Ilustrasi: padasuka.sideka.id
SAAT ini, Indonesia merupakan salah satu dari sekian banyak negara yang kesulitan menghadapi pandemi Covid-19 dan dampak sosialnya. Jumlah korban dengan status positif yang semakin meningkat dan angka kematian tertinggi se-Asia Tenggara membuat warga semakin panik. Kepanikan ini pun berubah menjadi ketakutan akan ketidakpastian hidup di masa depan.
Penyebab dari keresahan ini, bukan hanya krisis kesehatan publik di masa pandemi, tetapi juga krisis sosio-ekonomi yang telah menghancurkan kehidupan rakyat selama beberapa bulan belakangan dan bahkan mungkin hingga beberapa tahun mendatang. Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Development Programme, UNDP) memperkirakan bahwa lebih dari 55% populasi dunia tidak memiliki akses terhadap perlindungan sosial, sehingga kerugian dari dampak pandemi ini akan berpengaruh ke seluruh lapisan masyarakat. Pandemi ini juga akan berdampak pada sektor pendidikan dan hak asasi manusia, serta dalam kasus yang lebih parah, ketahanan pangan dasar dan nutrisi.
Perlu diingat bahwa karakteristik krisis pangan sangat berbeda dengan krisis moneter. Krisis pangan dapat menciptakan kemiskinan jangka panjang. Kajian dari Overseas Development Institute, misalnya, mencatat bahwa krisis pangan dalam bentuk kenaikan harga pangan di sekitaran 2007-2008 menyebabkan peningkatan kesenjangan sosio-ekonomi, pendalaman kemiskinan di kelompok masyarakat miskin, dan malnutrisi terutama bagi anak-anak. Krisis pangan ini juga berpotensi menimbulkan pergolakan sosial-politik seperti kerusuhan sosial, perubahan rezim, perang saudara, dan lain sebagainya. Dalam berbagai skenario ini, rakyat pekerjalah yang akan menanggung beban paling berat.
Tetapi, di tengah ancaman krisis ini, respon dari pemerintah Indonesia sangatlah mengecewakan. Ancaman krisis pangan dunia, sebuah konsekuensi dari pandemi yang berkepanjangan, yang diumumkan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization, FAO) pada bulan April lalu, direspon oleh pemerintah Indonesia dengan menyusun program distribusi bantuan sosial (bansos) yang sifatnya karitatif. Dalam pidatonya pada tanggal 9 April lalu, Presiden Jokowi mengklaim bahwa pemerintah memprioritaskan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat dan meningkatkan daya beli masyarakat di lapisan bawah melalui pemberian bansos berupa sembako, uang tunai dan pembebasan tarif listrik rumah tangga serta insentif bagi calon tenaga kerja melalui kartu prakerja.
Celakanya, bantuan sosial tersebut, sebagaimana dapat kita prediksi, justru dijadikan komoditi politik bagi para elit menjelang pilkada. Beberapa kepala daerah, misalnya, memanfaatkan bantuan tersebut sebagai alat kampanye seperti meletakkan stiker wajahnya di hand sanitizer kemudian menyebarkan jargon-jargon murahan seperti “Beras dan Mie Terenak di Dunia.”Sementara itu, persoalan pokok bagi para petani di daerah pedesaan, termasuk di Bengkulu, seperti jatuhnya harga jual hasil pertanian dan meningkatnya jumlah masyarakat yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), tidak menjadi prioritas dan perhatian elit-elit politik oportunis tersebut.
Tragedi ini mengingatkan kita bahwa isu pangan dan jaminan sosial memang sejak dulu sampai kini selalu rentan dijadikan komoditi politik atau bahkan rente ekonomi alias sapi perahan bagi para politisi serta kalangan kapitalis birokrat yang menyokong mereka. Itulah sebabnya mengapa besarnya anggaran untuk pertanian dan ketahanan pangan tidak berdampak signifikan pada penguatan pangan rakyat. Alih-alih disalurkan kepada rakyat pedesaan terutama lapisan masyarakat yang paling membutuhkan, anggaran bansos justru rawan masuk ke kantong pribadi para elit oportunis tersebut. Oleh karena itu, tak heran apabila isu pangan dan bantuan sosial ini akan selalu diperebutkan oleh para politisi atau dijadikan pundi-pundi dana politik.
Selain itu, fokus yang berlebihan terhadap bansos akhirnya mengalihkan perhatian kita dari pokok persoalan yang dihadapi oleh masyarakat, yakni menurunnya daya beli masyarakat kelas bawah dan terbatasnya akses terhadap sumber-sumber pangan. Hal ini disebabkan oleh hilangannya pekerjaan atau PHK serta beralihnya fungsi kawasan hutan menjadi lahan-lahan industri ekstraktif skala besar melalui perampasan lahan (land grabbing).
