Kredit foto: Getty Images
SEPERTI banyak antropolog lainnya, saya menjadi manusia yang berbeda di lapangan. Saya lebih tabah, meski tak setabah hujan bulan Juni. Saya lebih tekun berpikiran positif. Saya lebih perhatian. Saya, pokoknya, mempunyai kepribadian seorang lelaki dan milenial idaman saat berada di sana.
Suatu malam, peristiwa ini terjadi kepada saya.
“Mas, Mas orang mana?” tanya seorang lelaki.
Lelaki tersebut awalnya menghampiri saya yang tengah duduk dan menonton pesta. Usianya barangkali di kisaran 20-an akhir dan 30-an awal. Tubuhnya tinggi. Saya tak pernah melihatnya di dusun sebelumnya. Tanpa berbicara sepatah kata pun, ia sekonyong-konyong menyandarkan tubuhnya yang bongsor ke pundak saya.
Malam itu, dusun menggelar pesta perkawinan. Sambutan, makan-makan, kesempatan foto-foto—segala basa-basi pesta—sudah lewat. Pesta kini tengah bergulir di klimaksnya—joget. Musik akan membahana sampai kira-kira jam empat pagi. Warga menggoyangkan badannya di lantai joget berpasang-pasangan. Orang-orang yang tak ikut bergoyang akan berkerumun dengan teman-temannya di tepi atau menenggak sopi bersama mereka di pojokan tak terlihat.
Lelaki yang bersandar ke saya, saya duga, mabuk. Aroma minuman keras menguar dari arahnya. Saya terganggu, tentu saja. Namun, saya berusaha untuk mengabaikan ketidaknyamanan saya.
“Mas, Mas orang mana?” tanyanya tiba-tiba.
“Saya dari Jawa,” jawab saya.
Saya selalu menjawab demikian saat dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan serupa. Warga terbiasa mengidentifikasi orang asing dari pulau asalnya, dan saya tak bisa menepis kalau saya dilahirkan di Jawa.
“Orang Jawa? Jawa mana?” tanya lelaki tersebut lagi.
“Jakarta.”
“Bagaimana bisa?” balasnya dengan nada tinggi. “Kalau kamu orang dari Jakarta, ya, kamu Betawi! Bukan Jawa!”
Saya mulai terpantik. Akan tetapi, saya masih berusaha menahan diri. Selama beberapa saat selanjutnya meladeninya, saya bahkan tak mencoba menyingkir darinya. Bila saya menarik diri dan kepalanya terjatuh, saya khawatir, ia tersentak dan semakin mencari gara-gara. Saya menjawab satu-persatu pertanyaannya yang menantang setenang saya bisa.
Saya berhati-hati dengan warga dusun seperti warga dusun ini selalu berhati-hati dengan saya. Mereka selalu menjamin kebutuhan saya tercukupi dan saya memperoleh ketenangan di dusun. Saya pun tak ingin menimbulkan permasalahan untuk mereka.
Beberapa saat berlalu, lelaki ini terdistraksi dengan temannya yang mengajak mengobrol. Saya, kontan, menjauh darinya. Sadar saya menjauh, ia mendekati saya lagi. Kini, ia nampak lebih sadar. Ia mengklaim bahwa dirinya adalah “anggota” dan memaksa saya mengakui nama saya, saya berkuliah di mana, dari mana asal saya sebenarnya, bahkan agama saya. Di telepon genggamnya, saya melihat data saya tersebut diketik dan hendak dikirimkannya ke grup WhatsApp kesatuannya.
“Kamu ini datang ke sini tidak pernah lapor! Kamu bisa kena sanksi adat!”
“Saya sudah lapor bapak dusun dan dari dulu saya di sini tak pernah ada masalah,” jawab saya.
“Bapak dusun? Bapak dusun di sini itu seperti RT saja!”
Lelaki ini lantas memegang janggut saya.
“Lihat jenggot kamu ini. Bagaimana kalau kamu ternyata ISIS?”
Saya berargumentasi dengannya. Dengan tuduhan tak masuk akal tersebut.
“Oh, kamu Cina?” tantangnya. “Saya juga Cina. Dengar, saya bisa bahasa Cina.”
