Ilustrasi: “Membayar Pajak” (Pieter Brueghel Muda, 1640)
“Jika seorang petani Perancis hendak menggambarkan Sang Iblis, dia akan menggambarkannya sebagai penarik pajak.”
Karl Marx, Class Struggle in France 1848-1850
RENCANA pemerintahan Joko Widodo menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan pengenaan PPN atas barang kebutuhan pokok tahun depan patut dikecam. Mereka seakan abai pada sejarah yang telah berkali-kali mencatat bahwa pajak merupakan salah satu sumber persoalan—yang telah memicu berbagai pemberontakan dan revolusi.
Berikut beberapa peristiwa besar yang mengubah dunia yang berawal dari protes atas pajak:
- Pemberontakan kaum Zelot Yahudi di tanah Yudea di abad pertama Masehi. Kemarahan tercermin dalam pandangan orang Yahudi pada zaman itu bahwa pemungut cukai (petugas pajak) adalah golongan ‘orang berdosa.’ Yerusalem diluluhlantakkannya namun bangsa Yahudi jadi terusir tanah moyangnya;
- Pemberontakan Petani Jerman (1624-25), yang menjadi bahan pembahasan Engels dalam Perang Tani di Jerman;
- Perang Saudara Inggris yang mempopulerkan slogan “Off with his head!” ketika memancung kepala Raja Charles I. Peristiwa ini khususnya diawali dengan pemenjaraan seorang pemboikot pajak bernama John Hampden;
- Perang Kemerdekaan Amerika Serikat. Antara lain dipicu oleh pengenaan pajak atas teh kecuali untuk East India Company (EIC) yang memungkinkan mereka memonopoli teh. Salah satu slogan tenar dari revolusi ini adalah “tak ada pajak tanpa keterwakilan.”
Banyak legenda juga bertutur tentang perlawanan terhadap aturan pajak yang dianggap memberatkan:
- Sekte Teratai Putih (pek lian kauw) yang sering muncul dalam kisah-kisah silat. Pada dasarnya ini adalah satu pemberontakan terhadap pemerintahan Manchu. Dukungan besar terhadap pemberontakan ini datang dari petani-petani garam yang keberatan dengan pajak dan monopoli garam oleh kerajaan Tiongkok;
- Robin Hood. Satu legenda yang sangat terkenal tentang seorang begal budiman yang merampok uang pajak yang dipungut secara semena-mena oleh Sheriff dari Nottingham untuk dibagikan kembali pada rakyat.
Daftar ini hanya mencantumkan sekelumit saja dari sekian banyak pemberontakan yang dipicu atau tersangkut dengan persoalan pajak. Pemerintah mana pun di atas muka bumi harus selalu ingat bahwa penerapan pajak yang didukung rakyat akan memberinya fondasi kekuasaan yang kokoh; dan sebaliknya, tidak sedikit pemerintahan yang terguling (dan nyawa yang hilang) akibat pengenaan pajak yang tidak disetujui oleh rakyat.
Jadi, seperti apa pajak yang kiranya akan disetujui rakyat?
Pajak atas Kekayaan atau Komoditi?
Catatan tertua yang memuat tentang pajak saat ini adalah satu loh tanah liat dari peradaban Sumeria, dua setengah milenia sebelum Masehi. Dalam loh itu tercantum perhitungan pajak yang dikenakan atas tanah, hasil produksi pertanian dan ternak. Beberapa abad berikutnya, pada zaman Babilonia, kita temui Hukum Hammurabi yang mencantumkan jenis pajak lain, yakni dalam bentuk kewajiban kepala keluarga kepada raja. Bentuk pajak ini mengharuskan kepala keluarga untuk mematuhi panggilan raja; mengabdi pada keperluan sang raja. Rakyat harus patuh baik ketika dipanggil untuk banting-tulang membangun candi-candi, atau untuk menjadi prajurit dan berperang menghadapi musuh-musuh sang raja atau untuk keperluan apa pun yang diinginkan sang raja (Sharlach, 2002).
