Ilustrasi: Jonpey
Untuk Mbak Tuti, yang setia menggenggam tangan Mas Bayu sampai akhir
SULIT bagiku untuk melihat Tedjabayu Sudjojono sebagai korban. Sejak pertemuan paling awal yang berhasil kuingat, Mas Bayu—begitu ia kusapa—sudah hadir sebagai kawan seperjuangan. Pada suatu siang sekitar 1994-95, di ruang sempit pengolahan dokumentasi YLBHI, Mas Bayu berkomentar tentang sebuah pernyataan pers yang sedang dia ketik ulang untuk disebarluaskan melalui internet. Kurang lebih begini katanya, “Aktivis-aktivis sekarang ini kebangeten [berlebihan] kalau menggambarkan represi tentara. Wong faktanya cuma digebukin, lho. Enggak ada yang mati, masa pakai kata ‘pembantaian’? Harus hati-hati dengan bahasa.”
Mas Bayu kemudian berpendapat tentang kegarangan bahasa aksi di masa pemerintahan Sukarno. Menurutnya, kubu kiri pada masa itu cenderung terlalu kasar dalam melontarkan seruan-seruan aksi. Berbagai poster yang mereka usung, serta kartun dan karikatur yang mereka sebarkan di media massa memberi kesan beringas: seakan-akan mereka siap melakukan kekerasan fisik terhadap lawan-lawan politiknya. Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala setengah setuju. Sepanjang pengetahuanku, justru pasukan Suharto dan pengikutnya yang menggunakan kata-kata seperti “ganyang”, “hantam”, atau “hancurkan” dengan sempurna untuk menghabisi dan mencemarkan nama baik Mas Bayu dan orang-orang seperti dirinya.
Setelah pertemuan sekitar tahun 1994-95, di tengah maraknya demo pemuda dan mahasiswa melawan kediktatoran Suharto, kami amat jarang bertemu. Tapi, dari cerita kawan-kawan, aku tahu bahwa Mas Bayu sibuk merekam kegiatan-kegiatan politik anti-Suharto dan membangun sistem komunikasi yang aman bagi para aktivis pro-demokrasi. Setelah Suharto dipaksa mundur, aku mulai dengar cerita lebih banyak tentang Mas Bayu dan ibunya, Mia Bustam, dari periset-periset muda di Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK). Aku dan sejarawan John Roosa mengajak kawan-kawan TRK untuk merekam riwayat hidup para korban kekerasan massal anti-komunis 1965-66 agar kita punya catatan yang lebih lengkap dan adil tentang bagian sejarah yang digelapkan. Belakangan, aku sendiri berkesempatan berbincang dengan Bu Mia di “Arisan Janda” yang rutin diadakan di rumah Oey Hay Djoen dan Jane Luyke, pasangan mantan pengurus rumah tangga Lekra. Ya, untuk waktu yang lama, aku dan Mas Bayu hanya terhubung lewat pembicaraan antar kawan akrab. Satu hal yang hingga hari ini belum aku pahami, aku sempat berpikir bahwa Mas Bayu masih berumur 17 tahun ketika dikirim ke Pulau Buru. Mungkin para orang tua di “Arisan Janda” keliru menghitung dan mungkin karena itu pula, Mas Bayu selalu tampak seperti aktivis muda di mataku, bahkan saat rambutnya semakin memutih dan kerut-kerut di wajahnya semakin kentara.
Kami jelas tidak sebaya. Umurnya dua tahun lebih muda dari ibuku. Saat mulai menyunting memoarnya, baru aku sadar usianya sudah 21 tahun ketika geger 1965 meletus. Peristiwa ini memporak-porandakan mimpi Mas Bayu, seorang asisten dosen di Fakultas Geografi UGM, untuk menjadi doktor di bidang hidrologi. Lucunya, ia memanggilku “Mbak Gung Ayu”. Perbedaan usia yang jauh sungguh tidak menghalangi kami untuk jadi setara. Melalui media sosial, kami menjadi lebih sering bertegur sapa dan berbincang-bincang tentang memori Mas Bayu atau kisah kawan-kawan sejawatnya sebelum tragedi 1965. Kami tidak pernah bicara tentang politik masa kini. Aku tidak tertarik dan Mas Bayu juga tidak pernah memancing pembicaraan ke arah sana.
