Foto: Wikimedia
Artikel ini diterbitkan Jacobin pada April 2021. Redaksi IndoProgress memutuskan untuk menerbitkan terjemahan Indonesianya untuk merespons diskusi tentang peningkatan eskalasi gerakan sosial di Indonesia selama beberapa tahun terakhir. Diskusi ini bermula dari tulisan Abdil Mughis Mudhoffir berjudul “Aktivisme Borjuis: Mengapa Kelas Menengah Reformis Gagal Mempertahankan Demokrasi” yang dimuat di Project Multatuli pada 9 Juli 2021. Artikel tersebut ditanggapi oleh tulisan Coen Husain Pontoh berjudul “Menginvestigasi Kelas Menengah: Tanggapan untuk Abdil Mughis Mudhoffir” yang terbit di IndoProgress (16 Juni 2021).
BUKU The Jakarta Method (2020) karya Vincent Bevins bertolak dari sebuah gagasan pokok, yakni bahwa Perang Dingin bukan konflik dua arah antara Amerika Serikat dan Uni Soviet dalam rangka perebutan hegemoni global. Tak seperti yang dipahami orang kebanyakan, Perang Dingin lebih tepat dijabarkan sebagai sebuah periode di mana Amerika Serikat mati-matian berusaha memuluskan aliran kapital global dengan cara mematahkan perlawanan kaum kiri di negara-negara Dunia Ketiga yang baru merdeka seperti Indonesia, Brasil, dan Iran. Dalam kerangka itu pula operasi-operasi rahasia CIA yang disokong Washington mengikuti sebuah pakem umum: menggulingkan pemimpin dan pemerintahan suatu negara yang dipandang mengganggu kepentingan Amerika, lantas memastikan agar pemerintahan baru tidak memunculkan masalah lain.
Namun, baru di Indonesialah kampanye anti-komunis CIA memperoleh senjata pamungkasnya. CIA sadar bahwa mereka tidak bisa sekadar menggulingkan pemimpin progresif. Rakyat akan mengutuk kudeta dan ini membuka celah bagi elemen kiri untuk kembali berkuasa. CIA pun memilih jalan lain, yakni “Metode Jakarta”: pembumihangusan kekuatan progresif melalui pembunuhan massal, penyiksaan, dan penghilangan paksa di bawah rezim teror.
Pada 1965, Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah partai komunis terbesar ketiga di dunia dengan jumlah anggota dikabarkan mencapai lebih dari tiga juta orang. Jutaan simpatisan PKI pun berafiliasi dengan organisasi-organisasi buruh, tani, perempuan, dan kebudayaan. Pada akhir 1966, kira-kira lebih dari setengah juta anggota dan simpatisan PKI dibunuh. Mereka yang selamat ditahan dan dipekerjakan di kamp-kamp penjara. Mereka yang dibebaskan dari penjara—atau cukup beruntung karena tidak tertangkap sejak awal—tutup mulut karena takut dianiaya.
Jika misi utama pembantaian komunis pada 1965 adalah menihilkan kemungkinan kaum komunis untuk berkuasa, maka tujuan itu telah tercapai—dan luar biasa sukses. Sejak PKI dilarang pada 1966 hingga hari ini, Kiri tak punya wakil di dalam sistem politik Indonesia. Tindakan apapun yang dianggap sebagai upaya “menyebarkan Marxisme-Leninisme” akan diganjar hukuman 20 tahun kurungan. Semua partai politik diwajibkan menjunjung Pancasila sebagai ideologi resmi. Kecuali beberapa partai berhaluan Islam konservatif, semua partai politik Indonesia tak dapat dibedakan satu sama lain secara ideologis—dan sebagian besar dari mereka beroperasi sebagai organisasi kedok bagi klik-klik konglomerat beserta kroni untuk memajukan agenda bisnis masing-masing.
Namun, ini baru satu cerita. Di luar medan politik elektoral, selama bertahun-tahun Indonesia dilanda pelbagai aksi massa berskala besar melawan berbagai kebijakan pemerintah yang anti-demokrasi dan pro-pasar. Dalam praktiknya, politik kiri termanifestasikan dalam aksi-aksi ini. Yang terbesar dari sekian protes ini adalah gerakan Reformasi 1998 yang sukses melengserkan kediktatoran Soeharto. Terbaru, pada 2019 dan 2020, mahasiswa, buruh, dan banyak organ kiri turun ke jalan di berbagai kota. Mereka memprotes serangkaian RUU yang menggiring negara—yang sudah didominasi perwira militer dan kapitalis kroni—ke arah yang makin otoriter.
