TAK banyak pembanyol Indonesia yang menarik perhatian saya. Kadang saya menonton mereka lewat video online. Mungkin karena selera saya berubah. Tinggal di Amerika membuat saya mengonsumsi lebih banyak banyolan ala negara ini. Terus terang, saya rajin menyimak show seperti Late Night Show yang diampu Stephen Colbert, Daily Show-nya Jon Stewart, komedian atau yang nyebelin namun menggelitik seperti Bill Maher.
Namun tidak ada yang lebih menarik perhatian saya ketimbang pembanyol kulit hitam. Saya menyukai Chris Rock yang nakal itu. Saya juga menyukai Dick Gregory, yang suka mencampurkan banyolannya dengan sedikit teori konspirasi.
Ada alasan tertentu yang membuat saya menyukai pembanyol kulit hitam. Lelucon mereka biasanya berupa ‘dark humor’ yang lebih ke menertawakan diri sendiri. Mereka mengubah kepahitan dan kegetiran menjadi tawa yang perih, sekaligus menghantam ke jantung intelek para pemirsanya. Masa lalu sebagai budak dan rasisme yang terlembaga di Amerika ini melahirkan banyolan getir dari para pelawak kulit hitam ini.
Banyolan tunggal atau banyolan perseorangan, atau yang—bahkan di Indonesia!—lebih dikenal dalam istilah bahasa Inggrisnya sebagai stand-up comedy, memang bukan sesuatu yang baru di Indonesia. Hanya saja, dalam pengamatan sepintas saya, genre yang muncul sesudah Orde Baru agak berbeda. Sebelum atau selama Orde Baru, banyolan tunggal biasanya muncul sebagai pembuka pertunjukkan.
Kalau Anda akrab dengan Srimulat, Anda akan mendapati banyolan tunggal sebagai pembuka. Biasanya yang membuka pertunjukan adalah pembantu/babu/batur, yang tugasnya memperkenalkan siapa majikannya (karakternya, kebiasaannya, kekayaannya, dan lain-lainnya). Tentu si babu/batur ini kadang menyelipkan sedikit ejekan tentang tuannya. Semacam ‘hidden transcript‘ yang dilakukan oleh para kere-tuna-kuasa terhadap tuan yang memegang leher kehidupan mereka.
Bahkan di zaman Orde Baru yang mencekik kebebasan berbicara, banyolan kadang muncul sebagai kritik terhadap penguasa. Karena Suharto selalu mengimajinasikan dirinya sebagai ‘Prabu Jawa’, ia pun memperlakukan pembanyol sebagai punakawan. Inilah yang mungkin menjelaskan mengapa, sepanjang pengetahuan saya, selama Orde Baru tidak ada pelarangan pentas terhadap kelompok pembanyol. Berbeda halnya dengan pentas teater atau bahkan baca puisi. (Tolong dikoreksi kalau saya salah).
Kritik lewat banyolan masih diperbolehkan, namun hanya boleh disampaikan oleh mereka yang memang dikenal berprofesi sebagai pembanyol. Ketika banyolan itu disampaikan oleh aktivis, maka hasilnya adalah, ya, masuk penjara.
Saya ingat ada kawan aktivis yang memplesetkan SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah), yaitu lotre macam kupon togel yang amat populer di kalangan rakyat biasa. SDSB yang bertujuan mulia itu (tujuannya membantu kegiatan sosal dan dikelola Departemen Sosial!) kemudian diplesetkan menjadi “Suharto Dalang Segala Bencana”. Alhasil, kawan tadi masuk penjara.
Namun toh banyolan-banyolan lucu tidak hilang di masa Orde Baru. Ia pun menjadi ‘hidden transcript’—diceritakan di balik punggung penguasa. Rakyat kebanyakan jadi seperti babu atau batur di panggung Srimulat. Mereka kentut diam-diam ketika penguasa berlalu di depan mereka. Itulah.
Setelah Orde Baru, muncul para pembanyol perseorangan. Ini terjadi mungkin karena menceritakan banyolan tidak lagi beresiko masuk penjara atau ditahan. Akhirnya pembanyol tunggal menjadi mainstream. Mereka disiarkan di TV-TV. Mereka diundang untuk mengisi acara. Mereka menjadi bagian dari kaum mapan (establishment). Bahkan sebuah stasiun TV memiliki acara “Stand Up Comedy Indonesia” (sic!). Tampak sekali bahwa mereka mau meniru mentah-mentah acara stasiun TV Comedy Central di Amerika.
Saya banyak menonton para pembanyol tunggal ini dan acap kali tidak terlalu puas dengan materi banyolan mereka. Awalnya, saya pikir saya sudah ‘diracuni’ gaya banyolan di negara tempat saya tinggal. Namun saya masih selalu tertawa ngakak ketika menonton Wayang Cenk Blonk yang disampaikan dalam bahasa ibu saya, Bahasa Bali. Dalang I Wayan Nardayana dari Desa Belayu, Tabanan, menurut saya adalah salah satu seniman Bali kontemporer yang jenius.
