Kredit foto: ResearchGate
BEBERAPA waktu sebelum saya kembali ke keluarga angkat saya di Seram, La Yamin, ayah angkat saya, berkata kepada istrinya ia ingin membuatkannya sebuah pondokan kecil. Pondokan kecil tersebut akan dibangunnya di depan rumah. Di sana, nantinya, sang istri bakalan dapat berdagang barang-barang dan menambah penghasilan keluarga.
Pada saat saya datang, saya menjumpai kuda-kuda kayu ganjil yang belum pernah lihat sebelumnya.
“Lho, sekarang di depan rumah ada tempat jemuran ya?” ujar saya. Dengan bodoh.
Orang-orang di rumah keluarga angkat saya tersenyum masam. Tentu saja. Baru kemudian saya tahu, kuda-kuda kayu tersebut bukan tempat jemuran—meski, memang, ia bisa dimanfaatkan sebagai tempat jemuran dan saya menggunakannya untuk menjemur handuk.
Pondokan kecil yang dijanjikan La Yamin hanya rampung separuh. Seperti pekerjaan-pekerjaan pertukangan lain yang sudah direncanakannya dengan niat menggebu-gebu, ia mandek di tengah jalan. Kendati demikian, saya tidak akan mengatakan La Yamin malas. La Yamin menunaikan kerjanya mengumpulkan tuna sambil ia menangkap tuna juga kala ia merasa mempunyai tenaga lebih.
Poin yang hendak saya sampaikan adalah, boleh jadi, merupakan naluri insani kita untuk menjadi bernilai—atau menghasilkan sesuatu yang bernilai—bagi sesama.
La Yamin, kata istrinya, sempat terpikir juga suatu hari untuk membuatkan saya sebuah meja kerja. Ia merasa kasihan melihat saya bekerja membungkuk berjam-jam di hadapan laptop yang ditaruh di atas koper. Saya belum melihat meja tersebut sampai dengan hari ini. Namun, saya cukup tersentuh mendengar niatnya yang, bahkan, tak pernah disampaikannya sendiri kepada saya.
Potret ini, saya kira, berharga untuk ditampilkan di sini. Di antara kita yang diwanti-wanti secara tidak adil dan terus-menerus, manusia pada kodratnya pemalas. Manusia tidak akan menghasilkan apa-apa bila tidak dipaksa bekerja, lebih-lebih bila mereka diberikan uang tanpa perlu berusaha. Mereka hanya akan berguling-guling seharian di atas kasur sampai bau dan berjamur, tertawa tak karuan di depan televisi atau gawai hingga ujung waktu.
Wanti-wanti tak berdasar ini tak berhenti di sini. Kerja dianggap belum sah sebagai kerja bila buruh yang melakoninya belum sengsara. Mereka belum bekerja bila mereka masih mengerjakan hal-hal yang mereka gemari atau menggirangkan hatinya. Dan kabar buruknya, bukan bos atau klien Anda saja yang berkeyakinan seperti itu.
Kisah Awkarno, bukan nama sebenarnya, sewaktu belum lama memperoleh gelar sarjananya tak asing bagi Anda, saya yakin.
“Ibu, Awkarno kerja apa?” tanya ibu-ibu tetangga. “Kok saya tak pernah lihat Awkarno berangkat ke kantor pagi-pagi ya?”
Ibu Awkarno kehilangan kata-kata. Ia pun segera menegur Awkarno yang berada di depan laptop dan sebenarnya tengah bekerja menyunting naskah. Awkarno diminta untuk melamar menjadi pegawai bank atau pegawai negeri sipil, seperti anak-anak temannya. Awkarno menceritakan bahwa pekerjaannya adalah penyunting. Ia merasa berguna dan mendapatkan imbalan dari orang yang memang puas dengan pekerjaannya. Ibunya tak mau tahu.
Pun, bukan hanya ibunya yang memperkarakan pekerjaan Awkarno. Ia sendiri akan merasa tercabik-cabik saat bertemu lagi dengan kawan-kawannya yang sudah mulai mencicil rumah, menanjak dalam tangga karier, dan kesulitan tidur nyenyak karena merasa belum melakukan apa-apa dalam hidupnya. Kelak, Awkarno akan kesulitan melanjutkan hubungan dengan kekasihnya karena masa depannya dianggap suram.