Mungkin benar tiap kali gelombang protes mulai menyebar, selalu muncul secercah harapan—bisa juga ketakutan, jika Anda di posisi berkuasa—akan kebangkitan gerakan kiri. Namun, sulit sekali memprediksi apakah gelombang aksi kali ini bakal membesar; nyaris mustahil kita membayangkan akan seperti apa mutasi gerakan protes ini. Namun, aksi-aksi ini akhirnya harus terbentur pada tipisnya kemungkinan perubahan yang dikehendaki, mengingat metode yang digunakan. Anti-komunisme jelas masih menjadi momok, yang sejak awal membatasi mana yang bisa dan tak bisa diungkapkan di muka umum—dan akhirnya mengebiri potensi dan cakrawala gerakan protes.
Doktrin “Kekuatan Moral”
Satu hal yang perlu diklarifikasi: aksi-aksi massa di Indonesia beberapa tahun terakhir jauh dari agenda komunis atau sosialis. Protes-protes ini menampilkan diri sebagai “gerakan pro-demokrasi”—sebuah istilah abu-abu—mirip gerakan di Hong Kong dan Thailand. Yang mereka coba bangkitkan adalah semangat Reformasi ’98, ketika belasan ribu mahasiswa turun ke jalan menuntut Soeharto mundur setelah berkuasa 32 tahun dengan tangan besi.
Lebih dari dua dasawarsa kemudian, para peserta aksi menenteng spanduk “Reformasi Dikorupsi”. Slogan ini mengimplikasikan bahwa ada yang salah dengan cara Indonesia memutus warisan otoritarianismenya; bahwa para pendemo—seperti halnya angkatan 1998—membanjiri jalan demi menyelamatkan negeri dari kehancuran.
Gelombang protes 2019 bermula ketika Dewan Perwakilan Rakyat dilaporkan sedang bersiap menyetujui beberapa RUU pada pekan terakhir sidang. Di antara sekian produk hukum bermasalah itu, ada RUU KUHP yang bakal menjerat siapapun yang “mencemarkan nama baik” presiden dan pemerintah, mengkriminalisasi seks pranikah dan aborsi, dan melarang sosialisasi alat kontrasepsi yang dilakukan bukan oleh petugas berwenang.
Ada pula Revisi UU KPK yang dibuat untuk melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut RUU ini, tiap upaya penyadapan, penangkapan, dan penyitaan harta benda tersangka korupsi harus mendapat persetujuan dewan pengawas independen yang ditunjuk DPR. Menimbang fakta bahwa lebih dari tiga persen anggota DPR telah dibui karena terlibat kasus korupsi, RUU ini niscaya dibuat untuk merombak undang-undang yang sejak awal bertujuan mengawasi tindak-tanduk anggota dewan.
Gelombang protes kedua pada 2020 muncul sebagai respons terhadap Omnibus Law, yang akhirnya disahkan. Dikenal juga sebagai “RUU Sapu Jagat”, RUU seribu halaman ini disusun untuk mengubah puluhan undang-undang guna mempermudah masuknya investasi asing. Pemerintah sendiri menamainya “RUU Cipta Kerja” dengan dalih bahwa pemangkasan birokrasi akan menciptakan lapangan kerja bagi pengangguran yang jumlahnya semakin meningkat.
Kenyataannya, Omnibus Law akan mengobrak-abrik sistem perlindungan kesejahteraan pekerja dan lingkungan hidup dalam skala yang belum bisa diprediksi secara akurat. Kajian-kajian awal telah menunjukkan berbagai ketentuan yang mengerikan dalam RUU ini. Klausul undang-undang agraria, misalnya, melapangkan jalan bagi pemerintah untuk“membangun kawasan industri, jalan tol atau bendungan di atas tanah yang disita dari pemilik perseorangan, memberi ganti rugi kepada pemilik seharga kurang dari nilai tanah atau dalam beberapa kasus malah tidak menggantinya sama sekali.”
