Foto: VOA Indonesia
SAYA punya seorang kenalan yang kesengsem dengan Adamas Belva Devara. Media sosialnya menjadi papan sanjungan setiap kali Belva diberitakan. Saking berlebihan pujian dari sang kenalan, saya kerap malu sendiri membacanya.
Dan tentu saja ia ada di pihak sang pujaan ketika Belva menjadi bulan-bulanan belum lama ini. Perusahaan Belva menjadi mitra program kartu prakerja yang kontroversial itu. Dan sisanya Anda sudah tahu, publik menghujat Belva. Fraksi-fraksi di DPR yang nampaknya tak kebagian kue juga ikut mencecarnya. Tak lama berselang, Belva mengundurkan diri dari jabatannya sebagai “staf khusus milenial”.
“Jangan menyerah, Mas,” ujar kenalan saya itu di unggahannya. “Biarkan yang lain berkomentar buruk tentangmu. Tetaplah berkarya untuk bangsa seperti yang sudah kamu lakukan selama ini.”
Saya meringis. Namun, seperti biasa, saya hanya menatap unggahannya. Tak banyak yang bisa dilakukan terhadap seseorang yang sudah memberhalakan satu sosok.
Saya paham kenalan saya bukan satu-satunya orang yang seperti itu. Manusia selalu mencari berhala. Pada “milenial inovator” seperti Belva itulah sebagian dari mereka menemukan berhala yang langka. Mereka mendapatkan sosok yang usianya belia namun kehadirannya sudah berdampak bagi sangat banyak orang. Temuan sosok-sosok ini, yang terasa cerdas dan canggih, mengubah kehidupan. Tak lupa, sosok-sosok ini kaya raya karena inovasinya.
Seorang guru besar ekonomi menyebut Gojek sebagai simbol perubahan, creative disruption, bagian dari proses alam memperbaiki kehidupan. Gojek menciptakan perubahan-perubahan yang mengharukan di masyarakat.
Andai Anda bisa melihat betapa meringisnya saya mendengar sanjungan yang terakhir.
***
Siapakah sesungguhnya para milenial istimewa ini? Saya akan memulai dengan satu kata: avatar.
Mereka adalah avatar kapital yang kini menyerbu sektor teknologi komunikasi. Yang paling istimewa dari mereka bukanlah pikiran inovatif melainkan nasib. Anda, pertama-tama, mesti tahu betapa menggiurkan—sekaligus tidak realistisnya—nilai saham perusahaan teknologi di AS hari-hari ini.
Minggu lalu dan pada Agustus silam, nilai saham yang tercatat di bursa Nasdaq merangkak naik. Ini benar-benar anomali. Indikator ekonomi AS belum memperlihatkan perbaikan berarti. Semua orang masih terperangkap di rumah dan kegiatan-kegiatan produktif belum dapat dimulai kembali lantaran pandemi. Siapa yang memimpin kenaikan saham ini? Perusahaan teknologi, dipimpin oleh Amazon yang eksekutifnya, Jeff Bezos, lebih kaya 48 miliar dolar AS sepanjang pandemi.
Potensi saham di perusahaan teknologi AS bukan cerita baru. Pertumbuhan valuasi saham seratus perusahaan teknologi AS di bursa Nasdaq dalam satu dekade terakhir saja mencapai tujuh kali lipat. Dan kalau Anda investor awal di Amazon dan Anda punya saham awal senilai setahun mengontrak di Yogyakarta, Anda bisa membeli rumah di daerah Menteng hari ini.
Apa yang dikerjakan perusahaan-perusahaan ini? Anna Wiener, yang empat tahun bekerja sebagai customer service di Silicon Valley, mencatat satu guyonan populer tentang apa yang dikerjakan perusahaan-perusahaan ini: mereka sekadar membungkus kembali komoditas barang dan jasa yang sudah lama ada.
Bos-bos dan para penyokong perusahaan-perusahaan teknologi tak suka guyonan itu—meski isinya benar belaka.
Rasanya, saya tak perlu panjang-lebar menjelaskan penerbit-penerbit sudah merambah berbagai kanal untuk berjualan sebelum Amazon lahir. Sebelum dirintisnya aplikasi pesan-antar makanan, penjual-penjual makanan sudah aktif menjajakan dagangannya. Penjualan tiket sudah dilakukan via berbagai agen meski kita belum mengenal platform penjual tiket.
