Ilustrasi: Illustruth
ANTARA Jalur Gaza dan Tepi Barat yang terpisah dalam bentang politis-sosiologis-agama, tersimpan sebuah pilihan: keluar sebagai sebuah negara berdaulat bernama Palestina, atau tetap terkungkung dalam konflik komunal tanpa daya apapun untuk melawan relasi-kuasa yang silang sengkarut di luar sana.
Palestina telah lama menjadi medan pertempuran para raksasa yang pernah ada di dunia. Kekuatan pertama, Amerika Serikat, menancapkan kuku-kuku hegemoninya melalui Israel, sebuah negara-bangsa yang dirancang oleh praktik imperialisme berkedok eksodus pasca-Perang Dunia II. Dalam geopolitik kawasan itu, Israel dirancang untuk menguasai sebuah kawasan kaya raya yang konon diperuntukkan untuk kaum Yahudi. Ia terbentang dari Dataran Tinggi Golan hingga Sinai, dan mengitari Masjid Al-Aqsha di Jerusalem.
Kekuatan kedua adalah negara-negara Arab, yang hingga kini masih tidur pulas. Mereka tak sadar telah terpecah belah menjadi beberapa kekuatan. Dulu, kekuatan ini pernah cukup disegani dan ditakuti, mengancam Eropa dari Tours hingga Bordeaux. Selama ratusan tahun berdiri, kekuasaannya membentang dari sebelah Barat di Andalus hingga sebelah Timur di India. Sayang, konflik internal yang melanda kekuatan ini sukses menidurkan Arab-Islam dalam lelap malam modernisasi dan otoriterisme.
Sejarah pertumpahan darah Israel-Palestina adalah sejarah penjajahan yang belum usai. Ia bermula dari akhir sebuah masa penjajahan negara-negara Eropa, yang digantikan oleh penjajahan satu negara ke negara lain. Penjajahan itu diwariskan dari satu entitas ke entitas lain. Rezim boleh berganti—dari pemimpin-pemimpin Partai Buruh sampai kebangkitan kelompok imperialis garis keras pimpinan Netanyahu. Tapi, tidak ada yang berubah. Sejarah berdirinya Israel adalah juga sejarah penindasan terhadap rakyat Palestina. Benarlah kata Hannah Arendt: imperialisme adalah asal-usul kedua dari totaliterisme, yang kini terhampar di Israel dan Palestina dalam konflik yang tak kunjung usai.
Saya ingin memaparkan ulang sejarah konflik Israel-Palestina dengan melihatnya sebagai bentuk penjajahan modern. “Penjajahan” adalah konsep abad ke-19 yang telah memudar pengaruhnya selepas Perang Dunia II; Indonesia, Yugoslavia, Mesir, India, Ghana, dan negara-negara Asia Afrika melawannya dengan keras di PBB 1950an. Namun, bukan berarti penjajahan itu benar-benar musnah. Apa yang terjadi di Palestina adalah penjajahan dengan beragam dalih, dari perluasan pemukiman hingga upaya “mempertahankan diri” dari serangan kelompok militan.
“Banyak yang bilang ke kita bahwa ‘kolonialisme sudah mati,’” ucap Bung Karno dalam pidato pembukaan Konferensi Asia Afrika 1955. “Jangan mau dibodohi oleh pernyataan semacam itu. Saya akan bilang, kolonialisme belum mati! Bagaimana mereka bisa bilang ia sudah mati, kalau banyak wilayah Asia dan Afrika yang belum bebas?”
Bung Karno benar; 66 tahun setelah beliau mendeklarasikan hak untuk menentukan nasib sendiri di Asia dan Afrika, Palestina belum pernah benar-benar merdeka dan bebas.
Kronik
1948. Inggris menandatangani perjanjian Balfour pada 1947, memberi kesempatan kepada David Ben Gurion untuk mendirikan negara bernama “Israel” di tanah yang didiami orang-orang Arab. Dalihnya: memberikan ruang bagi para pengungsi korban Perang Dunia II sekaligus rumah baru untuk minoritas Yahudi di negara-negara Arab yang baru merdeka. Tapi, orang-orang Palestina telah menghuni tanah yang sama selama berabad-abad. Hasilnya: Perang Arab-Israel I. Negara-negara Arab gagal mencegah berdirinya negara baru bernama Israel, yang memaksa orang-orang Arab mengungsi ke wilayah yang kini kita kenal sebagai Palestina.