Dari obrolan-obrolan berkala inilah, aku mendesak Mas Bayu untuk menuliskan pengalaman hidupnya. Aku berjanji akan membantu menyunting jika diperlukan. Ia sempat bimbang. Dalam komentar-komentarnya, terselip kekhawatiran bahwa ceritanya akan jadi semacam tuturan keluh-kesah a la anak remaja.
Naskah memoar Mas Bayu pertama kali aku dapatkan lewat surel tertanggal 25 April 2014. Pesannya singkat saja: “Ini naskah halaman-halaman pertamaku. Ojo diledek lho [Jangan diejek lho]!”
Draf perdana itu tebalnya 24 halaman. Tidak mudah bagi Mas Bayu untuk menuliskan pengalamannya karena sejak ia terkena stroke hebat hingga koma, kemampuan mengingatnya melemah.
“Saya berkejaran dengan waktu dalam menulis karena saya sendiri sudah berumur 70 tahun. Rencananya sih, akhir tahun. Masalahnya saya banyak kehilangan memori ketika sakit terakhir sehingga satu kata saja dari teman eks Buru membuat saya bisa ingat kembali sebuah rangkaian cerita/peristiwa. Karena itu saya perlu berhubungan denganteman. Ini yang memperlambat penulisan.” (Surel, 17 Mei 2014)
Setahun kemudian, aku dan John bertandang ke kedai kopi yang didirikan Mas Bayu bersama anak-anak dan istrinya, Tuti Pujiarti, di daerah Gading Serpong. Lokasi Kedai Kopi Sagam (Sang Ahli Gambar) cukup strategis karena persis berhadapan dengan kampus Universitas Media Nusantara (UMN). Menurut Mbak Tuti, mereka membuat kedai itu untuk menyibukkan Mas Bayu yang setelah sakit tidak bisa lagi ‘kelayapan’ tanpa pendamping. Mas Bayu menjalani operasi otak untuk mengatasi pendarahan yang ia alami pada 2003. Rupanya operasi tersebut menimbulkan efek samping: ia jadi sering kejang, kadang-kadang seminggu dua kali, dan proses pemulihan pasca-kejang bisa berlangsung selama seminggu hingga 10 hari. Aku tercenung mendengar cerita itu. Di hadapanku, Mas Bayu memperlihatkan setumpuk buku tulis usang berisi catatan tangan yang detil dan rapi dari Pulau Buru. Sambil membolak-balik buku-buku berharga itu, aku berharap pemiliknya sanggup menyelesaikan memoar yang sedang ia susun dengan susah payah.
Mas Bayu pun mengirimiku naskah yang sudah ia selesaikan pada Maret 2018. Lagi-lagi dengan pesan, “Ojo dienyek lho. Iki tulisane remaja lagi sinau fulitik, hehehe [Jangan diejek lho. Ini tulisan remaja yang sedang belajar politik].”
Naskah asli diketik dengan font Times New Roman, 12 pt, spasi tunggal, sepanjang 210 halaman A4. Menyusul kemudian 216 halaman lagi “Buku Harian” dan 64 halaman lampiran berisi “Glosari”, “Daftar Tapol Pulau Buru yang Meninggal”, dan “Index”. Mas Bayu membagi seluruh bahan ke dalam 12 bab dengan sekitar 10 cerita di tiap-tiap bab. Seperti yang aku sampaikan pada Mas Bayu, aku amat terkesan dengan gaya berkisahnya yang lepas dan hidup. Beberapa cerita begitu mencekat dan membuatku merasa muak. Tapi, lebih banyak lagi yang memperlihatkan gairah belajar dari macam-macam manusia dan alam agar hidup terpenjara tidak jadi sia-sia.