Lalu apa yang dilakukan perusahaan-perusahaan teknologi? Mengepul penyedia komoditas barang atau jasa menjadi satu, menerapkan sistem koordinasi yang bukan cuma memudahkan kontrol tapi juga mengharuskan “mitranya” membanting harga dan bekerja nonstop. Mereka juga mendirikan satu ekosistem raksasa yang membuat “mitra” tak bisa hidup bila keluar darinya.
Namun, ketika perusahaan teknologi berhasil menampakkan bahwa platformnya dipakai masif, berkesinambungan, tak tergantikan, tak perlu membayar banyak-banyak pekerja, sahamnya akan divaluasi dengan luar biasa. Cukup dengan cara ini, para investor bisa mendapatkan kembali modal yang ditanamkannya berkali-kali lipat, sementara perusahaan tak perlu menghasilkan keuntungan spektakuler. Publik akan mengira ini bisnis potensial, baru muncul, tengah bertumbuh, dan … cuan. Mereka akan beramai-ramai memburu sahamnya.
Tapi, ada yang lucu dari sini. Tanyakan kepada analis mana pun: mereka tahu, nilai saham dari sektor teknologi divaluasi berlebihan. Apa sih yang tidak berlebihan dari bisnis yang nilainya melesat sementara semua aktivitas dilumpuhkan pandemi?
***
Dengan kisah sukses perusahaan-perusahaan teknologi melipatgandakan kapital seperti itu, tinggal persoalan waktu kapital meretas jalan untuk bisnis-bisnis teknologi pengepul jasa dan komoditas di negara-negara lain. Dan, percayalah, kapital tak mencari ide yang paling cemerlang atau sosok inovator yang andal.
Anda boleh tak percaya saya karena Anda menganggap saya kiri. Tapi Anda bisa percaya kutipan dari tulisan dalam Harvard Business Review ini. “Ada mitos bahwa para kapitalis ventura berinvestasi di sosok dan ide yang baik,” tandas sang penulis. “Kenyataannya, mereka berinvestasi di industri yang baik—industri yang kompetisinya lebih jinak.”
Saya sempat melihat bagaimana segelintir kolega bertransformasi dari mahasiswa yang baru lulus menjadi wajah depan startup yang paling diperhatikan di Indonesia. Mereka sama seperti saya dan Anda pada awalnya. Bedanya, mereka kenal dengan seorang patron, diminta olehnya mengajukan ide bisnis berbasis teknologi komunikasi yang sebenarnya bisa saja muncul dalam kepala saya dan Anda. Sang patron lantas mendanai seadanya. Mereka membentuk tim kecil, menyewa tempat sederhana, dan menjalankan platformnya yang masih dalam bentuk purwarupa.
Suatu hari, sang patron membawa mereka bertemu dengan investor besar. Presentasi mereka berhasil—entah karena kecemerlangan ide bisnis mereka, entah karena investor merupakan kenalan sang patron. Sekonyong-konyong, mereka harus mengelola uang yang berlimpah. Mereka bebas menghamburkannya asalkan tetap setia pada satu tujuan: menumbuhkan nilai perusahaan.
Setelah mendapat ekspos publik luas, mereka menjelma eksekutif yang kelihatannya memiliki kekuatan besar di usia yang masih belia. Perusahaan mereka diinstruksikan membakar uang sebanyak-banyaknya demi ekspansi—memberikan diskon sinting, menawarkan insentif kepada para “mitra” sebesar-besarnya, memborong prime time seluruh stasiun televisi. Mereka makin dikenal khalayak.
Para eksekutif ini tahu mereka harus tampil dengan meyakinkan dan menonjolkan kebeliaannya demi valuasi perusahaan. Dengan demikian, publik pun percaya perusahaan ini ialah bisnis masa depan.
Namun, apa yang terjadi jika mereka salah manuver, menimbulkan kontroversi, mengundang persepsi miring publik, dan terlihat membahayakan valuasi perusahaan? Mandor-mandor belia ini bisa dituntut mundur setiap saat.
Saya sedang membicarakan sedikit orang yang saya kenal. Tapi, kalau Anda simak pengakuan manajer ventura yang agresif memodali perusahaan-perusahaan teknologi di Indonesia, Anda akan tahu cerita yang barusan saya uraikan ini berlaku untuk yang lain-lain. Para kapitalis ventura tidak menghiraukan apakah perusahaan-perusahaan yang disokongnya akan untung atau tidak. Mereka tahu bisnis sedang dalam “burn mode”. Yang mereka pedulikan: perusahaan perlu terlihat berkembang pesat dan sahamnya terjual mahal saat dilepas ke publik atau pihak lain.
