Kredit ilustrasi: Alit Ambara (Nobodycorp)
SAYA pernah mencoba berpikiran baik. Dan kalau dipikirkan baik-baik, pandangan “mayoritas melindungi minoritas, minoritas menghormati mayoritas,” yang belakangan diumbar orang-orang yang perasaan halusnya tercabik-cabik eksistensi Bu Meiliana, memang terdengar seperti hubungan yang indah.
“Indah? Bung Geger su sarapan?”
Saya belum sarapan waktu itu. Tapi saya yakin, saya belum sempoyongan-sempoyongan amat ketika memilih kata “indah.”
Ambil saja hubungan persaudaraan kakak-adik. Kakak adalah sosok yang akan melindungi adiknya. Nalurinya terhadap saudaranya yang lebih belia adalah menjauhkannya dari segala marabahaya yang mungkin mengancam. Namun, apakah hal itu berarti sang kakak tak membutuhkan apa-apa sama sekali dari adiknya? Termasuk rasa hormat terhadapnya sebagai seseorang yang lebih tua, lebih mampu melindungi?
Tentu tidak. Agar relasi tersebut berjalan selaras, serasi, harmonis—serta menunaikan serenteng predikat yang akan Anda temukan di buku PMP lainnya—sang adik tak bisa berperilaku kurang ajar dan tak tahu adat terhadap sang kakak. Ia perlu membalasnya dengan menghormati sosok yang lebih tua dan melindunginya tersebut.
Sang kakak melindungi adiknya, sang adik menghormati kakaknya—nah, hubungan persaudaraan yang indah bukan? Tak ada, saya yakin, orang tua yang tak akan tersentuh olehnya.
Sayangnya, gambaran tersebut, saya segera sadar, tak tepat-tepat amat. Setidaknya, ada perumpamaan lain untuk menggambarkan hubungan “mayoritas-minoritas” yang lebih padan: hubungan antara raja dan vasalnya, sultan dan subjek kekuasaannya, patron dan kliennya.
Atau, kalau tak mau tedeng aling-aling, sekalian saja: hubungan preman dan pedagang pasar.
Preman melindungi pedagang? Tentu. Pertanyaannya, dari siapa? Dari komplotan garong ganas yang mengintai mereka setiap saat? Dari permainan harga para spekulan? Dari Jokowi?
Tentu saja tidak. Para preman melindungi para pedagang dari para preman ini sendiri.
Dan alangkah jitu sesungguhnya gambaran yang mencuat dari pikiran jelek ini. Mereka yang melekatkan diri dengan embel-embel mayoritas bilang, mereka sejatinya ingin melindungi Ibu Meiliana maupun semua kelompok minoritas. Niat mereka heroik, arif: menjauhkan orang-orang yang lebih lemah dari bahaya dan menggunakan kelebihan mereka untuk tujuan yang mulia. Hanya saja, kenyataannya, sang pelindung adalah juga pihak yang sedari awal membahayakan yang dilindungi itu sendiri. Sang penjaga adalah sumber malapetaka itu sendiri. Sang pahlawan adalah sang pembawa gara-gara itu sendiri.
Dari berbagai kesaksian terkait kasus penistaan agama Ibu Meiliana yang dihimpun Pusat Studi Agama dan Demokrasi Paramadina, termasuk versi yang diceritakan pihak yang bertentangan dengan Ibu Meiliana, Ibu Meiliana tidak melarang azan. Ia meminta suara azan diturunkan, benar. Ia mengeluh suara azan belakangan terlalu bising buatnya, benar. Namun, anggapan bahwa ia melarang azan tak lebih dari tuduhan belaka dan semua menceritakan ia muncul kala orang-orang mulai menyebarkan keluhan Ibu Meiliana.
Pun perlu diperhitungkan, Ibu Meiliana sudah tinggal di rumah kontrakannya selama delapan tahun. Ia sudah hidup berhadap-hadapan dengan masjid untuk waktu yang lama dan tidak pernah mengalami masalah sampai dengan belakangan.
Himbauan Bu Meiliana, dus, semestinya masih berkutat pada batasan yang manusiawi.
Dan apa yang terjadi?
“Ada orang Cina melarang azan,” orang-orang berorasi.
Massa berkerumun, berusaha mengusir Meiliana dan membakar rumahnya.
Rumah-rumah warga Tionghoa dirusak. Vihara dan kelenteng dibakar.
Meiliana divonis satu setengah tahun penjara. Para pembakar vihara dan kelenteng dihukum antara 1-2 bulan.
Jadi, dari siapakah sesungguhnya mayoritas hendak melindungi minoritas? Saya seharusnya tidak keliru ketika saya mengatakan: dari diri mereka sendiri.
Atau, mungkin juga saya keliru. Mungkin, tepatnya, mayoritas ingin melindungi minoritas dari perasaan halusnya yang tak bisa dikendalikan kalau-kalau tersenggol sedikit dan pecah. Itu sebabnya, buat mereka, Ibu Meiliana tak boleh mengeluh sama sekali, apa pun ketidaknyamanan yang dialaminya. Itu sebabnya minoritas harus menghormati mayoritas dalam artian sepenuh-penuhnya: membungkuk serendah-rendahnya, mengelukan mayoritas setinggi-tingginya.
Jangan coba-coba sentuh perasaan mayoritas tanpa kehati-hatian dan kehormatan penuh.
“Tapi, Bung Geger yang cebong, mengapa Anda perlu sesinis itu dengan kelompok mayoritas? Tidakkah Anda melihat bahwa minoritas sendiri yang kini semena-mena dengan keleluasaan yang diberikan mayoritas kepada mereka? Mereka menguasai ekonomi, menindas, serta mengeksploitasi mayoritas seenak perut mereka…”
Saya bukan cebong. Cebong akan mati kehabisan napas kalau mereka tidak membela Jokowi atau menghujat lawan politiknya dalam selang lima menit. Saya tidak.
