Ilustrasi: fsedar.org
PENGGUNAAN teknologi sebagai sarana untuk memajukan aktivitas dan program serikat buruh mulai kami lakukan bersama buruh Aice sejak 2017 ketika mereka baru saja bergabung dengan F-SEDAR. Saat itu buruh Aice memperjuangkan status kerja mereka agar menjadi pekerja tetap.
Kami mengorganisir 665 pekerja untuk membangun sebuah database (basis data) yang menyediakan informasi mengenai detail kontrak kerja, khususnya terkait dengan masa kerja buruh. Basis data ini digunakan sebagai sumber informasi dan dasar dalam memperjuangkan tuntutan buruh menjadi karyawan tetap. Kami menggunakan formulir online yang dapat diisi oleh buruh melalui ponsel masing-masing.
Saat itu perusahaan tidak memiliki data kontrak kerja untuk 665 pekerja karena persoalan manajemen. Data masa kerja yang kami kumpulkan digunakan oleh perusahaan sebagai dasar untuk membuat surat pengangkatan. Hasilnya, buruh yang bekerja sejak 2014 tetap terhitung masa kerjanya sejak awal. Dengan demikian, mereka tidak kehilangan nilai pesangon yang besarnya dihitung dari lamanya masa kerja. Inilah salah satu alasan pentingnya digitalisasi data dalam advokasi hak-hak buruh.
Dalam perkembangan perjuangan buruh Aice selanjutnya, pentingnya penggunaan teknologi digital semakin tampak jelas.
Perjuangan di Tahun 2020
Pada 2020, buruh Aice kembali berselisih dengan perusahaan. Kali ini untuk memperjuangkan upah dan kondisi kerja yang lebih baik. Penurunan upah dan kasus keguguran yang dialami oleh lebih dari 20 buruh menjadi pemicu utama. Setelah buruh diangkat menjadi karyawan tetap, beban kerja mereka bertambah karena mesin dioperasikan di atas standar audit. Jika sebelumnya demi meningkatkan hasil produksi diterapkan kebijakan lembur, kini lembur dapat ditiadakan. Upah buruh jadi menurun, sementara target semakin meningkat.
Buruh perempuan yang hamil juga harus menanggung perubahan ini. Mereka harus mengangkat beban berat dan mengikuti ritme kerja yang dipercepat seturut dengan kerja mesin. Cuti haid, cuti sakit dan cuti istirahat tahunan sangat sulit diambil, baik dari klinik yang disediakan perusahaan maupun dari klinik Faskes 1 BPJS. Bahkan perusahaan mengharuskan buruh perempuan untuk membuat pernyataan bahwa mereka tidak akan menuntut jika keinginan mereka untuk mendapatkan cuti melahirkan tidak dikabulkan.
Kesenjangan upah berdasarkan jabatan juga semakin memacu tuntutan buruh untuk meminta agar perusahaan memasukkan kinerja sebagai salah satu komponen upah, bukan hanya jabatan. Buruh juga memperselisihkan status pekerja kontrak, buruh outsourcing, kebocoran amoniak, dan penyakit yang diduga merupakan akibat kerja, seperti radang paru-paru dan hernia karena mengangkat beban berat.
Dalam usaha menyelesaikan masalah yang kompleks ini, buruh Aice mengajukan 21 tuntutan yang juga sekaligus menjadi rekomendasi dari perjuangan ini, termasuk mengenai hak konsumen atas es krim yang lebih higienis, untuk mengurangi keluhan radang dari konsumen dan sebagai bentuk tanggung jawab buruh terhadap masyarakat.
Perundingan-perundingan mengenai masalah upah, kondisi kerja, kasus buruh keguguran, buruh kontrak, dan buruh outsourcing, telah banyak dilakukan sejak 2019. Bahkan persoalan upah dan kondisi kerja telah dirundingkan sejak 2018, namun tetap saja tidak ada titik temu. Buruh juga telah melaporkan masalah ini ke Disnaker, Pengawasan, dan berbagai instansi pemerintah yang relevan. Namun, sampai dengan tulisan ini dibuat, buruh Aice menyaksikan sendiri bagaimana pemerintah cenderung berpihak pada pengusaha dan malah merekomendasikan agar buruh dipecat massal.