Ia berbicara tidak karuan dalam intonasi yang seolah-olah berbahasa Cina. Namun, jelas, ia meracau.
“Itu bahasa Cina! Kamu mengerti tidak? Mengerti tidak?”
Saya sudah mendidih. Tetap saja, saya tak bisa melepaskan amarah saya. Saya duga, ia justru menanti-nanti saya lepas diri sejak awal. Ia mengincar saya yang nampak asing dan berusaha memprovokasi saya dengan berbagai gesturnya. Seketika saya mengajaknya berkelahi, ia dapat langsung meringkus saya.
Akhirnya, kawan sang lelaki, yang adalah warga dusun, dan adik angkat saya memisahkan kami. Kawannya meminta saya agar pergi darinya dengan alasan lelaki ini sudah mabuk sembari menahannya. Adik saya langsung membawa saya pergi dengan motornya. Lelaki tersebut nampak masih penasaran dan ia sempat menunjukkan kuda-kuda ingin menghentikan motor kami.
Keesokannya, saya menceritakan kepada kepala dusun apa yang saya alami semalam. Ia murka dengan perlakuan tersebut maupun pernyataan bahwa ia tak punya hak apa-apa untuk menentukan siapa yang boleh bertamu di dusunnya. Ia tak pernah sadar ada anggota yang datang ke acara pesta. Dan ia yakin, lelaki tersebut dari luar dusun.
Saya tak pernah mendukung dwifungsi militer. Peristiwa ini semakin memantapkan pendirian saya.
Saya tahu, peristiwa ini bukan sekadar satu kasus terkecuali. Kenyataannya, sang lelaki dibesarkan dalam sebuah institusi yang wataknya satu frekuensi dengannya. Mereka tak henti berperang dengan hantu yang dicetuskannya sendiri dan memelihara perasaan supremasi di atas sipil. Merekalah, dalam anggapannya sendiri, satu-satunya pihak yang dapat menyelamatkan Indonesia dari bahaya imajiner tersebut dan mereka diperkenankan berbuat apa saja untuk melakukannya.
Contoh. Sebutkan kekisruhan, yang menegaskan sipil tidak mampu memerintah dirinya sendiri, yang bukan diciptakan oleh aparat sendiri. Kerusuhan pemilu 1971? Malari? Ali Murtopo punya andil dalam keduanya[1]—Ali Murtopo yang sama dengan yang berkata bahwa hanya ABRI yang pantas memimpin bangsa karena sanggup mengesampingkan perbedaan ideologis.[2]
Kerusuhan 1998? Kalau Anda tidak percaya dengan teori meyakinkan dari Tim Gabungan Pencari Fakta, Anda bisa yakin dengan satu fakta ini: Prabowo sangat aktif dalam menggalang dukungan kelompok Islam konservatif untuk membela Suharto dengan menyebarkan desas-desus bahwa Suharto tengah menjadi sasaran persekongkolan Yahudi, Yesuit, Cina serta CIA-Mossad. Bahkan, kematian Bu Tien diklaim merupakan ulah dokter Cina.[3]
Saya, bahkan, belum menyinggung bagaimana doktrin tentara tak pernah jauh-jauh dari kepandiran semacam. Globalisasi, dalam dokumen Analisis Lingkungan Strategi Pertahanan Negara 1988-1989, akan membawakan ancaman berupa komunisme dan liberalisme. ABRI, karenanya, perlu waspada dan memantau setiap usaha menggoyang Pancasila, depolitisasi ABRI, penggalangan massa, serta penyebaran gagasan kebebasan lewat forum dan media akademik. Dokumen Pokok-pokok Kebijaksanaan Pembinaan Teritorial Tahun 1989-1993, yang diterbitkan setahun selepasnya, bahkan menginstruksikan untuk memeriksa eks-tapol, insan yang sudah tidak memiliki apa-apa lagi, bila aparat mensinyalir adanya gejala gangguan keamanan menjelang Pemilu 1992.[4]
Satu-persatu ancaman yang dirunut oleh organ intelektual ABRI adalah ancaman bagi kekuasaan ABRI, bukan bagi rakyat—bahkan bukan bagi kebanyakan rakyat. Demokrasi liberal? Demokrasi liberal, jelas, akan merenggut monopoli ABRI atas jabatan-jabatan politik. Usaha menggoyang Pancasila? Pancasila, pada hari-hari itu, kita tahu, adalah perkakas untuk memberangus kritik. Depolitisasi ABRI? ABRI, yang tajinya menancap di mana-mana, akan kehilangan segalanya bila ini terjadi.
