Ilustrasi: Illustruth
DI TENGAH pandemi Covid-19, pada akhir 2020, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) atas dua menteri di kabinet Joko Widodo yang kemudian resmi menjadi tahanan KPK karena kasus korupsi. Meski kinerjanya masih mengalami pasang surut, KPK menunjukan satu kemajuan di tengah meluasnya pesimisme publik atas UU KPK yang sempat menjadi polemik beberapa waktu lalu.
Namun, pada gilirannya pandemi Covid-19 ternyata juga mengakibatkan krisis penanganan korupsi. Hal ini disampaikan oleh Delia Ferreira Rubio, pemimpin Transparency International Indonesia (TII), dalam paparan Indeks Persepsi Korupsi(IPK) tahun 2020 dan pada awal 2021. Rubio menyatakan bahwa Covid-19 bukan hanya seputar krisis kesehatan dan ekonomi, melainkan juga krisis penanganan korupsi di tengah-tengah pemerintahan yang semakin tidak kompeten menjalankan mandat demokratik dan penanganan pandemi. Sekjen TII Danang Widoyoko mengemukakan sejumlah kebijakan yang bertumpu pada kacamata ekonomi dan investasi tanpa mengindahkan faktor integritas, dalam artian keberpihakan kebijakan yang tidak pro rakyat, dan cenderung untuk memperkaya diri, hanya akan memicu terjadinya korupsi. Termasuk dalam hal penanganan pandemi Covid-19 ini.
Sejak awal, pandemi Covid-19 dijadikan guyonan oleh pemerintah. Ditengah pandemi yang semakin tidak terkendalikan dan membutuhkan fokus kebijakan yang mengarah pada pemulihan kesehatan, DPR justru mempercepat pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja. Begitupula dengan RUU Minerba, DPR menjadikan pandemi sebagai momentum untuk mempercepat pembahasan. Dua rancangan RUU ini ditolak publik, sebab dinilai hanya menguntungkan kaum kaya dan berkuasa.
Tidak jarang, inkonsistensi kebijakan pemerintah dipertontonkan tanpa malu-malu. Ketika berbagai kebijakan seperti social distancing, WFH dan PSBB berjilid-jilid, dan imbauan Jokowi agar masyarakat memiliki kepekaan terhadap krisis (sense of crisis), pemerintah justru melaksanakan pilkada yang pada akhirnya menimbulkan klaster baru, misalnya di Tangerang selatan, Serang dan Pandeglang. Peneliti Global Health Security and Pandemic Griffith University Australia, Dicky Budiman mengungkapkan klaster baru pilkada tidak bisa diragukan kemunculannya karena Pilkada dilaksanakan ketika pandemi kian tak terkendali dengan rasio kasus positif yang masih sangat tinggi di atas 10 persen. Masalah selanjutnya adalah inkompetensi dalam mendeteksi kasus dengan kemampuan testing tracing terhadap petugas penyelenggara dan analisis data kenaikan kasus positif akibat pemungutan suara.
Pandemi Covid-19 di Indonesia, singkatnya, telah membuka lebih banyak ruang untuk korupsi. Baru-baru ini, sebagaimana yang diberitakan Transparency International Indonesia (TII), IPK Indonesia tahun 2020 menurun tiga poin dari 40 poin pada 2019 menjadi 37 pada 2020. Artinya “prestasi” Indonesia yang sebelumnya berada pada peringkat ke-85 melorot ke peringkat 102 dari 180 negara. Posisi ini menjadikan Indonesia setara dengan Gambia di Afrika Barat. Buruknya IPK suatu negara juga berkaitan dengan kemampuan menangani Covid-19. Ini dapat dilihat misalnya dalam kasus Juliari Batubara terkait dengan korupsi bantuan sosial baru-baru ini. Laporan Tempo awal tahun ini menyebutkan dua kader PDI-P yang terlibat didalamnya, yakni Herman Hery dan Ihsan Yunus.
