-19 ketika krisis corak produksi feodal melahirkan revolusi politik, revolusi industri, dan juga revolusi pemikiran. Cukup bagi kita memeriksa krisis-krisis yang terjadi di awal abad- ke-20, ketika Perang Dunia (PD) I melahirkan revolusi Bolshevik di Rusia; Depresi ekonomi 1930an melahirkan pemikiran Keynesianisme yang menolak kompetisi bebas warisan Adam Smith; dan PD II melahirkan revolusi politik dan pembebasan nasional di negara-negara koloni yang kemudian memunculkan serangkaian negara-negara merdeka baru. Di bidang pemikiran pasca PD II kita kemudian mengetahui muncul revolusi pemikiran yang menentang Keynesianisme dan sosialisme yang diprakarsai oleh para intelektual seperti Friedrich von Hayek dan Milton Friedman. Kelak ketika terjadi krisis ekonomi di tahun akhir dekade 1960an, ide-ide Hayek dan Friedman, yang kini terkenal dengan sebutan neoliberalisme, mentorpedo paradigma Keynesianisme dan Sosial-Demokrat yang selama itu dianut oleh negara-negara kapitalis maju.
Kini, kita sedang berada di momen krisis yang sangat parah dan mengerikan: Pandemi Covid-19. Pandemi ini telah membunuh jutaan jiwa, baik di negara kapitalis maju maupun di negara kapitalis terbelakang seperti Indonesia. Kita sedang menyaksikan satu sisi dari krisis ini, yakni aspeknya yang mematikan. Tetapi, kita belum melihat, terutama di Indonesia, aspeknya yang membangkitkan, baik dalam bentuk revolusi politik ataupun revolusi pemikiran. Mengapa?
Fatalisme Intelektual
Kalau kita perhatikan, wacana dominan yang berkembang di Indonesia menyoal Pandemi ini, adalah mengisolasinya ke dalam dua domain utama: pertama, pandemi ini semata-mata dilihat sebagai persoalan medis, persoalan kesehatan; kedua, penyebaran virus dan amburadulnya penanganan pandemi yang berakibat jatuhnya puluhan bahkan ratusan ribu korban jiwa karena ketidakbecusan pemerintah, dalam hal ini pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Wacana ini jelas tidak keliru, tetapi mengisolasi problem pandemi ke dalam dua persoalan tersebut jelas menyederhanakan persoalan. Sebab, pandemi tidak hanya menghajar negara kapitalis terbelakang seperti Indonesia, tetapi, seperti saya sebutkan di atas, juga menghantam negara kapitalis maju seperti Amerika Serikat (AS). Bahkan, AS termasuk yang terparah dihajar pandemi Covid-19, dengan korban jiwa melampaui jumlah 500 ribu orang dan hingga kini AS tidak bisa sepenuhnya mengatasi penyebaran pandemi ini. Memparafrasekan ucapan Marx, pandemi ini seperti hantu yang bergentayangan di AS dan Eropa.
Pandemi Covid-19 harus kita lihat sebagai bukti kegagalan sistem kapitalisme di dalam mengatasi wabah yang bersifat global. Menariknya, kata Sam Gindin (2021), kegagalan ini bukan karena kapitalisme tidak bisa mengakumulasi profit sebesar-besarnya bagi para kapitalis dan para stakeholder-nya, atau karena kapitalisme tidak mampu berpenetrasi hingga ke sudut-sudut terpencil di seluruh belahan bumi, tapi kegagalan dalam menghadapi pandemi ini justru akibat dari kesuksesan kapitalisme itu sendiri.
Studi-studi yang dilakukan oleh para ahli ekologi menunjukkan bahwa penyebab utama dari pandemi Covid-19 ini adalah hancurnya ekosistem ekologis akibat agresi besar-besaran dari kapital. Rob Wallace dalam bukunya Dead Epidemiologists: On the Origin of COVID-19, mengatakan bahwa yang terutama harus disalahkan dari kemunculan pandemi ini adalah industrialis-industrialis pertanian dalam yang skala besar memelopori perampasan lahan dan lahan pertanian milik petani kecil di seluruh dunia sehingga menyebabkan kerusakan hutan (deforestasi). Akibat perubahan fungsi ekologis hutan, bakteri atau virus berevolusi menjadi fenotipe yang sangat mematikan dan menular ke hewan-hewan yang sudah didomestikasi dan selanjutnya menyebar ke komunitas manusia.