Pada 21 Februari 2020, buruh Aice akhirnya mengambil jalan keluar dengan melakukan pemogokan setelah dua tahun berusaha memperbaiki kondisi kerja. Sebelumnya, pada Desember 2019, buruh telah melakukan mogok, namun mereka bersedia masuk kerja kembali saat dipanggil dan bersedia berunding kembali. Hasilnya, perusahaan dinilai semakin arogan dengan memberikan surat peringatan dan pemecatan terhadap 72 pekerja sebagai kelanjutannya.
Di media sosial seperti Facebook, Twitter dan Instagram, buruh Aice meluncurkan kampanye dengan tagar #BoikotAice. Dengan segera, kampanye ini menjadi topik tren (trending topic) di Twitter dan dibicarakan belasan ribu kali. Isu ketidaksejahteraan buruh telah menciptakan sentimen negatif terhadap brand Aice, yang membuat konsumen kembali mempertimbangkan untuk mengonsumsi es krim Aice.
Kondisi pandemi Covid-19 pun membuat aksi mogok buruh di depan perusahaan menjadi semakin sulit mendapatkan izin. Belakangan, pemogokan buruh Aice dibubarkan dan kekhawatiran mengenai pandemi itu sendiri membuat buruh mau tak mau harus mencari cara lain. Pada 3 April 2020, buruh Aice melakukan aksi dengan menjaga jarak di depan perusahaan, yang menjadi salah satu aksi demonstrasi paling awal yang mengadaptasi protokol pandemic. Sementara itu, kampanye secara kolektif di media sosial, khususnya Twitter, menjadi semakin intens. Saat tulisan ini dibuat, tercatat kampanye buruh di Twitter telah menjadi topik tren sebanyak 13 kali.
Proses ini sesungguhnya menjadi pelajaran yang berharga bagi perjuangan buruh, setidaknya yang berada di sekitar lingkaran buruh Aice. Beberapa pelajaran yang bisa dipetik dari aksi protes ini antara lain adalah sebagai berikut:
Pertama, kampanye berbasis bukti. Sebelum kasus Aice dibawa ke hadapan publik, buruh telah melakukan serangkaian upaya untuk mengubah kondisi kerja secara internal. Dalam proses itulah mereka mengumpulkan bukti-bukti mengenai kondisi kerja. Buruh memiliki segunung berkas, ratusan testimoni dan kronologi, foto-foto, rekaman video maupun audio, yang kemudian digunakan menjadi dasar ketika menyusun pesan-pesan kampanye.
Kedua, kekompakan dalam melakukan posting di Twitter pada jam yang sama secara terkoordinir. Awalnya buruh Aice tidak mengetahui bahwa untuk menaikkan tagar, posting harus dilakukan serentak pada jam-jam yang sama. Mereka hanya melakukannya di waktu-waktu acak saja. Setelah mereka mengetahui caranya, jam bersama untuk mem-posting isu boikot Aice ditentukan. Biasanya buruh memilih hari dan jam di luar jam kerja atau masa ketika tidak banyak isu besar yang muncul, sehingga tagar lebih mudah dibangun dengan waktu luang yang cukup dan kompetisi yang lebih sedikit. Buruh juga menyesuaikan aksi ini dengan waktu kerja mereka yang baru. Kebanyakan dari mereka berdagang dan bekerja serabutan untuk mencari nafkah setelah dikenai PHK.
Ketiga, tagar kampanye berubah dari waktu ke waktu karena buruh menyadari tagar-tagar sebelumnya telah dilaporkan sebagai spam, sehingga lebih sulit untuk menjadi tren kembali di Twitter. Itulah mengapa setelah #BoikotAice, buruh mengganti tagar menjadi #JanganBeliEsKrimAice, #JanganMakanAice, #OgahBeliEsKrimAice, dan sebagainya. Ide ini datang dari buruh sendiri dalam sebuah rapat akbar yang dihadiri ratusan buruh. Seorang buruh maju mempersentasikan ide-idenya mengenai kampanye dan mengkoordinir kawan-kawannya untuk melakukan kampanye serentak.
