Foto: abc.net.au
TENGAH hari 8 Maret 1917, jalan-jalan di sekitar Nevsky Prospekt, St. Petersburg telah diramaikan ribuan perempuan yang terdiri atas perempuan tani, pelajar dan pekerja. Mereka berdemonstrasi membawa spanduk berisi slogan meminta ketersediaan pasokan roti bagi semua dan jatah pangan bagi keluarga tentara sambil meneriakkan dengan lantang pesan untuk menurunkan tsar. Demonstrasi raksasa Hari Perempuan Sedunia yang berujung konfrontasi dengan polisi tersebut diyakini merupakan rangkaian awal yang menjadi pemicu terjadinya Revolusi Oktober atau Revolusi Rusia dalam beberapa bulan ke depannya.
Revolusi Oktober kita kenal lekat dengan nuansa laki-laki revolusioner Bolshevik seperti Leon Trotsky, Joseph Stalin, Lev Kamenev, Mikhail Kalinin, dan banyak lainnya. Padahal, banyak perempuan-perempuan revolusioner di antara para sosok berkumis tersebut. Selain Alexandra Kollontai dan Inessa Armand, apakah kawan pernah dengar nama Nadezhda Krupskaya? Jika belum, wajar saja sebab selama ini namanya seakan tenggelam di bawah ombak kepopuleran sang suami, Vladimir Lenin.
Nadezhda Konstantinovna Krupskaya. Lahir di St. Petersburg pada 26 Februari 1869 dari keluarga aristokrat yang menjadi miskin karena ayahnya seorang perwira militer yang terlibat kegiatan revolusioner dan ibunya keturunan bangsawan tak bertanah. Ini membuat Nadezhda bersahabat dengan kerasnya dunia semenjak belia, meskipun ia bisa dikatakan beruntung karena bisa mendapatkan edukasi yang cukup baik dari kedua orang tuanya.
Pandangan politiknya pertama kali, khususnya perihal edukasi, ia dapatkan dari karya-karya Leo Tolstoy. Ia berpendapat bahwa ilmu pengetahuan serta pendidikan mesti dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat umum, ketimbang untuk dominasi kaum elit. Karena sering mengadakan beberapa lingkaran diskusi dan bertemu kawan-kawan baru, ia pun mengenal lalu memperdalam kajian Marxisme.
Pada tahun 1891, ia mulai memberikan kelas malam hari untuk buruh pabrik seputar literasi serta aritmatika. Pada tahun 1898, kegiatan ini kemudian membawanya ke dalam aktivitas pengorganisiran serikat buruh di St. Petersburg. Dari sinilah ia berkenalan dengan Vladimir Ilych Ulyanov. Soal percintaan dan pernikahannya barangkali akan kita bicarakan di lain kesempatan, namun yang menjadi catatan penting ialah sumbangsih dan pemikirannya sebagai salah seorang revolusioner di kubu Bolshevik.
Selepas pengasingan bersama Lenin di Siberia, pada 1903 ia menjadi sekretaris dewan editor surat kabar “Iskra” di Jenewa. Di sinilah kehandalannya dalam mengorganisir sangat dikenal. Mulai dari memperluas jaringan informasi, mengatur soal manajemen organisasi, hingga menjadi kriptografer sandi rahasia dalam gerakan. Pada 1910, bersama Clara Zetkin, Nadezhda ikut menjadi salah satu penggagas Hari Perempuan Sedunia yang pertama kali dirayakan pada 1913 di Rusia.
Setelah revolusi, ia dipilih menjadi deputi divisi pendidikan bagi orang dewasa di bawah Komisariat Rakyat untuk Pendidikan. Selama karirnya, ia cukup banyak menelurkan karya penting seperti The Woman Worker (1889) dan Reminiscences of Lenin (1933). Namun, menurut saya, buah pikirannya yang paling menarik ada dalam artikelnya tahun 1921 yang berjudul Taylor’s System and Organization.
Dalam artikelnya ini, Nadezhda melayangkan kritiknya terhadap asas kolegialitas yang mengakibatkan inefisiensi birokrasi dalam pemerintahan Uni Soviet. Menurutnya, ini menyebabkan birokrasi tidak berjalan semestinya dan dewan buruh alias Soviet menjadi stagnan dan tidak responsif. Namun, alih-alih memetik ide pemikir Kiri, ia justru meminjam pemikiran Frederick Winslow Taylor (1856-1915), seorang berkebangsaan Amerika Serikat yang dikenal sebagai pencetus manajemen ilmiah dan gerakan efisiensi sekaligus merupakan bapak teknik industri. Apa saja kiranya ide-ide yang dipinjamnya? Untuk itu kita perlu mengenal sekilas pemikiran Frederick Taylor.
