Kredit
MALAM itu, saya memancing bersama Aril di pantai. Kami bukan orang asing. Saya
sudah beberapa bulan mengenalnya. Aril datang dari Manado. Ia menikah dengan
warga Parigi, menetap di kampung ini dan menjadi nelayan tuna. Namun, malam
panjang menanti ikan yang tak kunjung menyambar memberikan kami waktu untuk
bertukar cerita-cerita panjang.
Aril menanyakan kepada saya pertanyaan-pertanyaan yang acap ditanyakan warga lain. Apa alasan saya datang ke Parigi. Apa yang mau saya teliti di kampung ini. Akan jadi apa saya setelah lulus nanti. Pun, mengapa saya belum mempunyai jodoh sampai sekarang.
“Saya masih ingin merantau seperti, Mas,” ujarnya setelah mendengar cerita saya yang harus wira-wiri untuk menyelesaikan program doktoral saya. “Tapi, apa boleh buat, Mas, namanya sudah berkeluarga.”
Kami berdua tertawa kecil.
Ia bercerita bahwa ia merantau ke Parigi karena ia sudah merasa tak punya masa depan di kampungnya. Ia dikenal sebagai berandalan dan pemabuk di sana. Ia keluar-masuk penjara karena acap menimbulkan masalah sewaktu mabuk. Sekali waktu ia dipenjara hingga dua setengah tahun lantaran mencederai parah lawan berkelahinya.
Saya cukup terperangah mendengar kisahnya. Saya tak pernah membayangkan Aril memiliki masa lalu seperti yang baru diceritakannya. Di Parigi, ia adalah nelayan yang telaten. Ia kini mempunyai satu anak laki-laki yang, terlepas sering dimarahinya, sungguh-sungguh disayanginya. Ia punya berbagai rencana masa depan untuk keluarganya maupun dirinya—membangun rumah yang lebih patut, menabung untuk menyekolahkan anaknya, dan membeli mesin tempel yang lebih canggih.
Namun, memang, saya tak tahu tempat di mana kesempatan kedua bukan sebatas angan-angan. Perbuatan buruk akan terus dicatat betapapun seseorang telah membayarnya sesuai kesepakatan yang berlaku. Perlakuan terhadap diri sebagai kelas yang dinistakan akan terus mengikuti selama identitas seseorang belum dapat ditanggalkan. Orang-orang seperti Aril harus mencari kesempatan kedua dengan usahanya sendiri. Dan Aril melakukannya dengan pindah ke suatu tanah jauh di mana tidak ada yang mengenalnya.
Anda ingat Jay Gatzby? Tokoh utama The Great Gatsby yang menanggalkan segenap atribut bawaan lahirnya, menjadi konglomerat misterius yang perlente serta memikat, dan semua mimpinya rontok setelah orang-orang diingatkan kembali dengan asal-usulnya? Atau… Basuki Tjahaja Purnama?
Oh, tidak jadi—ada ilustrasi yang lebih dekat dan relevan di sini.
Orang-orang pertama Dusun Parigi, kampung yang dimukimi Aril, pada dasarnya tak berbeda dengan Aril sendiri. Dalam kehidupan mereka di sisi lain Maluku pada awal abad ke-20, mereka hanya diperkenankan menggarap kebun Belanda atau orang asli. Itu pun dengan bayaran yang tak masuk akal rendahnya. Mereka tak diperkenankan memiliki kebun sendiri untuk bercocok tanam komoditas-komoditas berharga. Mereka ialah orang rentan di kampungnya. Mereka ingin meloloskan diri dari ancaman kelaparan. Kesempatan kedua mereka, sayangnya, tidak seideal itu lantaran mereka bukan orang berpunya dan aturan kolonial yang rasis menghalau mereka memiliki tanah.
Mereka akhirnya mencari satu kesempatan lagi. Mereka menemukannya. Ada sebuah tempat di mana mereka bisa membuka kebun kopra mereka sendiri dan, mungkin, nantinya, cengkeh. Karena lahan yang masih tak terkira luasnya, raja setempat tak mempermasalahkan bila para pendatang menggarapnya. Tempat tersebut berada di Seram Utara.
Namun, Seram Utara adalah antah-berantah. Seorang nenek sempat menceritakan kepada saya betapa terguncang dirinya ketika ia pertama dibawa suaminya ke kampung baru mereka. Ia hanya menemukan hutan belantara di satu sisi dan laut di sisi lain. Ia tak bisa menemukan orang lain di luar segelintir warga kampungnya. Buaya dan babi hutan sewaktu-waktu melewati kampung. Suku pengambil kepala, menurut desas-desus, masih mengitari hutan. Ia menangis berhari-hari saat itu.