“Yang penting fokus sekarang adalah value creation,” ujar sang manajer.
Dari wawancara itu jelas belaka bahwa sang manajer tak membutuhkan ide bisnis yang brilian. Buat sang manajer, yang penting founder-nya jago. Jago seperti apa? Well, jago adalah kriteria yang sangat rentan disusupi bias hubungan pribadi, rekomendasi orang dekat, atau gelar MBA dari kampus-kampus prestisius.
Sudah jelas mengapa saya meringis ketika ada celetukan bahwa eksekutif-eksekutif belia startup besar adalah inovator yang berkarya untuk bangsa?
***
Saya masih bisa paham kalau anak-anak muda terinspirasi oleh para “inovator belia” ini. Namun, guru besar ekonomi? Kok bisa kena kibul-kibul? Ayolah.
Masalahnya, sesudah pesta pora valuasi bisnis mereka selesai, apa yang terjadi selanjutnya mengkhawatirkan. Yang menyesakkan adalah nasib para pelapak barang dan jasa di ekosistem startup. Pelanggan tidak akan sebanyak itu lagi mencari barang atau jasa transportasi dari luar platform daring mereka. “Mitra” toko-toko daring harus berjualan dengan margin setipis pembatas buku. “Mitra” platform ojek daring hanya bisa pasrah mendapati bonusnya terus berkurang dan harus bekerja lebih lama. Pun, kini mereka harus bersedia didisiplinkan algoritma dan tak punya posisi tawar di depan pengguna serta perusahaan. Pemecatan dari perusahaan berarti hilangnya penghidupan mereka.
Seperti yang sudah disinggung, bisnis-bisnis ini tidak menghasilkan komoditas barang dan jasanya sendiri. Terlepas dari pujian-pujian sang presiden, mereka tak berkontribusi banyak untuk pertumbuhan ekonomi. Malah, kalau preseden di AS benar, tumbuhnya bisnis-bisnis ini adalah sinyal yang menggusarkan. Preseden itu berbunyi: dalam satu dekade terakhir pertumbuhan produktivitas menurun, namun nilai saham, terutama perusahaan teknologi, naik dan terus naik.
Anda anggap saya terlalu sinis lantaran mendakwa para milenial inovator ini sebagai avatar kapital? Saya berhak melakukannya—dan semua berhak sinis terhadap mandor-mandor kecil ini. Semua berhak muak bila mendengar para milenial inovator mulai menyanjung diri sendiri dan bilang ingin merevolusi negerinya.
Belva bilang Ruang Guru ingin merevolusi pendidikan di Indonesia? Oh, pernyataan ini datang dari pihak yang kerja sejatinya cuma broker guru, mendorong guru-guru menawarkan jasa semurah-murahnya, dan memungut biaya yang cukup mahal serta mempersiapkan valuasi yang tinggi untuk perusahaan. Pun, tanpa kehadiran Ruang Guru, akan ada platform sejenis yang siap mengisi posisinya—bukan tidak mungkin dengan pungutan yang lebih ringan karena mereka tak menghabiskan uang untuk promosi gencar dan kopong makna.
Satu hal yang saya tahu pasti: visi tukang urut di dekat rumah saya masih jauh lebih baik ketimbang visi perusahaan semacam ini. Suatu hari, saya membawa badan saya yang letih untuk dipijat di tempatnya. Di dinding rumah saya mendapati pigura bertuliskan visi usahanya:
“Memberikan kebugaran untuk pelanggan kami.”
Reaksi awal saya adalah terhibur. Saya pikir tempat sebetulnya ini tak membutuhkan visi formal, tapi si tukang urut repot-repot membuatnya. Kini, setelah merenungkan kelakuan para inovator muda beserta bisnis mereka, saya sadar betapa lebih apiknya visi si tukang urut. Jauh lebih bagus ketimbang seribu slogan dan kata motivasi mandor-mandor milenial.
Tak ada kebohongan dalam impian “Memberikan kebugaran untuk pelanggan kami”. Ia menggambarkan sebenar-benarnya usaha yang dijalani si tukang urut—seseorang yang tidak mengklaim kerja orang lain sebagai kerjanya.***
Geger Riyanto, Mahasiswa Ph.D. Institut Antropologi Universitas Heidelberg