Sementara itu, klausul seputar buruh dan urusan ketenagakerjaan menghapus peraturan yang melarang pemberi kerja membayar upah di bawah ketentuan upah minimum. Klausul tersebut juga memperbolehkan perusahaan melakukan PHK tanpa peringatan—termasuk dengan dalih “memperkecil kerugian” atau “memperbesar efisiensi”—serta melonggarkan peraturan terkait tenaga kerja alih daya (outsourcing). Akibatnya, jutaan orang terancam menjadi pekerja rentan (precarious labor).
Jika ukuran keberhasilan gelombang protes saat ini adalah pembatalan RUU bermasalah, maka aksi-aksi ini sudah sepantasnya dibilang gagal. Omnibus Law dan Revisi UU KPK telah disetujui DPR. Ada pertanda pula bahwa RUU KUHP akan segera diteken. Tentu tak adil jika kita mengatakan tidak ada tindak lanjut dari para pegiat aksi. Toh, banyak LSM terus menyebarluaskan kajian hukum atas RUU-RUU ini. Mereka juga bekerja keras meningkatkan kesadaran publik akan dampak buruk aturan-aturan baru tersebut. Namun, sedikit sekali pembicaraan tentang apa yang harus dilakukan gerakan setelah semua tuntutannya ditolak pemerintah.
Para pendemo gagal memutus warisan doktrin “gerakan moral” atau “kekuatan moral” yang sudah tertanam kuat. “Kekuatan moral” adalah sebuah wacana yang sudah puluhan tahun melandasi gerakan protes di Indonesia. Singkatnya, menurut azas “kekuatan moral” ini, mahasiswa harus terlibat di dalam politik pertama-tama dan terutama sebagai mahasiswa.
Menurut Edward Aspinall, prinsip “kekuatan moral” berangkat dari keyakinan bahwa mahasiswa menempati posisi istimewa sebagai kaum terpelajar dalam masyarakat. Tak seperti elemen-elemen masyarakat lainnya yang selalu mendahulukan kepentingan pribadi/kelompok, kedudukan mahasiswa teramat khas: mereka bergerak karena terdorong oleh fungsi utamanya sebagai penentu kebenaran. Tindakan mahasiswa tak dilatari kepentingan untuk mengejar keuntungan, ambisi, atau kekayaan pribadi. Karena alasan-alasan inilah mahasiswa (sudah semestinya) tak berminat mencalonkan diri sebagai—atau mengganti—pejabat pemerintahan. Satu-satunya peran mereka adalah “berani bicara dan menyuarakan kebenaran moral yang sepantasnya ditindaklanjuti pemerintah.”
Meskipun aksi-aksi belakangan ini tidak hanya melibatkan mahasiswa, ada anggapan umum bahwa demo adalah cara ampuh untuk melakukan perubahan sosial di Indonesia, dan demo selalu dikaitkan dengan “gerakan mahasiswa” berskala besar. Spanduk “Reformasi Dikorupsi” mengkonfirmasi anggapan itu. Apa boleh buat, “Spirit 1998” terlanjur menjelma kisah klasik tentang semangat revolusioner mahasiswa menentang sebuah rezim otoriter yang korup.
Masalahnya bukan bahwa mahasiswa enggan turun ke jalan bersama masyarakat luas. Aksi-aksi massa belakangan justru menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa meninggalkan kedudukan adiluhung mereka dan berbaur dengan kekuatan progresif lainnya, seperti gerakan buruh dan lingkungan. Sebaliknya, masalah terletak pada ketidakmampuan gerakan massa untuk tumbuh berlipat ganda menjadi proyek politik yang lebih besar. Ketidakmampuan ini terkait langsung dengan pemusnahan kaum kiri pada 1965.
Perumus doktrin “kekuatan moral” ini adalah Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin (yang kelak berganti nama menjadi Arief Budiman setelah Orde Baru mengeluarkan kebijakan asimilasi paksa terhadap etnis Tionghoa). Duet kakak-adik ini merumuskan istilah “kekuatan moral” pada 1967, hanya dua tahun setelah pembantaian terhadap kaum kiri dimulai. Baik Soe Hok Gie maupun Soe Hok Djin bukan komunis. Sebaliknya, mereka adalah ujung tombak pergerakan mahasiswa anti-komunis yang menentang kebijakan-kebijakan anti-imperialis Presiden Sukarno. Gerakan mahasiswa anti-komunis inilah yang kemudian menyoraki berkuasanya militer di bawah Soeharto.