Pada zaman itu belum ada pemisahan antara kekayaan dan komoditi. Oleh karenanya, pajak yang dikenakan atas hasil bumi, dalam bentuk natura, adalah pajak kekayaan sekaligus pajak komoditi.
Tentu saja di Sumeria ada uang. Uang, dalam definisi alat tukar dan alat penyimpanan kekayaan, sudah hadir sejak zaman batu. Namun demikian, para birokrat Sumeria kesulitan melakukan penghitungan kekayaan dalam bentuk uang karena sistem keuangannya tidak tunggal (Powell, 1996 228-9). Belum lagi kesulitan untuk menentukan nilai sebenarnya dari satu keping perak yang disebut shekel itu. Tiap keping bisa bervariasi dalam timbangan (karena sistem penimbangan yang belum standar) atau beda dalam kandungan peraknya. Masih beberapa abad lagi sebelum Archimedes menemukan cara bagaimana mengukur tingkat kemurnian satu jenis logam.
Baru pasca Magna Charta (1215) proses panjang menuju pemisahan antara pajak atas kekayaan dan pajak atas komoditi dimulai (Passant, 2016 69).
Mengapa mesti membedakan antara kekayaan dan komoditi? Karena komoditi adalah produk dari proses kerja. Di dalamnya, kerja manusia, baik manual maupun dibantu alat, menciptakan nilai. Penciptaan nilai adalah satu hal yang produktif. Untuk memicu peningkatan produktivitas, penciptaan nilai tidak boleh dipajaki, malah harus diberi insentif.
Kekayaan berada di sisi lain lain. Kekayaan adalah hasil dari akumulasi nilai lebih. Semua bentuk kekayaan, besar atau kecil, selalu merupakan bagian dari proses apropriasi (perampasan) atas nilai yang diciptakan melalui proses kreatif/produktif masyarakat (Bapuji, 2017). Perampasan itu bisa dalam skala yang kasat mata dan memuakkan seperti yang dilakukan korporasi pencemar lingkungan, tapi bisa juga dengan cara yang lebih halus seperti ketika kapitalis membayar mahal influencer untuk bertindak sebagai glorified salespersons.
Oleh karenanya, secara filsafati, PPN harus ditolak. Bukan pajak terhadap barang kebutuhan pokok saja yang harus ditolak, namun semua bentuk PPN. Tidak masuk akal bahwa orang-orang yang sudah bekerja keras untuk menciptakan (menambahkan) nilai pada satu produk lantas dikenai pajak karena keberhasilannya menambahkan nilai.
Para pendukung model pajak pertambahan nilai (value added tax atau VAT) sering membingkai PPN sebagai sesuatu yang ‘netral’, atau istilahnya revenue-neutral tax (Aurelius, 2016) tapi ini semua bullshit belaka. Nilai diciptakan oleh kerja. Maka, porsi terbesar dari penciptaan nilai tambah itu berasal dari kerja para buruh, petani dan nelayan. Sementara PPN ini dibayarkan oleh konsumen, dikutip langsung melalui penjualan. Saat inilah, ketika para buruh, petani dan nelayan bertindak sebagai konsumen, mereka dipaksa menanggung beban pajak—atas produktivitas mereka sendiri.
PPN aka VAT bukan pajak yang netral. Ia adalah pajak yang dibebankan pada rakyat pekerja—atas produktivitas mereka sendiri. Sudah mereka banting-tulang menambahkan nilai, masih pula disuruh membayar pajak atas pertambahan nilai itu.
Tidak heran bahwa, sekalipun tidak mengajukan teori pajaknya secara sistematik atau utuh, kita mendapati satu tema konsisten dari Marx ketika membahas tentang pajak: penolakan kategorikal atas segala bentuk pajak atas pertambahan nilai (Ireland, 2019).
