Illustrasi: Illustruth
APA yang bakal terjadi pada bulan April 2020? Godzilla mencuat dari laut dan menggilas dunia? Komputer memberontak dan memerangi umat manusia? Denny JA meluncurkan buku puisi baru lengkap dengan klaim-klaim maha spektakulernya?
Anda akan dimaafkan bila berimajinasi demikian, Kamrad. Tahun 2020 baru dimulai, tapi sudah bikin lelah. Kian kemari, keadaan hanya kian suram. Januari 2020, krisis iklim memamerkan tajinya lewat banjir hebat di sejumlah kota Indonesia dan kebakaran hebat di Australia. Februari 2020, RUU Cilaka diserahkan pemerintah kepada DPR. Isinya? Segenap peraturan terburuk yang bisa dibayangkan pekerja, media, pegiat lingkungan.
Dan kini, Maret 2020, masih perlukah saya menggambarkan bagaimana Covid-19 melumpuhkan masyarakat modern yang berbangga hati? Anda tidak bisa sembarangan bergerak. Anda bahkan tidak bisa sembarangan diam. Anda dapat tertular. Anda dapat menularkannya—yang lebih menakutkan, ke orang tua, kerabat, atau sahabat yang berisiko fatal bila terjangkit. Daftar menjengkelkan yang membuktikan 2010-2019 adalah dekade yang kalah jancuk hanya oleh tiga bulan awal dekade ini.
Jadi, apa yang akan terjadi pada beberapa waktu mendatang? Selagi Anda jemu—atau malah mencak-mencak—karena tak berkutik melakukan apa pun, izinkan saya memproyeksikan sejumlah skenario yang mungkin terjadi.
Peringatan: humor gelap menanti di hadapan Anda.
Seremoni, seremoni, seremoni
Hikmah dari serangkaian peristiwa yang terjadi belakangan ialah kita jadi makin yakin bagaimana pejabat-pejabat kita dipilih. Para boomer di tampuk pemerintahan bukan tidak mungkin memilih sohib-sohib main caturnya untuk memimpin berbagai instansi paling strategis di Indonesia.
“Aku tidak tahu apa-apa tentang kesehatan publik, Bro. Nanti bagaimana kalau tiba-tiba ada wabah besar?”
“Sudah. Tenang saja, Bro. Tidak mungkinlah sampai ada wabah-wabahan. Kita cuma perlu nama. Kita cuma perlu mengawasi kelancaran investasi buat pembangunan. Tiap instansi sudah punya SOP, pejabat-pejabat eselon atas dan staf-staf mumpuni yang sanggup mengatasi masalah kalau muncul.”
Mungkin pembicaraan semacam yang mengambil tempat sebelum bapak-bapak itu dipanggil ke istana dengan kemeja putih, berjalan sok gagah tapi canggung dan melambai-lambai sumringah di hadapan para wartawan.
Namun, satu hal fatal luput dari asumsi mereka: nyaris tidak ada birokrasi di dunia yang siap menghadapi pandemi. Lebih-lebih, birokrasi yang mereka pimpin adalah tatanan warisan daripada Suharto—gemuk, berorientasi memperkerjakan sebanyak-banyaknya orang, wabilkhusus sanak saudara pejabatnya, strukturnya dirumit-rumitkan dan tidak tahu mau berkoordinasi ke mana bila masalah benar-benar terjadi.
Sudahkah Anda mendengar Presiden tidak mendapatkan laporan kasus pertama dan kedua Covid-19 di Indonesia dari Menteri Kesehatan? Dan Kementerian Kesehatan meminta Pemerintah Kota Depok menutup informasi kasus tersebut sementara Presiden mengumumkannya sendiri?
Menkes mungkin kini sudah insaf betapa konyolnya seremoni merayakan beberapa pasien Covid-19 yang sembuh tempo hari—yang ironisnya mengabaikan imbauan tidak mengumpulkan orang dalam jumlah banyak. Namun, dengan ketidakberdayaan bergerak cepat lantaran birokrasi yang lelet dan rumit, citra pemerintahan yang sudah di ujung tanduk lantaran kebebalan berbulan-bulan, kita masih akan disajikan dengan upacara-upacara untuk memperlihatkan pemerintah sedang bertindak.
Kisah inspiratif balita yang sembuh dari Covid-19, kawan-kawan? Impor pil yang membantu meredakan gejala tapi dengan gegabah diklaim menyembuhkan pasien Corona?
2020, beberapa tahun sebelum 1984?
Jokowi orang baik adalah klise. Mari kita blak-blakan saja: Jokowi adalah orang yang tak sungkan memberdayakan militer untuk memuluskan ambisinya. Rekam jejaknya melibatkan militer itu menjadikan SBY, seorang pensiunan Jenderal TNI, tiba-tiba terlihat seperti presiden yang menjunjung tinggi cita-cita Reformasi di masa jabatannya.
Kini, seiring ia kian kehilangan kendali, tak mengada-ngada bila kita berpikir Presiden akan mengerahkan militer untuk menangani Covid-19. Dan tidak, ia tidak akan semata menggunakannya untuk membantu personel kesehatan membuka rumah sakit darurat, mengangkut obat-obatan dan peralatan medis.
Coba bayangkan skenario-skenario terburuk yang bisa Anda andaikan. Puluhan ribu personel diturunkan untuk menciduk satu-persatu orang yang menunjukkan gejala Covid-19, membariskan mereka seperti bebek menuju kandang, mengarantinanya tanpa ba-bi-bu? Setiap pembicaraan telepon genggam disadap dan siapa pun yang getol membicarakan Covid-19 akan dijemput?
