Foto: The New York Times
AKSI-AKSI kekerasan kontra-revolusioner di Myanmar kian memuncak. Tatmadaw (militer Myanmar) semakin gencar menebar teror untuk memberangus perlawanan rakyat di seantero negeri. Dimulai dengan Perang Hlaing Tharyar—bentrokan pekerja dan pelajar versus tentara selama empat hari pada Maret 2021 yang menewaskan setidaknya 60 demonstran di kantong kelas pekerja Yangon, kota terbesar Myanmar—teror terus melaju dengan rangkaian pembantaian seiring gerakan anti-kudeta berhasil melumpuhkan ekonomi lewat aksi-aksi pemogokan di sebagian besar sektor vital dan melawan junta militer dengan segala cara.
Akhir Maret lalu, tepatnya pada perayaan Hari Angkatan Bersenjata yang memperingati dimulainya perlawanan militer terhadap pendudukan Jepang pada 1945, Tatmadaw menggelar parade di jalan-jalan ibukota Naypyidaw—didampingi perwakilan Rusia, Tiongkok, India, Pakistan, Bangladesh, Vietnam, Laos, dan Thailand. Pada saat bersamaan, demonstrasi di kota-kota besar dan pusat-pusat daerah di seluruh Myanmar disambut oleh berondongan peluru polisi dan aparat keamanan lainnya. (Menurut catatan resmi, korban tewas hari itu mencapai 114 jiwa—angka riilnya kemungkinan besar lebih tinggi.) Menurut Assistance Association for Political Prisoners, lebih dari 4.000 orang telah ditangkap dan lebih dari 700 tewas sejak perlawanan terhadap kudeta bergulir pada 1 Februari 2021.
Perang jalanan dan barikade menjadi wajah Yangon hampir sepanjang Maret. Kini Yangon dipadati pos pemeriksaan dan patroli militer. Layanan internet dan telekomunikasi sangat dibatasi. Siaran-siaran rutin di jaringan televisi yang dikendalikan militer, MRTV, memajang nama dan wajah orang-orang yang masuk dalam daftar tangkap. Siaran-siaran ini mendesak warga untuk melaporkan keberadaan orang-orang di dalam daftar tersebut kepada militer. (Pada 9 April, MRTV mengumumkan 19 warga kecamatan Oakkalapa Utara di Yangon didakwa hukuman mati.)
“Jalan-jalan sudah menjelma ladang pembantaian. Ada penembakan acak di lingkungan lingkungan kami. Anak-anak usia lima tahun bahkan jadi korban. Para pekerja ditembak mati di dalam pabrik [mereka]. Rumah-rumah digrebek dan dibakar. Upacara pemakaman diamuk tentara. Mereka [militer] bahkan membakar pendemo hidup-hidup,” Me Me Myint,* seorang perawat dari Rumah Sakit Pekerja Yangon, bercerita lewat sambungan telepon dari sebuah biara Buddha di pinggir kota.
Me Me dan ratusan pekerja Rumah Sakit Pekerja Yangon diusir dari perumahan milik negara awal April lalu karena ikut serta dalam gerakan anti-kudeta. Di belakang suara Me Me, terdengar para biksu Buddha melantunkan “Mora Sutta” (“doa burung merak” untuk berlindung dari roh jahat). Tapi doa tidak berarti apa-apa bagi Tatmadaw, yang hampir setiap hari menggerebek biara dan rumah sakit, menculik pendemo yang terluka parah dan menyiksa mereka sampai mati.
“Tak ada tempat yang aman dari kejahatan ini,” kata Me Me.
Meski diteror, gerakan penggulingan junta tak henti-hentinya mencari cara berlawan. “Protes kilat” kini marak di di kota besar dan kecil. Aksi yang sulit diberangus aparat keamanan ini digelar dalam waktu relatif singkat oleh peserta yang jumlahnya bervariasi—seringkali dari atas sepeda motor atau skuter. April ini, massa-rakyat memboikot Thingyan, perayaan Tahun Baru Myanmar, dengan slogan “Kami Ogah Diatur-atur.” Banyak foto menunjukkan slogan yang terpampang di grafiti dan poster-poster politik di seantero Yangon. Bunyinya: “Giliranmu sudah tiba. Siap-siap bayar utang darah.” Pesan itu tertuju kepada Tatmadaw dan para dalan alias cepu (tukang lapor).