Jika mendengar namanya sebagian besar orang Kiri pasti akan alergi, apalagi kalau mesti mendengar gagasannya yang sangat terasa bernuasa eksploitasi. Akan tetapi, sebelum terlalu cepat kita menghakimi, Amelia Davenport dalam artikelnya Organizing for Power: Stealing Fire from The Gods di website Cosmonaut Magazine menjelaskan bahwa meski Taylor bukanlah seorang sosialis tapi ia bukan juga seorang fasis yang tak punya simpati atas kondisi pekerja. Maka, ia coba mencetuskan konsep manajemen yang ilmiah.
Amelia Davenport menambahkan bahwa manajemen ilmiah ini bertujuan menggantikan sistem manajemen lama yang dinilai tak efisien dan tak menguntungkan. Karena itu, tujuan utama Taylor sesungguhnya mencari kemakmuran maksimal bagi pemberi kerja sekaligus bagi setiap pekerja, mengubah cara kerja sehingga pekerja tak lagi tertekan akibat pengerahan tenaga habis-habisan atau membuang waktunya di tempat kerja, lalu meningkatkan produktivitas tenaga kerja secara umum sehingga melalui penurunan harga standar hidup rata-rata setiap orang meningkat. Ia percaya bahwa dengan menggunakan manajemen yang ilmiah, ia dapat mendamaikan dan mencari keuntungan untuk pemodal dan juga pekerja.
Meski kita semua tahu bahwa kontradiksi antara kapitalis dan proletariat tak dapat diperdamaikan kecuali lewat revolusi, namun yang menjadi fokus pembahasan Nadezhda adalah metode Taylor yang bisa jadi solusi dalam pengorganisasian proses-proses produkti. Sebab, menurut Taylor, manajemen ilmiah adalah landasan filosofi berorganisasi yang jika diterapkan pada konteks dan dengan tujuan yang berbeda tentu memerlukan teknik yang berbeda pula. Seperti sebilah pisau yang dapat digunakan oleh prajurit untuk memotong leher musuh dalam pertempuran, pisau pun juga dapat digunakan oleh Chef Juna untuk memotong ikan. Maka, jika manajemen ilmiah ini dapat berguna menjadi alat bagi para kapitalis, tentunya ini juga berguna sebagai alat proletariat dalam berorganisasi.
Dengan meminjam pemikiran Taylor, Nadezhda menyimpulkan bahwa beberapa hal yang mesti diterapkan di dalam birokrasi Soviet kala itu antara lain menyusun pembagian tugas secara spesifik dan jelas, menyusunan kerangka acuan atau Term of Reference untuk setiap bidang kerja, menempatkan pekerja dalam posisi yang tepat untuk setiap tenaga kerja menurut kemampuannya, melakukan transfer pengetahuan lewat pelatihan, dan pengumpulan data untuk laporan perkembangan serta proses evaluasi kinerja.
Nadezhda berharap dengan terperincinya pembagian kerja sesuai keahlian, dijalankannya pelatihan, serta transfer pengetahuan dan tercatat jelasnya tugas di setiap bagian, orang-orang di pemerintahan Soviet bisa memanfaatkan waktu kerjanya agar lebih produktif tanpa harus membuang waktunya. Selain itu, model ini ikut mendukung proses evaluasi kompetensi pekerja sehingga memudahkan pemberian bonus bagi mereka yang berprestasi. Intinya, Nadezhda ingin proses kerja sebagai satu organisasi menjadi sederhana dan menguntungkan bagi para pekerjanya.
Dari sini setidaknya ada tiga hikmah yang bisa dipetik. Pertama, Nadezhda mengingatkan pentingnya sebuah manajemen ilmiah dalam berorganisasi. Sebab, hanya dengan pengelolaan yang tertib dan efisien, sebuah organisasi minimal selangkah sampai ke tujuannya. Bukti-buktinya tak hanya bisa disaksikan dari bagaimana perusahaan seperti Unilever dan Philip Morris International dapat menguasai pasar dunia, namun juga keberhasilan Gerakan 26 Juli dalam meruntuhkan Rezim Batista dan pasukan Vietcong dalam mengusir Amerika dari Indochina.
Nadezhda menambahkan bahwa keberhasilan organisasi tak bergantung dari kemampuan individual semata, namun dari kerja seluruh anggota tim dalam jalur yang sama untuk mencapai tujuan bersama. Saya yakin kita semua yang telah bertahun-tahun aktif di organisasi tentu paham bagaimana analisis Nadezhda banyak kita temui di dinamika pengelolaan organisasi sehari-harinya, dan konsep manajemen ilmiah ala Taylor ini patut dipertimbangkan untuk diuji coba. Apalagi, hari ini kita telah dimudahkan oleh kemajuan teknologi, mulai dari platform kerja hingga beragam alat komunikasi.