1955. Aspirasi merdeka bergelora di berbagai penjuru dunia. Bung Karno mengundang perwakilan negara-negara Asia dan Afrika ke Bandung. Di antara yang hadir adalah Mufti Yerusalem, yang mendeklarasikan penolakan atas kolonialisme Israel di Palestina. Negara-negara Timur Tengah lain—Iran, Iraq, Mesir, Yaman, dan lainnya—mengafirmasi penolakan rakyat Palestina. Muhammad Fadhil Jamali, Ketua Delegasi Iraq di Konferensi Bandung, terang-terangan menuding Zionisme sebagai bentuk penjajahan yang membuat perdamaian di Timur Tengah tidak pernah jadi kenyataan.
1956. Kaum nasionalis di Mesir marah kepada Israel dan menutup Suez, jalur penghubung Laut Merah dan Laut Tengah yang sangat bernilai strategis bagi aktivitas pelayaran internasional. Inggris dan Perancis, yang kepentingan dagangnya terancam oleh aksi blokade sepihak Mesir, mulai merancang strategi untuk memaksa Kairo mengurungkan niatnya. Perang pun tak terelakkan. Suez akhirnya dibuka kembali—dengan pelbagai kompensasi.
1964. Perlawanan meledak di Palestina. Organisasi Pembebasan Palestina—yang kemudian kita kenal sebagai “Fatah”—lekas-lekas mengambil peran oposisi strategis terhadap dominasi Israel guna menggalang kekuatan perlawanan. Beragam aksi mereka lakukan untuk memerdekakan Palestina dari penjajahan gaya baru. Dipimpin oleh Yasser Arafat, yang kemudian menjadi pemimpin karismatik Palestina, kelompok ini tampil dalam arus moderatisme-nasionalisme berbasis Islam.
1967. Perang antara Israel dan negara-negara Arab kembali pecah. Warga Yahudi kian terkonsolidasi, sementara negara-negara Arab semakin lemah akibat kudeta dan kekacauan sosial. Di sini, lagi-lagi dunia Arab kocar-kacir: tentara Suriah, yang dulu dikenal hebat sebagai penakluk Eropa dan India, dipukul mundur dari Dataran Tinggi Golan dan terapksa menyerahkannya kepada Israel. Kekalahan ini memukul Nasser. Tiga tahun kemudian, ia meninggal dunia tanpa pernah berhasil mewujudkan mimpinya membebaskan Palestina.
1973. Di tengah perayaan Yom Kippur yang sakral bagi orang Yahudi, pecah peperangan baru dengan negara-negara Arab. Mesir, yang sepeninggal Nasser dipimpin oleh Anwar Sadat, membuat satu dobrakan: membebaskan dataran tinggi Golan dan Sinai, yang tadinya dikuasai oleh Israel setelah perang 1967. Gebrakan ini berujung gencatan senjata, tapi membuka satu perspektif: Israel tidak selamanya tak terkalahkan. Sadat merebut Sinai, dan memaksa Israel ke meja perundingan. Berita buruknya: Mesir tak lagi tertarik untuk membebaskan Palestina, yang akhirnya kehilangan satu kawan terbaiknya masa itu.
1978. Sebuah perjanjian damai yang lebih bernuansa kompromis dipertunjukkan Anwar Sadat. Di tempat teduh bernama Camp David, perjanjian gencatan senjata antara negara-negara Arab dengan Israel ditandatangani. Perjanjian ini membuat Nobel Perdamaian berlabuh ke tangan Sadat. Namun, ada harga mahal yang harus dibayar: Liga Arab berang, Mesir dikucilkan dalam pergaulan kawasan, seorang militan menembakkan peluru ke tubuh Sadat. Ia dibunuh karena bersikap kompromis dalam perjuangan pembebasan Palestina. Sejak itu, Mesir seakan enggan terlibat langsung dalam konflik. Ia menutup Sinai dari arus pengungsi, bahkan ketika perang.
1983. Orang-orang Palestina yang mengungsi di Shabra dan Shattila, di Libanon, tiba-tiba kedatangan tamu misterius. Kamp pengungsian diberondong peluru tak ubahnya ladang pembantaian manusia. Peristiwa ini kita kenal sebagai pembantaian Shabra dan Shattila. Palestina tak mampu berbuat apa-apa. Dunia ramai menghujat. Namun, berkat veto Washington, pembantaian ini tak menimbulkan konsekuensi apa-apa bagi Israel.
1987. Kekuatan bersenjata bernama Hamas—Gerakan Penegakan Islam—tampil di gelanggang politik. Kelompok ini menjawab keraguan atas sikap politik Fatah yang justru cenderung kompromistis saat berhadapan dengan Israel. Dipimpin seorang ulama karismatik bernama Syekh Ahmad Yassin dari sebuah kursi roda, Hamas tampil dengan wajah perjuangan baru: militansi membela Palestina. Hamas-lah yang pertama kali memperkenalkan intifadhah dan mempopulerkan aksi bom bunuh diri. Tak perlu senjata berat untuk melawan Israel; ketapel para remaja yang membidik tank-tank Israel di Jalur Gaza cukup membuka mata dunia bahwa perlawanan masih ada. Bom bunuh diri tampil sebagai simbol militansi yang mengejutkan Israel sekaligus meyakinkan dunia bahwa ketertindasan akan berbuah perlawanan dengan segala cara.
