KALAU di tulisan sebelumnya saya sudah menceritakan kepada Anda soal meditasi dan apa yang bisa kita petik dari sana, kali ini saya akan meneruskan sedikit lanjutannya. Dalam tulisan pertama dijelaskan bahwa kita mesti melepaskan asumsi, dugaan, atau dogma-dogma kita soal Marxisme dalam rangka mempelajari serta mengaplikasikan Marxisme itu sendiri. Dengan demikian kita bagaikan burung yang terbang bebas tanpa dibatasi jeruji kurungan dogma-dogma serta asumsi. Bila telah mampu melepaskan pikiran-pikiran kita sendiri, kita pun bisa menerima kenyataan hidup yang ada di sekeliling kita. Kenyataan bahwa dunia tidak sedang baik-baik saja. Semakin sulitnya mendapatkan pekerjaan bagai sesulit mendapatkan jodoh, lebih banyaknya jumlah lembaran berkas di meja kerja dengan lembaran rupiah di dompet Anda, ditukarnya waktu hidup Anda bersama keluarga yang berharga dengan rupiah yang nilainya tak seberapa. Belum lagi Anda yang harus menghidupi keluarga dan membayar cicilan serta hutang-hutang lain yang mengetuk pintu rumah Anda setiap hari. Saya kira masih banyak lagi beban hidup zaman ini. Namun begitulah kenyataannya. Suatu tekanan yang umum dirasakan sebagian besar manusia yang tidak seberuntung Elon Musk, Jack Ma dan Nadiem Makarim. Kalau Anda tidak percaya silahkan tanya kawan-kawan pekerja dari yang setiap hari merakit mesin tanpa duduk dalam pabrik-pabrik di Karawang hingga yang tiap pagi dan sore berhimpitan berdiri di KRL Manggarai-Bekasi.
Lantas kita yang bukan termasuk dalam 10 CEO paling berpengaruh menurut majalah Forbes harus bagaimana? Ya tentu saja kita tidak perlu naif dan menyalahkan orang-orang kaya itu. Justru kita mesti mencontoh mereka dan bila segala sesuatunya ceteris paribus suatu saat nanti kita bisa berhasil menjadi salah satu dari mereka. Tapi sekarang pertanyaannya, apa mungkin? Mungkin saja, meski dengan kemungkinan yang sangat tipis. Terlepas dari bisa atau tidaknya kita menjadi seperti mereka, terdapat suatu kenyataan yang tidak bisa kita hindari. Kenyataan bahwa sistem yang ada hari ini memiliki suatu kecacatan. Kecacatan yang membuat hidup para CEO paling berpengaruh tersebut juga tidak semudah yang sering dibayangkan. Coba saja sekali-kali Anda pikirkan. Minimal untuk mempertahankan perusahaannya mereka harus bertahan hidup, lalu bersaing serta bersitegang dengan kompetitor lainnya. Jika menang, alhamdulillah. Jika kalah, yang ada di kepalanya hanya: bagaimana neraca keuangan, bagaimana membayar hutang, bagaimana dengan para investor, bagaimana dengan upah para pekerja. Bahkan untuk memikirkan diri sendiri pun mungkin sangat sulit. Inilah beban yang ada dalam dunia kapitalisme. Pekerja dan pemodal, dalam kenyataannya semua menderita dengan caranya masing-masing.