***
Sebagai pembelajar sejarah lisan, aku menikmati kecekatan Mas Bayu dalam menuangkan sekian perbincangan ke dalam tulisan seperti transkripsi rekaman suara, komplit dengan ekspresi-ekspresi yang njawani [kejawaan]. Cerita Mas Bayu bergerak dengan lentur dari kenangan-kenangan pahit, manis, menggelikan, dari bilik sempit ke ruang terbuka, sampai ke refleksi dari masa satu ke masa lain—tak beda dengan pembawaan Mas Bayu sendiri yang luwes dan suka bergaul dengan berbagai kalangan.
Bersama Mbak Tuti, hampir dua tahun kami bekerjasama untuk menyempurnakan memoar Mas Bayu. Tantangan buat kami adalah bagaimana memadatkan naskah hampir 500 halaman ke dalam satu buku. Mas Bayu ingin menjangkau pembaca dari generasi anak-cucunya yang kemungkinan besar tidak tahu-menahu tentang tragedi 1965 dan kekerasan negara di masa pemerintahan Suharto. Namun, kami sadar kami tidak bisa serta-merta membanjiri mereka dengan ratusan halaman cerita seorang mantan tahanan politik. Kami putuskan untuk menerbitkan catatan kenangan Mas Bayu terlebih dahulu. Aku minta izin untuk mengotak-atik susunan cerita bukan saja agar tatanan kronologis dan tematis dapat saling mendukung, tetapi juga untuk memudahkan pembaca mengikuti alur kisah Mas Bayu.
Saat menjahit bagian-bagian yang patah dan merapihkan tuturan, aku terlibat dalam perbincangan paling padat dengan Mas Bayu. Pertanyaan, komentar, dan jawaban kami saling silang dalam huruf-huruf bermacam warna. Lewat teks kenangan ini aku menyaksikan sosok Mas Bayu tumbuh sebagai anak zaman yang belajar keras untuk bertanggung jawab atas pilihan-pilihan yang dibuatnya. Sesekali aku tangkap kelebat-kelebat a la Minke muda dari Bumi Manusia dalam gerak Mas Bayu. Sebagian ketegarannya berinduk pada sikap teguh Mia Bustam, selebihnya ia bangun dari penghormatan terhadap kawan-kawannya yang musnah oleh aniaya.
“CGMI sangat anti-perpeloncoan. Saya dari dulu sudah menyadarkan bahwa perpeloncoan itu feodalisme. Sangat feodal dan saya menentang betul, dan itu pengaruh bapak ibu ya, soal-soal seperti itu besar sekali. Tapi juga karena dorongan ibu, “Kamu sudah dewasa dan kamu harus punya pilihan”. Dan saya memang memilih.” (Wawancara, 24 Mei 2000)
Mas Bayu tidak pernah terlalu antusias bercerita tentang masa kecilnya. Namun, aku menangkap bahwa pengalamannya lahir besar di tengah revolusi sebagai putra sulung pasangan pelukis-pejuang Sudjojono-Mia Bustam berpengaruh terhadap kematangannya dalam menghadapi kawan-kawan orangtuanya. Dalam penahanan dan pembuangan, tak canggung ia bertanya kepada yang dianggap senior. Ia ‘rakus’ meraup pengetahuan baru, bahan bakar bagi Mas Bayu untuk bertumbuh dewasa. Pada saat yang sama, ia gusar dengan sikap vulgar dalam berideologi, seperti yang ia tangkap dari ujaran-ujaran asal berbau Marxis dari beberapa kader PKI. Bagaimana tidak? Ia mungkin tak fasih bicara revolusi, tapi ia saksi mata saat Sudjojono menggubah lukisan kolosal “Kawan-kawan Revolusi” (1947) di tengah gempuran NICA. Ia masuk di dalamnya bersama para pekerja kebudayaan seperti Trisno Sumardjo dan Surono, lebur dalam gairah bersama membangun republik. Tapi ia tetaplah anak balita. Oleh karena itu, yang ia kenang dari pelukis Dullah bukan karyanya, tapi lagu ejekan yang dinyanyikan kawan-kawannya, “Bung Dullah kesurupan! Bung Dullah kesurupan!”