Citra kesenduan tersebut sudah tak tersisa pada diri Nenek Jawa—panggilannya di dusun—yang menikmati hari-harinya membuat kue kini. Para pengelana lain yang akhirnya menetap pun merasa pencarian mereka selesai. Mereka tak harus lagi dikhawatirkan dengan penghidupan yang tidak pernah pasti dan diperlakukan sebagai kelas yang hanya boleh bekerja sebagai buruh murah bagi kelas-kelas di atasnya.
Hanya di antah berantah, di mana tidak akan ada yang memperlakukan mereka berdasarkan identitas masa silamnya, para pengelana mendapatkan kesempatan kedua yang sebenarnya. Mereka dapat memulainya dari lembaran kosong dan kehidupan mereka di masa mendatang adalah anyaman tangan mereka sendiri—bukan anyaman posisi kelas sosial yang mau tak mau mereka terima sejak kelahirannya.
Saya mau membawa Anda ke mana dengan cerita-cerita ini?
Kesempatan kedua, saya ingin menyampaikan, adalah segalanya bagi insan-insan semacam. Insan-insan berjumlah sama sekali tak sedikit yang langkah masa depannya sudah dibelenggu oleh masa lalu dan struktur yang tak mereka kuasai. Baiklah, para penganjur pasar bebas mengatakan kita hidup di waktu di mana kita bebas menjajakan kerja kepada siapa pun. Tidak ada lagi kerja paksa, perbudakan. Tak ada lagi hukum rasis yang membatasi siapa dapat bekerja apa. Sayangnya, tak sulit untuk tahu, kelas rentan dengan ketidakmampuannya mendapatkan pendidikan bergengsi, kenalan atau saudara di tempat-tempat yang tinggi bukan kelas yang punya banyak pilihan. Dan pendapatan dari kerja-kerja yang tersedia buat kelas rentan benar-benar remeh dibandingkan kerja-kerja kelas lainnya.
Meminjam uang untuk merintis usaha menguntungkan? Berat, kalau tak mau dikatakan mustahil atau bodoh. Mereka tak memiliki riwayat hutang atau kemampuan melunasi yang meyakinkan di mata bank. Mereka, jelas, tak memiliki pertautan dengan para investor murah hati.
Uang menghasilkan uang. Kepemilikan lama berujung kepemilikan-kepemilikan baru. Mereka yang tak memiliki apa-apa di masa silam tak akan memiliki apa-apa di masa kini maupun masa mendatang. Kekayaan, faktanya, adalah identitas terberi yang tak dapat ditembus hari-hari ini
Kita tidak akan menemukan orang yang keterhimpitannya persis dengan para pendahulu Dusun Parigi, memang. Namun mereka yang tak bisa menanggalkan beban kemelaratan generasi terdahulunya, kita tahu, banyak.
Dan revolusi pada dasarnya adalah tawaran kesempatan kedua untuk mereka. Tawaran sebuah tatanan di mana identitas lama seseorang tak menguntitnya lagi, di mana ia berhak memulai kehidupan dari garis berangkat yang sama dengan semua yang lain, dan ia diejawantahkan tepat di atas tanah ia dilahirkan. Sang insan tak usah mengembara ke ambang wilayah yang dikenal manusia. Tanah yang dijanjikanlah yang datang kepadanya.
Ia seharusnya adalah tawaran yang lebih banyak peminatnya ketimbang penggugatnya. Seseorang bahkan bilang, penebusan yang diajarkan Yesus Kristus sejatinya adalah penebusan dari hutang. “Pengampunan,” dalam doa Bapa Kami, adalah pengampunan hutang sesama. Apa yang ditawarkan Yesus dan memikat bejibun orang mengikutinya adalah kelahiran baru bagi orang-orang yang tangan dan kakinya terikat mati oleh tatanan.
Hanya saja, nasib baik tak pernah menimpa mereka yang menganjurkan kesetaraan radikal, kita tahu. Yesus Kristus disalib. Ia mati untuk menebus hutang kita, tegas Hudson, bukan kesalahan-kesalahan kita terhadap anasir spektral yang identik dengan Kekristenan di kemudian hari.
Saya tak mendapatkan ikan malam itu. Aril mendapatkan satu ekor ikan kecil. Malam bergulir dengan ketenangan yang menghanyutkan di Parigi—seperti malam-malam lainnya.
Ketenangan menghanyutkan ini pun mungkin tidak akan selamanya.***
Geger Riyanto, Mahasiswa Ph.D. Institut Antropologi Universitas Heidelberg