Namun, apakah Awkarno benar menjadi lebih berguna pada saat ia menjadi pegawai bank atau pegawai negeri sipil? Menderita, ya, bila ia harus bekerja sebagai telemarketing dengan target tak masuk akal dan caci maki dari orang yang terganggu teleponnya. Jemu, ya, jika ia sekadar menambah panjang rantai yang dibutuhkan pembayar pajak untuk mendapatkan layanan.
Lebih berguna? Belum tentu.
Anda tidak membutuhkan bank ataupun asuransi berbicara melingkar-lingkar menawarkan Anda skema yang baru kemarin, dua hari lalu, tiga hari lalu, seminggu lalu ditawarkan oleh pesaingnya. Pun, Anda tidak membutuhkan orang-orang rapat berkali-kali dulu sebelum mengecor lubang jalan yang sudah membahayakan banyak pengendara. Dan ketika para pekerja di bidang “padat karya” ini sudah berada di jabatan yang lebih tinggi, tidak ada jaminan mereka tak akan lebih banyak menghabiskan waktunya berpura-pura memanajemen.
Hanya saja, mengabdi dalam pekerjaan-pekerjaan ini memang lebih berguna bila tujuannya adalah untuk memamerkan kenestapaan. Kita, dengan menjalaninya, nampak benar-benar mengerjakan sesuatu dalam hidup alih-alih sekadar menumpang lewat sambil bergembira ria.
Dan kita sudah tahu apa yang dilakukan atau ingin dilakukan oleh kelas manajerial, penganut kafah pemahaman tentang kerja yang masokistis ini. Baru-baru ini, ambil saja, saya mendengar satu pertanyaan yang sangat memuakkan di Quora. “Saya punya dua pekerja,” tulis seorang CEO. “Mereka biasanya pulang kerja pada jam enam. Mereka bagus, tapi saya tidak suka komitmen mereka hanya bertahan sepanjang jam kerja. Apa yang perlu saya lakukan?”
Saya ingin menjawab, Anda bisa makan sepatu kulit Anda yang mahal itu.
Benar. Mereka ingin buruh bekerja selama mungkin—tak peduli jam-jam kerja tersebut tidak terpakai atau habis untuk pertemuan-pertemuan pengulur waktu. Mereka ingin melihat buruh tersiksa dengan pekerjaannya—tak peduli apa yang dikerjakan betul-betul berfaedah atau tidak. Elon Musk, junjungan kalian itu, punya saran yang bahkan lebih luar biasa lagi. Pekerja, menurutnya, seharusnya bekerja 80-100 jam per minggu. Mereka hanya dapat mengubah dunia dengan cara demikian.
Kendati demikian, memang, makna kerja yang demikian picik bukannya tanpa manfaatnya. Dan manfaat paling pertamanya, tentu saja, bukanlah untuk menjadi bernilai bagi sesama melainkan menertibkan. Bayangkan saja dunia di mana otomasi benar-benar diberlakukan untuk memangkas jumlah pegawai negeri sipil dan anggaran buncit yang sebelumnya dipakai untuk menggaji mereka dan membiayai rapat-rapat tak perlu dialihkan menjadi, katakanlah, pendapatan dasar universal.
Dunia yang menyenangkan? Tidak. Bagi kebanyakan orang, ini dunia yang baru membayangkannya saja sudah mencekam. Dan teror dari jagat semacam ini terletak, sebenarnya, pada citra anarkistisnya belaka. Semua bergerak, berseliweran tanpa koordinasi. Pilar-pilar masyarakat akan goyah. Orang-orang tidak punya arah dan tujuan yang jelas. Negara tidak akan jadi apa-apa.
“Mau jadi apa orang-orang, Bung Geger?”
Atau, secara lebih mendasar, pertanyaan retoris tersebut berbunyi, bagaimana kehidupan dimungkinkan tanpa adanya tatanan yang memaksa orang-orang terpampat dengan teratur di dalamnya?
Namun, seandainya orang-orang dipersilakan mengejar mimpinya masing-masing setelah keamanan mendasarnya dijamin, saya kira, yang pertama-tama terjadi bukanlah kekacauan yang menggerogoti sendi-sendi jagat sosial yang kita hidupi. Orang-orang tidak akan mengejar mimpinya secara harfiah dengan tidur seharian. Mereka, tetap, akan berusaha melakukan kerja-kerja yang bernilai bagi yang lain dan, sebagai seorang insan, mendapatkan nilai darinya.