Walaupun tak sempat menyelesaikan kuliah, Mas Bayu sangat tekun belajar, mencatat dengan detil, dan terus menjajaki berbagai cara memperoleh pengetahuan. Ia tak membeda-bedakan jenis dan sumber pengetahuan, seperti ketika ia tersentuh oleh nyanyian “Stille Nacht” lewat kumandang merdu seorang pencopet dan pembuat terompet yang menjadi anggota drum band Pemuda Rakyat di LP Wirogunan. Setelah mengenal internet, ia mencari keterangan lengkap tentang lagu Jerman ini dan merangkum penjelasannya dengan utuh. Begitu pula saat ia terkesan oleh temuan dr. Djajoes, tapol di LP Permisan, yang memperkenalkan metode matriaemia, yaitu penyembuhan penyakit asthma dengan menyuntikkan darah ibu ke anaknya. Ia menelusuri informasi, mengecek silang, merangkum, memadukan macam-macam informasi, dan merefleksikan setiap bangunan pengetahuan baru untuk dipertemukan dengan pengetahuan yang sudah ia peroleh sebelumnya.
Kerja intelektual bagi Mas Bayu seperti hiburan, bukan beban. Tak heran, ia selalu menyambut gembira usulan-usulanku untuk membuat catatannya lebih ‘ilmiah’.
Salah satu bagian dari memoar Mas Bayu yang menuntut penataan tersendiri adalah ingatan biografis tentang kawan-kawan dan orang-orang yang ia cintai dan hormati. Penjelasan panjang tentang mereka kadangkala mengganggu keruntutan cerita utama. Di sini kami sepakati untuk memberi ruang tersendiri bagi catatan ini dalam “Apendiks Biografis”. Waktu aku sampaikan bahwa istilah ini aku dapatkan dari buku klasik Indonesianis Ben Anderson (1972), Java in a Time of Revolution, terselip nada bangga dalam tanggapannya. Aku anggap kerajinan melacak asal-usul keluarga ini fenomena menarik karena beberapa eks-tapol yang aku kenal, seperti mantan Ketua CGMI Hardoyo dan wartawan Joesoef Isak, juga mudah tenggelam dalam bincang-bincang tentang hal ini. Jelas pengetahuan ini bukan untuk menilai bobot, bibit, bebet. Kurasa, sebagian karena mereka ingin memperlihatkan nilai kesejarahan orang-orang yang berarti, terutama mereka yang hilang atau teraniaya. Sebagian lagi karena mereka bahagia sekaligus bangga dengan tercapainya Indonesia sebagai perikatan baru dari sekian manusia yang beragam latar belakang dan kemampuan. Ada sisi nostalgis dari kisah tentang kerja gotong-royong membangun nasion baru ini. Akan tetapi, yang lebih penting lagi ialah cara mereka mengamati keterhubungan antara sejarah keluarga dan sejarah nasion secara politis.
***
Catatan panjang Mas Bayu tentang Pulau Buru melengkapi catatan-catatan pendahulunya tentang berbagai upaya pasukan Jendral Suharto membinasakan kaum nasionalis kerakyatan, yang bisa jadi komunis juga. Gaya berceritanya memang jenaka. Tapi itu tidak menutupi kesenjangan dua peradaban yang pernah digambarkan Pramoedya Ananta Toersebagai “kebudayaan kuping” dan “kebudayaan bibir” (Toer, 1995, hh. 117). Para serdadu merenggut hak bicara dengan mulut dan senjata, sementara para tapol hanya boleh mendengar kalau tak mau mati percuma. Kalau Hersri Setiawan (2016) sampai menyebut Buru sebagai “Pulau Purgatorio”, tempat api penyucian untuk lahir kembali, Mas Bayu melewati sekian ambang maut sebelum mengeras dan berkilau seperti mutiara.
