Ilustrasi: Deadnauval
PADA 22 April 2021 lalu Indonesia telah menjalankan Nationally Determined Contribution (NDC) selama lima tahun. NDC merupakan dokumen instrumen kebijakan yang bertujuan menurunkan emisi gas rumah kaca, kondisi pemanasan yang terjadi ketika atmosfer memerangkap radiasi panas dari bumi ke luar angkasa dan dihitung dengan satuan standar bernama CO2e. Dokumen ini sesuai dengan hasil dari Persetujuan Paris atau (Paris Agreement) yang lahir pada 12 Desember 2015. Indonesia telah meratifikasinya pada 22 April 2016 melalui Undang-Undang Nomor 16 tahun 2016 serta menyusun dan menyajikan NDC pertama pada November 2016.
Dalam NDC, Indonesia menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 2.869 Gigaton CO2e pada 2030. Rinciannya, penurunan emisi sebesar 29% dengan bisnis seperti biasa dan 41% dengan bantuan internasional. NDC juga menjelaskan ada lima sektor yang ditetapkan harus menurunkan emisi, yaitu sektor kehutanan (17.2%), energi (11%), pertanian (0,32%), industri (0.10%) dan limbah (0,38%).
Artikel ini khusus akan membahas target penurunan pada sektor pertanian, terutama yang dijalankan oleh Kementerian Pertanian.
Staf Ahli Menteri Pertanian Bidang Lingkungan, Mukti Sardjono, menjelaskan empat langkah yang dijalankan untuk menghadapi dan meminimalisasi dampak dari perubahan iklim. Salah satunya adalah mendorong penggunaan varietas unggul adaptif yang dapat tahan pada kekeringan, genangan, hingga rendah emisi gas rumah kaca. Kedua, menjalankan kebijakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim seperti kalender tanam terpadu untuk tanaman pangan yang dapat diakses oleh semua pemangku kepentingan. Tujuannya agar para pihak mendapatkan pedoman untuk menyesuaikan waktu dan pola tanam, serta teknologi budidaya yang paling tepat.
Upaya pemerintah menciptakan kebijakan-kebijakan mitigasi krisis pangan dan perubahan iklim seperti dijabarkan di atas patut diapresiasi. Namun, terdapat satu lagi kebijakan yang justru tampak bertolak belakang, yaitu pembentukan food estate. Proyek food estate ini direncanakan sebagai program strategis nasional (PSN) yang lokasinya diduga akan berada di hutan lindung. Lahirnya kebijakan ini nampaknya akan kontradiktif dengan kebijakan NDC. Dengan kata lain, proyek ini justru akan memperparah ancaman krisis pangan dan perubahan iklim di masa depan.
Proyek food estate, menurut Yayasan Madani Berkelanjutan, dapat menimbulkan deforestasi masif; konversi hutan alam dan ekosistem gambut menjadi lahan pertanian. Mereka menyebut ada lebih dari 1,57 juta hektar hutan alam dan 1,4 juta hektar lahan gambut di empat provinsi terancam beralih fungsi. Terdapat pula potensi nilai kayu yang ditebang di area of interest (AoI) food estate yang hilang dan berganti dengan produk pertanian. Dampak lain dari pembukaan lahan gambut adalah lepasnya karbon dalam jumlah besar.
Indonesia sebenarnya mempunyai regulasi terkait perlindungan lahan pertanian berkelanjutan. Regulasi tersebut adalah Undang-Undang Nomor 41 tahun 2009 (PDF) tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Lahan pertanian \ di wilayah Indonesia ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara berkelanjutan guna mendapatkan hasil pangan pokok demi kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan nasional.
Masalahnya, ada kelemahan dalam regulasi tersebut yang berpeluang membuat cita-cita keberlanjutan itu menjadi hampa sekaligus memungkinkan proyek food estate berjalan, yaitu klausul yang memperbolehkan adanya alih fungsi lahan ‘untuk kepentingan umum’—terdapat dalam pasal 44. Frasa ‘kepentingan umum’ inilah yang menjadi celah karena ia memberi ruang bagi pemerintah untuk meruntuhkan pertanian keberlanjutan itu sendiri. Dari sisi pelaksanaan, ‘kepentingan umum’ bisa bermakna sangat ‘karet’ dan pada akhirnya dapat disesuaikan untuk kepentingan penguasa.
