Ilustrasi: Illustruth
KAUM borjuis Prancis telah lama meraih kemenangan. Sejak revolusi 1789, mereka adalah kelompok yang meraup kekayaan, sementara kelas pekerja secara terus-terusan harus menanggung beban krisis.
Namun, proklamasi Republik Ketiga membuka horison baru dan menawarkan kesempatan perubahan. Setelah mengalami kekalahan perang di Sedan, Napoleon III ditawan Prusia pada 4 September 1870. Januari tahun berikutnya, setelah empat bulan Paris dikepung, Prancis menyerah kepada Otto van Bismarck. Sang Kanselir Prusia memaksakan pokok-pokok kesepakatan yang memberatkan sebagai syarat gencatan senjata. Pemilihan umum digelar dan Adolphe Thiers terpilih sebagai pemangku kekuasaan eksekutif, dengan dukungan kelompok-kelompok besar seperti Legitimist dan Orleanist.
Paris memanas. Kelompok-kelompok republikan radikal dan sosialis menjamur. Pemerintahan sayap kanan yang akan memelihara ketidakadilan sosial menghantui negeri. Namun, naiknya pemerintahan yang hanya akan menambah beban perang pada kaum tak berpunya dan melucuti penduduk ibukota ini justru memicu revolusi baru pada 18 Maret. Thiers dan pasukannya terpaksa minggat ke Versailles.
Perjuangan dan Pemerintahan
Untuk mengamankan legitimasi demokratik, para pemberontak Paris segera mengadakan pemilihan umum. Pada 26 Maret, mayoritas penduduk Prancis (190.000 suara melawan 40.000) menyetujui tujuan-tujuan pemberontakan, dan 70 dari 85 perwakilan terpilih mendeklarasikan dukungan kepada revolusi. Sebanyak 15 anggota representatif moderat dari parti des maires, kelompok yang terdiri atas beberapa mantan kepala arrondissements, segera mengundurkan diri dan tidak bergabung dengan dewan Komune, disusul empat orang dari kubu Radikal. Sebanyak 66 sisanya—yang tidak mudah dibedakan karena afiliasi politik ganda—mewakili spektrum posisi yang luas. Di antara mereka ada sekitar 20 orang dari kelompok republikan neo-Jacobin (termasuk Charles Delescluze dan Félix Pyat yang tersohor), selusin pengikut Auguste Blanqui, 17 anggota Asosiasi Kaum Pekerja Internasional (baik pendukung Pierre-Joseph Proudhon maupun Karl Marx, yang seringkali saling bersitegang), dan beberapa kubu independen. Mayoritas pemimpin Komune adalah kaum buruh atau representasi kelas pekerja, 14 di antaranya berasal dari Garda Nasional. Faktanya, komite sentral Garda Nasional-lah yang mempercayakan kekuasaan di tangan Komune—awal dari rangkaian ketidaksepakatan dan konflik antara kedua lembaga.
Pada 28 Maret, sejumlah besar penduduk berkumpul di sekitar Hôtel de Ville untuk berpesta merayakan dewan perwakilan baru, yang kini secara resmi bernama Komune Paris. Meski berumur tak lebih dari 72 hari, Komune Paris merupakan peristiwa politik terpenting dalam sejarah gerakan buruh abad ke-19, memantik harapan rakyat yang sudah kelelahan digerus beban hidup selama berbulan-bulan. Komite-komite dan kelompok-kelompok baru bermunculan di berbagai pemukiman untuk memberikan dukungan kepada Komune. Tiap-tiap sudut ibukota menggulirkan berbagai inisiatif solidaritas dan merencanakan pembangunan dunia baru. Montmartre berubah menjadi “benteng kebebasan”. Salah satu sentimen yang menyebar luas adalah hasrat untuk berbagi dengan orang lain. Sosok-sosok militan seperti Louise Michel menjadi teladan bagi spirit ini (Victor Hugo menulis Michel “melakukan apa yang telah dilakoni orang-orang hebat zaman lampau. […] Ia memuliakan mereka yang remuk dan terhempas”.