Pulau Buru juga menyimpan paradoks-paradoks pahit. Sejak menginjakkan kaki di pulau pembuangan ini, para tapol dipaksa mengerahkan segenap kecerdasan, imajinasi, dan kemampuannya untuk membuka lahan, menggerakkan roda-roda produksi kebutuhan dasar, terutama pangan dan papan, membangun infrastruktur yang diperlukan untuk menjaga keberlanjutan proses produksi, termasuk di dalamnya reproduksi tenaga dan kebuasan pasukan penganiaya. Seluruh proses kerja kolosal tak berupah yang didukung dengan peralatan dan ransum seadanya ini hanya mungkin terlaksana karena disiplin menyusun pengetahuan secara ilmiah dan pengorganisasian yang prima. Kemampuan ini pastinya tidak datang dari komando para serdadu bagaimanapun militer mungkin ingin mendakunya. Seperti digambarkan ilmuwan Ruth McVey (1990), etos kerja berorganisasi secara rapih, ketat, dan ilmiah adalah warisan cemerlang tradisi pendidikan politik PKI. Bagi para pimpinan partai, kader-kader teladan bukanlah mereka yang paling menguasai ideologi secara mumpuni, tetapi yang berhasil membangun organisasi kerja yang didasarkan pada keahlian di bidang masing-masing dan pengetahuan memadai tentang masyarakat.
Di kamp kerja paksa ini pula eksperimen “turba”—metode kerja “turun ke bawah” —yang didasarkan pada praktik “tiga sama”, yaitu “bekerja bersama”, “makan bersama,” “tidur bersama” dengan rakyat dijalankan secara paripurna (Setiawan, 1999). Mas Bayu, yang taat mengikuti garis CGMI Yogyakarta, tidak setuju dengan istilah ini, “CGMI Jogja itu benci banget istilah turba, apaan turba itu? Memangnya kita ini di atas? Kita tidak di atas. Kita ganti: integrasi” (wawancara, 10 Agustus 2019). Apapun itu, para intelektual seperti Mas Bayu, yang sebelumnya dapat memilih kapan harus bergaul rapat dengan kelas pekerja, mau tak mau lebur bersama di Pulau Buru.
Dari catatan tapol intelektual yang lain, seperti arsitek Mars Noersmono (2017) dan calon dokter Kresno Saroso (2002), kita menyaksikan bagaimana mereka menerapkan pengetahuannya untuk menyelesaikan persoalan-persoalan teknis di lapangan—mulai dari membuat sistem irigasi, mengolah tanah pasir untuk sawah, mencabut gigi, atau melakukan operasi pembedahan darurat tanpa peralatan yang memadai. Mereka belajar dari keterbatasan, menciptakan alat-alat kerja praktis, dan memproduksi pengetahuan untuk disebarluaskan di barak-barak penindasan. Untuk menjaga kewarasan dan memuaskan rasa ingin tahunya, Mas Bayu pun belajar tentang sains dan teknologi (militer) dari para ilmuwan sesama tapol. Penjelajahannya ke pelosok-pelosok pulau, lewat darat maupun sungai yang sunyi, memberinya gambaran lebih jelas tentang kontur salah satu wilayah negerinya. Orang-orang buangan ini menjadi “intelektual organik” yang tanpa selalu mereka sadari sudah melanjutkan proyek pembangunan peradaban baru. Mereka memenuhi imajinasi gerakan nasionalis kerakyatan tentang lahirnya “manusia baru”—yang sayangnya lahir dengan paksaan dan cara-cara tak manusiawi.