Satu lagi kebijakan yang diterabas agar food estate berjalan adalah Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Kegiatan manusia yang memiliki dampak penting bagi lingkungan hidup tentu sangat bersinggungan dengan kebijakan tata ruang wilayah yang direncanakan. Penentuan tata ruang yang berbasis instrumen perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup ini adalah kebijakan mencegah dampak dari tindakan yang berdampak buruk pada ekosistem.
UU 32/2009 jo. UU 11/2020 menjelaskan bahwa KLHS merupakan suatu dokumen penting yang berisi rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana dan/atau program.
Hal yang paling menarik adalah keberadaan prinsip partisipasi masyarakat dalam penyusunan KLHS. Partisipasi masyarakat dilaksanakan mulai pada tahap identifikasi, termasuk melihat bagaimana ketersediaan SDA dan mutu lingkungan hidup yang terdampak, ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati, tingkat dan status jumlah penduduk miskin atau penghidupan sekelompok masyarakat, serta terancamnya keberlanjutan masyarakat dan ancaman terhadap perlindungan terhadap kawasan tertentu yang dilakukan oleh masyarakat dan masyarakat hukum adat.
Bentuk lain dari peran masyarakat dalam penyusunan KLHS adalah pemberian pendapat, pendampingan tenaga ahli, bantuan teknis, saran dan usul hingga penyampaian informasi dan pelaporan. KLHS yang tidak menghiraukan prinsip partisipasi masyarakat tentu tidak memiliki informasi yang sistematis dan menyeluruh dan hanya melihat keuntungan ekonomi jangka pendek saja.
KLHS, ringkasnya, merupakan salah satu instrumen yang memiliki kapasitas untuk menilai apakah suatu pembangunan dilakukan oleh pemerintah memiliki ciri keberlanjutan atau hanya menjadi kebijakan singkat dan merusak lingkungan. Frasa ‘keberlanjutan’ harus dipertanggungjawabkan pemerintah sebagai institusi kekuasaan yang diperintahkan menciptakan kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan ini tidak berhenti pada generasi ini saja namun juga harus dirasakan generasi selanjutnya.
Pada proyek food estate, instrumen KLHS ‘dipotong’ dengan ditambahi kata ‘cepat’.
Ada perbedaan mendasar dari KLHS Cepat dengan KLHS biasa. Dalam KLHS biasa, ketika pemerintah akan menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), maka dokumen yang menjadi prasyarat dasar penyusunannya adalah KLHS yang telah dibuat daerah tersebut. Pada KLHS Cepat, pemerintah menyusun KLHS bersamaan dengan penyusunan RTRW. Walhasil, dua tahapan ini dicampuradukkan tanpa melihat bahwa keduanya adalah instrumen yang berbeda namun saling menopang.
Karena perbedaan tersebut, metode KLHS Cepat ini sangat rentan dalam hal akuntabilitas. Akan banyak potensi data dan penilaian tidak dapat dipertanggungjawabkan. KLHS Cepat menggerus prinsip kehatian-hatian. Asas lain, yaitu asas pertanggungjawaban negara, juga dapat dilewatkan begitu saja.
Pertanggungjawaban negara merupakan asas penting dalam paradigma politik hukum lingkungan di Indonesia, apalagi konstitusi memberikan jaminan bahwa negara wajib menjaga dan melindungi lingkungan hidup yang sehat untuk warga negara.
Friedmann dalam The State and The Rule of Law in Mixed Economy (1971) menafsirkan empat fungsi negara. Pertama, menjamin standar minimum kehidupan secara keseluruhan. Kedua, membentuk suatu peraturan untuk menentukan tata cara kehidupan bernegara bagi warga negaranya. Ketentuan ini memuat segalan peraturan dan kebijakan yang mengatur baik hubungan privat maupun publik. Ketiga, menjalankan sektor ekonomi dan pembangunan menggunakan infrastruktur yang dibentuk olehnya dan menciptakan serta menjamin suasana yang kondusif untuk berkembangnya bidang-bidang usaha pada sektor swasta. Keempat, menetapkan standar-standar yang adil bagi warga negara untuk berkehidupan dan memenuhi kebutuhan hidup.
