Foto: Barricades rue Saint-Maur à Paris pendant les journées insurrectionnelles de juin 1848/Fourth International
ANDA mungkin tak asing lagi dengan The Condition of the Working Class in England, Anti-Duhring atau Dialectics of Nature. Tapi, apa Anda mengenal judul seperti Prospects of a War of the Holy Alliance Against France dan Po and Rhine? Jika terdengar asing, faktanya tulisan tersebut dibuat oleh orang yang menulis Manifesto Komunis. Bukan Karl Marx, tapi Friedrich Engels. Kalau diperhatikan dari judulnya, kok gak ada marxis-marxisnya? Kok gak ada nuansa heroisme kelas pekerjanya sama sekali? Terang saja, buku-buku itu tidak bercerita soal pekerja, tapi tentang tentara. Lho bukannya Marxis itu cinta kemerdekaan, keadilan, dan kedamaian, anti perang, anti militerisme, kok Engels panutan kita menulis tentang kemiliteran dan peperangan? Wah gawat! Kalau begini, apa kita semua harus bersiap-siap bernyanyi serentak ‘Terpesona! Aku Terpesona!’ sambil rolling dan push up?
Tapi tunggu dulu, apa betul dengan mempelajari serta masuk ke dalam dunia kemiliteran seketika Anda berubah menjadi seorang prajurit Schutszstaffel, Hydra atau Stormtrooper? Belum tentu.
Lalu, apa sih yang Engels tulis tentang kemiliteran? Apa kira-kira hikmahnya? Untuk menjawabnya, kita perlu melihat kembali latar dunia ketika Engels hidup. Abad ke-18 dan 19 merupakan zaman berlangsungnya suatu peralihan besar dalam sejarah manusia. Perubahan besar tersebut ditandai dengan usangnya bentuk masyarakat feodal, lahirnya pemikiran pencerahan, bangkitnya ilmu pengetahuan, berkembangnya musik klasik, berseminya revolusi industri hingga serangkaian revolusi sosial di akhir abad 18 sampai pertengahan abad ke-19 yang diikuti oleh berbagai peperangan. Engels lahir pada 28 November 1820, di tahun yang sama ketika Royal Astronomical Society berdiri di London, HMS Beagle yang kelak berlayar bersama Charles Darwin baru diluncurkan, dan Robert Owen sedang menyusun eksperimen komunitas sosialisnya. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa Engels merupakan anak zaman yang sedang berada pada pusaran dinamika transisi perubahan bentuk masyarakat modern.
Ketika memasuki usia 20 tahun, sesuai dengan undang-undang Kerajaan Prusia, Engels dipanggil untuk mengikuti wajib militer. Setelah menyelesaikan ujiannya di Berlin, ia ditempatkan di kompi artileri pertahanan kota. Pada 1841, ia menjadi kadet dan tinggal di barak battalion Infantri Kedua Belas Artileri Kota, yang lokasinya hanya sejengkal dari Universitas Friedrich Wilhelm Berlin. Serangkaian revolusi benua Eropa yang meletus sejak 1848 mendorong Engels berangkat ke Elberfeld untuk bergabung pemberontakan dengan Komite Keamanan Publik. Di sana, ia mempersiapkan pertempuran dengan menginstruksikan pembangunan barikade, zeni perang, mengevaluasi kesiapan persenjataan, dan mengatur posisi pos-pos prajurit serta senjata pertahanan. Engels pun selanjutnya pergi ke Kaiserlautern atau Palatinate untuk berkontribusi dalam pertempuran bersama pasukan August Willich.
