Kredit ilustrasi: Alit Ambara (Nobodycorp)
ADA dua idiom yang tengah santer di kuping kita hari-hari ini. “Kecil” dan “Insignifikan.” Gerakan kiri, katanya, “kecil” dan “insignifikan.” Tak berarti apa-apa tapi nekat. Tak punya kekuatan tapi sok kuat. Nafsu kuda, tenaga kura-kura.
Namun, idiom “kecil” dan “menggemaskan”—eh, “insignifikan”—dalam pengertian yang dipakai tulisan yang menyakitkan hati banyak orang itu, bukan cuma bisa disandarkan kepada gerakan kiri. Indonesia menjadi saksi pusparagam ambisi politik mahabesar yang berakhir jadi artikel di media daring belaka—viral pun paling-paling sebulan.
Salah satunya: ambisi politik yang berharap terlalu muluk-muluk pada birokrasi.
Sebut saja contohnya, agar tidak menyinggung siapa pun kecuali rezim, Gerakan Nasional Revolusi Mental. Gerakan ini, lebih-lebih, menghabiskan dana yang tak bisa dibilang “insignifikan.” Besarannya, untuk sosialisasi tahun pertama saja, Rp149 miliar. Anggaran ini turun dari waktu ke waktu. Akan tetapi, berbagai kementerian, di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), lantas diinstruksikan menyelenggarakan pelatihan-pelatihannya sendiri dengan tajuk revolusi mental. Anggaran menjadi beban tanggungan tiap kementerian—jumlahnya pun tak kecil.
Kemenko PMK juga mengucurkan dana miliaran untuk menggelar Kuliah Kerja Nyata dengan tema revolusi mental di 48 kampus. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat membuka tender pembangunan “Ruang Terbuka Publik Revolusi Mental” di daerah-daerah.
Masih banyak lagi? Masih banyak lagi, benar, bila Anda cukup telaten menelusuri satu-persatu program instansi-instansi pemerintah.
Tentu saja Gerakan Nasional Revolusi Mental memperoleh keistimewaan hingga sedemikian heboh. Revolusi mental merupakan wajah Jokowi dalam kampanye pemilihan presiden 2014 silam. Ia adalah janji yang harus dilunasi secara telanjang di muka publik. Ruh yang membutuhkan badan yang gagah, kekar, dan lagi berwibawa.
Persoalannya, apa yang dijanjikan ialah “kesadaran abstrak.” Revolusi mental, jelas seseorang yang pernah ditempa sebagai pelatih revolusi mental, “[berarti] membuat perubahan ke arah yang lebih baik, dimulai dari diri sendiri dan secara nyata dalam lingkup keseharian.” Saya tak yakin, sebelum ada program revolusi mental kita kekurangan orang untuk menyuruh kita berbuat kebaikan. Kita mendengarnya setiap bulan dari motivator, setiap minggu dari pemuka agama, atau setiap malam jika saya sedang cukup insaf membaca renungan harian.
Pada titik tertentu, pesan semacam tak terhindarkan akan menjadi banal dan membosankan. Anda pasti dapat membayangkan tanpa perlu terlibat dalam pelatihan-pelatihan revolusi mental. Acara-acara yang digelar menjadi menarik hanya karena ia menawarkan uang transportasi atau pelarian dari kepenatan kantor yang lebih menjemukan.
Kemengawangannya ini pun belum terbilang persoalan utamanya. Yang lebih bermasalah lagi, ia ditanamkan lewat birokrasi yang asasnya—di atas segala-galanya—adalah akuntabilitas. Akuntabilitas terdengar positif, memang. Mantra yang bila dijalankan berarti pemerintahan bergulir dengan baik. Akan tetapi, birokrasi pun menjadi mesin yang dalam dirinya sendiri pincang untuk melansir perubahan politik yang acap diidam-idamkan para pemimpinya.
Program-program lansiran birokrasi akan selalu mengerucut menjadi rapat koordinasi, seminar, pelatihan, diskusi terpimpin, cetak spanduk, penayangan iklan, ataupun pembangunan fasilitas fisik. Alasannya, semata lantaran harga semen bisa ditakar, sewa ruangan dan kamar hotel ada hitung-hitungan pastinya, pemateri seminar punya tarifnya, uang transportasi ada pagu jelasnya.