Saya bilang, mungkin.
Presedennya sudah ada: Benyamin Netanyahu. Pada 17 Maret 2020, ia dijadwalkan untuk disidang atas dakwaan korupsi. Ia mengeluarkan dekrit keadaan darurat. Kekuasaan yudisial dan parlemen disunat dan menyebabkannya tidak dapat disidang. Landasan dekritnya? Wabah Covid-19. Netanyahu ingin mencegah wabah ini berjangkit kian tak terkendali di Israel. Langkah selanjutnya: Netanyahu menginstruksikan badan intelijen Israel untuk melacak telepon dan memantau mereka yang dicurigai terjangkit Covid-19.
Dan sialnya, bila kebijakan semacam dicanangkan di Indonesia, saya tak tahu kritik apa yang sah ditujukan kepadanya. Kata-kata saya akan ditembak jatuh oleh buzzerRp dan netizen—dan seketika dalih demi kesehatan orang banyak diangkat. Kata-kata saya bahkan akan dilucuti oleh pikiran otoriter yang bersemayam dalam diri saya sendiri, yang tidak percaya khalayak bisa mengatur dirinya untuk meredam persebaran virus Covid-19.
Dan dengan potensi berlarut-larutnya urusan kita dengan Covid-19 (ada yang bilang bisa sampai dua tahun), siapa yang tidak khawatir 2020 ialah langkah pertama kita mundur ke 1984?
Dekrit Presiden Joko Widodo 2020. Saya sudah bisa membayangkannya tertulis di buku sejarah terbitan 2024.
Darwinisme merajalela
Jokowi pernah bilang pariwisata adalah panglima. Tidak. Dia tidak bilang seperti itu persisnya tapi Anda mengerti maksud saya. Kita terdampar di kegentingan ini tak lepas dari obsesi vulgar Presiden dengan pertumbuhan ekonomi.
Sikapnya nampak berubah 180 derajat hari ini. Pikirannya nampaknya terpagut penuh oleh Covid-19. Pertumbuhan ekonomi dikoreksi. Anggaran negara akan direalokasi. “Saya akan kerahkan semua kekuatan hadapi Corona,” ujarnya.
Pertanyaan saya sederhana. Apa yang terjadi bila kita harus berurusan dengan Covid-19 selama dua tahun atau lebih? Sepanjang bertahun-tahun, kehidupan masyarakat mandek. Perekonomian terjun bebas dan, lantas, tak bergerak. Sikap “visioner” pemerintah Inggris memberikan kita petunjuk apa yang mungkin dilakukan negara-negara di hari-hari semacam itu (dan, ya, saya menggunakan idiom “visioner” secara sarkastis).
Saat membela keputusan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson untuk tidak meliburkan sekolah dan melarang orang berkumpul, Sir Patrick Vallance, kepala penasihat keilmuan pemerintah, menegaskan: enam puluh persen penduduk perlu terjangkit dengan virus Covid-19. “Masyarakat [dengan demikian] akan kebal dengannya dan langkah ini penting untuk mengendalikan penyakit bersangkutan di masa datang,” tandasnya.
Pendapat Sir Patrick, yang berangkat dari teori imunitas kawanan, terdengar masuk akal. Bila tubuh mengembangkan kekebalan pascainfeksi Covid-19, apa salahnya semua ditularkan dengan virus ini selekasnya? Denyut kehidupan masyarakat akan pulih lebih cepat. Orang-orang segera dapat beraktivitas seperti sediakala. Negara akan mengunyah pertumbuhan ekonomi yang dibutuhkannya lagi.
Sayangnya, jiwa jutaan orang pun terancam dengan langkah ini. Belum lagi bila teori kita hanya bisa terinfeksi Covid-19 sekali seumur hidup ternyata keliru.
Kebijakan kontroversial tersebut akhirnya tak dilansir pemerintah Inggris. Namun akan ada harinya, saya khawatir, di mana kebijakan tersebut menjadi masuk akal bagi negara-negara yang putus asa. Akan ada harinya di mana wabah Covid-19 sudah berlarut-larut tapi tetap tidak terlihat ujungnya, hari di mana keterpurukan ekonomi tak tertahankan lagi dan pemerintah memaksa warganya kembali bekerja, berkerumun, berlalu lalang, apa pun risikonya.
“Ayo, ayo, jangan diam terus di rumah! Kembali bekerja dan beraktivitas! Kalau kalian bertahan hidup, kalian jadi duta imunitas Korona bangsa ini!”
Saya merasa dapat membayangkan kata-kata di atas didengungkan para pejabat kita di masa depan yang tak jauh.
***
Apakah saya terlalu imajinatif? Jujur saja, saya pun berharap demikian. Namun, dengan hari-hari yang kian kemari kian tidak masuk akal, saya bahkan merasa bersyukur saya tak menemukan diri saya bermetamorfosis menjadi serangga ketika bangun di pagi hari. Seorang kawan bilang, 2020 adalah naskah karangan Franz Kafka yang belum sempat diterbitkan. Saya takut, dia benar.
Jadi, apa yang bakal terjadi pada bulan April 2020, Kamrad?***
Geger Riyanto, Mahasiswa Ph.D. Institut Antropologi Universitas Heidelberg