Dalam konteks proyek food estate, jika dilaksanakan secara terburu-buru dan tanpa perencanaan jangka panjang, empat fungsi negara itu akan saling bertabrakan. Ketika ada fungsi-fungsi yang bertabrakan, maka negara akan tidak berdaya untuk bertanggung jawab atas kebijakan yang telah dibuatnya. Kerugian tentu saja langsung dirasakan rakyat dan bahkan bisa saja diwariskan ke generasi selanjutnya. Jika ini terjadi, negara juga melanggar prinsip keadilan antar generasi dalam prinsip pembangunan berkelanjutan.
Dengan demikian, kebijakan KLHS Cepat akan menyisihkan dan mengingkari prinsip-prinsip negara dalam menjalankan program pembangunan yang berkelanjutan.
Kelemahan lain dari KLHS Cepat adalah mengabaikan keterbukaan informasi akan suatu kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dan berdampak pada masyarakat serta lingkungan hidup, padahal KLHS pada dasarnya adalah dokumen yang bersifat terbuka dan diumumkan kepada masyarakat dan persetujuan validasi KLHS oleh menteri/gubernur diumumkan kepada masyarakat paling lama tujuh hari kerja sejak diterbitkannya persetujuan validasi KLHS.
Keterbukaan ini bukan hanya sebuah informasi satu arah. Masyarakat dapat melakukan evaluasi dan menilai apakah KLHS tersebut disusun sudah sesuai dengan kaidah-kaidah yang benar. Ketika hasil evaluasi menunjukkan dugaan pelanggaran atas hak lingkungan hidup, tentu masyarakat berhak untuk menolak kebijakan pembangunan. KLHS Cepat memang terlihat ditujukan untuk memotong alur komunikasi ini sehingga masyarakat tidak mendapatkan akses untuk melakukan evaluasi secara maksimal.
Jika dikaitkan dengan tiga teori tujuan hukum yang dikemukakan Radbruch—menimbulkan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan—KLHS Cepat tidak memberikan itu semua. Kepastian misalnya disampingkan dengan alasan kecepatan. Pada sisi kemanfaatan, wajar bila masyarakat menduga tak ada manfaat diberikan dari program ini. Kemanfaatan yang ditawarkan jangan-jangan hanya berlaku semu tanpa benar-benar terjadi—seperti apa yang dilakukan Orde Baru pada sektor pertanian yang gagal total dan memberikan dampak deforestasi besar-besaran. Pada sisi keadilan, tentu ancamannya sangat termasuk ketidakadilan lintas generasi.
KLHS Cepat ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak serius membangun kebijakan yang berkelanjutan. NDC akhirnya lebih mirip dokumen proposal jualan belaka.
Penjelasan di atas membuat kita dapat menakar bahwa kebijakan food estate sangat kontradiktif dengan upaya untuk menanggulangi perubahan iklim. Kebijakan food estate yang memicu lahirnya ketidakadilan tentu dapat makin mengancam pelaksanaan NDC Indonesia yang menargetkan penurunan 2.869 Gigaton CO2e pada 2030.
Lebih dari itu, food estate membebankan kerusakan lingkungan hidup yang begitu besar kepada generasi mendatang. Inilah yang dikatakan sebagai ketidakadilan lintas generasi–dengan penguasa sebagai tersangka utamanya. Tindakan yang diambil pemerintah juga kembali memperlihatkan bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia hanyalah jargon dalam Pancasila tanpa pernah serius diimplementasikan dalam kebijakan.
Patut diingat, gerakan mengatasi perubahan iklim merupakan gerakan yang multi-generasi dan multi-negara. Ia memang tidak bisa mengandalkan kerja keras satu negara atau satu generasi saja. Namun, kekalahan satu negara atau satu generasi jelas akan memutus mata rantai kerja-kerja global dan jangka panjang itu.***
Punta Yoga Astoni, pemerhati hukum dan isu ekologi, bekerja sebagai PNS