Kredit foto: ZVAB
HEGEL pernah mencatat bahwa semua fakta dan tokoh besar dalam sejarah dunia muncul dua kali. Ia lupa menambahkan, pertama kali sebagai tragedi, kedua kali sebagai lelucon. Setelah itu Karl Marx mungkin tidak sempat memikirkan untuk menambah ketiga kalinya sebagai strategi. Artikel yang ditulis Marx pada tahun 1852 ini diberi judul Brumaire Kedelapan-belas Louis Bonaparte dan merupakan tanggapan atas kudeta yang dilakukan keponakan Napoleon Bonaparte, yaitu Louis-Bonaparte satu tahun sebelumnya. Brumaire Kedelapan-belas dimaksudkan sebagai tanggalan revolusi Prancis, yakni 18 Brumaire atau 2 Desember 1851, tanggal kudeta Louis-Bonaparte dari presiden menjadi kaisar yang sengaja disamakan dengan tanggal pemahkotaan pamannya pada tahun 1804 silam sebagai kaisar Kekaisaran Prancis pertama. Dengan demikian sang keponakan pun mengangkat dirinya sendiri dengan gelar Kaisar Napoleon II dan berkuasa lewat Kekaisaran Prancis Kedua dari 1852 hingga 1870.
Kalau boleh bertanya, apa sih pentingnya artikel Brumaire ini? Memangnya masih relevan dibaca di abad ke-21 yang dipenuhi hingar bingar kenikmatan dunia? Awalnya memang meragukan, tapi ternyata terdapat beberapa alasan yang membuat artikel ini masih relevan dan penting untuk dibaca. Di sini, Marx memulai dengan kalimatnya yang paling terkenal. Dalam bahasa Indonesia, antara lain bertuliskan sebagai berikut:
“Manusia membuat sejarahnya sendiri, namun mereka tidak membuat seperti yang mereka inginkan, mereka tidak membuatnya berdasarkan keadaan yang mereka pilih sendiri, namun dari keadaan yang sudah ada sebelumnya, terberikan dan diwariskan dari masa lalu. Tradisi dari generasi yang telah mati membebani di dalam otak orang-orang yang masih hidup. Dan ketika terlihat sibuk dengan merevolusi diri mereka sendiri dan hal-hal lain, menciptakan sesuatu yang sebelumnya tak pernah ada, tepat dalam masa krisis revolusioner yang seperti itu mereka dengan cemas memunculkan roh-roh dari masa lalu untuk melayaninya, meminjam namanya, pekik peperangan, dan kostum-kostum dalam rangka menghadirkan adegan baru dalam sejarah dunia melalui penyamaran orang yang dihormati dari masa lalu dan bahasa yang dipinjam.” (Marx 2010: 103)
Sebagian dari kita tentu paham apa yang dimaksud dari kalimat di atas, kata-kata itu jelas merupakan gambaran kondisi sosial politik pada masa Marx hidup. Yaitu Perancis di abad ke-19, ketika pasang surut sistem pemerintahan dan naik turunnya pemimpin pasca Revolusi Prancis tahun 1789. Meski demikian sesungguhnya isi dari tulisan ini lebih dari itu, dengan gaya bahasanya yang khas, Marx mencoba membedah gejala-gejala sosial politik yang saat itu tengah terjadi di dalam masyarakat. Gejala yang sampai hari ini masih terjadi.
Ada tiga hal penting yang bisa kita petik dari tulisannnya. Pertama yakni sebagian besar keadaan masyarakat manusia yang ada hari ini merupakan hasil dari kondisi masyarakat manusia generasi yang telah hadir sebelumnya. Sebagai contoh yang paling jelas yaitu eksistensi negara kita hari ini. Indonesia, sebagai sebuah nama dengan makna politis, merupakan konsep yang digagas dan atas persetujuan oleh sekumpulan orang di kepulauan nusantara yang mana merupakan tokoh pergerakan nasional di paruh pertama abad ke-20 yang lalu. Selanjutnya Indonesia selalu menjadi identitas para pribumi atau bumiputera atau ‘orang Indonesia’ dalam berorganisasi dan memperjuangkan kemerdekaannya. Identitas ini tetap lestari hingga saat jatuhnya pemerintahan Hindia Belanda dan digantikan oleh pendudukan militer Jepang.