Karena itu, krisis akibat pandemi ini bukan terutama menjadi penanda adanya krisis ekonomi. Sekali lagi, penyebab utama pandemi Covid-19 ini adalah kedigdayaan kapitalisme dalam bentuk neoliberalisme selama kurun waktu 40 tahun terakhir ini. Lebih konkret lagi, krisis pandemi ini merupakan penanda dari terjadinya krisis lingkungan yang disebabkan oleh ekspansi kapital yang sangat agresif ke seluruh bentang alam kita saat ini. Karena itu, untuk mengatasi krisis pandemi, dibutuhkan sebuah solusi yang radikal, solusi yang bertujuan mencegah kerusakan lingkungan yang lebih parah. Solusi ini mensyaratkan perubahan cara kerja sistem kapitalisme yang merusak.
Sayangnya cara pandang sistemik dan struktural seperti ini absen dalam diskursus para intelektual di Indonesia yang secara fatalis mengisolasi krisis ini sebagai sekadar problem kesehatan. Lebih parah lagi, di dalam domain isu medis seperti itu, solusi-solusi yang digaungkan adalah solusi-solusi yang bersifat teknokratis semata seperti penguncian (lockdown), pembatasan sosial (social distancing), dan vaksinasi. Solusi-solusi ini, meskipun penting untuk menyelamatkan nyawa manusia dan kesehatan publik, tidaklah cukup. Tidak terdengar suara dari para intelektual fatalis tentang pentingnya perombakan sistem kesehatan yang selama ini sangat berorientasi profit menjadi sistem kesehatan universal, sistem kesehatan yang menempatkan manusia atau pasien pertama-tama sebagai subjek yang harus dilayani kesehatan jiwa dan raganya, bukan sebagai objek untuk akmulasi profit. Itu sebabnya, tidaklah mengherankan bahwa dalam tuntutan-tuntutan yang bersifat teknokratis itu kita menyaksikan bagaimana logika kapital (logic of capital) selalu berhadap-hadapan secara diametral dengan logika kesehatan universal (logic of universal healthcare).
Dari sini kemudian kita mendapati para intelektual fatalis ini terbagi ke dalam dua kubu yang bersitegang satu sama lain. Pertengkaran di antara kedua kubu ini bahkan menjurus ke soal-soal personal dan moralistik dengan penggunaan kosakata-kosakata yang vulgar. Pertama, adalah kubu yang menolak dilakukan lockdown. Mereka berargumen bahwa lockdown akan menghentikan roda ekonomi dan memicu krisis ekonomi yang kemudian berujung pada krisis politik seperti kerusuhan, kudeta, dan seterusnya. Padahal sejatinya, pandemi ini bukanlah penanda dari adanya krisis ekonomi. Kedua, adalah kubu yang melihat penyebaran pandemi yang meluas dan mematikan ini murni sebagai akibat pemerintah yang tidak becus, tidak tegas, yang tidak peduli pada kesehatan rakyatnya, dan anti-ilmu pengetahuan. Kubu ini abai melihat bahwa pemerintah atau lebih tepatnya negara bekerja dalam logika kapital sehingga sekuat dan sejauh apapun niat baik aparatusnya (pemerintah, parlemen, birokrasi, militer, polisi) mereka berada dan bergerak dalam batas-batas logika kapital tersebut.
Krisis Ilmu Sosial
Isolasi masalah pandemi Covid-19 semata sebagai persoalan medis sesungguhnya hanya menunjukkan kepada kita sisi lain dari persoalan yang lebih luas, yakni krisis ilmu sosial di Indonesia. Fatalisme intelektual menunjukkan bahwa ilmu sosial di Indonesia tidak mampu memberikan eksplorasi dan eksposisi terkait pandemi ini dan fenomena-fenomena yang muncul bersamaan dengannya.
Tidak ada studi kritis yang menguak bagaimana kapital berada di balik sikap ambivalen peran negara dalam mengatasi krisis pandemi ini. Tidak ada analis komprehensif mengapa teori konspirasi begitu luas menyebar dan dipercaya oleh begitu banyak orang. Tidak ada studi serius tentang mengapa negara menjadi semakin otoriter di masa pandemi ini. Tidak ada yang menganalisa mengapa kekayaan kaum superkaya di Indonesia justru semakin meningkat sementara jumlah orang yang terpapar kemiskinan semakin bertambah besar.
Dengan situasi ilmu sosial yang mati suri seperti ini, sulit berharap bahwa krisis mengerikan ini akan melahirkan Revolusi Pemikiran. Sebaliknya yang terjadi adalah ilmu sosial di Indonesia bertransformasi menjadi ilmu-ilmu moral, dan para intelektualnya bertransformasi menjadi motivator dan provokator.***
Kepustakaan
Rob Wallace, Dead Epidemiologists: On the Origin of COVID-19, (New York: Monthly Review Press, 2020).
Sam Gindin, “Political Openings: Class Struggle During and After the Pandemic”, NEW SOLUTIONS: A Journal of Environmental and Occupational Health Policy, Sage, 2021, Vol. 30(4) 260-266.