Hikmah kedua adalah sikap Nadezhda yang berpegang pada prinsip materialisme dialektika dalam menanggapi kondisi realitas. Ia memahami bahwa hal ihwal material mendahului ide dan selalu dalam proses bergerak. Konsekuensinya perubahan kondisi objektif di satu sisi akan membawa perubahan di sisi yang lainnya. Kemenangan Bolshevik membawa Rusia ke sebuah fase baru tatanan kehidupan, sehingga mesti ada sebuah penyesuaian dalam cara berorganisasi. Hal ini disebabkan karena kondisi nyata kala itu bukan lagi seperti ketika di masa-masa sebelum revolusi, di tengah revolusi dan setelah revolusi, namun sosialisme.
Ini dibuktikannya dari keberaniannya memberikan kritik dengan meminjam ide dari tokoh yang sama sekali bukan seorang revolusioner. Di sini, ia memiliki posisi yang objektif dan tegas dalam menentukan bukan soal baik atau buruk, namun soal benar atau salahnya proses berorganisasi. Bukan hanya memberi kritik namun juga solusi. Bukan soal perasaan, lived experience, atau personal truths seperti rengekan liberal, tapi soal fakta keras dan keharusan untuk mencapai dan mempertahankan kemenangan. Sebab, Nadezhda bertujuan membangun sebuah birokrasi Soviet yang bukan hanya berlandasakan relasi persahabatan serta solidaritas saja, namun juga berdasarkan profesionalitas seperti manajemen moderen hari ini. Sebab, sosialisme bukanlah distribusi kemiskinan, melainkan soal redistribusi hasil produksi yang makin canggih dan berlimpah kepada mereka yang bekerja dan berkeringat – rakyat pekerja.
Bagi Nadezhda, metode kerja semacam ini adalah salah satu bentuk dari ilmu pengetahuan dan ilmu pengetahuan itu sendiri bergantung kepada siapa yang memanfaatkannya. Jika di masyarakat kapitalisme metode ini digunakan untuk menyokong rumus umum kapital dan menguntungkan kelas pemodal, di Uni Soviet dan proyek-proyek politik sosialis lainnya tentu saja ilmu pengetahuan dapat dipakai untuk meningkatkan tak hanya produktivitas namun juga untuk kesejahteraan pekerjanya.
Hikmah ketiga yang bisa dicontoh darinya yaitu sikapnya yang realistis. Dengan mengangkat pemikiran Taylor, Nadezhda menegaskan bahwa kemajuan zaman bukan untuk dilawan tapi justru dipelajari dan dimanfaatkan. Ia menyerukan orang-orang di Rusia saat itu untuk mau belajar dan berdiskusi khususnya soal sistem manajemen ilmiah dari Taylor. Namun alih-alih copy paste, ia mengambil inti metodenya untuk diterapkan sesuai dengan kondisi nyata di Uni Soviet. Maka selain objektif, Nadezhda dapat disebut sebagai seorang organisator yang cukup realistis
Ide organisasi atau manajemen ilmiah yang digaungkan Nadezhda sempat didukung oleh lembaga penelitian pekerja di bawah asuhan Aleksei Gastev dan berkat ini pulalah pada era 1920 sampai 1930an Uni Soviet mengundang beberapa konsultan dari Amerika Serikat yang salah satunya Charles Sorensen untuk mengembangkan manajemen ala Taylor serta Ford. Barangkali hal ini juga yang membuat Soviet bisa menyaingi Amerika Serikat menjadi negara adikuasa pasca Perang Dunia II. Meski kita semua tahu bahwa di akhir abad ke-20 terjadi stagnasi ekonomi dan politik sejak Leonid Brezhnev menutup mata akan perubahan sehingga Uni Soviet beserta Blok Timur pun akhirnya kalah telak oleh Blok Barat.
Singkatnya, terlepas dari pro dan kontra ide Taylorisme ala Soviet serta kegagalan para penerusnya, pesan Nadezhda kiranya masih relevan untuk kita semua di Asia Tenggara yang hari ini masih terus memperjuangkan nasib pekerja lewat berbagai gerakan dan organisasi. Bahwa, hanya dengan bersatu dan profesional dalam berorganisasi, kelas pekerja akan mampu menentukan masa depannya sendiri. Karena, satu batang lidi tentu saja lebih mudah dipatahkan ketimbang sapu lidi.
Namun, organisasi seperti yang seperti dimaksud Nadezhda tidaklah dibangun hanya dari sekedar diksi-diksi dan teriakan revolusi, sebab hari ini kapitalisme bersama pion-pionnya berinovasi tanpa henti sementara kita semua punya perut untuk diisi dan perjuangan berdasarkan perencanaan kolektif tidak bisa berhenti.
Akhir kata, seiring dengan Hari Perempuan Sedunia 2021 izinkan saya mengucapkan panjang umur gerakan perempuan Indonesia. Sesuai dengan arti Nadezhda dalam bahasa Rusia yang berarti harapan, semoga dengan belajar darinya harapan untuk dunia yang lebih baik akan selalu ada untuk kaum perempuan pekerja.
Perempuan pekerja se-Indonesia, berorganisasilah!***