Illustrasi: Illustruth
ANDA tak perlu menjadi aktivis buruh atau penggetol teori kiri untuk tahu RUU Cipta Lapangan Kerja benar-benar cilaka. Yang Anda perlukan cukup membaca memoar jenaka yang sempat laris manis berjudul My Stupid Boss.
Ya, saya serius. Saya sudah sarapan. Saya tidak sedang mabuk dengan bir Heidelberg yang sepat itu. Saya langsung bagikan saja satu kisah yang diceritakan penulisnya. Sosok sentral memoar ini bernama Bossman (seorang bos, tentu saja). Sang penulis adalah keraninya dan selalu mengidentifikasi diri sebagai kerani. Suatu hari, Bossman, didampingi sang kerani dan seorang pekerja lain, pergi ke kantor imigrasi. Ia berniat membayar asuransi pekerja. Sesampainya di tempat, Bossman naik ke kantor imigrasi sendirian dan meminta kedua pekerjanya menunggu di bawah.
Beberapa saat berselang, Bossman turun dengan wajah kusam. Ia mengeluh. “Nggak dikasih.”
“Memang Bapak minta apa?” tanya keraninya.
“Minta diskon.”
Anda tidak salah baca. Bossman meminta diskon untuk asuransi pekerja yang harganya sudah ditetapkan persis oleh pemerintah. Dan Bossman tidak menyerah. Sang kerani, yang sudah mati-matian menahan agar tidak menepuk jidat di depannya, dimintanya untuk menggantikannya naik dan menawar asuransi. “Buat apa?” tanyanya. “Bapak kan tadi sudah tanya.”
“Iya, siapa tahu kalau kamu yang tanya mereka kasih,” balasnya.
Sang kerani yang jengkel terpaksa naik ke kantor imigrasi. Ia tak menanyakan para petugas. Ia sudah tahu jawabannya dan terlalu malu untuk melakukannya. “Tidak dikasih!” ujar sang kerani kepada Bossman ketika turun.
“Tidak dikasih juga ya?” balas sang bos. “Ya sudah, kalau begitu sekarang Mr. Kho [pekerja yang lain] naik dan tanya. Siapa tahu kalau sama kakek-kakek mereka kasihan dan dikasih.”
***
Apakah absurditas spektakuler Bossman di atas mustahil? Tidak. Saya berurusan dengan sejumlah Bossman. Absurditas barusan sama sekali tidak mustahil.
Begitu pun ketika Bossman dalam cerita kerani meminta pekerjanya untuk membuat mur sendiri. Kerani mengingatkan, waktu yang akan dihabiskan sang pekerja lebih merugikan ketimbang memesan dari penyuplai. “Buat apa pesan?” tanya balik Bossman. “Supplier-nya temen kamu ya?”
Atau ketika pada kesempatan lain, seorang pekerja datang terlambat. Ia menjadi sasaran kemarahan Bossman. Kerani mencoba membelanya karena hari itu hujan deras, macet serta banjir di mana-mana, dan rumah sang pekerja paling jauh dibandingkan yang lain. Semua pekerja lain juga telat, ujar Kerani kepada Bossman.
Tiba-tiba, Bossman meminta sang kerani memanggil semua pekerjanya.
“Kalian semua tahu?” ujar Bossman ke semua pekerja setelah mereka terkumpul. “Setiap menit yang kalian punya dari jam delapan sampai jam lima itu dibayar.”
“Siapa yang bayar?” tanyanya lagi.
Tidak ada yang menjawab. Ia menanyakan kepada pekerjanya satu-persatu. Mereka menjawab dengan perlahan dan terintimidasi. “Encik Bos,” jawab salah satunya.
“Kalian semua… potong gaji.”
Ketika para pekerja marah mendengarnya, Bossman kontan mendiamkan mereka dengan bilang mereka tak seharusnya memprotes dirinya. Mereka perlu menyalahkan Kerani. Kerani yang memberitahukan kepada Bossman mereka semua terlambat. Kerani pun dihunjami dengan tatapan berhawa kebencian dari rekan-rekannya.
Semua paparan kerani beresonansi dengan kenyataan kita. Tak sedikit yang mempertanyakan apakah tokoh Bossman benar-benar nyata. Nyata atau tidak, riuhnya tanggapan terhadap memoarnya adalah bukti faktualitasnya: kita berurusan dengan orang-orang semacam Bossman. Kita mudah terhubung dengan gambaran-gambarannya.
Kini, untuk menyambangi rasa penasaran Anda yang mungkin sudah memuncak, mengapa saya bilang memoar ini penting untuk menginsafkan Anda atau teman Anda bahaya RUU Cilaka?
Ada seratus dua puluh tujuh anggota Satgas RUU Cilaka yang bertugas menginventarisasi permasalahan dan memberi masukan guna perumusannya. Enam belas dari antaranya pengurus Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. Dua puluh dua anggota ketua asosiasi bisnis. Kepalanya, Ketua Umum Kadin. Inisiatornya? Menteri yang jumlah jabatan direksi dan komisarisnya lebih panjang dari riwayat kepanitiaan Anda dan, lagi-lagi, Kadin.
Anda tidak tahu apa yang terjadi di dalam rapat-rapat Satgas ini. Kementerian yang bertanggung jawab dalam perumusannya tak ayal kekasih yang bermain serong ketika ditagih transparansinya. Tapi, Anda seharusnya bisa membayangkan apa yang akan dibicarakan oleh sosok semacam Bossman bila mereka bertemu satu sama lain dan di tangan mereka tergenggam kuasa menentukan bagaimana hubungan industrial akan diatur di negara ini.