Di sinilah pertempuran antara para pemberontak dengan pasukan Prussia berlangsung sengit. Engels yang menjadi prajurit di barisan terdepan selama beberapa bulan akhirnya terpilih menjadi ajudan Willich. Meski bertugas sebagai ajudan, ia tetap ikut bekerja mencari serta mengumpulkan senjata, mesiu, peluru, hingga pakaian serta makanan. Sementara sembari bertugas melatih prajurit, Engels tidak pernah absen di garis terdepan dan pemberani di dalam pertempuran, setidaknya ini yang dicatat dari mereka yang pernah bertempur bersamanya. Hingga pada pertengahan Juli 1949, pasukan mereka dipukul mundur sampai ke perbatasan Swiss dan menjadi pasukan terakhir yang bertempur dalam revolusi di Jerman. Mundurnya pasukan ini pun menandakan babak terakhir dari revolusi 1848-1849 di Eropa. Tetapi, karena kekalahan itulah Engels justru menjadi semakin tertarik untuk menekuni dunia kemiliteran. Tak lama semenjak kembali ke London ia segera menelurkan beberapa karya penting tentang ketentaraan dan peperangan.
Dari beberapa karyanya, Prospects of a War of the Holy Alliance Against France merupakan salah satu tulisan soal kemiliteran yang menurut saya sangat menarik. Tulisan yang terbit pada tahun 1851 ini terbit ketika Prancis yang baru saja mengalami Revolusi 1848 terancam posisinya oleh negara-negara di sekitarnya yang berkoalisi satu sama lain untuk berusaha mengembalikan monarki di Prancis. Pasukan koalisi yang sering disebut dengan Holy Alliance atau Aliansi Suci ini digawangi oleh Russia, Prussia, Austria dan Negara-negara Konfederasi Jerman. Di awal tulisan, Engels membandingkan antara kondisi pasca Revolusi Prancis atau masa republik pertama tahun 1792 dengan Revolusi tahun 1848 di Eropa dan khususnya di Prancis. Lalu ia menceritakan bagaimana munculnya model perang modern yang jauh berbeda dari model peperangan yang pernah ada sebelumnya. Baru setelah itu ia juga membandingkan besaran serta kemampuan umum dari pasukan yang dimiliki Republik Prancis dengan pasukan koalisi dan kemungkinan terjadinya peperangan.
Sekilas tulisan sederhana ini hanya merupakan sebuah analisis kemiliteran saja, namun sesungguhnya memiliki beberapa pesan penting. Dalam bagian ketiga tulisan ini Engels membahas bahwa bentuk peperangan yang berlangsung saat itu merupakan bentuk perang modern warisan Napoleon Bonaparte yang lahir dari Revolusi Prancis. Perang modern itu sendiri bagi Engels dapat dikenali dari dua cirinya. Pertama, sistem penyerangan yang bersifat massal dengan kekuatan gabungan infantri, kavaleri, artileri, dan berbagai persenjataan. Kedua, mobilitas serta manuver cepat dari sistem penyerangan tersebut.
Engels kemudian menunjukkan bahwa untuk menjalankan peperangan modern, dibutuhkan persiapan logistik yang fleksibel, persenjataan yang mumpuni, pendidikan militer yang profesional, proses rekrutmen yang efisien, kedisiplinan, moral, dan, yang paling mendasar, bentuk masyarakat dengan sistem ekonomi politik yang modern. Ia menegaskan bahwa perang modern disyaratkan oleh bentuk masyarakat kapitalisme. Ia muncul semenjak Revolusi Prancis, suatu bentuk emansipasi politik yang didominasi oleh para borjuis dan petani. Perang modern adalah ekspresi militer dari bentuk emansipasi tersebut.
Engels menambahkan bahwa emansipasi proletariat pun kelak memiliki ekspresi militernya sendiri dan akan menciptakan model peperangan baru yang spesifik pula. Namun, melihat kondisi objektif ekonomi dan politik serta posisi proletariat kala itu, Engels melihat bahwa lompatan langsung ke bentuk tentara proletariat belum memungkinkan. Sehingga, seperti di dalam pertanyaan soal industri dalam revolusi proletariat, alih-alih menghapuskan permesinan, justru pekerja mesti mengembangkannya supaya menjadi lebih baik.
Oleh karena itu, menurut Engels, model terbaru peperangan kelas pekerja kelak tidaklah lahir dari ruang kosong, namun justru dari kondisi sosial yang nyata dengan warisan model peperangan sebelumnya yaitu peperangan modern itu sendiri. Engels belajar dari pengalaman kegagalan pertempuran dalam Revolusi 1848, bahwa sebuah pemberontakan atau perlawanan untuk revolusi tidak diperjuangkan hanya dengan heroisme, jargon dan diplomasi, namun juga taktik, strategi, dan senjata yang terisi.