Namun, ruh Komune tidak datang dari sosok pemimpin atau figur-figur karismatik alih-alih dari sisi kolektivitas yang terang benderang. Perempuan dan laki-laki berkumpul secara sukarela untuk mengerjakan proyek pembebasan untuk semua. Pemerintahan mandiri tak lagi dianggap utopia belaka. Emansipasi diri dipandang sebagai tugas yang esensial.
Transformasi Kekuatan Politik
Dua dari dekrit darurat pertama untuk memangkas kemiskinan akut parah adalah pemberhentian sewa hunian (disebutkan bahwa “properti juga harus berkorban”) dan penjualan barang di bawah 20 franc di pegadaian. Sembilan komisi kolegial juga dibentuk untuk menggantikan kementerian perang, keuangan, keamanan umum, pendidikan, penghidupan, perburuhan dan perdagangan, hubungan internasional dan pelayanan publik. Tidak lama berselang, muncul delegasi yang dipilih untuk mengepalai masing-masing kementerian.
Pada 19 April, tiga hari setelah pemilihan umum lanjutan untuk mengisi 31 kursi kosong, Komune mengadopsi Deklarasi Rakyat Prancis yang menyatakan “jaminan mutlak bagi kebebasan individu, kemerdekaan berkeyakinan dan kemerdekaan kerja” dan juga “intervensi permanen warga dalam urusan-urusan komunal”. Konflik antara Paris dan Versailles dianggap “tidak dapat diselesaikan lewat kompromi-kompromi ilusif”; rakyat punya hak dan “kewajiban untuk melawan dan menang!” Yang lebih signifikan lagi daripada teks ini—yang sebenarnya merupakan sintesis ambigu untuk menghindari ketegangan-ketegangan antar berbagai tendensi politik—adalah aksi-aksi konkret yang melaluinya orang-orang Komune memperjuangkan transformasi total kekuasaan politik. Pembaharuan-pembaharuan yang bukan hanya menyasar cara kerja administrasi politik, tapi juga hakikatnya. Komune membuka kesempatan agar wakil-wakil terpilih bisa ditarik kembali. Komune juga memungkinkan agar tindakan para wakil rakyat ini dikontrol lewat mandat yang mengikat (meski hal ini tidak serta merta mengatasi permasalahan kompleks representasi politik). Para pejabat, yang juga tunduk pada kontrol permanen dan bisa ditarik dari jabatan, tidak asal ditunjuk seperti di masa lalu, tetapi dipilih lewat kontes terbuka atau pemungutan suara. Tujuannya adalah mencegah transformasi ruang publik menjadi domain para politisi profesional. Keputusan-keputusan terkait kebijakan yang diambil tidak diserahkan pada sekelompok kecil fungsionaris dan teknisi, tetapi harus diputuskan oleh rakyat. Tentara dan polisi tidak lagi menjadi institusi yang terpisah dari masyarakat. Pemisahan negara dengan gereja juga menjadi syarat mutlak.
Namun visi perubahan politik Komune tidak terbatas pada hal-hal tersebut: ia menyasar akar yang lebih dalam. Transfer kekuasaan ke tangan rakyat diperlukan untuk secara drastis mereduksi birokrasi. Ranah sosial harus diutamakan di atas ranah politik—sebagaimana diterapkan oleh Henri de Saint-Simon—sehingga politik tidak lagi menjadi suatu fungsi spesialis alih-alih semakin terintegrasi ke dalam aktivitas masyarakat sipil. Dengan demikian, ranah sosial mengambil kembali fungsi-fungsi yang sebelumnya dialihkan kepada negara. Menggulingkan sistem kekuasaan berbasis kelas tidaklah cukup; sistem itu sendiri haruslah diakhiri juga. Semua ini akan menggenapkan visi Komune tentang republik sebagai persekutuan orang-orang merdeka, asosiasi yang sejatinya demokratik dan mempromosikan emansipasi semua komponennya. Hasilnya adalah pemerintahan mandiri para produsen/pekerja.