Kasus serupa juga ditemukan di Bangladesh. Tingkat korupsi yang tinggi berdampak pada kesulitan pengendalian mengendalikan pandemi. Kasus korupsi meliputi penyelewengan distribusi bantuan sosial untuk warga miskin terdampak Covid-19. Misalnya, wakil presiden Liga Petani Kota Rajshahi, cabang dari partai penguasa, menerima jatah subsidi pangan yang seharusnya diberikan ke rakyat miskin. Setelah penyelidikan terhadap daftar penerima bantuan, Devisi Keuangan Bangladesh menurunkan 493.200 orang dari daftar penerima karena mereka berasal dari keluarga yang mampu. Ini menunjukkan bagaimana daftar penerima dipengaruhi oleh afiliasi politik rakyat daripada status ekonomi. Presiden Partai Buruh Bangladesh, Reshed Khan Menon menyebutkan setidaknya sebagian akibat maraknya korupsi di dalam Kementrian Bangladesh bisa jadi lebih berbahaya dari penyebaran virus Covid-19.
Merajalelanya sistem koruptif yang akut ini tak lepas dari kekuasaan oligarki yang dipelihara sejak era Orde Baru. Sebagaimana dijelaskan R. Robinson dan Vedi R Hadiz dalam Reorganising Power in Indonesia (2004), kuasa para oligark ini tidak ikut runtuh pasca reformasi. Sebaliknya, mereka malah semakin menggurita dan menyesuaikan diri dengan desentralisasi yang juga cocok dengan model ekonomi-politik yang pro-pasar.
Rezim Jokowi juga gagal melepaskan diri dari gurita oligarki yang semakin kokoh dan sangat percaya diri. Kini banyak sekali aktor korporat yang merangkap sebagai politisi. Bahkan, sangat sulit membedakan pengusaha dan penguasa hari ini. Sebanyak 262 atau 45,5 persen dari total 575 kursi DPR-RI diduduki oleh mereka yang terafiliasi dengan perusahaan. Tercatat 262 orang itu menduduki posisi komisaris, pemilik saham, hingga duduk di kursi direksi di 1.016 perusahaan yang bergerak di sektor penyiaran, perdagangan umum, hingga industri ekstraktif.
Anti-Korupsi sebagai Gerakan Massa?
Korupsi, yang disebut UU No. 20 tahun 2001 sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) karena melibatkan pelaku kejahatan ekonomi kelas kakap dan birokrasi kalangan atas, jelas-jelas telah merugikan hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat luas. Seturut UU tersebut, negara tak boleh mentolerir tindakan korupsi, yang akar historisnya sangat panjang dan menggurita di bawah Orde Baru. Inisiatif terpenting negara untuk memberantas korupsi adalah mendirikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2003.
Upaya formal dan institusional pencegahan korupsi olek KPK sejauh ini sudah cukup baik, seperti pemberlakuan kewajiban Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), pembentukan unit Pengendalian Gratifikasi, pembangunan zona integrasi dan pemanfaatan sistem informasi dan layanan ketenagakerjaan secara digital untuk memangkas potensi korupsi. Kerjasama yang kuat antara lembaga hukum terkait telah dilakukan. KPK dan berbagai organisasi masyarakat sipil, kelompok profesional, dan publik secara luas telah melakukan integrasi informasi dan data demi keberlangsungan proses pencegahan dan penindakan korupsi telah dilakukan juga.
Di sisi lain, komitmen, solusi kelembagaan, dan kolaborasi profesional ini saja tidak cukup. Keberhasilan pemberantasan korupsi mustahil diukur dari seberapa banyak koruptor yang di tangkap dan dipenjarakan, bukan pula seberapa banyak uang negara yang diselamatkan. Meskipun koruptor telah dijebloskan ke penjara, jejaringnya tidak akan serta merta terputus.
Ironisnya, beberapa tahun terakhir kita menyaksikan konflik terbuka antara KPK dan Kepolisian RI (Polri), seiring menguatnya kekuasaan Polri di berbagai lini kehidupan sosial dan politik. Tak berlebihan untuk mengatakan bahwa meluasnya peran Polri berbanding lurus dengan merosotnya Indonesia Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun lalu. Imbauan agar KPK dan Polri bisa bersinergi adalah omong kosong tanpa membicarakan penguatan kontrol publik terhadap aparat kepolisian.