Anggaran lebih besar? Ia berarti honor rapat koordinasi dan pembicara yang lebih besar, kegiatan yang lebih panjang, atau nilai kontrak untuk penyedia jasa yang lebih menggiurkan. Program semakin ampuh? Belum tentu. Karena membuktikan mental yang sudah terevolusi rasanya cukup sulit. Kita ambil saja situs resmi revolusi mental sebagai contoh. Nilai pembuatan situsnya mencapai Rp200 juta. Nilai pengelolaan situs antara Maret-Desember 2018 mencapai Rp450 juta. Namun, di samping tampilan yang seadanya, alamat web yang menumpang di shared hosting, sepanjang tiga tahun situs ini baru menghasilkan enam infografis dan 294 dukungan.
Saya bahkan belum menyinggung, tender untuk situs ini baru rampung pada pertengahan tahun ini terlepas Gerakan Nasional Revolusi Mental sudah dimulai sedari tiga tahun silam.
“Ah, Bung Geger ini menggunakan satu kasus untuk memukul rata semuanya! Bung ini tidak materialistis, tidak dialektis!”
Ada satu guyonan perihal birokrasi yang begini bunyinya:
Butuh berapa orang untuk mengganti sebuah lampu yang putus?
Satu orang. Kalau sudah ada lampunya paling lama sepuluh menit.
Butuh berapa orang kalau Kementerian Pekerjaan Umum mau mengganti sebuah lampu yang putus?
Sepuluh orang. Tujuh kali rapat koordinasi. Itu pun belum tentu kelar dalam rentang tiga bulan.
Guyonan ini menggelikan pasalnya ia benar di berbagai tempat.
Ada alasan, tentu, mengapa Nayanika Mathur, yang meneliti pelaksanaan UU Penjaminan Kerja Desa Nasional dan UU Perlindungan Margasatwa di Himalaya, menyebut negara sebagai macan kertas. Kenyataan yang diakui aparatur negara di sana sebatas kenyataan di atas kertas—meminjam istilah David Dery, papereality—dan dampaknya, ketika macan tutul muncul di Gopeshwar, negara tak melakukan apa-apa sepanjang dua bulan. Macan tutul menyerang dan membunuhi warga. Selagi semua itu terjadi di depan mata. Para pegawai negeri sipil disibukkan dengan tumpukan dokumen serta alur koordinasi berbelit-belit yang perlu mereka tuntaskan sebelum dapat menerjunkan tim penjinak.[1]
Ketaatan para aparatur negara tidak ada pada realitas melainkan kertas. Keberhasilan mereka, sebagaimana juga para pengawal garda depan revolusi mental, terletak di keterlaksanaan apa yang tertulis belaka alih-alih beresnya perkara.
Atau bandingkan dengan apa yang dialami oleh seorang kawan. Ia tinggal di Berlin. Ia ingin mengambil paspornya yang dikirim ke sebuah kantor pos. Ketika diminta bukti identitasnya, kawan saya memperlihatkan kartu mahasiswanya. Tetapi, petugas kantor pos bersikeras menagihnya untuk memperlihatkan paspor.
“Paspor saya ada di dalam paket itu,” ujar sang kawan.
“Tidak bisa. Peraturannya, Anda harus memperlihatkan paspor sebelum membuka paket.”
Pun, birokrasi bukan hanya asyik dalam jagat rayanya sendiri. Para pengawal perubahan dari dalam mesti berhadapan dengan segenap kemelut yang mencuat dari kondisi-kondisi “material” dan “historis.” Pegawai yang berjubel dan inkompeten akibat birokrasi, untuk waktu yang lama, menjadi perkakas mendulang suara pemilih. Direktorat yang diada-adakan demi menampung banyaknya pegawai serta kemauan ajaib para petinggi yang dimanja struktur yang feodalistis. Fragmentasi antarinstansi karena masing-masing merupakan lapak untuk partai dan ormas yang berbeda.