Memprioritaskan Perubahan-Perubahan Sosial
Komune berpendirian bahwa perubahan-perubahan sosial lebih krusial daripada perubahan politik. Perubahan-perubahan sosial ini adalah alasan keberadaan Komune, tolok ukur kesetiaan Komune pada prinsip-prinsip pendiriannya, dan unsur kunci yang membedakannya dari revolusi-revolusi sebelumnya pada 1789 dan 1848. Komune menelurkan lebih dari satu kebijakan dengan implikasi kelas yang terang. Tenggat waktu pembayaran utang, misalnya, ditunda tiga tahun tanpa tambahan bunga. Penggusuran karena kegagalan membayar sewa ditunda. Sebuah dekrit mengizinkan tempat tinggal kosong agar digunakan oleh mereka yang tak punya tempat tinggal. Ada rencana-rencana untuk memperpendek jam kerja (dari yang tadinya 10 jam menjadi 8 jam nantinya), praktik yang menjamur seperti pemberlakuan denda pada buruh sebagai upaya memotong upah dilarang dan diancam dengan sanksi, dan upah minimum dipatok pada level yang terhormat. Sebisa mungkin pasokan makanan ditambah dan diberi harga yang rendah. Kerja malam di pabrik-pabrik roti dilarang, dan sejumlah toko daging dibuka di kota. Berbagai bentuk bantuan sosial ditambahkan pada lapisan-lapisan masyarakat yang rentan—misalnya, bank makanan bagi perempuan dan anak-anak terlantar. Ada pula diskusi-diskusi seputar cara mengakhiri diskriminasi antara anak yang sah secara hukum dan yang tidak.
Semua anggota Komune percaya bahwa pendidikan adalah unsur penting bagi emansipasi individu dan perubahan sosial-politik. Sekolah digratiskan dan diwajibkan bagi perempuan dan laki-laki. Pelajaran agama digantikan oleh pendidikan sekuler, rasional, dan ilmiah. Komisi-komisi khusus diangkat dan halaman-halaman koran menampilkan argumen-argumen kuat yang mendukung investasi untuk pendidikan perempuan. Agar sungguh-sungguh menjadi “layanan publik”, pendidikan harus menawarkan peluang setara bagi “anak-anak dari kedua jenis kelamin”. Selain itu, “pembedaan orang berdasarkan ras, kebangsaan, agama atau posisi sosial” harus dilarang. Beberapa inisiatif praktis di awal mengiringi kemajuan-kemajuan di atas kertas. Ribuan anak buruh dari berbagai arrondissement menghadiri sekolah untuk pertama kalinya dan menerima bahan ajar secara gratis.
Komune juga mengadopsi kebijakan-kebijakan berkarakter sosialis. Ia mengeluarkan dektrit bahwa bengkel-bengkel peninggalan para bos yang melarikan diri harus diserahkan pada asosiasi-asosiasi kooperatif para pekerja. Teater dan museum—dibuka untuk semua tanpa tarif—dikolektivisasi dan diletakkan di bawah manajemen Federasi Seniman Paris, yang dipimpin oleh pelukis dan sosok militan Gustave Courbet. Sekitar tiga ratus pemahat, arsitek, tukang cetak dan pelukis (di antaranya Édouard Manet) terlibat dalam kelompok ini—contoh yang diikuti oleh dunia opera dengan pendirian federasi serupa.
Semua aksi dan inisiatif ini dimulai dalam kurun waktu yang menakjubkan, hanya 54 hari di Paris yang masih oleng akibat efek perang dengan Prussia. Komune hanya mampu mengerjakan agendanya antara 29 Maret dan 21 Mei, di tengah perjuangan heroik melawan serangan-serangan dari Versailles yang juga banyak menyedot tenaga dan uang. Karena Komune tidak memiliki alat untuk memaksakan kebijakan-kebiajaknnya, banyak dari dekrit yang telah dirilis tidak diterapkan secara seragam di sekujur Paris. Namun demikian, dekrit-dekrit ini menunjukkan hasrat ambisius untuk menata kembali masyarakat dan menunjukkan jalan pada kemungkinan perubahan.***
(Bersambung)
Marcello Musto adalah Profesor Sosiologi di York University, Toronto. Tulisan-tulisannya—tersedia di www.marcellomusto.org—telah diterbitkan secara luas dalam lebih dari dua puluh bahasa.
Artikel ini diterjemahkan oleh Daniel Sihombing