Yang harus dipajaki adalah akumulasi kekayaan. Di dalam akumulasi kekayaanlah terdapat apropriasi (perampasan) atas hasil kerja buruh, petani, dan nelayan. Di dalam harta inilah terdapat ‘hak orang miskin.’ Jika negara ingin memiliki uang, agar dapat memberi layanan pada warga yang tidak mampu, maka uangnya harus diambil dari pajak atas harta. Bukan malah orang miskin dipajaki lagi; disuruh membayar biaya penyediaan layanan bagi mereka.
Percayalah: orang miskin akan jauh lebih bersuka-cita apabila bisa membayar pajak atas kekayaan. Orang miskin akan sangat rela membayar berapa pun pajak atas harta-kekayaan mereka. Dan masyarakat, lewat negara, harus membantu agar orang-orang ini tidak lagi miskin, membantu mereka mendapatkan penghasilan yang memadai agar memiliki harta dan dapat membayar pajak atas harta.
Tapi pajak adalah keputusan politik. Pajak ditetapkan lewat undang-undang. Di sinilah ideologi mengambil peran kunci dalam pengambilan keputusan atas pajak. Jika keputusan politik tentang pajak diambil oleh mereka yang berkepentingan mempertahankan hartanya, mustahil pajak atas harta akan diberlakukan. Kondisi ini sekaligus menggelar persyaratan “hanya jika posisi pengambilan keputusan ditempati oleh seorang berideologi kiri.”
Persoalan pajak ini tidak dapat diselesaikan lewat cara-cara reformis atau membiarkan posisi pengambil keputusan tetap dilakukan oleh oligarki. Hanya jika buruh, tani atau nelayan duduk di posisi pengambilan keputusan persoalan pajak ini akan bisa ditangani sebagaimana mestinya.
Persoalan Praktis tentang Pajak
Menjadi idealis dan tepat secara ideologis tentu adalah hal yang baik. Sayangnya itu tidak cukup. Kita tidak hidup di dunia khayal di mana jagoan baik selalu menang di akhir cerita. Dunia nyata yang kita tinggali ini adalah tempat di mana orang jahat biasanya menang karena mereka lebih punya motivasi, bekerja lebih keras dan cerdik dibanding orang-orang baik.
Dan inilah yang terjadi dengan perpajakan. Sejak zaman kuda gigit besi, para bangsawan sudah melatih diri untuk menyembunyikan kewajiban pajaknya terhadap raja. Dan sekarang, para pengusaha, terlebih lagi oligark, memiliki sejuta satu macam cara untuk lolos dari jerat pajak.
Berikut ini adalah daftar ‘keterampilan’ yang dikuasai oligark untuk menghindari pajak:
- Sengaja tidak melaporkan atau menghilangkan pendapatan;
- Menyimpan dua set buku dan membuat entri palsu dalam buku dan catatan (double accounting).
- Melakukan mark up atau ‘lebih bayar’;
- Mencatatkan pengeluaran pribadi sebagai pengeluaran bisnis;
- Menyembunyikan atau mentransfer aset atau pendapatan sehingga tercatat atas nama orang lain;
- Terlibat dalam ‘transaksi palsu,’ misalnya mencatatkan biaya promosi dan pemasaran sebagai CSR;
- Mendirikan perusahaan cangkang, yang dimiliki oleh perusahaan cangkang yang lain, yang dimiliki perusahaan cangkang yang lain, dan seterusnya sampai muntah.
Pengungkapan Paradise Papers, yang memuat 13,4 juta dokumen transaksi perusahaan, membuka mata lebih jauh tentang teknik-teknik culas yang dipergunakan oligark untuk menyembunyikan kekayaannya dari kejaran pajak (Thompson, 2018; Eifling dan Shaw, 2021), antara lain:
- Menyewa jasa konsultasi palsu;
- Membuat investasi bodong (di perusahaan cangkang milik sendiri) yang pasti rugi;
- Membuat proyek CSR palsu, dikerjakan oleh orang yang disewa lewat perusahaan cangkang;
- Membuat utang palsu pada perusahaan cangkang, dengan jaminan aset perusahaan, lakukan gagal bayar agar aset disita oleh perusahaan cangkang dan, dari sana, dijual;
- Memaksa orang yang berutang pada perusahaan untuk mentransfer pembayarannya ke rekening pribadi;
- Buat kontrak palsu bersama perusahaan cangkang, dengan syarat yang teramat berat, lalu lakukan wanprestasi dan bayarlah ‘denda’ pada perusahaan cangkang itu.