1993. Jalan diplomatik coba ditempuh Fatah. Merasa bahwa perjuangan politik mereka selama ini kurang menuai hasil, Fatah mencoba mendiskusikan penyelesaian konflik dua negara. Difasilitasi oleh Bill Clinton, Yasser Arafat dan Yitzhak Rabin bertemu di Oslo. Perjanjian ditandatangani, Otoritas Palestina berdiri, lalu dimulailah era pemerintahan transisi. Pada tahun ini berdirilah negara Palestina yang sebelumnya adalah tanah tanpa pemerintahan. Namun, seperti halnya Anwar Sadat yang berusaha mendamaikan kedua belah pihak, Yitzhak Rabin juga ditembak oleh seorang militan Yahudi bernama Yigal Amir akibat tindakannya bernegosiasi dengan Arafat.
2000. Intifadhah kedua berkobar. Rencana pemindahan ibukota Palestina ke Yerusalem Timur gagal setelah Ariel Sharon, perdana menteri Israel dan pemimpin politik Partai Likud, berkunjung ke Yerusalem dan memicu kerusuhan. Hamas bergerak menggelorakan perlawanan, terlebih mengingat Sharon-lah yang berada di belakang pembantaian Shabra dan Shattila. Pada tahun ini pula kelompok Syiah bersenjata, Hizbullah, menantang Israel di Lebanon Selatan. Israel menghadapi dua ancaman dari dua kekuatan politik yang berbeda.
2002. Tembok pemisah didirikan di Jalur Gaza guna membatasi eksodus berkelompok di Jalur Gaza dan Tepi Barat. Ketegangan pun semakin memuncak. Palestina marah, Israel semakin agresif. Perlawanan dan represi berlanjut. Perlawanan dari Hamas semakin intens, bom bunuh diri bertambah, dan tekanan internasional meningkat. Tapi, tetap saja Palestina tak bisa berbuat apa-apa.
2004.Yasser Arafat meninggal dunia. Sebelumnya, dua orang pemimpin Hamas, Syekh Ahmad Yassin dan Abdul Aziz Rantissi, tewas dihantam roket Israel. Sejak itu Hamas menjadi organisasi rahasia. Arafat digantikan oleh seorang koleganya, Abu Mazen alias Mahmoud Abbas. Fatah dan Hamas semakin menyembunyikan kecurigaan satu sama lain dan melemahkan posisi masing-masing di Palestina.
2006. Pemilihan Umum Palestina digelar. Hasilnya mengejutkan: Hamas tampil sebagai pemenang, memunggungi Fatah yang telah berjuang selama 40 tahun. Kemenangan Hamas ini menimbulkan ketegangan baru. Negara-negara Barat tak rela melihat sebuah kelompok radikal, yang sangat membahayakan kepentingan mereka di Timur Tengah, tampil sebagai pemimpin politik baru. Di sisi lain, Fatah juga tak rela kedudukannya direbut. Ketegangan memuncak di Tepi Barat. Kantor-kantor pemerintah menjadi ajang baku hantam dua saudara sedarah ini. Fatah menguasai Tepi Barat, sementara Hamas mengambil alih Jalur Gaza.
2008. Hizbullah, kekuatan revolusioner yang didukung Iran di Lebanon, memperoleh kemenangan telak dalam Perang 10 hari melawan Israel. Waktu itu, Israel sudah menggadang-gadang Libanon Selatan akan jatuh kembali ke pangkuan mereka, lepas dari kekuasaan Hizbullah. Namun apa daya, Hizbullah lebih perkasa. Israel yang menanggung malu menarik pasukan dari Libanon Selatan. Perdana Menteri Israel Ehud Olmert, sang pemrakarsa perang, akhirnya mundur. Tahun berikutnya, Kadima, partai Olmert kalah telak oleh Likud, yang akhirnya membentuk pemerintahan di bawah Perdana menteri Benjamin Netanyahu.
2009. Israel mengisolasi dan menyerang Gaza. Milisi Hamas berjuang mempertahankan kota dari pendudukan. Parade pendudukan itu berakhir hanya beberapa hari sebelum Barrack Obama terpilih menjadi Presiden AS. Gerilyawan Hamas dengan gagah menembaki tank Israel. Ribuan jadi korban serangan—baik militer maupun sipil.