Pikiran kita condong mengarahkan kemurkaan kepada minoritas bukan karena pada kenyataannya mereka selalu mengangkangi mayoritas. Kita, memang, punya kecenderungan untuk takut dengan perbedaan. Dan ketakutan ini dapat mencuat tak peduli ia memiliki alasan yang masuk akal atau tidak.
Dalam Perang Jawa, pasukan Pangeran Diponegoro membunuhi orang-orang Tionghoa. Hal tersebut mereka lakukan karena orang-orang Tionghoa dicurigai mendatangkan kesialan dan menyebabkan kekalahan mereka dari Belanda. Sebelumnya, pada tahun 1740, orang-orang Tionghoa menjadi korban pembantaian di Batavia. Kekisruhan antara kelompok Tionghoa dan Belanda, yang disebabkan kebijakan harga gula Belanda, beralih menjadi pembantaian yang dilakoni berbagai kelompok etnis di Batavia lantaran “hoaks” orang-orang Tionghoa berencana membunuh, memperkosa, dan memperbudak mereka.[1]
Di pedalaman Kalimantan Barat pada pertengahan 1960-an, kelompok Dayak, yang tak mempunyai masalah dengan kelompok Tionghoa, memerangi mereka setelah militer, yang ingin menanggulangi bahaya komunis di sana, merekayasa tuduhan orang Tionghoa membunuh orang Dayak. Juru bicara Kodam XII, dalam kata-katanya sendiri waktu itu, mendorong orang-orang Dayak “membalas darah [orang Dayak] dengan darah [orang Tionghoa].”[2]
Perbedaan adalah bahan bakar ketakutan. Minoritas acap harus menanggung kebencian semata karena mereka terlahir berbeda dan nampak “menakutkan.” Mereka, karenanya, mengutip René Girard, menjadi sasaran pengganti untuk amarah yang sejatinya tak mempunyai sasaran.[3]
Atau, kalau Anda lebih senang saya menggambarkan poin saya dengan contoh yang netral, tidak bias, tidak berpihak, ambil saja orang-orang Rohingya yang menjadi sasaran persekusi keji rezim di Myanmar. Orang-orang Muslim-Rohingya—ya, predikat Muslim sepenting itu untuk Anda bukan?—diusir, dizalimi, dan dibunuh terlepas mereka tak pernah mengancam “mayoritas.” Ruang gerak mereka dibatasi dengan sangat menyesakkan oleh negara sejak 1980-an. Mereka memerlukan surat untuk pergi keluar desanya. Mereka bahkan harus memperoleh izin pemerintah untuk bisa menikah yang acap baru akan terbit setelah bertahun-tahun.[4]
Orang-orang Rohingya tak memiliki apa pun. Namun, “mayoritas,” yang disusui tak habis-habis rasa kebenciannya oleh rezim maupun pemuka agama tak bertanggung jawab, terus-menerus membidiknya sebagai teroris, bahaya, dan jahanam.
Lantas, pada titik ini, sebagai mayoritas di Indonesia yang bijak dan mengayomi, Anda percaya minoritas dengan sendirinya selalu merupakan penginjak-injak mayoritas, sumber malapetaka, tamu tak tahu diri?
Etnisitas dan agama minoritas bukan penanda yang memadai dari seberapa bejat seseorang. Percayalah.
Sayangnya, saya boleh jadi tengah berbicara dengan tembok. Mayoritas bukan embel-embel kopong belaka. Mayoritas, di mata elite, berarti suara, legitimasi politik. Dan menggosok-gosok perasaan superioritas mayoritas selalu merupakan jalan pintas untuk meraih jabatan serta pengaruh di era demokrasi liberal yang menuntut orang-orang bercentil-centil ria ini.
Siapakah Ald dan Rudi, penggerak persekusi Ibu Meiliana? Mereka adalah para pengerah massa untuk politisi lokal—“wirausahawan konflik” dalam istilah para peneliti Pusad Paramadina. Mereka terlatih mengumpulkan, menggugah, serta memprovokasi massa. Dan cara yang sudah mereka tahu betul keampuhannya untuk menunaikan tugasnya tak lain, tak bukan adalah membersitkan imajinasi mayoritas tengah dikangkangi oleh minoritas.
Ald dan Rud adalah anak dari zamannya dan bangsanya. Mereka bukan hanya punya banyak padanan di berbagai tempat lain—wirausahawan-wirausahawan konflik lainnya. Mereka punya padanan seorang tokoh yang dikagumi dan dielu-elukan seantero Indonesia. Namanya Rizieq Shihab. Ketenarannya melejit tiada tara sejak ia berulang-ulang menyerukan “bunuh Ahok”.
Di altar kehendak mayoritas, minoritas adalah korban sajian yang diminta.
Maafkan saya karena sempat berpikiran baik-baik, hubungan mayoritas dan minoritas di Indonesia adalah hubungan yang indah.***
Geger Riyanto, Mahasiswa Ph.D. Institut Antropologi, Universitas Heidelberg, Jerman
———–
[i1 Benny G. Setiono. Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta: TransMedia, 2008.
[2] Jamie S. Davidson. From Rebellion to Riots: Collective Violence on Indonesian Borneo. Madison, WI: The University of Wisconsin Press, 2008.
[3] René Girard. The One by Whom Scandal Comes. Michigan: MSU Press, 2014.
[4] Chris Lewa. “North Arakan: An Open Prison for the Rohingya in Burma”. Forced Migration Review 32 (2009): 11-13.