Melihat betapa canggihnya teknik-teknik penghindaran pajak ini, tidak heran pemerintah tergoda untuk mencari jalan mudah. Karena mengejar pajak dari oligarki terlalu sulit, pemerintah berusaha menggenjot pungutan pajak dari orang miskin—yang tidak punya kapasitas dan sumber daya untuk menghindari pajak. Karena memungut pajak atas kekayaan terlalu ribet, pemerintah memperluas pungutan pajak atas komoditi—yang dipungut langsung pada saat transaksi.
Kondisi seperti ini adalah alarm kebakaran bagi para pemimpin serikat buruh, tani, nelayan atau serikat-serikat rakyat lain seperti serikat perempuan atau miskin kota. Mulailah belajar tentang perpajakan, tentang ekonomi, tentang politik dan hukum. Karena kita tidak dapat mengandalkan sebuah pemerintahan yang parlemen dan birokrasinya dikuasai/dikendalikan oleh oligarki. Kita harus rebut dan duduki posisi-posisi dalam parlemen dan birokrasi agar dapat menemukan cara menjegal semua bentuk kecurangan pajak oligarki.
Jangan mencontoh para ‘aktivis’ yang hanya mau mengritik tanpa mau mencari solusi. Ikuti mereka maka kita akan jalan di tempat.
Usulan Solusi
Persoalan pajak adalah soal keadilan yang fundamental bagi sebuah masyarakat. Oleh karenanya tidak akan pernah ada cara mudah untuk mengatasi kerumitannya. Political will saja tidak akan pernah memadai untuk keperluan ini. Dibutuhkan pula political capabilities dan economic savvy untuk melihat persoalan pajak.
Walau demikian, penulis memberanikan diri untuk memberi beberapa usulan dalam mengatasi persoalan pajak ini, terutama yang menyangkut upaya jangka pendek sementara kita membangun kekuatan untuk menggusur oligarki dari tampuk kekuasaan dan mencari cara untuk memberantas kecurangan pajak oligarki:
- Reformasi atas proses pemberantasan korupsi di Indonesia, di mana pilar terpentingnya adalah merombak ulang Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK harus dibongkar dan dibangun ulang dari mulai fondasinya, yang selama ini diarahkan untuk mengakali atau bypass sistem penegakan hukum yang korup, menjadi sebuah lembaga yang ditujukan untuk pertama dan terutama membersihkan lembaga/aparatur penegakan hukum dari korupsi. Dengan demikian, KPK tidak akan lagi mengejar kasus-kasus bombastis melainkan bekerja tekun membersihkan birokrasi dan penegakan hukum dari korupsi. Jika kedua sektor pemerintahan ini sudah relatif bersih, baru kita pikirkan lagi perlunya mengejar orang-orang yang selama ini berada di luar jangkauan hukum karena posisi ekonomi atau politiknya;
- Proses pencatatan dan pelayanan elektronik yang dapat dilakukan sendiri oleh warga negara di seluruh ranah birokrasi demi memangkas praktek percaloan dan pungutan liar. Termasuk di dalam proses ini adalah penyederhanaan semua bentuk perizinan—kecuali yang menyangkut persoalan lingkungan dan jaminan atas hak-hak rakyat;
- Pengenaan pajak karbon dan pajak atas tanah tak tergarap. Selain merupakan sumber penerimaan jangka pendek, pajak karbon akan mendorong bisnis untuk menggunakan/mengembangkan energi terbarukan yang, pada gilirannya, akan menekan biaya energi secara keseluruhan. Pajak atas tanah tak tergarap juga akan mendorong orang untuk mendayagunakan tanah miliknya agar produktif sehingga tanah tidak lagi dijadikan aset untuk spekulasi;
- Pemberlakuan Pajak Konsumsi-Progresif; di mana pajak atas komoditi tidak lagi dikenakan secara flat atau pukul rata berbasiskan jenis komoditi, melainkan dikenakan pada semua komoditi berbasis harga penjualan dan tingkat pajaknya naik secara bertahap. Dalam skema Pajak Konsumsi-Progresif, penetapan barang bebas pajak dilakukan dengan menetapkan nilai minimum harga jual kena pajak. Misal, barang seharga di bawah Rp5 juta rupiah bebas pajak. Barang antara Rp5 juta sampai Rp20 juta dikenai pajak 3%; antara Rp20 juta sampai Rp100 juta kena PPN 5%, dan seterusnya.