Di masa pandemi Covid-19 ini, kekurangan akses terhadap sumber-sumber pangan akhirnya menyebabkan kepanikan alias panic buying dan penimbunan bahan makanan. Menurut Steven Taylor, professor dan psikolog klinis di University of British Columbia,perilaku tersebut didorong oleh kecemasan dan keinginan untuk berusaha keras menghentikan ketakutan tersebut. Perilaku ini dianggap wajar oleh beberapa ahli psikologi karena hal ini merupakan respon kekhawatiran publik dan sebagai upaya penyelamatan diri. Namun, dampak terburuk akibat panic buying ini adalah terjadinya kelangkaan barang yang disebabkan ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran. Ini berujung pada kenaikan harga-harga sembako yang kemudian semakin memberatkan rakyat pekerja.
Naiknya harga-harga sembako inilah yang kemudian paling menyengsarakan masyarakat di pedesaan. Inilah yang saya temukan dalam wawancara saya dengan beberapa petani yang ada di desa-desa di Kabupaten Kepahiang dan Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu. Narasumber saya menyatakan bahwa kondisi masyarakat desa saat ini semakin lama semakin mengkhawatirkan. Kekhawatiran ini bukan hanya mencakup persoalan kesehatan, tetapi juga menyoal kelaparan. Sebagai contoh, Ibu Supriyanti, Kepala Desa Bandung Jaya, mengatakan bahwa harga-harga sembako perlahan naik, tapi harga jual komoditi pertanian palawija seperti cabe, tomat, kol, sawi, dan banyak lainnya menurun. Misalnya, sebelum awal pekan Maret 2020, harga cabe dalam kondisi normal adalah Rp 60.000/kg. Namun dalam pandemi ini, harga jual cabe turun menjadi hanya Rp 5.000/kg atau hanya 8,3% dari harga jual dalam kondisi normal. Pada umumnya, kenaikan harga cabe pada situasi tertentu bisa naik hingga 100% dari harga normal, misalnya seperti saat menuju puasa dan lebaran. Begitu juga dengan tanaman lain seperti tomat yang harganya menjadi Rp 500,-/kg dari harga normal yakni Rp 6.000/kg, harga bawang daun yang turun dari Rp 10.000 menjadi Rp 4.000/kg. Akibatnya, pendapatan petani dan daya beli masyarakat pun menurun. Akhirnya, untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, masyarakat menanam apapun tanaman yang bisa dijual serta memetik apapun dari hutan. Di desa Bandung Jaya misalnya, petani akhirnya menjual jamur, jantung pisang dan umbut, umbi-umbian yang mereka pungut dari hutan.
Selain petani palawija dan sayuran, petani kopi juga mengalami kerugian. Harga jual beras kopi (greenbean) turun dari Rp 21.000 perkilogram menjadi Rp 15.000/kg – Rp 16.000/kg. Sejak pandemi Covid-19, permintaan pasar terhadap kopi menurun. Hal ini terjadi akibat pembatasan dan bahkan penutupan jalur distribusi komoditi kopi ke luar daerah serta berkurangnya konsumsi kopi pada saat bulan puasa. Sehingga, aktivitas produksi kopi di desa juga mengalami penurunan. Akhirnya, kopi-kopi yang diproduksi di desa hanya diproduksi dan dikonsumsi oleh masyarakat desa. Konsekuensinya, tidak banyak tenaga kerja yang diperlukan untuk menjalankan proses produksi kopi. Para pemilik mesin kopi (huller) dan gudang serta pedagang pengumpul (toke) terpaksa tidak memperkerjaan banyak orang lagi untuk memproduksi kopinya serta tidak membeli ataupun menerima hasil produksi kopi yang berlebih.
Tetapi, ada juga kelompok masyarakat pedesaan lain di Bengkulu yang lebih siap menghadapi pandemi. Misalnya desa-desa di daerah Topos, Kabupaten Lebong. Kondisi petani dan pertanian di desa-desa ini berbeda dengan kondisi di Bandung Jaya. Bisa dikatakan bahwa pandemi ini hampir tidak berpengaruh terhadap aktivitas pertanian dan ekonomi petani di desa Topos. Padahal, jika dilihat dari tutupan lahan dan pola pertaniannya, petani di desa-desa tersebut sama-sama menerapkan sistem agroforestri dan multicrops, yang berarti bahwa pertanian mereka tidak hanya bergantung pada satu jenis komoditi saja.
Salah satu tokoh pemuda desa Topos yang saya wawancarai beberapa waktu lalu menyampaikan bahwa pada dasarnya sistem ekonomi masyarakat daerah Topos adalah semi terbuka. Artinya, selama ini masyarakat daerah Topos secara bebas melakukan aktivitas perdagangan dan berinteraksi langsung dengan orang atau institusi di luar desa, baik secara individual, kelompok, maupun desa secara keseluruhan. Di sisi lain, masyarakat Topos juga dapat mengandalkan produksi barang/komoditi dan jasa dari dalam desa mereka sendiri. Hampir sebagian besar produk komoditi dan jasa yang dihasilkan hanya dijual atau ditukar disekitaran desa. Dalam sistem ekonomi semi terbuka ini, kegiatan masyarakat baik individu maupun kelompok hanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Mereka bertindak sebagai produsen sekaligus konsumen yang masih menggunakan barang, komoditi, dan jasa produksi mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Jika dilihat dari pola perekonomiannya, orientasi ekonomi masyarakat desa Topos masih terpengaruh oleh prinsip-prinsip ekonomi kolektif berdasarkan rules of common property. Dalam praktiknya, ini berarti semua aktivitas produksi, konsumsi dan distribusi ditetapkan serta diatur seluruhnya oleh dan dari keluarga serta anggotanya sendiri. Hasilnya, tidak ada monopoli komoditi dan setiap orang dapat memperoleh manfaat dan pendapatan tanpa merugikan pihak lain.