Apakah kita bisa lepas derita ini? Jawabnya, tidak bisa selama kita masih bernafas dan menjadi bagian dari warga bumi. Namun apakah kita bisa mengurangi sensasinya? Jawabnya, tentu saja bisa. Caranya kira-kira bisa didapatkan dari pelajaran meditasi yang dicontohkan oleh Ajahn Brahm dan Mingyur Rinpoche. Dari pembahasan di tulisan sebelumnya saya mengajak Anda untuk melepaskan beban pikiran masa lalu dan masa depan. Lalu bagaimana kalau sudah bisa melepaskan? Jawabannya yaitu latihan. Dalam konteks yang dijelaskan para bhiksu itu yaitu latihan meditasi. Untuk menjelaskan teknik-teknik yang biasanya digunakan dalam meditasi, Mingyur Rinpoche biasanya memberikan perumpamaan tentang si penunggang dan kudanya. Si penunggang ialah pikiran dan kuda adalah tubuh jasmaninya. Menurutnya, penunggang yang tenang mampu menenangkan kuda yang gelisah, kuda yang tenang pun bisa menenangkan penunggang yang gelisah. Tapi yang pertama kali harus dilakukan yaitu menjinakan kuda. Beliau menawarkan metode formal yang disebut postur tujuh poin atau posisi fisik. Dalam tradisi Buddhis dinamakan dengan poin postur Wairocana yang dalam Sanskerta artinya penerang atau matahari.
Tujuh poin tersebut pertama-tama dimulai dari duduk bersila di lantai, matras, atau bantal dengan tidak terlalu tegang namun tidak juga terlalu kendur. Jika tidak mampu bersila, Anda juga bisa duduk dengan duduk berselonjor atau duduk di kursi. Kedua yaitu menaruh tangan di pangkuan dengan satu telapak tangan di atas telapak tangan lainnya atau Anda juga bisa menaruh tangan di lutut masing-masing. Ketiga menyediakan ruang antara lengan dan tubuh sambil menegakkan bahu supaya Anda mudah untuk bernafas, lalu keempat yaitu membuat tegak punggung dengan tidak terlalu kaku dan tidak terlalu rileks. Kelima memanjangkan leher serta menekan dahu sedikit ke arah tenggorokan dan keenam membiarkan mulut beristirahat seperti saat tidur. Ketujuh yaitu menutup mata Anda pada awal meditasi, lalu kemudiaan membukanya dengan berfokus kepada suatu titik tertentu.
Terdengar sangat mudah, namun pada kenyataannya perlu berhari-hari bahkan berbulan-bulan untuk mengendalikan tubuh Anda sendiri. Apabila postur Wairocana sudah bisa dikuasai artinya kemungkinan besar kita sudah mampu menjinakkan kuda untuk si penunggang. Lalu untuk menenangkan si penunggang bagaimana caranya? Caranya kurang lebih seperti yang sudah dijelaskan di tulisan sebelumnya yaitu melepaskan pikiran-pikiran dan beban masa lalu kita. Ajahn Brahm menambahkan, latihan melalui perhatian yang terus-menerus akan momen saat ini dan memperhatikan nafas. Meski terdapat tahapan selanjutnya, tahap fokus akan momen kini dan pernafasan memainkan peranan penting dalam berlatih meditasi. Hal inilah yang membuat meditasi menemukan makna sesungguhnya yaitu mengistirahatkan pikiran serta batin yang lelah. Menerima kenyataan dunia yang pahit ini dengan lapang dada dan ikhlas.
Serupa dengan belajar meditasi, mempelajari Marxisme juga memiliki caranya. Banyak cara dari berbagai macam latar belakang, tradisi, kelas belajar dan organisasi. Anda semua mungkin sudah paham betul berbagai cara untuk mengenal Marxisme. Tentu cara belajar di satu kelompok diskusi mungkin berbeda dari kelompok diskusi lainnya atau serikat pekerja yang satu berbeda dengan yang lainnya. Tapi jika kita simpulkan terdapat dua cara yang umum dalam rangka mengenal Marxisme. Pertama, melalui pembelajaran atau pengkajian literatur. Secara tekun membaca tulisan Marx-Engels atau rajin membaca tulisan-tulisan lainnya lalu berdiskusi. Kedua, melalui hidup praktis sehari-hari. Yaitu dengan ikut berkiprah di lingkungan aktivisme perjuangan kelas pekerja dan atau langsung memasuki relasi upahan dengan bekerja demi mencari sesuap nasi. Sehingga merasakan secara nyata bagaimana rasanya hidup dalam dunia kapitalisme ini.