Saya setidaknya dapat membayangkannya:
“Soal asuransi ketenagakerjaan bagaimana? Kemarin saya minta diskon nggak bisa. Aturannya dikendorin dong biar kita, pengusaha, nggak tekor,” usul Bossman A.
“Oh iya, benar,” timpal Bossman B. “Pekerja saya juga banyak yang sedikit-sedikit sakit mentang-mentang punya asuransi. Padahal mereka sehat-sehat saja saya lihat. Tambahin di draf, Mbak Notulen. Tinjau… asuransi kesehatan…”
“Terus, jam kerja,” Bossman C menambahkan. “Masak saya datang ke kantor sudah tidak ada orang? Padahal mereka juga tak banyak melakukan apa-apa di rumah, apalagi yang jomblo.”
“Bagaimana kita mau maju sebagai sebuah bangsa kalau begini caranya?” ujar Bossman A.
Para Bossman mengangguk-angguk.
Atau…
“Para pekerja perempuan itu untuk apa sih minta cuti haid?” tanya Bossman A.
“Betul. Saya mulas saja tetap pergi ke kantor,” balas Bossman B.
“Nah! Poin bagus! Bisnis kita bisa gulung tikar kalau kita tak sikapi hal merugikan semacam ini,” timpal Bossman C. “Tulis di draf, Mbak Notulen. Tinjau… cuti haid…”
“Anda kapan terakhir pergi ke Eropa?” tanya Bossman B ke Bossman C. “Saya jengah juga rapat melulu. Perlu jalan-jalan weekend ini.”
“Oh, belum dalam sebulan terakhir ini. Saya mau tunggu pesawat baru saya datang dulu,” balas Bossman C.
***
Saya sudah bisa membayangkan keberatan yang dituai gambaran di atas. “Dik Geger ini bikin generalisasi tidak bertanggung jawab saja,” timpal Bossman D. “Baru baca memoar kegemaran ABG langsung menuduh semua pengusaha tidak berpihak kepada pekerja. Suudzon!”
Selanjutnya, saya akan diwanti-wanti, banyak juga Bossman yang baik hati, masuk akal, dan setulus hati mencoba menyejahterakan pekerjanya. Pun, tanpa mereka ekonomi tidak akan berkembang, pembangunan akan mandek, orang-orang tidak akan bekerja sama sekali.
Sayangnya, saya tahu Bossman. Saya tidak akan bertaruh pada kebaikan hatinya.
Sebut saja satu nama: Elon Musk. Apa yang dilakukan taipan ini selain mencoba menyelamatkan dunia dengan proyek Mars dan mobil listriknya? Oh, ada beberapa hal. Ia menyindir para pekerjanya agar bekerja 80-100 jam per minggu. Ia memberikan target-target tak realistis, lingkungan kerja yang rawan kecelakaan, lembur yang tak henti-henti kepada mereka. Ia dapat membangunkan humasnya pada jam tiga pagi hanya karena ia membaca unggahan blogger yang mengkritiknya.
Betul. Elon Musk yang mulia pun tak akan mengerem diri dari mengeksploitasi pekerjanya hingga jungkir balik bila tidak ada perundang-undangan yang menghentikan.
Di buletin Quora, seorang CEO pernah mengajukan pertanyaan. “Saya punya dua pekerja. Mereka biasanya pulang kerja pada jam enam. Mereka bagus, tapi saya tidak suka komitmen mereka hanya bertahan sepanjang jam kerja. Apa yang perlu saya lakukan?” Saya ingin menjawab, kalau Anda menuntut komitmen Anda bisa pelihara anjing. Namun, terlepas dari absurditas pertanyaan ini, ia menunjukkan adalah naluri seorang pengusaha untuk mengambil sebanyak-banyaknya dari pekerjanya.
Dan kalau Anda mau gambaran lebih gelap bagaimana bisnis dapat melakukan apa saja demi keuntungan, saya punya anekdot untuk Anda. General Motors (GM) pernah memproduksi satu model mobil yang cacat dan rawan terbakar bila tertabrak. Kebakaran dan korban jiwa dapat dicegah bila pelindung ditambahkan. Namun, tidak, GM tidak melakukannya. Insinyur GM diminta membandingkan nilai kerugian yang harus ditanggung GM bila mereka menambahkan pelindung dan bila mereka dituntut oleh para korban insiden. Hasilnya, menambahkan pelindung bukanlah opsi yang paling ekonomis.
Pilihan yang akhirnya diambil GM: membiarkan mobil produksinya tetap cacat dan memakan korban.
***
Apakah Anda percaya para Bossman akan menghasilkan perundang-undangan yang terbaik dalam mengakomodasi kepentingan pekerja? Kepentingan mereka ada tepat di seberang kepentingan pekerja. Peluh, rasa sakit pekerja adalah keuntungan mereka.
Akal budi Anda tidak akan berkata lain: jangan. Jangan percaya. Jangan percaya mereka. Jangan percaya kepada Mahfud MD yang kata-katanya selicin lele di empang. Jangan percaya dengan Menteri Ketenagakerjaan yang bilang di dadanya ada buruh tapi pengusaha ada di hatinya. Jangan percaya kepada pemerintah yang main kucing-kucingan dengan serikat untuk RUU yang mereka klaim tak akan merugikan pekerja.
Kalau Anda masih ingin mempercayai sesuatu, percayalah kepada sebuah manifesto yang disusun beberapa abad silam. Kata-katanya yang bernas lebih profetik dari apa pun yang bisa Anda dengar hari-hari ini. “Sejarah semua masyarakat hingga saat ini ialah sejarah perjuangan kelas.”
Maaf, sekadar mengingatkan.***
Geger Riyanto, Mahasiswa Ph.D. Institut Antropologi Universitas Heidelberg