Mahasiswa memboikot sistem pendidikan tinggi dan mengajak para pegawai kampus untuk turun ke jalan bersama gerakan anti-kudeta. “Sistem pendidikan kami mendukung fasisme dan ini harus dilawan dengan segala cara,” seru James,* seorang Marxis dan aktivis mahasiswa, melalui sambungan telepon dari Yangon. James sudah jadi buronan sejak April, tepatnya setelah Tatmadaw mengeluarkan perintah penangkapan terhadap dirinya, kawan-kawannya sesama aktivis mahasiswa, dan para pemimpin serikat buruh atas tuduhan memancing pemberontakan di tubuh angkatan bersenjata. Kini James berlindung di salah satu rumah aman (safe house) yang jaringannya diorganisir para pendukung gerakan. Rumah-rumah ini kini dihuni ribuan pelarian.
“Surat perintah penangkapan berarti hukuman mati,” ujarnya. “Jika Tatmadaw menemukanku, bisa dipastikan mereka akan membunuhku. Tapi sebelum itu, mereka akan memenjarakan dan menyiksaku. Mereka akan mencoba memaksaku untuk membocorkan lokasi rekan-rekanku dan mengorek detail jaringan kami. Tapi biarpun mereka mereror kami sampai kiamat, kami takkan pernah tunduk pada fasisme.”
Pemogokan umum berlangsung tanpa henti. Sayang, aksi ini telah kehilangan banyak momentum yang begitu menonjol di minggu-minggu awal pergolakan. “Represi mempersulit pekerja untuk bertemu di muka umum atau berdemonstrasi,” ujar Z,* seorang pegawai bank di Yangon melalui aplikasi Signal. Z, yang mendukung gerakan pemogokan, juga menuturkan bahwa bank-bank masih lumpuh dan kurang dari seperempat pegawai bank di Myanmar kini kembali bekerja di bawah ancaman pemecatan massal, penangkapan, dan pengusiran dari rumah mereka. “Uang tidak bisa bergerak seperti biasanya. Galangan kapal terhenti, juga angkutan truk dan logistik. Masinis tidak akan kembali bekerja dan militer tak tahu cara mengoperasikan [kereta],” katanya.
Ketika barisan inti gerakan mogok tetap bertahan, elemen lain terpaksa mundur. “Pekerja termiskin seperti buruh harian tak punya banyak pilihan selain kembali bekerja. Mereka tak ingin bekerja di bawah junta, tapi tidak punya jaringan dukungan yang sama seperti pekerja-pekerja lain yang lebih terorganisir,” kata Z.
Meski terjadi pemogokan umum, pundi-pundi negara tetap terisi berkat sektor-sektor yang belum terpengaruh gerakan massa, mulai dari industri ekstraktif seperti minyak, gas, pertambangan batu permata, penebangan liar, hingga jaringan kejahatan terorganisir yang dikendalikan Tatmadaw, yang meliputi produksi narkoba dan perdagangan satwa liar-langka. (Menurut Financial Times, operasi penambangan batu giok saja menghasilkan pendapatan sekitar USD 31 miliar per tahun.)
Sepanjang April, kota-kota di daerah dan pusat-pusat pedesaan menjadi panggung konfrontasi antara gerakan rakyat dan Tatmadaw. Para warga di daerah-daerah ini berusaha menarik serdadu keluar dari kota-kota besar dan memecah sumber daya militer ke tempat-tempat terpisah. Sejumlah kecamatan dan kota kecil di daerah Mandalay bergerak dengan slogan “Kami takut tapi demo tidak boleh berakhir.” Di Kota Mandalay, kota terbesar kedua Myanmar, pelajar, pekerja, dan teknisi memimpin serangkaian protes kilat harian. (Para biksu Buddha terlihat berbaris di depan aksi-aksi massa, berharap tentara akan lebih ragu-ragu menindas pemuka agama.)