Tak mudah bagi para mantan tapol Pulau Buru untuk mengapresiasi, apalagi menikmati, hasil perjuangan mereka yang gemilang. Penyiksaan, kerja rodi, dan pemanfaatan hasil kerja mereka oleh para serdadu lemah pikir dan pemalas sudah menghilangkan jejak-jejak pencapaian yang sebenarnya berarti lebih dari sekedar kemampuan bertahan hidup. Belum lagi ketegangan dan pertikaian akibat arogansi atau tindakan khianat kawan-kawan yang pernah dianggap “kader tinggi” partai. Di sini aku dapat memahami mengapa Mas Bayu, begitu juga beberapa mantan tapol lain, bersikap sangat kritis terhadap PKI dan kebijakan-kebijakannya di masa lalu. Ada kesenjangan antara seruan-seruan yang diuar-uarkan pimpinan-pimpinan tertentu dengan tindakan mereka di lapangan, apalagi dalam keputusan mereka untuk mendukung pemberontakan para perwira Gerakan 30 September. Namun, itu tidak berarti Mas Bayu dengan ringan berganti haluan politik. Ia bergeming saja dalam keberpihakan. Pijakannya tetap.
Sinisme, sarkasme dan canda sudah menjadi bagian dari kehidupan kami, bahkan kadang-kadang mengikis dan lupa sopan santun. Sebenarnya kehidupan kami sangat tidak normal, (‘Ra duwe omah, ‘ra duwe bojo, ‘ra duwe pacar,‘ra duwe anak! [Tak punya rumah, tak punya istri, tak punya pacar, tak punya anak!] Sewaktu-waktu digebugi!)meski segi-segi keberpihakan kepada masyarakat buruh dan tani masih kami jaga. (manuskrip awal, hal. 132)
Adalah Mia Bustam yang memilih nama “teja bayu” dari manggala legenda rakyat Banyuwangi, Sri Tanjung, yang diperkirakan ditulis pada 1746.
Mas Djon sedang melukis aku dalam pose pinjungan, yaitu mengenakan kain setinggi dada tanpa baju. Aku sudah hamil waktu itu. Pembuluh darah, atau bayu dalam bahasa Jawa, di lipatan siku kelihatan begitu indah pada lukisan itu. Membayang biru di bawah kulit seperti aslinya. Sambil mengaguminya kusitir kata-kata pembukaan dari Sri Tanjung: “Om Awighnam Astu Namas Siddham. Teja bayu kaki wangsitipun”. Lalu tersentak berhenti.
“Mas!” Seruku. “Kita beri nama Tedjabayu untuk anak kita. Bagus bunyinya, bagus juga maknanya!”
Dalam bahasa Jawa kuno “teja bayu” berarti “kekuatan gaib dan daya hidup” (Aminoedin dkk., 1986). Bu Mia tak salah pilih! Mas Bayu adalah inspirasi bahwa kita bisa. Aku merasa terhormat boleh bersahabat dengan Mas Bayu, menyelami cerita-ceritanya, dan membantunya menata cerita-cerita itu bagi keluarga, sahabat, dan bangsa yang teramat dia cintai.
Selamat Ulang Tahun, Mas!***
Ayu Ratih, koordinator Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI)
Kepustakaan
Aminoedin, A., Widodo Hs., Hasan, M. dan Suryawinata, Z. (1986). Penelitian Bahasa Dan Sastra Dalam Naskah Cerita Sri Tanjung Di Banyuwangi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Bustam, M. (2006). Sudjojono dan Aku. Jakarta: Pustaka Utan Kayu.
McVey, R. (1990). Teaching Modernity: The PKI as an Educational Institution. Indonesia, Vol. 050, 5-28.
Noersmono, M. (2017). Bertahan Hidup di Pulau Buru. Bandung: Ultimus.
Saroso, K. (2002). Dari Salemba ke Pulau Buru : Memoar seorang tapol Orde Baru. Jakarta: ISAI dan Pustaka Utan Kayu.
Setiawan, H. (1999, July 24). Surat untuk Damairia Pakpahan dan Julie Shackford-Bradley tentang Turun ke Bawah. Jakarta, DKI, Indonesia: SiaR News Service.
Setiawan, H. (2016). Memoar Pulau Buru I (Cetakan pertama, Indonesia Tera, 2004 ed.). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Toer, P. A. (1995). Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Jakarta: Lentera.