Masalahnya, sejak awal memang ada perbedaan kepentingan antara KPK dan Polri. Penelitian Jacqueline Baker, The Rise of Polri (2012), menjelaskan secara komprehensif restrukturisasi politik-ekonomi dan keamanan di Indonesia setelah reformasi yang justru memfasilitasi kebangkitan Polri sebagai aktor yang juga berperan lebih dominan secara politis sebagaimana ABRI pada zaman Orde Baru. Aparat Polri kini menduduki kursi menteri, ketua umum PSSI, hingga ketua KPK. Sejak pandemi, dengan dalih bahwa selama ini masyarakat tidak tertib dan tidak mematuhi protokol kesehatan, Jokowi memberikan kewenangan kepada sejumlah perwira TNI–Polri untuk mengurusi Covid-19 yang justru salah alamat karena tidak sesuai dengan kebutuhan medis dan pencegahan penyebaran infeksi di lapangan. Tidak hanya itu, menguatnya peran Polri ikut meluas ke dunia digital dengan pembentukan Polisi Virtual yang bisa kita duga lambat laun akan menentukan mana yang tidak boleh dan tidak boleh disuarakan di internet.
Institusi Polri dari tahun ke tahun juga menikmati kenaikan anggaran. Lihat pada tahun 2015, 2016, 2017, 2018, 2019 dan 2020, APBN yang dialokasikan untuk kepolisian selalu mengalami peningkatan yang relatif signifikan. Alokasi yang paling signifikan ada pada pos belanja pegawai yakni sebesar 48,21 persen atau 53.977 triliun. Meski anggarannya naik, kita tidak melihat peningkatan profesionalisme kepolisian dalam menjaga keamanan dan ketertiban. Alih-alih, sama halnya seperti Polisi Virtual, profesionalisme hanya dimaknai sebagai upaya mendefinisikan mana yang aman dan tertib—mana aksi yang “beradab” dan mana yang “beringas”. Sejumlah aksi massa seperti #Reformasidikorupsi, #GajayanMemanggil yang menyerukan penolakan terhadap RUU KUHP, RUU KPK, RUU Pertanahan, RUU Minerba, RUU Ketagakerjaan, RUU Sumber Daya Air, serta Omnibus Law Cipta Kerja sepanjang 2019 hingga 2020, selalu ditangani dengan represi brutal.
Tak hanya itu, penyitaan buku merah oleh Polri adalah pernyataan sikap langsung—entah dikehendaki atau tidak—bahwa polisi Indonesia tak menunjukkan minat pada pemberantasan korupsi. Buku tersebut merupakan barang bukti kasus suap impor daging yang menjerat pengusaha Basuki Hariman dan sekretarisnya Ng Fenny, serta dugaan aliran dana ke sejumlah pejabat institusi diantaranya Kepolisian, TNI, Balai Karantina, Bea Cukai, hingga Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara.
Bukan berarti tak ada upaya kontrol eksternal terhadap tindak tanduk Polri. Sejumlah wartawan yang biasa meliput di lingkungan kepolisian, misalnya, telah berinisiatif membentuk Indonesia Police Watch sejak tahun 2000. Mereka tidak jarang mengungkap ketidakberesan dalam tubuh Polri. Misalnya, kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan yang dilakukan oleh dua aparat kepolisian. Namun, gerak kelompok seperti ini terbatas pada kapasitas sebagai “watch dog”, dengan cara kerjanya yang berangkat dari asumsi moral bahwa aparat di Indonesia akan lebih bersih jika mereka dipelototi dan digonggongi “masyarakat sipil” selama 24 jam setiap harinya. Mereka tidak terlihat berminat untuk membangun basis kekuatan riil pada masyarakat luas yang mutlak diperlukan sebagai syarat utama untuk mengontrol alat-alat kekerasan negara—tentara dan polisi. Hari-hari ini, problem kekerasan dalam aparat dalam penegakan hukum perlu diamplifikasi ini sejauh mungkin. Mayoritas rakyat berkepentingan agar tidak diperlakukan semena-mena, agar tidak disiksa, agar bisa mengakses keadilan seutuhnya. Rakyat juga berhak atas hasil kerja mereka yang telah disumbangkan ke dalam berbagai pajak agar tidak dibegal oleh koruptor.