Konsep Indonesia ini pada masa sebelum kemerdekaan merupakan suatu identitas yang diciptakan dengan tujuan menyatukan segenap penduduk yang tinggal di kepulauan nusantara agar memudahkan perjuangan untuk merdeka dari pemerintah kolonial Belanda. Seiring dengan berbagai peperangan dan serangkaian diplomasi, akhirnya nama Indonesia pun bukan hanya menjadi identitas segenap penduduk saja melainkan menjadi identitas suatu pemerintahan negara yang disebut dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Negara ini pun kini hadir lengkap dengan sistem politik trias politica-nya dan lembaga-lembaga yang menjadi tumpuannya. Generasi yang lahir di kepulauan nusantara setelah tahun 1945 sudah hampir pasti bisa menyanyikan Indonesia Raya sambil memberikan hormat kepada bendera merah putih dan tentu bisa menjelaskan siapa nama dua orang yang fotonya selalu tergantung di atas papan tulis di depan kelas. Pemaknaan akan identitas Indonesia yang dimaknai oleh generasi yang lahir sebelum 1945 ini pun terwariskan kepada generasi pasca 1945 melalui negara modern yang melanggengkan makna-makna tersebut melalui tradisi, hukum dan segenap aparaturnya sampai hari ini.
Hal penting kedua dari artikel di atas yakni bahwa beberapa hal yang diwarisi oleh generasi sebelum kita sebagian dapat kita serap maknanya dan terkadang sebagian lainnya tidak. Entah yang kita maknai dan yang tidak kita maknai, terkadang keduanya tetap kita lakukan. Misalnya dari segi ikut berpartisipasi merayakan atau mengisi kemerdekaan, generasi hari ini sudah tentu punya cara yang khas pada zamannya. Ikut dalam kegiatan upacara bendera bagi sebagian orang bukanlah hal yang heroik ketimbang menonton Antonius Ginting berlaga di pertandingan badminton Asian Games 2018, dan bagi sebagian orang mendaftarkan diri ke akademi militer kurang membanggakan ketimbang mendaftarkan diri untuk beasiswa LPDP ke luar negeri. Dengan cara demikian kiranya sebagian besar orang hari ini bisa berbangga dan menyebut dirinya sebagai Indonesia. Meskipun kebanggan menjadi Indonesia itu sendiri adalah warisan dari generasi-generasi yang telah hadir sebelumnya, yang bagi kita sendiri terkadang sulit untuk menjelaskannya. Jika kita dihadapkan pada pertanyaan untuk apa kita membela Indonesia dan apa untungnya, sudah pasti kita akan kebingungan menjawabnya. Minimal kebingungan mencari pembenaran objektif untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Di saat kita kebingungan dalam menjawab apa yang sesungguhnya kita bela dan mengapa kita bangga sebagai Indonesia, maka di saat seperti itulah mereka yang memiliki kepentingan memanfaatkan kebingungan kita untuk menggiring kita ke argumentasi mereka. Dengan demikian mereka akhirnya mendapatkan dukungan kita. Inilah permasalahannya. Tradisi yang diwarisi dari generasi sebelum kita, yang tetap tinggal serta dilakukan sehari-hari berubah dan bahkan tak dimengerti lagi maknanya. Ia hanya menjadi sekadar kebiasaan atau formalitas.
Oleh karena itu hal penting ketiga ini yang paling berbahaya dari kebingungan kita sebagai massa rakyat, yakni kecenderungan seseorang atau kelompok tertentu untuk mengangkat kembali kisah-kisah lama guna melanggengkan kepentingannya dalam ranah ekonomi-politik saat ini. Misalnya, karena kebingungan soal apa yang sesungguhnya kita bela dari Indonesia, pikiran kita dengan mudahnya digiring oleh slogan-slogan dan janji-janji mereka yang punya kepentingan. Pada akhirnya kita pun mendukung dan membela mereka mati-matian, seakan mereka mesias yang turun dari langit. Kita pun melupakan apa sesungguhnya arti Indonesia. Layaknya Louis-Bonaparte mengangkat kembali romantisme kejayaan Napoleon, gejala ini pun masih terjadi di Indonesia. Ketika ada seorang tokoh dianggap Satrio Piningit, seorang tokoh yang sosoknya selalu bersanding dengan Soekarno, seorang warlord yang ingin membangunkan Macan Asia, bahkan para keturunan ‘raja jawa’ yang berusaha mengembalikan 32 tahun kejayaan ayahnya. Persis yang disampaikan Marx, mereka meminjam pernak-pernik romantisme dari masa lalu untuk menjawab kegelisahan kita yang sedang kebingungan. Kebingungan di pihak mana kita sekarang dan apa yang sesungguhnya kita bela dari Indonesia.
