Ilustrasi oleh Deadnauval
MAJALAH National Geographic edisi Oktober 1998 terbit sedikit lebih tebal dari biasanya. Penyebabnya: kertas tester parfum Napoleon Bonaparte yang diselipkan ke dalam liputan panjang jurnalis Cathy Newman tentang bisnis minyak wangi dunia.
Ratusan tahun terkubur, aroma parfum kaisar Imperium Pertama Perancis itu berhasil dihidupkan kembali oleh Société Française des Parfumeurs dari catatan harian Louis-Étienne Saint-Denis, pelayan Napoleon ketika diasingkan ke Elba dan Saint Helena.
Surat kabar The West Australian bertanggal 12 Februari 1936 menyebutkan firma bernama Jean Marie Farina memasok parfum ke serdadu-serdadu Perancis sejak 1806, tiga tahun setelah ekspansi militer Napoleon ke seluruh Eropa dimulai. “Pemakaian parfum secara berlebihan” tulis koran asal Perth itu, “mungkin disebabkan oleh pembatasan penggunaan air dan sabun” di barak-barak militer.
Hari ini, toko-toko parfum menaruh bau ke dalam ribuan kategori dengan nama-nama bunga, buah, pohon, tanah, hewan liar/eksotik, atau peristiwa alam seperti gerimis.
Tentu mereka tak menjual aneka rupa bau tidak sedap, yang dalam percakapan sehari-hari dilekatkan pada tubuh hewan ternak (“bau kambing”, “bau prengus”), cairan tubuh (“bau anyir”, “bau keringat”, “bau pesing”, “bau tai”), kotoran (“bau sampah”, “bau bangkai”), kadaluwarsa (“bau tengik”), hingga profesi yang dipandang rendah (“bau kuli”, “bau perek”).
Di toko-toko itu, alam jadi rujukan umum buat segala yang harum—dengan pengecualian “bau cendana” di Indonesia, tentunya.
Sementara buat yang tidak harum, acuannya adalah proses atau relasi sosial dalam wajah yang tak nyaman dilihat dan dihidu: kerja-kerja kasar, kandang hewan ternak, proses dan hasil pembusukan, hingga lenyapnya nilai guna.
Pada 1830, Perang Napoleonik tinggal sejarah. Sudah 15 tahun masyarakat Eropa memasuki zaman relatif damai hingga seabad kemudian. Air dan sabun mestinya tersedia lebih banyak baik di dalam maupun di luar barak serdadu.
Namun, pada tahun yang sama, politikus merangkap novelis Inggris Edward Bulwer-Lytton mencetuskan frasa olok-olok yang hari ini masih dipakai untuk menggambarkan kemunculan sebuah kelas sosial baru di sudut-sudut perkotaan: “the great unwashed”, alias orang-orang melarat tak terjamah air, yang memadati kawasan sekitar pabrik di kota-kota besar Britania Raya sejak revolusi industri.
Olok-olok itu punya pijakan empiris.
“Di sini kamar mandi adalah barang langka yang selalu terisi penuh atau letaknya terlalu jauh untuk digunakan kebanyakan penduduk,” tulis Friedrich Engels dalam Condition of the Working Class in England in 1844 (1845).
Engels, rekan sezaman Lytton, mendokumentasikan jongkoknya kualitas sanitasi di pemukiman buruh Manchester yang “tak lebih bersih dari kandang babi”. Ada banyak kisah seputar air dalam buku itu dan tak satu pun tentang parfum.
Di halaman lain: “Pasokan air cuma bisa diperoleh lewat pompa milik umum dan kesulitan untuk meraihnya menghendaki akumulasi segala jenis kekejian.”
***
The great unwashed boleh jadi pelan-pelan lenyap dari Manchester, Leeds, atau Birmingham, dan tumbuh berkali-kali lipat banyaknya di pojok-pojok dunia lainnya. Terakhir, di Asia Timur, mereka muncul dalam Parasite, film teranyar sutradara Korea Selatan Bong Joon-ho.
Film yang diganjar Palme d’Or di Cannes 2019 itu mempertentangkan kelas apak dan kelas wangi; kelompok manusia yang tinggal di rumah semi-basement dan bunker, serta kelompok lainnya yang hidup di dalam bangunan megah nan steril; keluarga majikan dan keluarga pesuruh.
Sehari-hari hidup sebagai pelipat kardus pizza, empat anggota keluarga Kim Ki-taek akhirnya bekerja di rumah keluarga kaya Tuan Park.
Si bungsu Ki-woo jadi guru les bahasa Inggris untuk Da-hye, anak gadis Park. Ki-jeong, sang kakak, memberikan les menggambar untuk Da-song, putra bungsu Park.
Suami-istri Kim masuk belakangan. Ki-taek menyetiri Tuan dan Nyonya Park, sementara Choong Sook bekerja sebagai pelayan rumah.