Dari tulisan Engels ini kita dapat memetik tiga buah hikmah. Pertama, perkembangan kemiliteran layaknya setiap aspek di ranah suprastruktur, memiliki sebuah prasyarat yaitu perubahan di tatanan paling mendasar dalam mode produksi. Hal ini ia jelaskan lewat perang-perang yang terjadi sebelum dan sesudah Revolusi Prancis, khususnya di masa Napoleon Bonaparte. Bahwa sistem logistik, struktur pembagian kerja serta koordinasi, tekonologi, kedisiplinan, moral, dan pengetahuan di dalam bentuk masyarakat feodal tak memungkinkan peperangan berksala besar dengan kecepatan penuh layaknya peperangan modern. Melalui sistem kapitalisme yang diterapkan borjuasi inilah perang menjadi semakin terkoordinir, profesional dan dalam jumlah pasukan besar yang bergerak cepat. Ini dibuktikan dalam beberapa peperangan mulai dari Perang Napoleon (1803-1815), Perang Krimea (1853-1856), Perang Sipil Amerika (1861-1865), Perang Dunia I (1914-1918), dan Perang Dunia II (1939-1945).
Namun, meski kekuatan militer adalah produk dari tatanan basis dalam masyarakat, ia merupakan sebuah keniscayaan di dalam bentuk emansipasi sebuah kelas, khususnya kelas revolusioner. Sehingga, persoalan kemiliteran memiliki peranan pula dalam mengubah tatanan dan jalannya sejarah manusia. Kemampuan para jenderal dalam menentukan strategi serta pengambilan keputusan, lalu taktik dan aksi heroik para prajurit dalam medan perang secara tidak langsung dapat ikut menentukan perubahan besar dalam bentuk masyarakat. Buktinya bisa kita saksikan sendiri bagaimana peperangan yang dibawa Napoleon Bonaparte pada akhirnya membawa negara-negara di Eropa memeluk suatu bentuk masyarakat dengan sistem ekonominya yang paling modern yaitu kapitalisme. Kita juga bisa saksikan sendiri dari Revolusi Xinhai, Revolusi Oktober, Revolusi Kuba, Revolusi Nikaragua hingga perjuangan Viet Cong dan Zapatista yang mencoba mengubah bentuk masyarakat dan memenangkan perjuangan kelas lewat peperangan.
Kedua, cara berpikir materialisme dialektis dan historis sekali lagi terbukti dapat digunakan dalam menganalisis berbagai hal termasuk soal kemiliteran. Dalam karya kemiliterannya, Engels berangkat dari hal ihwal yang paling nyata dan paling menampak bukan untuk berhenti di sana dan mendeskripsikannya saja, namun justru membedahnya untuk mencari sebuah mekanisme yang mengondisikan bentuk-bentuk empiris tersebut. Hampir seperti Marx yang menemukan prinsip mekanisme sebuah masyarakat yang menganut sistem kapitalisme, Engels menemukan bagaimana masyarakat kapitalisme lewat kelas dominannya memiliki ekspresi yang tertentu di dalam ranah suprastruktur, salah satunya adalah aspek kemiliteran. Sebab, hanya bentuk masyarakat yang ditopang oleh produksi sarana hidup secara massal dan memiliki surplus produksi sajalah yang memungkinkan lahirnya bentuk perang modern.
Dengan demikian, ia mencapai kesimpulan bahwa perang modern, yang mencakup bentuk keprajuritan, persenjataan, strategi, taktik, hingga sistem logistik yang modern, adalah sebuah produk yang lahir dari rahim revolusi borjuis. Jika emansipasi borjuasi memiliki corak ekspresi kemiliterannya, begitu juga dengan proletariat yang kelak harus merevolusi tatanan. Namun corak kemiliteran proletariat tidak muncul dari masa lalu atau masa depan, namun dari perang modern yang eksis hari ini. Mengapa? Sebab sistem berperang yang relevan saat ini dan digunakan oleh angkatan bersenjata atau tentara reguler di setiap negara ialah sistem perang modern. Bahkan para pejuang Ejército Zapatista de Liberación Nacional (EZLN) di Chiapas dan Yekîneyên Parastina Gel (YPG) di Rojava pun juga menggunakannya untuk melawan dan memperjuangkan revolusinya.