Keduanya itu perlu latihan yang dibarengi oleh keteguhan hati dan konsistensi yang tinggi. Sama seperti menjinakkan kuda atau dengan kata lain mendisiplinkan tubuh jasmani diri kita sendiri dalam meditasi, menggeluti kedua cara di atas bukan merupakan jalan yang mudah untuk mengenal kenyataan dunia ini. Tapi kedua cara itu adalah cara satu-satunya dan keduanya melengkapi satu dengan lainnya. Belajar dari literatur namun kurang pengalaman praktis hasilnya tentu kurang baik. Begitu pun juga sebaliknya. Sehingga alangkah lebih baik jika keduanya seimbang, saling berjalan beriringan. Tinggal satu hal yang tersisa, yaitu diri kita sendiri. Entah kita yang berkeinginan diri untuk berlatih atau lingkunganlah yang memaksa kita untuk berlatih.
Apabila ketenangan batin yang merupakan tujuan meditasi, kira-kira apa tujuan belajar Marxisme? Tentu saja jawabannya yaitu suatu sikap untuk membela diri sendiri dan sesama kita para pekerja di tengah gempuran dunia yang merupakan ciptaan dari cara berpikir liberalisme dan fasisme. Liberalisme dan fasisme yang kita semua tahu tumbuh subur di zaman keemasan kapitalisme ini. Dengan cara berpikir Marxisme kita mampu menganalisis kebijakan-kebijakan pemerintah atau pemimpin perusahaan tempat kita bekerja yang sekiranya tak menguntungkan kita. Dengan cara berpikir Marxisme kita mampu mengambil sikap dengan memberikan alasan masuk akal mengapa hal tersebut merugikan dan mampu menghimpun siapa saja yang merasa dirugikan ke dalam satu organisasi. Dengan Marxisme, Anda bisa memberikan analisis yang logis untuk mengimbangi suatu narasi pseudosains. Dengan Marxisme, Anda bisa mengajukan argumen yang masuk akal dalam mengimbangi suatu asumsi umum yang ngawur. Bahkan dengan Marxisme, jika pernah membaca Das Kapital, Anda bisa belajar lebih jauh untuk mengembangkan bisnis Anda. Penasaran? Makanya sehabis baca tulisan ini, sekali-kali kepo-kepoinlah. Jangan cuma Instagram mantan atau gebetan barunya saja yang dikepoin tiap menit.
Dengan demikian, dalam latihan pendisiplinan diri sendiri seperti yang dicontohkan oleh Mingyur Rinpoche dan Ajahn Brahm dalam meditasi terdapat hikmah yang bisa kita petik untuk mempelajari Marxisme. Hanya dengan pendisiplinan diri dan keteguhan hatilah kita mampu meraih ilmu pengetahuan. Namun sekali lagi, kita bukanlah para bhiksu master meditasi yang hidup di dalam hutan hujan tropis Thailand atau biara kuno nan sejuk di Dharmasala. Ketimbang duduk bersila memperhatikan nafas, kita mungkin harus duduk seharian di bangku memperhatikan layar laptop yang membosankan. Ketimbang memutar singing bowl sambil bermantra, kita mungkin harus memutar obeng mengencangkan sekrup dari pagi hingga sore sambil memikirkan cicilan. Dunia yang penuh ketidakadilan, ratap tangis dan kertak gigi inilah yang merupakan rumah kita. Memang, dengan meditasi tidak serta merta penderitaan hidup di dunia hilang. Begitu juga tatanan kapitalisme tidak akan tumbang dalam satu malam hanya dengan mempelajari Marxisme dan menerapkannya. Namun lewat meditasi, minimal Anda bisa mengendalikan diri sendiri dan mengistirahatkan pikiran sejenak supaya tidak menjadi stres. Sedangkan melalui Marxisme, minimal Anda bisa memahami realitas dunia ini. Sehingga apabila situasi menghimpit, Anda bisa mengambil langkah yang tepat dalam mencari jalan keluar untuk mengakali dunia ini. Minimal menyelamatkan nyawa Anda sendiri terlebih dahulu, lantas nyawa orang yang kita sayangi. Sebab dunia yang lebih baik dari yang sekarang ini dimungkinkan.***