2010. Politik isolasi menggagalkan masuknya suplai bantuan pangan. Mavi Marmara, kapal bantuan kemanusiaan dari beberapa negara dunia untuk meringankan penderitaan orang-orang di Palestina, diblokade sehingga tak bisa masuk. Ankara marah besar karena kapal itu berbendera Turki. Dunia mengecam, tapi lagi-lagi tak ada tindakan yang diambil. Syukurnya, Mavi Marmara tidak apa-apa—walaupun kita tak tahu bantuannya sampai atau tidak.
2011. Palestina membuat sebuah manuver baru: mencoba masuk sebagai anggota PBB. Pro dan kontra menyertai upaya ini. Mahmoud Abbas secara cerdas bermanuver walaupun ia tahu pasti akan diveto oleh Amerika Serikat di Dewan Keamanan. Tapi sepertinya mata dunia mulai melihat Palestina; Brazil, Turki, Rusia, dan lain-lain menyatakan mendukung Palestina. Dinamika kawasan yang kacau-balau sejak Revolusi Arab Spring kembali terhenyak. Palestina mulai melangkah pasti menuju negara-bangsa, meski tahu upaya ini akan sia-sia belaka tanpa keadilan dalam rezim internasional. Hal ini terbukti. Tanpa pengakuan kedaulatan, PBB hanya menjadi “macan kertas” yang gagal member jalan perdamaian dan kemerdekaan bagi Palestina.
2021. Pada bulan suci Ramadan, penduduk Palestina di Kawasan Syaikh Jarrah, Palestina Timur, diusir dari tempat tinggalnya oleh Pengadilan Israel. Warga melawan. Hamas yang masih berkuasa di Jalur Gaza menembakkan roket. Israel, yang menganggap aksi ini ajakan untuk berperang, mengirim pesawat tempur dan pasukan ke jalur Gaza. Mata dunia Kembali terbuka: Palestina memang belum merdeka, dan perjuangan untuk melawan penjajahan di muka bumi—apapun bentuknya—belumlah usai.
Menentukan Nasib Sendiri
Hans J. Morgenthau jauh-jauh hari telah menyatakan bahwa seharusnya politik internasional itu berada dalam lingkup hukum internasional. Agaknya pesan dedengkot realisme itu belum terlaksana hingga saat ini. Sebab, nyatanya, dunia ini masih tetap anarkis, tanpa hukum, tanpa stabilitas—hukum internasional itu rupa-rupanya adalah politik internasional itu sendiri. Kekuatan-kekuatan besar (great powers) masih tidak mau menunaikan tanggungjawabnya untuk menghormati dan membela Palestina, atau minimal menggunakan kekuatan yang mereka punya untuk sesuatu yang positif: membebaskan Palestina dari cengkeram penjajahan Israel.
Buktinya? Lihat saja respons Joe Biden terhadap kekerasan tentara Israel terhadap pejuang kemerdekaan Palestina di Jalur Gaza dan Kawasan Syeikh Jarrah di Yerusalem.
Kita sudah terlampau lama menyaksikan penindasan di Gaza oleh tentara Israel. Masalahnya dari tahun ke tahun sama belaka: ketidakberdayaan sebuah negara yang hak kedaulatannya tidak pernah diakui. Sejarah Palestina adalah sejarah penjajahan manusia atas manusia lain pada masa modern. Karena sejarah Palestina adalah sejarah penjajahan, mereka harus punya hak untuk menentukan nasib mereka sendiri. Sebagai negara-bangsa, Palestina butuh pengakuan atas kedaulatannya layaknya negara merdeka dengan hak-hak warga negara dan batas-batas wilayah yang harus dihormati.
Mampukah negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim, utamanya Indonesia, menjamin pengakuan kedaulatan tersebut sampai ke telinga negara-negara pemilik kuasa itu? Entahlah—jika Indonesia juga masih alergi dengan istilah “hak menentukan nasib sendiri” karena dianggap “melemahkan kedaulatan bangsa” dan enggan menyuarakannya di pentas politik global.
‘Ala kulli hal, perjuangan rakyat Palestina adalah perjuangan melawan penjajahan modern. Tugas kita adalah mendukung perjuangan mereka hingga penjajah Israel gemetar terhadap revolusi dan perjuangan rakyat.
Rakyat Palestina tidak akan kehilangan apapun selain belenggu yang mengekang mereka selama ini. Mereka punya dunia untuk dimenangkan.
Kaum pecinta kemerdekaan di seluruh dunia, bersatulah!***
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar adalah mahasiswa PhD di The University of Queensland – UQ, Australia