Ketiga, mengingat kemiliteran adalah produk dari sebuah bentuk masyarakat tertentu, seperti halnya kebudayaan beserta produknya seperti hukum, agama, kesenian, dan ilmu pengetahuan, sifatnya bergantung kepada siapa yang mempergunakannya atau dengan kata lain siapa yang menguasainya. Maka kemiliteran sebagai alat dapat pula dipergunakan untuk kepentingan proletariat. Untuk kepentingan apa? Tentu saja saat ini kita belum sampai pada tahap latihan menembak atau melancarkan operasi militer menaklukan lawan, tetapi masih dalam kepentingan di tahap edukasi, agitasi dan oganisasi. Oleh karena itu, beberapa nilai dari dunia kemiliteran kiranya penting untuk dipinjam dan diinterpretasikan ulang. Bahkan, nilai-nilai tersebut cocok diterapkan dalam perjuangan kita saat ini, di antaranya kesiapan logistik, koordinasi, dan kedisplinan. Untuk ketiga aspek ini mungkin akan saya jelaskan relevansinya dalam kesempatan yang berbeda.
Dunia kemiliteran yang selama ini kita kenal mungkin penuh kekerasan dan kekejaman, namun tanpanya, hari ini Anda tidak mungkin bisa membaca tulisan saya lewat internet sambil mengantri di Transjakarta dan Anda tak mungkin bisa blast rapat kolektif lewat grup Whatsapp di tengah meeting kantor. Maka, alih-alih sekedar membenci dan menjauhinya, alangkah lebih menguntungkan jika kita belajar darinya. Bukan untuk menjadi seperti mereka namun jadi lebih baik dari mereka. Sama seperti kita yang mendaku anti terhadap kapitalisme. Bukan berarti kita menyangkal dan harus menjauh darinya, namun justru kita mesti mengenalnya dan menemukan celah untuk melampauinya. Peperangan dan kemiliteran merupakan bagian dari suprastruktur yang tak mungkin lepas dari bentuk masyarakat, cepat atau lambat walau tak dicari ia akan datang menghampiri. Dan jika tiba waktunya, kelas pekerja mesti siap mempertahankan diri lalu merebut kemenangan.
Akhir kata, lewat tulisannya kemiliterannya, Engels mengajak kita untuk berpikir rasional dan logis dalam kerangka materialisme dialektis-historis. Analisis militer Engels menjadi penting karena semenjak 200 tahun yang lalu sampai hari ini kita masih ‘berperang’ melawan musuh yang sama seperti yang dilawan oleh kelas pekerja di masa Marx dan Engels. Sebuah mekanisme kerja yang berkuasa menggerakan pion-pionnya untuk mengakumulasi kapital tanpa henti dan melanggengkan eksploitasi.
Dalam penutup bab ketiga dalam tulisannya di Prospects of a War of the Holy Alliance Against France, dengan Bahasa Prancis ia menulis ce seront alors les gros bataillons qui l’emporteront yang artinya dengan demikian, batalion besarlah yang akan menang. Maka hanya dengan bersatu, kelas pekerja membentuk batalionnya, maju tak akan gentar ketika harus berhadapan dengan lawannya dan meraih kemenangan. Di sini kita mesti ingat bahwa kemenangan diraih dengan perjuangan dan pengorbanan, kecuali Anda menganggap Mao Zedong, Fidel Castro dan Ho Chi Minh cuma tidur-tiduran sambil twitter-an seharian. Kemenangan dalam pertarungan memang penting, meski kita juga perlu mempertimbangkan kata-kata Master Sun Tzu berabad-abad lalu bahwa seni berperang tertinggi yaitu mengalahkan musuh tanpa bertarung.
Panjang umur Friedrich Engels.
Proletariat sedunia, belajarlah dari Engels!***