Di dusun yang saya mukimi di Seram, waktu luang untuk beristirahat dari memancing tuna adalah momen kala pikiran-pikiran kreatif membuncah. Bukan hanya La Yamin yang tercetus untuk melakukan kerja pertukangan kala ia tidak memancing tuna. Para nelayan lain pun akan menyibukkan diri membuat atau melakukan sesuatu yang akan membantu dirinya atau orang lain di masa mendatang. Ada yang membangun rumah. Ada yang memperbaiki mesin perahu motor saudaranya. Dan ada yang dengan senang hati mengantar saya ke antara kenalannya di mana-mana untuk memperoleh data.
Bahkan, pekerjaan utama mengail tuna sendiri dilakoni oleh para nelayan bukan semata karena mereka akan mendapatkan uang dari sana. Bila tidak pergi memancing, mereka mudah merasa dirinya tidak berguna.
“Bosan, Mas!” ujar seorang teman kepada saya.
Saya tidak adil karena saya hanya menggunakan satu materi etnografi dan, lebih-lebih, etnografi saya sendiri? Baiklah. Bukan tanpa alasan di berbagai masyarakat adat kemalasan dikecam. Di antara masyarakat Pulau Gawa, Papua Nugini, katakanlah, tidur seyogianya hanya dilakukan di malam hari, bukan di siang hari. Orang-orang seharusnya pergi ke kebun kecuali ia sakit atau sudah renta. Sementara itu, di antara masyarakat Maenge, Pulau Britania Baru, Papua Nugini, “aktivitas adalah kebijaksanaan paling pertama dan kepasifan merupakan kecacatan sosial par excellence.”
Atau kita tengok potret dari situasi prekariat di Bukares, Rumania pascakomunis yang digali oleh Bruce O’ Neill. Apa yang menjadi horor di antara banyak bagian kelompok rentan di tempat ini bukanlah kemiskinan itu sendiri melainkan kejemuan yang datang darinya. Nescafé, bahkan, mengemas produknya bukan untuk melawan kantuk melainkan melawan kejemuan. “Kami,” ujar direktur kreatif Nescafé pada musim panas 2010, “memosisikan produk kami sebagai stimulus, seperti pemantik, yang membantu Anda menghindari kelenggangan yang berujung kejemuan.”
Dan sebagaimana yang dikatakan oleh Liviu, seorang tunawisma dan pekerja bangunan:
Kehidupan di jalanan sungguh tidak menyenangkan. Anda tidak punya perspektif maupun kedamaian. Anda melihat ke jam Anda dan sadar malam akan datang, dan Anda bertanya-tanya, “Ke mana saya perlu pergi? Apa yang mesti saya makan? Siapa yang bisa saya ajak duduk-duduk dan berbicara?” … Maksud saya, saya acap merasa tidak berguna. Saya membatin, “Untuk apa saya terus hidup?”
Manusia, saya yakin, lebih kompleks ketimbang citra yang dominan tentangnya hari ini. Jauh lebih kompleks. Ia tidak akan berleha-leha di rumah bila ia tak diharuskan menyiksa diri berjam-jam berada di kantor, tak mengerjakan banyak hal di samping hadir secara manut untuk menyenangkan bos dan keluarganya. Ia akan selalu terdorong untuk menciptakan nilai dan nilai, toh, hanya bisa diciptakan di mata orang lain.
Dan, yang paling penting, seseorang tidak perlu berterima kasih kepada bos atau negara yang mempekerjakannya bila alasannya adalah waktunya tidak akan terbuang cuma-cuma berkat mereka. Bahwa ia akan berguna bagi nusa dan bangsa hanya bila ia menyusahkan orang lain dengan kerja birokrasi yang tidak efektif atau menjejali mereka dengan produk produk finansial yang tak mereka perlukan. Kita, pasalnya, tahu, kita bukanlah penerima pemberian melainkan korban perampasan. Dan apa yang dirampas dari kita? Waktu kita untuk menghasilkan apa yang benar-benar berarti untuk diri kita sendiri serta orang lain.
Dan ia akan kian terampas bila kita terus termakan pesan, kerja adalah siksa dunia. Bahwa hanya dengan siksaan paksa tersebut kita tertempa menjadi manusia sepenuhnya. Bullshit!***
Geger Riyanto, mahasiswa Ph.D. Institut Antropologi Universitas Heidelberg