Pada saat bersamaan, hubungan mereka dengan dengan rezim sangat ambigu. Di satu sisi, mereka menyadari bahwa di iklim politik baru ini gerakan mahasiswa memiliki kedudukan yang unik nan progresif untuk membantu pemerintah Soeharto meraih cita-cita modernisnya. Di sisi lain, mereka juga paham bahwa gerakan mahasiswa mulai kehilangan momentum.
Beberapa eksponen ‘66 berpendapat bahwa cita-cita gerakan mahasiswa hanya mungkin terwujud jika mereka “sudah mampu menghimpun cukup kekuatan”. Di sisi lain, sejumlah aktivis mahasiswa direkrut partai politik sambil berharap mampu mendorong perubahan dari dalam sistem. Apa yang kemudian dimaksud sebagai “kekuatan moral” tak lain adalah jawaban langsung atas persekongkolan elite baru dan segelintir aktivis mahasiswa:
“Misalnya saat ini kita tahu ada tokoh militer korup, ada tokoh partai korup, ada tokoh mahasiswa korup. Apa yang harus kita lakukan? Ada dua jawaban. [Pertama] biarkan saja mereka begitu, jangan ambil pusing dengan orang-orang ini sementara kita memupuk kekuatan kita, mengumpulkan massa kita. Nanti kalau kita kuat, kita serang mereka. Cara lainnya adalah menyebut terang-terangan bahwa mereka korup. Biarlah apa yang terjadi pada diri kita terjadi, yang jelas kita akan mengatakan apa yang benar dan apa yang tidak benar.”
(Arief Budiman, 1967)
Dengan kata lain, tesis “kekuatan moral” adalah jawaban untuk medan politik yang tidak menampakkan kekuatan progresif selain mahasiswa—ini khususnya berlaku setelah pembersihan dan pembubaran serikat buruh, perempuan, dan organisasi kebudayaan kiri sejak 1965. Lazimnya mahasiswa, mereka tak punya cara membangkang selain protes—konsolidasi dengan kekuatan lain mustahil dilakukan. Para pendemo 2019/2020 mungkin tak lagi menganggap serius doktrin “gerakan moral”. Namun, mayoritas mereka masih memakai metode berlawan yang sama dan berharap cara tersebut masih ampuh, sekalipun medan politik Indonesia secara umum telah berganti rupa sejak 1998.
Bukan berarti protes tidak berhasil sebagai metode. Tapi, tanpa diiringi tindakan lain, aksi protes hanya mampu menopang elan revolusioner untuk jangka waktu terbatas. Tantangan yang hari ini menghinggapi kaum kiri Indonesia adalah bagaimana mendirikan panggung yang mampu menyalurkan pengalaman bentrok di jalan ke dalam berbagai rupa corak perlawanan dan pembangkangan—atau, mengutip Leo Panitch, menerjemahkan protes jalanan ke dalam kerja-kerja untuk mendorong proses “Pembentukan Kelas” (Class Formation).
Tugas maha berat dan tidak menyenangkan ini lagi-lagi belum ditanggapi serius.
Jalan Buntu Masyarakat Sipil
Mengapa sulit sekali membayangkan politik yang berakar pada kelas di Indonesia? Ada satu penjelasan yang menyakinkan: konsep kelas sendiri telah dibungkam oleh rezim Soeharto. Ketika berkuasa, Orde Baru menciptakan sederet eufemisme yang untuk menghapus jejak kaum Kiri. Orde Baru menghaluskan istilah “buruh” menjadi “karyawan”, mengaburkan “kelas pekerja” sebagai kategori ekonomi alih-alih kategori politik lewat istilah “kelompok berpenghasilan rendah”. Pada saat bersamaan, para intelektual kiri dibungkam atau mati. Sebagian dari mereka yang kebetulan tengah bersekolah di luar negeri ketika terjadi kudeta 1965 terdampar selamanya di negeri asing.