Warga setempat di daerah Sagaing dan Magway mempersenjatai diri dengan senapan berburu rakitan dan berulang kali bentrok dengan aparat rezim. Meski sudah babak belur dihajar peluru dan korban tewas bergelimpangan, warga dilaporkan berhasil menyergap konvoi militer di kota demi kota dan menahan para serdadu selama beberapa hari. Puluhan tentara dan polisi tewas dalam pertempuran, namun lebih banyak lagi yang terluka.
“Serangan terhadap kota mana pun adalah serangan terhadap kota kita!” demikian bunyi sebuah slogan yang sering terdengar selama pertempuran berlangsung.
Pada 9 April, Konfrontasi mencapai titik didih di kota Bago, timur laut Yangon. Ratusan tentara dan polisi menyerang warga yang mendirikan barikade dan milisi bersenjata di sebelah timur kota. Rekaman video sepanjang penyerbuan menunjukkan tentara menghamburkan peluru tajam dan amunisi ledak—termasuk mortir dan granat berpeluncur roket—ke arah barikade, sementara warga mempertahankan diri dengan senapan rakitan.
Menurut catatan resmi, jumlah korban tewas ketika serbuan berakhir mencapai 82 jiwa—inilah hari kekerasan terburuk yang terangkum dalam satu pembantaian terhitung sejak perlawanan terhadap kudeta dimulai. Namun, Thar Yar Than,* seorang anggota milisi lokal, melaporkan lewat telepon bahwa angka korban jiwa sebenarnya mencapai ratusan. “Mereka [tentara] menimbun mayat, memasukkannya ke dalam truk dan mengangkutnya ke markas,” kata Thar Yar. Ia menyatakan tentara menolak memberikan perawatan medis kepada puluhan korban luka berat. Petugas palang merah diancam dengan peluru jika turun tangan. Rumah sakit umum sekitar juga sudah direbut dan diduduki tentara dan polisi.
“Orang-orang yang terluka ditumpuk bersama orang mati. Kamu bisa mendengar teriakan mereka di antara tumpukan mayat,” ujar Thar Yar yang kini bersembunyi di hutan sekitar bersama ribuan warga Bago. “Orang bilang perang saudara akan tiba,” katanya. “Tapi bagi banyak orang, ini sudah perang saudara.”
Selama beberapa pekan terakhir, banyak organisasi etnis bersenjata (OEB) di Myanmar meningkatkan serangan terhadap pos-pos polisi dan militer. Tentara Tentara Kemerdekaan Kachin (KIA) dilaporkan telah memukul beberapa batalyon polisi di perbatasan utara dekat Tiongkok. KIA juga merebut pangkalan Alaw Bum yang sebelumnya dipegang oleh Tatmadaw. (Menurut laporan yang beredar sejak itu, KIA telah mempertahankan Alaw Bum dari tentara Tatmadaw, menewaskan lebih dari 100 personel—termasuk sejumlah perwira tinggi—dan menangkap puluhan pembelot begitu pertempuran berakhir.)
Tentara Pembebasan Nasional Karen (KNLA) merebut pangkalan militer Thee Mu Hta di Mutraw yang terletak di tenggara Myanmar. Beberapa OEB lainnya di wilayah Shan dan Rakhine juga mengerahkan senjata untuk melindungi aksi-aksi protes. Dalam pernyataan resminya, KNLA mengatakan: “Kami tak bisa terima perlakuan tidak manusiawi, tak hanya di negara bagian Kayin [Karen], tetapi juga di wilayah-wilayah lain.”
Tatmadaw membalas dengan melancarkan serangan udara dan membombardir sejumlah daerah yang dikuasai kelompok etnis. Puluhan orang tewas dan puluhan ribu lainnya mengungsi—mayoritasnya kini terdampar di kamp-kamp pengungsian sepanjang perbatasan Thailand-Myanmar. Banyak yang dilaporkan mencoba melarikan diri ke Thailand, namun ditolak masuk atau dideportasi otoritas Negeri Gajah Putih (yang juga berulangkali memblokir pasokan medis dan makanan ke Myanmar). Puluhan ribu pengungsi di dalam negeri kini membangun bungker di kamp-kamp sebagai langkah antisipatif seandainya Tatmadaw melancarkan kampanye bumi hangus.