Kampanye yang dilakukan oleh buruh Aice juga merupakan cerminan dari aktivitas perjuangan buruh yang nyata. Buruh Aice memiliki jadwal rapat akbar yang diatur secara reguler. Pada waktu pertemuan-pertemuan itulah mereka mengeluarkan ponsel masing-masing dan melakukan posting bersama, dan saling membagikan posting-an di antara mereka. Saat buruh berkumpul 100 atau 200 orang, mereka saling mendorong dan membantu satu sama lain untuk berkampanye. Di antara mereka telah terbangun jaringan pertemanan di media sosial Facebook dan grup chat, sehingga jalur komunikasi primer sudah terbangun sejak awal. Melihat pentingnya kampanye ini, buruh-buruh itu sendiri dengan sukarela membuat akun di media sosial jika mereka belum memiliki akun. Setiap orang hanya dibenarkan membuat satu akun untuk setiap media sosial. Oleh karena itu, kampanye buruh adalah refleksi dari gerakan yang nyata yang terjadi secara offline.
Belakangan, pengusaha melakukan transfer uang pisah secara sepihak ke rekening buruh. Lebih dari 200 buruh Aice telah mengembalikan uang tersebut ke rekening perusahaan. Sebagian mereka mem-posting bukti transfer pengembalian uang perusahaan di media sosial. Di antara mereka telah ada yang menyatakan akan berjuang sampai kapan pun meskipun akan menghabiskan puluhan tahun umur mereka, tanpa peduli apakah negara mengakui hak mereka atau tidak.
Buruh Aice vs BuzzeRp
Masifnya kampanye buruh Aice dijawab oleh Aice dengan meluncurkan kampanye #AiceBersamaIndonesia dengan melakukan aksi bagi-bagi es krim gratis dan alat pelindung diri (APD) untuk membantu mengatasi pandemi, dan dengan masif menggunakan selebgram, artis serta iklan di televisi. Aice juga bekerjasama dengan GP Ansor dan Banser untuk membagikan es krim serta APD kepada tenaga kesehatan.
Aice juga menggunakan media massa terkemuka seperti CNN, lewat berita dan iklan yang dibungkus dengan acara bincang-bincang (talkshow), serta wawancara dengan buruh dari perusahaan yang mengatakan bahwa kondisi buruh hamil baik-baik saja. Padahal sejumlah buruh yang masih bekerja di pabrik melaporkan kepada buruh pemogok bahwa kasus keguguran terus bertambah.
Yang lebih belakangan lagi, ‘BuzzeRp’ tampil menyerang akun-akun buruh dan aktivis serikat yang mengampanyekan boikot Aice. Pasukan buzzer dipimpin oleh akun-akun asli berpengikut belasan hingga ratusan ribu, namun akun-akun pengikutnya tidak memiliki identitas yang asli. Seringkali akun-akun tersebut tidak memiliki foto profil orang. Jika dicermati, lingkaran dan afiliasi politik mereka berada di sekitar para pendukung Jokowi.
Pola serangan ‘BuzzeRp’ ini beragam dalam hal cara dan isiannya. Dalam hal cara, mereka menggunakan cara yang halus maupun cara yang kasar. Dengan cara yang halus, mereka berusaha membangun argumentasi yang seolah masuk akal, bahwa buruh berada di pihak yang salah dan tak tahu diri. Dengan cara yang lebih kasar, mereka melancarkan makian, umpatan, dan kata-kata kasar ke buruh dan aktivis buruh, termasuk dengan melayangkan fitnah bahwa gerakan buruh adalah gerakan bayaran dan serikat buruh FSEDAR, di mana buruh berafiliasi, adalah organisasi penghisap keringat buruh.
Mereka menyerang berdasarkan sentimen-sentimen negatif yang sudah terbangun di kalangan kelas menengah Indonesia terhadap serikat buruh, tanpa mendalami, misalnya, bahwa di F-SEDAR belum ada kebijakan iuran bulanan dari serikat buruh anggotanya. Iuran anggota masih sepenuhnya dikelola oleh pengurus di tingkat perusahaan masing-masing. Selain itu, iuran anggota adalah hal yang normal dalam pembangunan serikat pekerja. F-SEDAR juga memiliki kebijakan resmi untuk tidak mengambil bagian dari pesangon anggota, tetapi diserahkan sepenuhnya kepada buruh anggota.
Dalam hal konten, ‘BuzzeRp’ Aice mempropagandakan bahwa tuduhan terhadap Aice adalah fitnah dan hoax yang dimainkan oleh kompetitor Aice. Sesekali mereka meneruskan pesan-pesan ke akun Twitter Kepolisian. Belakangan mereka juga kerap menyindir gerakan buruh yang tidak mengambil bentuk prosedur legal-formal, seperti ke pengadilan hubungan industrial. Apa yang buzzer Aice sampaikan berkesesuaian dengan keinginan pihak pengusaha Aice yang selama ini disampaikan kepada buruh.