Sebagai contoh, komoditi yang masih dikelola secara kolektif oleh masing-masing keluarga di daerah Topos adalah padi. Setiap keluarga/klan di daerah Topos memiliki lahan sawah yang masih produktif hingga sekarang. Pengelolaan padi diatas pematang hingga di mulut huller atau gudang-gudang penggilingan padi di desa dilakukan secara kolektif. Misalnya, untuk memanen padi sawah keluarga A, maka anggota keluarga klan lainnya membantu proses panen tersebut. Setiap anggota yang membantu akan mendapatkan jatah padi masing-masing maksimal sepertiga dari total panen, yang dapat disesuaikan dengan jumlah anggota yang membantu.
Bukan hanya orang-orang yang membantu proses panen saja yang mencicip hasil panen tersebut, relasi produksi ini masih berlanjut hingga padi tersebut menjadi beras. Pemilik padi biasanya menggiling padi tersebut di gudang penggilingan atau mesin huller. Dari proses penggilingan tersebut, pemilik gudang juga dapat mencicipi hasil panen dengan mengumpulkan sisa-sisa penggilingan, bukan dari upah pembayaran jasa.
Seorang warga Topos menyatakan bahwa selain menerapkan prisip ekonomi kolektif, masyarakat daerah Topos juga dapat mengendalikan proses penjualan dan penyimpanan komoditi hasil produksi mereka sendiri. Mereka mampu memprediksi harga pasar sehingga mereka bisa menyimpan dan menjual komoditinya kapan pun mereka mau. Mode produksi rumah tangganya juga didasarkan pada konsep saling membantu (mutual help), sehingga jika ada keluarga atau masyarakat desa yang ‘tidak makan,’ masyarakat satu desa akan tahu dan tidak akan membiarkan yang lain kelaparan.
Dengan menerapkan prinsip ekonomi kolektif dan sistem yang semi terbuka, masyarakat dapat memperoleh utilitas yang tidak berkurang sepanjang waktu. Mereka tidak menjadi rentan karena tekanan tekanan dari luar. Mereka tidak tergantung pada bantuan dan dukungan luar. Kemudian, mereka juga berhasil mempertahankan produktivitas jangka panjang dari sumber daya alam mereka. Terakhir dan yang tidak kalah penting, mereka tidak merugikan penghidupan sesama warga desa.
Kembali ke persoalan krisis pangan di tingkat nasional, adalah wajar jika pemerintah panik ketika mendengar seruan FAO bahwa pandemi Covid-19 bisa menimbulkan krisis pangan dunia, sebab Indonesia masih merupakan negara ke-3 di dunia yang memiliki ketergantungan yang cukup tinggi terhadap beberapa komoditi pangan global. Sementara pemerintah juga tidak memiliki strategi perlindungan sosial yang mumpuni bagi rakyatnya untuk menghadapi krisis seperti sekarang ini.
Dalam kondisi keterpurukan seperti ini, pemerintah malah gencar mengundang pemilik modal untuk berinvestasi dibidang agroindustri dan infrastruktur dengan dalih pengentasan kemiskinan. Strategi ini tentu tidak tepat sasaran untuk menghadapi kondisi krisis pangan dan sosio-ekonomi bagi masyarakat pedesaan di Indonesia. Pelajaran dari Bengkulu seharusnya dapat menjadi acuan bagi pemerintah dan juga kalangan gerakan sosial. Saya menyaksikan bagaimana kekuatan pasar yang tidak terbendung dan kerentanan sistem pangan yang ada sekarang ini menghasilkan dampak yang negatif bagi sejumlah desa di Kabupaten Kepahiang dan Kabupaten Rejang Lebong. Tetapi, di tiap krisis, selalu ada kesempatan untuk bertahan dan bahkan memukul balik. Dari daerah Tapos misalnya, saya juga menyaksikan bagaimana warga desa dapat bertahan hidup dari aksi-aksi ekonomi kolektif mereka. Cerita-cerita dari lapangan ini bukan hanya dapat menjadi masukan bagi pemerintah dalam pembuatan kebijakan pangan yang diharapkan akan lebih baik dalam konteks pandemi, tetapi juga inspirasi untuk bertindak bagi kalangan gerakan sosial dan komunitas-komunitas rakyat yang terus berinovasi dan berlawan***
Penulis adalah peneliti di Akar Foundation, Bengkulu.