Penutup
Pajak yang berkeadilan adalah pajak atas kekayaan. Namun kenyataannya oligarki sudah sangat terlatih untuk melakukan kecurangan pajak. Hanya sebuah pemerintahan yang diisi oleh orang-orang progresif, wakil-wakil sejati buruh, tani dan nelayan yang akan memiliki keteguhan untuk melakukan apa yang perlu agar dapat mengejar para pengemplang pajak ini.
Tanpa sebuah pemerintahan yang sungguh-sungguh mewakili rakyat pekerja, idealisme tentang pajak yang berkeadilan adalah mimpi di siang bolong. ***
Kepustakaan
Aurelius, Anton. “A Value-Added Tax: a Revenue-Neutral Alternative to the Corporate Income Tax”. Tax Foundation, 23 Juni 2016. Accessed 15 June 2021. https://taxfoundation.org/value-added-tax-revenue-neutral-alternative-corporate-income-tax-0/
Bapuji, Hari & Husted, Bryan & Lu, Jane & Mir, Raza. (2017). “Value Creation, Appropriation, and Distribution: How Firms Contribute to Societal Economic Inequality”. Business & Society. Volume 57, no. 6, Agustus 2017. DOI: 10.1177/0007650318758390. Accessed 15 June 2021. https://www.researchgate.net/publication/322499267_Value_Creation_Appropriation_and_Distribution_How_Firms_Contribute_to_Societal_Economic_Inequality.
Eifling, Sam dan Shaw, Calyn. “The Memo You’re Not Supposed to See: 11 Ways to Hide Money Offshore”. Mother Jones. 29 Januari 2021. Accessed 15 June 2021. https://www.motherjones.com/politics/2021/01/memo-how-to-hide-money-offshore/
Ireland, David. (2019). “What Marxist Tax Policies Actually Look Like”. Historical Materialism. Volume 27, Juni 2019. pp. 1-34. DOI: 10.1163/1569206X-00001543. Accessed 15 June 2021. https://www.researchgate.net/publication/334198821_What_Marxist_Tax_Policies_Actually_Look_Like
Passant, John. “Tax and the Forgotten Classes: from the Magna Carta to the English Revolution”. Australasian Accounting, Business and Finance Journal, volume 10, no 3, 2016, 67-88. Accessed 15 June 2021. doi:10.14453/aabfj.v10i3.5 https://core.ac.uk/download/pdf/81226075.pdf
Powell, Marvin A. “Money in Mesopotamia.” Journal of the Economic and Social History of the Orient, vol. 39, no. 3, 1996, pp. 224–242. Accessed 15 June 2021. JSTOR, www.jstor.org/stable/3632646.
Sharlach, Tonia. Taxes in the Ancient World. Almanac. Volume 48 no. 28. University of Pennsylvania. 2 April 2002. Accessed 15 June 2021. https://almanac.upenn.edu/archive/v48/n28/AncientTaxes.html
Thompson, Karl. “Tax avoidance – supporting evidence for the Marxist Perspective on Crime”. Revisesociologi. 5 Januari 2018. Accessed 15 June 2021. https://revisesociology.com/2018/01/05/tax-avoidance-examples-uk/