Seluruh posisi enak itu didapat setelah mereka berhasil membuat sang majikan memecat dua pembantu lamanya: seorang sopir muda dan seorang pelayan paruh baya bernama Moon-kwang.
Tuan dan Nyonya Park—yang tak tahu para pelayan barunya tinggal serumah—rupanya cukup puas dengan pekerjaan Kim sekeluarga. Kecuali untuk satu hal: aroma tubuh mereka yang mirip “lobak basi”.
Di akhir cerita, Nyonya Park menggelar pesta ulang tahun dadakan untuk si bungsu Da-song. Suami Moon-kwang tiba-tiba muncul dan mengamuk di tengah pesta, mengincar seluruh anggota keluarga Kim.
Park berusaha menyelamatkan seisi rumah dan para tamu. Tapi, bahkan di tengah kepanikan itu, ia masih sempat-sempatnya menunjukkan rasa jijik pada bau badan suami Moon-kwang yang—lagi-lagi tak pernah ia ketahui—tinggal di bunker rumahnya selama bertahun-tahun.
Menyaksikan tingkah sang majikan, Ki-taek urung menikam suami Moon-kwang. Ia mendaratkan belatinya di dada kiri Park.
Solidaritas kelas memang bisa muncul dari hal-hal tak terduga dan terwujud dalam perilaku yang tak selalu nampak politis. Bela rasa sesama kaum jelata di Parasite terjalin berkat bau yang katanya mirip lobak basi itu.
Tentu solidaritas semacam itu bukan cuma milik kaum kaum pesuruh. Golongan majikan pun bisa sejenak menyingkirkan kepentingan sempit masing-masing dan saling rangkul di saat-saat terdesak—ketika menolak proposal upah minimum, misalnya.
Narasi terjorok tentang bela rasa para majikan, jika lambung Anda kuat, bisa dijumpai di Salo, or 120 Days of Sodom (1975) yang memaparkan kedurjanaan elite-elite boneka Nazi Jerman di Republik Sosial Italia (1943-45).
Solidaritas majikan dalam Salo menemukan manifestasinya pada air muka penuh kepuasan para pemimpin fasis kala melakoni orgi sambil menyiksa para serdadu belia dan anak-anak gadis. Dalam satu episode yang cukup panjang, anak-anak muda ini bahkan dipaksa menelan kotoran manusia di atas piring. Festival kekejian itu berlangsung di bawah rezim yang tinggal menghitung hari.
***
Kaum berkantong cekak di Parasite dituntut mampu memahami jalan pikiran dan kehendak si kaya. Keluarga Kim berhasil menyiasatinya, tapi gagal mengantisipasi bau badan yang menyengat.
Bau badan adalah sejenis penanda sosial. Dari bau, orang menebak pekerjaan, selera konsumsi, tempat tinggal, hingga kebiasaan sehari-hari orang lain. Rasisme bahkan sering mengikutsertakan elemen bau dalam propagandanya, mulai dari “der stinkende Jude” (“Yahudi tengik”) di Jerman 1930-an hingga “hircine odor of Negroes” (“bau prengus Negro”) di Amerika Serikat era segregasi.
Keluarga Park tak digambarkan punya bau kolektif. Mungkin karena tiap anggotanya bisa menentukan bau yang dikehendaki. Setidaknya mereka bisa memilih agar tubuhnya tak berbau lobak basi.
Kesempatan yang sama tak dimiliki keluarga Kim. Setidaknya kondisi rumah yang mereka huni membuat mereka tak punya bau perorangan.
Rumah pengap Kim Ki-taek yang berada di bawah pemukaan tanah terletak di pemukiman padat pinggir kali. Deretan jendela kecil yang menghadap ke jalan kampung telah mengakrabkan mereka dengan bau pesing dan muntahan para pemabuk yang melintas.
Kala banjir melanda, Kim beserta dua anaknya terpaksa menghabiskan malam di stadion bersama seisi kampung, setelah kerepotan menyelamatkan harta benda yang tak seberapa dan gagal mencegah luapan tai keluar dari lubang kloset rumah mereka.
Kediaman keluarga Park terletak di pemukiman steril di atas bukit yang terasing dari warga kota kebanyakan—seolah menunjukkan bagaimana para penghuninya bertengger di puncak piramida sosial salah satu masyarakat dengan tingkat ketimpangan pendapatan tertinggi di dunia.
Tapi, siapa sebetulnya yang dimaksud parasit dalam Parasite?
***
Hampir sepanjang cerita berlangsung kita seakan dibuat yakin bahwa keluarga Kim adalah benalu di tubuh si kaya. Tapi benarkah begitu?
Ada satu hal menarik dari sutradara Bong Joon-ho: film-filmnya tak pernah memperlihatkan simpati pada kaum kaya dan siapapun yang berumah di puncak hirarki sosial.