Akibatnya? Katakan para pengawal perubahan ini menggagas sebuah simposium untuk mendesakkan agenda progresif menjadi kebijakan pemerintahan yang menyeluruh, sistematis, dan masif. Tak ada jaminan apa yang mereka kerjakan dengan susah payah—kerja menggelar simposium itu berat, mari kita hargai mereka—akan berakhir sebagai lebih dari capaian rutin instansinya. Simposium-simposium pemerintahan berulang kali digelar. Banyak dari antaranya yang berakhir menghasilkan poin-poin yang bukan saja tak punya kekuatan. Menyeberang ke instansi sebelah yang punya wewenang saja, bahkan, poin-poin ini tak mampu.
Ada saja, tentu, kekuatan penekan yang sanggup menggalang birokrasi untuk bergerak agak seirama—itu pun agak—mendorong kebijakan besar yang agak padu dan, akhirnya, memungkinkan mereka melakukan sesuatu yang lebih bermakna ketimbang sekadar menghamburkan anggaran. Sayangnya, dengan insignifikannya gerakan alternatif—lagi-lagi bukan pendapat saya, lho—kekuatan penekan yang mendikte mereka biasanya cuma berganti-gantian antara semangat konservatisme religius, investasi, atau harga diri negara.
Contoh pertama: beberapa tahun terakhir ini, lembaga-lembaga negara menetapkan dan menegakkan aturan-aturan bercorak Islam konservatif. Penetapan peraturan yang membatasi ruang gerak perempuan di satu tempat. Uji keperawanan dalam penerimaan anggota baru di tempat lain. Perumusan RKUHP yang akan mengkriminalisasi orientasi seksual minoritas secara nasional.
Kendati tak ada yang mengoordinasi, lembaga-lembaga ini melakukannya dengan kekompakan yang menakjubkan. Dunia seolah besok kiamat bila urusan-urusan pribadi tidak selekasnya dijamah tangan negara.
Dan dampaknya permanen.
Contoh kedua dan ketiga: kompaknya lembaga-lembaga negara dalam merealisasikan proyek-proyek strategis bernilai spektakuler.
Pembangunan pabrik semen di Kendeng, katakanlah. Proyek ini terus berjalan kendati dihadang oleh gerakan petani Kendeng, jaringan solidaritas yang melingkupi berbagai kalangan maupun skala, keputusan Mahkamah Agung serta Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Izin pembangunan dicabut Mahkamah Agung? Tak masalah. Gubernur Jawa Tengah, tak pakai lama, menerbitkan izin baru. KLHS jelas-jelas merekomendasikan penambangan harus dihentikan? Tenang saja. Siapa yang benar-benar bisa menghentikannya kalau aparat bersenjata mengamankan pembangunannya di lapangan?
Ketika harga diri negara dipertaruhkan dan nilai investasi yang terkucur tak tanggung-tanggung, aparat negara menjadi kesatuan yang tumben solid. Kesatuan ini bahkan menginjak-injak aturan main yang biasa mereka patuhi dengan buta dan sudah diikuti gerakan petani Kendeng dengan sabar.
Saya, tentu saja, tak menihilkan kesempatan menyisipkan agenda-agenda politik melalui birokrasi. Hanya saja, alangkah bijaksananya bila kita pun tidak terlalu centil dan insaf, birokrasi merupakan lembaga signifikan yang acap kali insignifikan. Besaran anggaran yang menakjubkan, jaringan yang tersebar di segala pelosok dan serba menjangkau, direktorat yang lengkap tak dengan sendirinya merupakan modal andal untuk menunaikan ambisi-ambisi agung dan mulia.
Apa yang lebih acap terjadi ialah ambisi-ambisi tersebut terkerangkeng dalam apa yang disebut Max Weber penjara besi birokrasi, atau dikangkangi ambisi-ambisi yang didampingi modal dan moral, konsultan dan agamawan, tentara dan umat yang resah.
Anda butuh sebuah lelucon untuk menutup tulisan ini? Baiklah. Saya berikan satu lagi.
Apakah instansi pemerintahan dapat mengguncang Indonesia bila mereka diberikan lima—tidak, lima puluh—pemuda yang menguasai materialisme dialektis?
Jawabannya, tidak, sebab mereka semua akan dijadikan notulen rapat.***
————
[1] Nayanika Mathur, Paper Tiger: Law, Bureaucracy and the Developmental State in Himalayan India, Cambridge: Cambridge University Press, 2016.