Banyak dari hal ini telah diketahui. Namun, pada awal 1970-an, mayoritas intelektual dan aktivis mahasiswa yang mulanya mendukung Soeharto mulai menunjukkan gelagat ketidakpuasan. Proyek modernisasi Orde Baru ternyata tak serta merta menghasilkan masyarakat Indonesia yang lebih modern dan demokratis seperti yang mereka dambakan. Arus modal yang saat itu mengalir deras dan ramainya perdagangan internasional justru mengokohkan oligarki militer yang korup.
Kebuntuan ini, menurut sejarawan Hilmar Farid, memaksa mereka menjajaki berbagai konsep baru untuk melawan rezim yang tengah memupuk otoritarianisme. Mereka pun menemukan jawabannya pada gagasan “masyarakat sipil” (civil society). Konsep yang serba samar dan tak jelas batasannya ini mencampurbaurkan gagasan liberal tentang good governance, rasa saling pengertian antara pemerintah dan rakyat, berikut harapan terciptanya gerakan warga lintas kelas (yang terinspirasi oleh gelombang Kiri Baru yang tengah pasang di Amerika Utara dan Eropa).
Dari oplosan awur-awuran ini lahirlah apa yang bisa kita sebut sebagai “Populisme Tengah” (Centrist Populism). Selain impoten, populisme jenis ini sekadar bercita-cita membuat negara tunduk pada ideal-ideal demokrasi tanpa harus merombak sistemnya. Ironisnya, populisme ini juga mensyaratkan pembentukan aliansi luas yang melibatkan berbagai kekuatan demokratis.
Arah konseptual baru ini, menurut Farid,
…memandang pentingnya masyarakat membuat kontrak sosial baru dengan penguasa untuk mengurangi (bukan menghapus) ketimpangan, mendorong politik elektoral yang bersih dan berwibawa, memperjuangkan reformasi lembaga-lembaga politik. Dalam arus pikiran ini, perspektif yang menekankan perbedaan kelas bukan hanya ketinggalan zaman tapi juga mengganggu tercapainya persatuan [masyarakat sipil] yang mutlak diperlukan untuk menghadapi otoritarianisme.
Keterbatasan tesis masyarakat sipil terletak pada kenyataan bahwa—mengutip kata-kata yang diduga berasal dari Karl Rove—“dunia tak lagi bekerja dengan cara seperti itu.” “Kontrak sosial [baru] dengan penguasa” menyiratkan keberadaan demokrasi sebagai ruang bersama di mana pemerintah dan rakyat yang diperintah berkedudukan setara dan sama-sama memahami apa yang terjadi.
Aksi penolakan Omnibus Law 2020 menunjukkan sebaliknya. Tak lama setelah protes bergulir, propaganda yang mendiskreditkan massa aksi menjamur di internet. Salah satunya menuding bahwa rakyat tak paham apa yang mereka protes: ketika aksi memuncak pada 8 Oktober, tak ada naskah RUU yang dapat diakses publik sehingga memperkuat tuduhan bahwa massa telah terpancing turun ke jalan untuk menolak sesuatu yang tak terbukti keberadaannya. Situasi makin ganjil ketika dua hari berselang seorang anggota dewan dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bermanuver: ia mengaku para anggota dewan belum menerima dan membaca naskah Omnibus Law. Lalu, siapa sebetulnya perancang RUU itu jika bukan anggota dewan sendiri?
Drama hukum tak berakhir di situ. Ketika publik akhirnya menerima salinan draf Omnibus Law, pemerintahan Joko Widodo langsung melipir dari pakem pembuatan kebijakan dan mengumumkan akan merevisi RUU Cipta Kerja setelah disahkan—tak hanya sekali, tapi dua kali. Bayangkan, para peneliti hukum di LSM-LSM susah payah begadang memeriksa 812 halaman draf perdana Omnibus Law. Keesokan harinya mereka mendapat kabar bahwa ada versi yang telah “diperbarui” (905 halaman), yang kemudian disusul lagi oleh edisi yang jauh lebih baru.