Akhir-akhir ini, ada satu pembanyol yang menarik perhatian saya. Namanya Ari Kriting. Kebanyakan pembanyol Indonesia berasal dari Jawa. Sangat sedikit yang dari luar Jawa. Ada Mongol, misalnya, yang dari Manado. Namun dia lebih banyak menyampaikan banyolannya dengan dialek Jakarta. Kalau pun ada ‘tokoh’ luar Jawa, maka itu biasanya adalah orang Jawa yang mengambil alter ego sebagai orang luar Jawa. Nanu dari Warkop, misalnya, mengambil alter ego sebagai orang Batak. Kasino, juga dari Warkop, pernah menjadi orang Bali.
Saya melihat sesuatu yang sangat orisinil dari Ari Kriting. Dia adalah orang Papua. Sekalipun dari penelusuran saya dia lahir di Kendari, Sulawesi Tenggara. Namun dia tidak menghapus identitas Papuanya. Rupanya dulu dia juga adalah seorang ‘aktivis.’ Dia membuat beberapa banyolan tentang mengapa dia berhenti jadi aktivis. Masyarakat tidak ada lagi yang memperhatikan, katanya. Sehingga dia merasa “kehilangan pekerjaan.”
Banyolan-banyolan yang disampaikan Ari adalah banyolan yang bisa dimasukkan ke dalam ‘dark comedy’. Dia banyak menertawakan dirinya sendiri, khususnya yang terkait dengan identitasnya sebagai ‘orang Timur’. Semua yang mendengarnya tahu persis bahwa yang dia maksudkan adalah identitasnya sebagai orang Papua. Di banyak kesempatan, dia (entah sadar atau tidak) selalu membikin pembedaan antara ‘orang Indonesia’ dengan ‘orang Timur’. Dengan cepat pula kita menangkap bahwa di dalamnya ada syakwasangka dari ‘orang Indonesia’ terhadap ‘orang dari Timur.’
Secara samar-samar, walaupun tidak dikatakan dengan tegas, dinyatakan bahwa pondasi dari semua syakwasangka ini adalah rasisme.
Saya menonton satu pidato Ari di acara Kamisan. Ini adalah acara rutin yang digelar setiap hari Kamis di depan Istana Negara dan sudah berlangsung lebih dari 500 minggu. Sebuah prestasi tersendiri, tentunya. Prestasi lainnya, selama lebih dari 500 minggu itu, setiap Presiden yang bertakhta di Istana itu cuek terhadap apa yang terjadi di luar pagar istananya. Presiden yang sekarang berkuasa pernah berjanji akan menuntaskan persoalan yang dijadikan sasaran protes setiap minggu itu.
Ya, cuma itu. Pernah.
Di sini lebih jelas Ari berbicara tentang dan untuk Papua. Dia membahas tuduhan bahwa orang Papua tidak tahu berterima kasih. Persis tuduhan itulah yang dulu dilontarkan oleh orang Indonesia kepada orang Timor Leste.
Banyolan yang disampaikan oleh Ari pada satu acara penganugerahan gelar juara sepakbola yang saya bagikan di sini benar-benar merupakan humor yang getir. Dia bercanda tentang bagaimana sepakbola menyelamatkan orang Papua. Kalau tidak ada sepakbola, orang Papua hanya menjadi keamanan. Orang Papua hanya dilihat secara fisik. Kalau berkelahi harus di depan. Kemudian dia menyelipkan ironi di sana-sini. Kenyataan pahitnya adalah bahwa Papua dan daerah Timur adalah daerah dengan gizi paling buruk!
Banyolan-banyolan ini sangat orisinil dan kualitasnya hampir sama seperti yang disampaikan Dick Gregory. Petinggi-petinggi sepakbola semua hadir di sana, termasuk Letjen TNI Edy Rahmayadi yang jadi ketua PSSI dan (tentu saja) punya pengalaman melakukan operasi militer di Papua. Walaupun tidak menyentil politik, saya melihat kedalaman persoalan rasisme yang diangkat Ari. Sekalipun mungkin jenderal yang hadir di sana tidak menangkap apa yang dia sampaikan.
Bangsa Papua memiliki tradisi membanyol yang amat tinggi. Cobalah berkumpul dengan lebih dari satu orang Papua. Dengarkanlah mereka mulai membuat ‘mop’ atau cerita-cerita lucu. Dan nikmatilah mereka tertawa. Sampai merayap, begitu sering kata mereka.
Saya kira, Ari Kriting berasal dari tradisi ini. Disadarinya atau tidak, banyolan-banyolan yang dia sampaikan sebenarnya menyentuh dasaran diskriminasi Indonesia terhadap Papua. Apa yang dia sampaikan lewat banyolan-banyolannya itu sendiri sesungguhnya adalah ‘hidden transcript’, yang kalau disampaikan secara terang-terangan dan lewat cara beradab akan sangat beresiko. Untuk anak-anak muda Papua, resikonya adalah kematian. Dan itu sangat nyata.
Saya membayangkan bahwa almarhum Arnold Ap tersenyum bangga melihat keberhasilan seorang anak Papua menyampaikan pesan bangsanya lewat sarana kebudayaan. Apa yang tidak bisa disampaikan secara terbuka, akan disampaikan dengan pembangkangan, kalau membangkang tidak mungkin lagi, maka orang akan mulai menyanyi, menari, mengarang puisi, atau membuat banyolan. Sekali lagi, para hina dina akan diam-diam kentut ketika tuannya melintas.***