Ia mengolok-olok kebodohan ilmuwan militer AS di Korea yang melarung formalin ke sungai dalam The Host (2006). Okja, filmnya yang dirilis pada 2017, adalah kecaman terhadap keserakahan korporasi “hijau” yang membajak isu lingkungan demi mengejar efisiensi produksi dan laba berlipat.
Ia juga memperingatkan betapa bahayanya ketika kaum teknokrat dan borjuasi bersenjata mendapat kewenangan penuh untuk membereskan perubahan iklim dan menyelamatkan remah-remah peradaban dalam Snowpiercer (2013): mereka hanya akan mengurangi jumlah manusia secara drastis dan memperbudak sebagian besar sisanya.
Terpelajar, kosmopolit, sopan, berorientasi keluarga, sangat percaya kekuatan uang untuk menyelesaikan persoalan sehari-hari, dan berkuasa penuh untuk mempekerjakan dan memecat orang, karakter Tuan Park adalah wajah paling moderat dari kaum chaebol, konglomerasi Korea Selatan yang menjamur sejak pemerintahan Syngman Rhee (1948-1960).
Kekayaan kelas kapitalis berbasis keluarga ini berasal dari sitaan aset-aset peninggalan Jepang, kucuran utang dari negara, dan monopoli di berbagai sektor. Segelintir lainnya sudah jadi kerajaan bisnis sejak Korea masih feodal dan belum terbelah.
Tak kalah penting, anti-komunisme, ideologi resmi di bawah kediktatoran Rhee, menjamin agar sumber kekayaan vital lainnya mengalir tiada putus: buruh-buruh yang dikondisikan sedemikian rupa agar selalu siap dihisap tenaganya. Untuk itu mereka dilarang keras berserikat dan bakal digebuk jika protes.
Rhee sendiri naik ke tampuk kekuasaan setelah serikat-serikat pekerja dihabisi sepanjang 1947.
April 1960, rezim Rhee yang penuh dengan skandal korupsi dan pembunuhan politik digulingkan oleh gerakan massa. Republik Kedua Korea Selatan diproklamirkan. Pemerintahan transisi dibentuk. Pabrik, kampus, dan jalanan kembali ramai oleh aksi mahasiswa dan serikat-serikat pekerja yang baru berdiri.
Tapi, Republik Kedua cuma bertahan setahun. Mei 1961, Jenderal Park Chung-hee melancarkan kudeta, mendeklarasikan Republik Ketiga, lalu berkuasa dengan janji-janji ketertiban politik, pemerintahan kuat, anti-korupsi, ekonomi berdikari, dan hubungan baik dengan Paman Sam.
Selama 18 tahun pemerintahan sang jenderal pula kaum chaebol menggurita berkat subsidi, insentif pajak, dan kebijakan anti-buruh yang dirancang junta militer. Pengaruh mereka dalam politik dan kehidupan sosial negeri ginseng nyaris tak pernah surut, bahkan setelah Korea Selatan mengalami transisi demokratik pada akhir 1980-an dan dihajar krisis ekonomi satu dasawarsa kemudian.
Dipuji-puji sebagai “Macan Asia”, Korea Selatan sejak Park Chung-hee adalah salah satu sarang keluarga-keluarga terkaya di Asia berikut imperium bisnisnya: Samsung, LG, dan Hyundai—tiga dari sederet raksasa penyokong Presiden Park Geun-hye, putri sulung Park Chung-hee yang digulingkan massa-rakyat pada 2017 silam dan berakhir di bui setahun berselang.
Mengingat kuatnya sentimen anti-elite di masyarakat selama revolusi 1960, diktator Park Chung-hee sempat berusaha meyakinkan massa-rakyat bahwa pemerintahannya akan berbeda dari Rhee. Pada awal masa kekuasannya, ia bahkan pernah menginstruksikan agar sejumlah chaebol diarak di jalan-jalan dengan sebilah papan tergantung di leher.
Tulisan di papan itu berbunyi: “Aku ini parasit di tubuh rakyat”.
***
The great unwashed dalam Parasite memang bisa terlihat sangat tega, bahkan terhadap sesamanya. Mereka tak cukup punya privilese untuk mengaburkan kanibalisme sosial semacam itu dengan pemanis atau pewangi.
“Sebotol kecil parfum itu,” tulis Cathy Newman tentang Napoleon di National Geographic, “ia sisipkan ke dalam sepatu botnya untuk menyamarkan bau dari medan tempur. Ia menghabiskan satu atau dua botol per hari. Ia bahkan sempat memesan beberapa botol lagi sesaat sebelum kekalahannya di Waterloo pada 1815.”
Setelah ratusan ribu serdadunya tumbang di Rusia, Iberia, dan Leipzig, rupanya sang kaisar ingin tetap wangi saat menggali kuburnya sendiri.***