Semua cobaan ini lantas menjadi mimpi buruk bagi siapapun yang berusaha memahami seutuhnya bagaimana pemerintah mencoba memperdaya rakyat. Ketika Presiden Joko Widodo menandatangani draf final setebal 1.187 halaman satu bulan kemudian, momentum yang dibangun oleh rentetan protes itu telah lama menguap.
Tak mengherankan jika cara-cara berlawan gaya lama itu tidak manjur. Demo besar di seantero negeri bahkan terbukti tak cukup: betapa pun menarik dan penuh harapan, demo-demo ini kerap cuma bertahan seumur jagung. Begitu pula dengan desakan agar pemerintah mematuhi norma-norma demokrasi—seperti yang dikatakan Presiden Joko Widodo sendiri: para pengunjuk rasa sudah semestinya mengajukan peninjauan kembali Omnibus Law ke Mahkamah Konstitusi jika dianggap perlu.
Yang tidak disebut Jokowi: semua hakim agung ditunjuk oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat—dengan kata lain, independensi mereka diragukan. Langkah Jokowi ini, jika bukan secanggih-canggihnya gaslighting, adalah ajakan untuk mengakui kekalahan.
Lantas bagaimana seharusnya kaum kiri Indonesia mengejar perubahan sosial yang sejati dan radikal? Tentu tak ada jawaban murah. Namun, sebagai gambaran kasar, ada kebutuhan untuk merumuskan strategi-strategi baru yang dirancang khusus dalam kerangka perjuangan hari ini.
Kerentanan tampaknya menjadi masalah mendesak hari ini: dalam tiga dekade terakhir, serikat-serikat buruh di Indonesia makin babak belur saking meningkatnya jumlah buruh yang bekerja dalam kondisi penuh kerentanan di bawah sistem outsourcing. Meski tak hanya dialami Indonesia, kerentanan ini bakal diperparah lagi oleh Omnibus Law. Gerakan buruh pun dihinggapi beban ganda karena kondisi sosial dan ekonomi serba pelik yang ingin mereka enyahkan justru makin mempersulit aktivitas pengorganisasian.
Sekali lagi, keadaan serba sulit ini tak hanya terjadi di Indonesia. Di berbagai belahan dunia, kapital global kian mengandalkan cadangan tenaga kerja (reserve army of labor) tak hanya untuk menekan ongkos produksi serendah-rendahnya, tapi juga juga untuk mencegah buruh membentuk serikat dan berorganisasi. Leo Panitch menawarkan pembacaan penting terkait serangan bertubi-tubi terhadap gerakan buruh ini:
“Upaya memperketat batasan-batasan sosiologis guna menentukan siapa yang berada di strata kelas pekerja dan siapa yang tidak, semakin kecil faedahnya …. Alih-alih membatasi diskusi kita pada pilihan-pilihan strategis mengorganisir perawat atau barista, guru atau pengembang software, buruh tani atau sopir truk, sales atau teller bank, kita harus menaruh perhatian pada upaya menjabarkan dan mengembangkan corak-corak baru formasi dan organisasi kelas pekerja yang inklusif untuk abad ke-21.”
Itulah sebabnya mengapa—meskipun ambyar—aksi-aksi protes di Indonesia baru-baru ini tetap inklusif. Berkat karakter inklusif inilah, aksi-aksi tempo hari berpotensi berkembang menjadi gerakan yang lebih besar. Para pendemo perlu mengembangkan suatu wahana yang memudahkan mereka menyebarluaskan agenda-agenda politik tertentu ketimbang terus-terusan bertahan dari gempuran RUU-RUU ngawur.
Tak ada jaminan bahwa kesempatan ini bisa dimanfaatkan—meski jelas bahwa peluang sekecil apapun harus direbut. Seperti dikemukakan David Graeber, barang siapa pernah terlibat langsung aksi perlawanan niscaya akan tergoda mengulanginya. Gelombang protes 2019-2020 telah melahirkan satu generasi muda baru yang pertama kalinya mencicipi aksi jalanan. Mayoritas dari mereka bahkan belum lahir ketika Orde Baru tumbang pada 1998.
Protes 2019-2020 adalah momentum bersejarah—dan tentunya juga bukan yang terakhir—bagi generasi ini.***
Eduard Lazarus, jurnalis dan editor lepas. Menulis perkara media dan gerakan sosial