Tatmadaw kian bergantung pada serangan udara. Ini adalah kedok yang menutupi isyarat kelemahan di tubuh mereka sendiri. Selama beberapa minggu terakhir, segelintir perwira menengah membelot ke teritori OEB dan menyatakan dukungan untuk revolusi. Dalam wawancara dengan situs berita myanmar-now.org, salah seorang pembelot bernama Kapten Lin Htet Aung mengaku bahwa keluarga para prajurit diancam akan disiksa dan dibunuh sebagai ganjaran atas pembangkangan/insubordinasi. Menurut sang kapten, 75 persen pasukan akan meninggalkan satuan seandainya keluarga mereka mendapat perlindungan.
Guna menyiapkan aparatus negara baru di Myanmar apabila Tatmadaw terjungkal kelak, serta untuk meraih dukungan dari OEB dan menangkal ancaman pemogokan buruh, Komite Perwakilan Pyidaungsu Hluttaw (CRPH)—sekelompok anggota parlemen yang mayoritas berasal dari Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), partai berkuasa yang digulingkan dalam kudeta 1 Februari—mengumumkan pembentukan Pemerintah Persatuan Nasional (NUG).
NUG sudah merilis sebuah piagam yang menyatakan konstitusi akan ditulis ulang. Konstitusi ini sekiranya akan menjunjung tinggi hak-hak semua etnis minoritas. Lewat piagam itu, NUG juga menyatakan akan mendirikan Tentara Persatuan Federal dengan keanggotaan yang berasal dari kelompok-kelompok OEB hari ini. Namun piagam tersebut tidak memberikan jaminan bahwa etnis Rohingya yang selama ini dianiaya tidak akan dikucilkan dari struktur baru negara-bangsa Myanmar kelak. Piagam NUG juga tidak menawarkan komitmen apapun untuk membubarkan Tatmadaw.
Pemerintahan masa depan yang dipimpin NLD—perwakilan faksi liberal dari kelas kapitalis Myanmar—rupanya tak berminat untuk membangun kekuatan yang dinilai perlu oleh khalayak luas untuk menggulingkan Tatmadaw sebelum konflik bermutasi menjadi perang saudara berskala besar yang bisa membuka jalan untuk campur tangan imperialis dan dominasi kekuatan asing lain di kawasan.
“Para pekerja dan aktivis garis depan di kota-kota perlu segera dipersenjatai,” seru James. Ribuan orang sudah meninggalkan kota dan kini berlatih bersama OEB di daerah-daerah yang dikuasai kelompok etnis. Mereka berniat kembali ke pusat kota untuk melawan Tatmadaw dalam beberapa pekan mendatang. “Tapi yang kami butuhkan adalah ratusan ribu—jika bukan jutaan—pekerja bersenjata, para pemogok di kota dan pusat-pusat daerah, untuk menduduki jalan-jalan dan tempat kerja mereka,” tutur James menjelaskan bahwa situasi seperti itu dapat memutus loyalitas tentara kelas bawah Tatmadaw dari para perwira mereka. “Baik jenderal-jenderal Tatmadaw maupun Pemerintah Persatuan Nasional—bersama sekutu imperialisnya—akan melakukan apapun untuk mencegah skenario semacam itu. Jika revolusi kita punya peluang untuk menang, situasi pemberontakan massa jelas dibutuhkan. Pilihan lain adalah barbarisme, yang wajah terburuknya belum kita saksikan.”***
*Nama disamarkan untuk melindungi identitas narasumber
Robert Narai, anggota Socialist Alternative, Australia
Tulisan ini pertama diterbitkan di Red Flag, media Socialist Alternative, pada 20 April 2021. Diterjemahkan dan diterbitkan di IndoPROGRESS untuk tujuan pendidikan.