Bagi buzzer pengusaha, buruh yang tidak percaya dengan pengadilan dan penegakan hukum di Indonesia bersalah. Mereka merepresentasikan diri sebagai pembela sistem hukum di Indonesia. Sistem tersebut digambarkan sebagai sistem yang seolah-olah dapat dipercaya, bertentangan dengan fakta berbagai kasus mal-administrasi, korupsi dan suap-menyuap yang melibatkan penegakan hukum di Indonesia.
Meskipun ‘BuzzeRp’ menyerang dengan umpatan kasar, buruh Aice umumnya tidak membalasnya dengan kata-kata kasar. Hal ini adalah bagian dari strategi untuk menghindari pasal ujaran kebencian UU ITE. Selain itu, upaya memberi penjelasan ke publik dianggap lebih penting daripada membalas ‘BuzzeRp’ dengan kata-kata kasar. Buruh semakin menyadari bahwa ‘BuzzeRp’ sedang memancing mereka untuk untuk melakukan kesalahan.
Apa yang membedakan buruh Aice dengan kelompok buzzer, meskipun gerakannya sama-sama terorganisir?
Pertama, gerakan buruh Aice adalah gerakan yang merepresentasikan kepentingannya sendiri. Mereka adalah korban sekaligus penyintas dari eksploitasi yang dilakukan oleh pengusaha Aice. Mereka membangun gerakan di media sosial secara sukarela berdasarkan kepentingannya sendiri, tidak seperti ‘BuzzeRp’ yang dibayar, yang dengan demikian merepresentasikan kepentingan pengguna jasanya. Beberapa bukti bahwa setelah pecahnya kampanye boikot Aice ada upaya rekrutmen buzzer, telah dilaporkan. Aice juga menggunakan jasa perusahaan humas untuk memulihkan citra positifnya.
Kedua, buzzer dalam gerakannya di media sosial menggunakan teknik ‘beternak akun’, yang semakin hari semakin masif. Akun-akun baru bermunculan di Twitter dan Facebook dengan keanehan. Misalnya, puluhan akun di Facebook tiba-tiba muncul, tidak memiliki foto profil yang asli dan foto profil diganti pada tanggal yang sama dan jam-jam berdekatan. Perilaku akun-akun ini kelihatan tidak organik dan tidak manusiawi.
Dalam hal ini, buzzer bisa disebut sebagai sampah demokrasi yang merusak prinsip dasar demokrasi, yakni “satu orang, satu suara” (one man, one vote). Dengan demikian, gerakan buzzer adalah gerakan yang tidak autentik karena mereka adalah gerakan yang dibayar dan seringkali akun-akun yang mereka gunakan hanyalah akun-akun palsu yang tidak merepresentasikan manusia yang nyata, tapi segelintir orang-orang kaya.
Pada akhirnya, buruh semakin menyadari bahwa akun-akun buzzer Aice adalah kelompok yang sama yang mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah, termasuk Omnibus Law, revisi UU KPK dan wacana vaksin berbayar. Buruh Aice yang sedang memperjuangkan hak-haknya menjadi semakin yakin bahwa pemerintahan Jokowi adalah representasi kaum pemodal dan semakin tidak bisa diandalkan untuk melindungi hak-hak buruh. Kesadaran ini tumbuh menjadi semakin politis karena mereka mendapat kesimpulan bahwa lembaga-lembaga negara yang seharusnya adil dan memihak buruh (karena secara hukum buruhlah yang benar), justru memihak pengusaha dengan interpretasi peraturan yang tidak konsisten.
Dengan demikian, belakangan ini kesadaran untuk turun ke jalan dan tidak hanya mengandalkan media sosial juga semakin terbangun dengan sendirinya. Sebagai upaya melawan terus-menerus, buruh Aice kini aktif melakukan aksi-aksi secara teratur di distributor-distributor Aice di berbagai kota. Belakangan mereka telah melancarkan aksi ke kantor pusat Aice di Jakarta, distributor Aice di Bandung, Kranji, Tambun dan Karawang. Aksi-aksi ini terus diupayakan secara reguler dengan menyasar titik-titik di dalam rantai distribusi es krim Aice sebagai bentuk aplikasi dari pengetahuan tentang rantai pasokan dalam sistem (pertukaran) kapitalisme.***
Sarinah adalah pegiat serikat buruh di F-SEDAR.