Ilustrasi: Pikiran Rakyat
DALAM tiga bulan terakhir, ada tiga pemogokan pekerja gig (gig workers) di Indonesia. Seabrek masalah terkait kerasnya kondisi kerja, ketidakadilan, dan penurunan tingkat kesejahteraan pekerja gig menjadi isu utama dalam tiga aksi mogok tersebut. Pemogokan terbesar dilakukan oleh kurir GoKilat (jasa pengiriman perusahaan Gojek) selama tiga hari (8-10 Juni 2021), melibatkan hampir 1.500 kurir atau hampir 80% kurir aktif di GoKilat. Sehari kemudian, kurir dari Lala Move mogok secara spontan selama tiga hari dengan menonaktifkan akun di aplikasi kerja mereka secara massal.
Sebelum dua pemogokan di atas, 1.000 kurir Shopee Express sudah mogok selama satu hari di Bandung pada 6 April 2021. Pemogokan ini dilatarbelakangi oleh aturan baru yang memangkas pemasukan kurir. Aturan baru ini mengurangi pendapatan kurir dari Rp2.500 rupiah/paket menjadi Rp1.500/paket—dan inilah pendapatan yang diperoleh kurir. Dengan kata lain, mereka tidak memperoleh penghasilan pokok setara upah minimum provinsi—tak ada pula jaminan kesehatan, jam kerja yang layak, uang lembur, hak cuti/libur, dan uang pesangon. Kondisi kerja pun memburuk karena kendaraan (sepeda motor) yang digunakan untuk bekerja adalah milik kurir, yang juga harus mengeluarkan ongkos bensin.
Dalam sistem pengupahan seperti itu, untuk bisa mendapat pendapatan bulanan sebesar Rp3.742.267 (upah minimum kota Bandung 2021), seorang kurir harus mengirimkan 2.495 paket tiap bulan—ini belum termasuk ongkos bensin dan biaya perawatan motor yang harus mereka tanggung sendiri. Dalam skema itu, mereka harus mengirimkan sekitar 104 paket per hari kepada pelanggan. Jika rata-rata waktu yang pengiriman paket mencapai 10 menit, maka kurir harus bekerja 17 jam per hari—jauh di atas kerja 8 jam yang layak. Sistem kerja yang menindas bagi pekerja gig ini sangat dimungkinkan dan tak dilarang oleh pemerintah Indonesia karena kurir tak berkedudukan sebagai buruh, tetapi ditetapkan sebagai kontraktor independen atau “mitra” perusahaan platform.
Kondisi-kondisi kerja yang rawan lagi penuh ketidakpastian ini bermula dari kekeliruan klasifikasi status pekerjaan para kurir. Perusahaan mengelompokkan mereka sebagai “mitra,” sehingga terhindar dari kewajiban membayar upah minimum, jaminan kesehatan, uang lembur, pesangon, delapan jam kerja, dan hak atas hari libur. Meski demikian, hubungan kerja antara perusahaan dan kurir dalam praktiknya tidak berbeda dari hubungan majikan-pekerja karena ada shift yang dibebankan kepada kurir (di Shopee Express, JNE, dll.), yang dalam proses kerjanya juga dikontrol oleh perusahaan. Ketika melamar, kurir pun wajib memenuhi syarat-syarat tertentu seperti kontrak kerja dan aturan-aturan sepihak yang ditetapkan perusahaan.
Meningkatnya Model Kemitraan
Model kemitraan saat ini tengah menjadi primadona bagi banyak perusahaan startup Indonesia. Setelah diterapkan di industri ride-hailing (Gojek, Grab, dan Uber), model kemitraan mulai diberlakukan bisnis jasa pengiriman, di antaranya Shopee Express, JNE Express, ID Express, Wahana, Mr Speedy, Lel Express, Lala Move, dan lain-lain.
Tidak jauh berbeda dengan Shopee Express, perusahaan-perusahaan lain pun mengupah “mitra” dengan sangat rendah. Di JNE Express, misalnya, kurir hanya dibayar Rp1.350/paket. Namun, JNE Express menanggung ongkos bensin kurir sebesar 15.000 rupiah per shift/hari. JNE tidak menyediakan kendaraan sehingga kurir harus menggunakan alat transportasi pribadi. Seorang mitra JNE Express bernama Satrio (22 tahun) mengatakan kepada saya bahwa setiap harinya ia mengantar rata-rata sekitar 35 paket dan diganjar upah harian sebesar Rp62.250 (Rp1.350 rupiah x 35 paket, plus Rp15.000).
Dalam praktiknya, praktik kemitraan di atas bertentangan dengan azas kemitraan itu sendiri. Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, kemitraan adalah hubungan bisnis antara pihak-pihak yang berkedudukan setara dan dilandasi prinsip saling memperlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan. Namun, prinsip-prinsip kemitraan tak kunjung terwujud karena perusahaan mendominasi seluruh proses kerja dan memaksa “mitra” atau kurir untuk mematuhi semua keputusan dari atas.
Saya menyebut praktik ini sebagai “kemitraan palsu,” sebuah tindakan politik dari perusahaan platform dengan mengklasifikasikan kurir mereka sebagai “mitra” akan tetapi tanpa menjalankan prinsip-prinsip kemitraan.
Mengapa Kemitraan Palsu Tumbuh Pesat?