Kerja-kerja KPK yang dilindungi payung hukum kuat untuk memberantas korupsi ini memperoleh dukungan yang besar dari publik. Harus diakui, respons kolektif publik sangat vital, meski tak selalu terorganisir dengan baik sehingga memiliki nafas panjang. Geger ”Cicak vs Buaya” pada 2009 adalah salah satu contohnya. Dimana posisi polisi dikategorikan sebagai Buaya dan KPK sebagai Cicak. Gerakan ini spontan, tapi tak berumur panjang. Belakangan, di tengah kasus-kasus korupsi berskala besar dan pelemahan KPK oleh negara, masyarakat kembali turun ke jalan. Berbeda dengan “Cicak vs Buaya”, kali ini aksi-aksi bertagar #ReformasiDikorupsi dihadapi aparat secara brutal. Seperti “Cicak vs Buaya”, aksi-aksi 2019 juga tak berumur panjang. Artinya sejauh ini dalam upaya memberantas korupsi, respons publik menunjukkan bahwa kuasa oligarki yang koruptif dapat diintervensi oleh rakyat banyak.
Bukan hanya Indonesia yang bermasalah dengan menguatnya polisi. Upaya gerakan kontrol sipil terhadap kepolisian ini pun belakangan sering dibicarakan di sejumlah negara seiring maraknya kebrutalan polisi terhadap warga sipil dan meningkatnya fenomena militerisasi kepolisian. Misalnya di Amerika Serikat yang terjadi baru-baru ini, ketika polisi melakukan pembunuhan terhadap George Floyd. Dalam kampanye Black Lives Matter, slogan-slogan seperti “Abolish the Police” diserukan dalam aksi-aksi jalanan sejak tengah tahun lalu. Gerakan ini tentu tak lepas dari kritik. Tapi, jasa terbesar mereka adalah mengembangkan kekerasan polisi menjadi isu yang dibicarakan kian banyak orang. Tantangannya mereka kurang lebih sama dengan di Indonesia: menciptakan ekosistem gerakan yang mampu bernapas panjang.
Pekerjaan rumah lain yang tak kalah berat untuk agenda anti-korupsi: menghantam langsung oligarki. Naif rasanya membicarakan agenda anti-korupsi tanpa merasa perlu menggoyang kuasa oligark—tidakkah ini sama naifnya dengan mengharapkan praktik demokrasi yang otentik, seraya mengharapkan oligarki akan hilang? Tantangannya adalah bukan mendamaikan keduanya, tapi memastikan agar tidak ada oligarki. Di sinilah kemudian pentingnya keterlibatan rakyat dalam isu anti korupsi, bukan hanya sebagai “aktor demo” yang selalu siap turun ke jalan atau komentator proses hukum, tapi untuk menghantam langsung sistem oligarkis itu sendiri. Gerakan ini bisa berjalan jika agenda besar anti-korupsi memiliki kaitan langsung dengan kepentingan materiil rakyat banyak alih-alih basa-basi kelembagaan.
Pada titik ini kita mesti bersikap kritis terhadap wacana anti-korupsi yang ada. Sudah saatnya agenda anti-korupsi membuang premis bahwa “pasar bisa bekerja efektif jika korupsi tidak ada” atau “kebijakan publik akan lebih efisien dengan nol korupsi”. Kenyataannya, industri ekstraktif akan tetap menindas rakyat banyak dan merusak lingkungan dengan atau tanpa korupsi. Kebijakan publik yang sejak awal merugikan rakyat akan lebih berbahaya jika ia efisien dan mendapat stempel “bersih dari korupsi”.
Senada dengan pokok yang telah ditulis In’amul Mushoffa, gerakan anti korupsi harus dibentuk dengan kekuatan progresif untuk memahami masalah secara radikal, membentuk satu blok historis, membangun “agenda revolusioner”, serta membentuk kekuatan politiknya sendiri.***
Muhammad Kamarullah, mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).