Padahal bila kita berpikir jernih, apa itu Indonesia, sudah tentu Indonesia itu representasi dari sekumpulan orang yang secara historis dinamakan sebagai bangsa karena menduduki kepulauan nusantara yang kini sehari-harinya harus berbecek-becek mencangkul di sawah, bersempit-sempitan di KRL, pegal-pegal kakinya karena berdiri seharian di pabrik dan juga yang hanya duduk ongkang-ongkang kaki melihat yang mereka bilang saudara sebangsa setanah air sedang kesusahan tapi diam saja. Sesederhana itulah wujud Indonesia, lantas di manakah Anda? Apakah Anda di antara orang-orang yang makan untuk hidup atau hidup untuk makan? Hidup dari upah atau hidup dengan mengupah? Yang berdesakan di TransJakarta atau yang berselonjor kaki di dalam Toyota Alphard? Jika sudah menemukan di mana posisi diri Anda di dalam masyarakat hari ini, Anda pun seketika pasti mengetahui apa yang harus Anda perjuangkan.
Kita kembali lagi. Tiga hal penting di atas membuktikan situasi hari ini yang kurang lebih serupa seperti hampir dua abad yang lalu, demikian membuktikan bahwa membaca tulisan Marx masih relevan. Selain tiga hal itu masih terdapat makna penting dalam beberapa paragraf artikel ini. Bila diterjemahkan ke bahasa Indonesia antara lain sebagai berikut:
“Revolusi sosial abad ke-19 tidak bisa memetik puisinya dari masa lalu, melainkan hanya dari masa depan. Revolusi itu tidak dimulai sebelum seluruh takhayul tentang masa lalu dibongkar. Revolusi-revolusi terdahulu memerlukan ingatan akan sejarah masa lalu demi mengumpulkan muatan revolusi itu sendiri. Demi mencapai muatannya sendiri, revolusi abad ke-19 mesti membiarkan orang mati mengubur orang mati. Di situ, kata-kata bergerak melampaui isi; di sini, isi bergerak melampaui kata-kata.” (Marx 2010: 106)
Marx menuturkan bahwa perubahan atau revolusi di abad ke-19 mestinya tidak lagi dibangun berdasarkan jargon-jargon dari masa lalu dan pemahaman yang dangkal saja. Namun dibangun dari keadaan yang aktual dan pemahaman logis atas apa yang sesungguhnya terjadi dalam masyarakat. Pada bagian ini, ia mengajak kita berpikir lebih jauh terhadap penyebab mendasar dari terulangnya sejarah dan mengapa tak seorang pun menyadarinya. Hal ini kiranya bisa kita jadikan seabagai bahan refleksi diri, khususnya dalam gerakan kita selama ini. Kata-kata Marx itu ditujukan tepat kepada masing-masing kita yang masih di persimpangan kiri jalan.
Apa kita akan terus berpegang teguh membela perjuangan kelas pekerja dengan metode Marxisme? Apa Marxisme masih bermanfaat di kala Artificial Intelligence lebih cepat menganalisis suatu permasalahan ketimbang Materialisme Dialektis dan Historis? Jika ternyata masih berguna maka kita mesti terus mengadaptasinya. Namun jika tidak, kita harus berani meninggalkannya dan segera move on. Sebab apalah arti ani-ani di saat ada celurit dan apa lagi arti celurit itu jika sudah ada mesin traktor pemanen. Sudah tentu siapa yang mempelajari dengan baik pasti akan memahami. Sama seperti Revolusi Oktober 1917 yang gilang gemilang itu pun akhirnya runtuh pada tahun 1991. Maka alangkah baiknya bila kita belajar dari kegagalan eksperimen sosialisme yang dirintis orang-orang Bolshevik itu, lalu berkomitmen untuk tidak mengulangi kesalahan seabad yang lalu dan belajar mengatur strategi baru. Sebab kegagalan para Stalinis di Rusia bukan disebabkan karena Marxisme yang tak lagi relevan, namun lebih karena pemahaman atas Marxisme yang dogmatis dan kurang kreatif.
Demikian beberapa pesan penting yang dapat dipetik dari artikel Brumaire Kedelapan-belas Louis Bonaparte. Senada dengan Marx, akan saya berikan improvisasi sedikit sebagai penutup tulisan saya yang tidak sempurna ini. Bahwa revolusi abad ke-21 tidak bisa memetik puisinya dari abad ke-19 dan juga abad ke-20. Revolusi-revolusi terdahulu memerlukan ingatan akan sejarah masa lalu demi mengumpulkan muatan revolusi itu sendiri. Demi mencapai muatannya sendiri, revolusi abad ke-21 mesti membiarkan orang mati menguburkan orang mati. Di sana kata-kata telah melebihi aksi, di sini aksi akan melebihi kata-kata.***
Kepustakaan:
Marx, K., & Engels, F. (2010). Marx Engels Collected Works 11. London: Lawrence Wishart.