Malam itu, saya tak pernah berhadapan dengan anggota yang mabuk belaka. Saya berhadapan dengan sebuah pranata yang membayangkan setiap masalah sebagai ancaman kepunahan bangsa dan taktik menuntaskannya ialah memantau, membelenggu, mengangkangi, memerangi. Sebuah pranata yang kosmologinya unik namun menjadi mengerikan karena mereka memiliki senjata dan kapasitas untuk menegakkannya secara paksa.
“Tapi, Bung Geger,” sela cebong yang yakin Jokowi yang tengah tertidur sekalipun sedang memimpikan sebuah strategi politik canggih, “kita sudah lebih dari dua puluh tahun terpisah dari Orde Baru. Bukankah bisa jadi pranata yang Bung Geger sindir-sindir itu sudah insaf?”
Ah, sungguh angan-angan yang menarik. Akan tetapi, saya masih ingat dengan apa yang disampaikan oleh Menhan Ryamizard Ryacudu menanggapi hiruk-pikuk LGBT yang tak perlu itu. Ia mengatakan, LGBT lebih berbahaya dibandingkan perang nuklir. “Kalau bom atom atau nuklir ditaruh di Jakarta, Jakarta hancur, di Semarang tak hancur,” ujarnya. “Tapi, kalau perang modern, semua hancur. Itu bahaya.”
Pernyataan ini segera menjadi bulan-bulanan di antara beberapa jaringan perkawanan. Ia terlalu hiperbolis, mengada-ngada, tak masuk akal. Akan tetapi, ia juga menunjukkan militer tak pernah beranjak jauh-jauh dari watak paranoidnya. Dan kita, tentu, tak akan pernah menertawakan Bapak Menhan seandainya ia punya otoritas untuk membuka perang terhadap bahaya imajiner ini.
Saya masih bisa menyinggung satu nama lagi. Namun, tak usahlah kita melakukannya. Kivlan Zen—bukankah kita sudah hapal benar kiprah dan pemikiran delusional satu sosok ini?
Lucunya, dia yang memperkenankan pintu kembali dibuka untuk militer merambahi jabatan-jabatan politik bukanlah bekas jenderal, terlepas seorang bekas jenderal sempat menjabat presiden Indonesia sepanjang sepuluh tahun. Jokowilah yang berencana menjadi sang pembuka pintu—sosok yang sempat menjadi tumpuan para pembela demokrasi dan di tengah jalan nampaknya tersadar bahwa kekuasaan lebih penting ketimbang asas kesetaraan yang abstrak.
Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan sepotong sarkasme—“selamat datang kembali dwifungsi” atau “semua akan dwifungsi pada waktunya.” Akan tetapi, saya takut kualat. Pasalnya, saya membencinya. Saya benar-benar membencinya. Jadi, izinkan saya mengakhirinya dengan kelugasan yang saat ini dibutuhkan dari semua orang:
Saya keberatan dengannya, Pak Luhut.***
———–
[1] Adrian Vickers, A History of Modern Indonesia (Cambridge: Cambridge University Press, 2005) hal 171.
[2] Salim Said, Soeharto’s Armed Forces: Problems of Civil Military Relations in Indonesia (Jakarta: Sinar Harapan, 2006).
[3] Robert Hefner, Civil Islams: Muslims and Democratization in Indonesia (Princeton: Princeton University Press) hal 202-203.
[4] Jun Honna, “Military Ideology in Response to Democratic Pressure During the Late Soeharto Era: Political and Institutional Contexts,” dalam Violence and the State in Suharto’s Indonesia, disunting oleh Benedict R.O’G. Anderson (Ithaca: Southeast Asia Program Publications, 2001), hal 63-64.