Penerapan kemitraan palsu telah menjamur di banyak perusahaan jasa berbasis aplikasi. Lewat praktik ini, perusahaan dapat menekan dan memotong biaya produksi, serta menghindari risiko bisnis. Di sisi lain, para pengemudi/kurir dijebak ke dalam relasi ‘kemitraan’ yang membuat kondisi kerja mereka rentan, tidak pasti, dan tanpa perlindungan.
Ada tiga hal yang menyebabkan kemitraan palsu ini diterapkan secara masif. Pertama, berlimpahnya cadangan tenaga kerja (reserve army of labor) di Indonesia, yang diperkirakan mencapai 71,2 juta dari 121,8 juta angkatan kerja pada 2014. Lazimnya di negeri-negeri Selatan, para pencari kerja dihadapkan pada kontradiksi bahwa upah dalam pekerjaan-pekerjaan formal tetap rendah—yang juga ditemui ekonomi gig (gig economy). Mereka berharap mendapat pekerjaan layak, tetapi akhirnya harus memilih antara terus bekerja dalam sistem ekonomi gig dengan jam kerja panjang atau masuk ke dalam sektor formal yang sama-sama berupah rendah, ketiadaan kepastian kerja dalam jangka panjang, dan penugasan yang berat. Ketiadaan posisi tawar buruh ini melapangkan jalan bagi pasar tenaga kerja murah di Indonesia.
Kedua, lemahnya gerakan buruh di Indonesia. Berlimpahnya cadangan tenaga kerja adalah masalah struktural yang tidak lantas mengutuk kondisi kerja mereka akan pasti menjadi buruk. Meregulasi hubungan kerja adalah proses politik. Walaupun berlimpahnya cadangan tenaga kerja telah mencerabut politik dari pergaulan pekerja (depolitisasi), akan tetapi secara umum pekerja tetap berpeluang mendapatkan upah layak dan bekerja dalam kondisi layak ketika mereka terorganisir dengan baik. Jika ditengok ke belakang, cadangan tenaga kerja pada awal kemerdekaan Indonesia pun berlimpah. Namun, saking kuatnya gerakan buruh, mereka bisa mendorong terciptanya sistem perlindungan pekerja dan kondisi kerja yang lebih baik. Hasilnya adalah UU Pokok Agraria, kebijakan pesangon, perwakilan buruh di Dewan Perusahaan, dan nasionalisasi perusahaan asing yang diperjuangkan oleh kelas pekerja.
Meski demikian, dalam konteks hari ini, gerakan kelas pekerja Indonesia masih sangat lemah. Hal ini tidak lepas dari penghancuran kelas pekerja pada 1965 dan munculnya politik massa mengambang sejak rezim Soeharto berkuasa. Akibatnya, gerakan kelas pekerja yang telah eksis sejak awal abad ke-20 habis. Kabar baiknya, kelas pekerja hari ini sedang membangun kekuatannya.
Para pekerja gig di Indonesia melawan dengan mogok. Pada 6 April 2021, kurir Shopee Express di Bandung mogok karena pendapatan per paket mereka dipotong per paket dari Rp2.500 menjadi Rp1.500. Pemogokan hanya berlangsung sehari karena mereka memutuskan untuk kembali bekerja setelah mencapai kesepakatan dengan manajemen perusahaan. Sebelumnya, para pengemudi Grab di Yogyakarta mogok kerja pada akhir Desember 2020. Selama satu hari penuh mereka menonaktifkan aplikasi kerja guna merespons kebijakan pemotongan tarif dan bonus dari perusahaan.
Demikianlah cara pekerja menanggapi hubungan kerja yang buruk dan upah rendah. Sampai batas tertentu, aksi-aksi mogok pekerja gig sukses meraih kemenangan kecil dan menginspirasi perlawanan lainnya. Namun, perlawanan tersebut saat ini masih berwatak spontan dan tidak terorganisir secara nasional.
Ketiga, maraknya kemitraan palsu di Indonesia dimungkinkan oleh lemahnya penegakan hukum atas kekeliruan klasifikasi kemitraan. Alih-alih berusaha menciptakan kondisi kerja yang adil untuk “mitra” ekonomi gig, pemerintah justru berkomitmen untuk memuluskan operasi perusahaan aplikasi. Langkah itu diambil karena ekonomi gig dan kemitraan kerap disanjung-sanjung sebagai pekerjaan masa depan. Pendiri Gojek, Nadiem Makarim, bahkan diangkat menjadi Menteri Pendidikan oleh Jokowi karena dianggap pengusaha sukses. Kenyataannya, kondisi kerja kurir semakin memburuk, meski mereka kerap diusung sebagai pahlawan selama pandemi COVID-19 saking banyaknya orang bergantung pada jasa pengiriman.
Dengan dalih fleksibilitas, ekonomi berbagi (sharing economy), dan kelonggaran waktu pekerja, perusahaan jasa berbasis aplikasi tak melindungi dan menjamin hak para pekerjanya. Di tengah tumpukan masalah struktural ketenagakerjaan dan lemahnya kelas pekerja di Indonesia, perusahaan menjebak mereka ke dalam kemitraan palsu. Alih-alih menjamin kesejahteraan dan keselamatan kerja, jebakan kemitraan palsu justru menciptakan pekerjaan yang tak layak dan tak pasti.
Arif Novianto, peneliti muda Instute of Governance and Public Affairs (IGPA), Universitas Gadjah Mada
Artikel ini sebelumnya terbit di Developing Economics pada 20 Juni 2021. Diterjemahkan dan diterbitkan oleh IndoPROGRESS dengan izin penulis dan Developing Economics.