HALO perkenalkan saya Hugo. Saya seorang pendengar dan penikmat musik, jadi kali ini saya mau mengajak Anda membahas sedikit tentang musik. Pernahkah Anda mendengar kata The Internationale atau Internationale? Jika Anda penggemar sepakbola sudah pasti langsung ingat Inter Milan, para gamers tentu saja tahu itu merupakan turnamen Dota sedunia, dan bagi yang suka nonton film mungkin langsung ingat film yang dibintangi Clive Owen serta Naomi Watts. Tapi bagi orang-orang di persimpangan kiri jalan, rata-rata pasti paham kata itu. The Internationale buat mereka merupakan sebuah tembang hits kelas pekerja sedunia. Sebuah lagu yang pertama kali ditulis oleh Eugene Pottier pada bulan Juni tahun 1871, beberapa tahun setelah terbentuknya International Workingmen’s Association atau First International yang diprakarsai oleh kelas pekerja Eropa. Ditulis dan dinyanyikan dalam bahasa Perancis, sampai kini lagu ini masih dinyanyikan, dari pembukaan Kongres Partai Komunis Tiongkok hingga ke penutupan Belok Kiri Fest. Meski telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa serta berbagai macam genre music, salah satunya dalam Bahasa Indonesia yang diterjemahkan oleh W.R. Supratman dan juga versi electronic music oleh Formant Brothers, lagu tersebut punya satu pesan yang tak berubah dari abad ke-20 hingga kini, yaitu perjuangan melawan penindasan kapital.
Mengapa Internationale terus dinyanyikan? Atau mengapa lagu Despacito-nya Luis Fonzi feat Daddy Yankee dan Akad-nya Payung Teduh bisa terus menerus diputar pada pertengahan hingga akhir tahun 2017 kemarin? Awalnya saya sedikit terheran-heran dengan gejala itu. Saya sendiri memang bukan pengamat musik seperti Bens Leo atau jurnalis musik seperti Soleh Solihun, tapi menurut pengamatan serta pendengaran sejauh ini setidaknya ada tiga alasan atau prasyarat umum yang membuat kedua lagu tersebut bisa sampai diputar di segala tempat dan didengarkan siapapun.
Pertama, tentu saja karena ada industri musik itu sendiri. Adanya suatu perusahaan rekaman serta rumah produksi memungkinkan lagu-lagu bagus diproduksi, dirilis dan disebarkan melalui Youtube, Spotify, iTunes dan sebagainya. Ya kalau soal alat musik dan siapa yang memainkannya sih sudah pasti memang prasyarat juga. Inspirasi dari sang pembuat lagu-lagu itu juga faktornya. Tapi hari ini sebuah lagu tanpa adanya perusahaan rekaman mungkin hanya berakhir dimainkan untuk diri sendiri saja atau paling banter masuk ke akun Youtube dan Soundcloud pribadi. Melalui studio rekaman, lagu diolah melalui proses rekaman yang termasuk tahap mixing dan mastering. Setelah proses tersebut, lagu dikirim ke major label atau perusahaan tertentu untuk didistribusikan ke toko-toko musik dan berbagai perusahaan media. Beberapa penyanyi atau band akan membuat video clip tersendiri dengan menyewa rumah produksi untuk memasarkan lagu dan mungkin juga album mereka. Dengan demikian, proses sampainya lagu 24K Magic-nya Bruno Mars atau Asal Kau Bahagia-nya Armada hingga ke telinga kita tidaklah sesederhana yang kita bayangkan.
Syarat kedua, memiliki kesamaan nada yang universal di telinga manusia. Anda belum tentu mampu menjelaskan makna di balik lagu Despacito atau Akad, namun yang pasti Anda mampu menikmati alunan musik dari kedua lagu itu. Musik yang mudah dinikmati itu nyatanya bisa didengarakan sambil bergoyang, mudah untuk dimainkan atau bahkan sederhana nadanya sehingga mudah di-cover dengan berbagai versi. Oleh karena itu alat musik dan nada yang digunakan dalam menciptakan suatu lagu memang berasal dari alat musik serta nada yang secara umum diterima orang banyak. Misalnya lagu tersebut dihasilkan dari bunyi-bunyian yang terdiri dari gitar, piano, bass, cello, biola, synthesizer, harmonica, drum dan lain-lain. Tentunya dengan nada yang merupakan kord serta notasi beraransemen tangga nada tertentu, meski secara langsung atau tidak langsung disusun atau tersusun namun indah didengarkan. Contohnya lagu berjudul Air on the G String karya Johann Sebastian Bach yang bagi sebagian orang terasa sangat emosional dan bagi yang lain mungkin tidak sama sekali. Karena memang lagu dari J. S. Bach tersebut hanyalah suatu paduan orchestra yang menampilkan musik saja tanpa syair sama sekali, namun musik yang dihasilkan dan didengarkan itulah yang menyentuh relung hati terdalam. Ini dia bukti dari musik mampu masuk ke dalam ranah otak dan psikologi manusia.
Syarat ketiga, masih sangat erat kaitannya dengan yang kedua. Sebuah lagu yang mendunia, selain didukung oleh industri musik dan dan alunan musiknya yang easy listening, ia juga memiliki syair yang kurang lebih hampir sama seperti yang kita rasakan setiap hari, ya bisa dibilang umum. Apakah ada satu tongkrongan anak muda di Jakarta yang tak pernah memainkan lagu Terlalu Manis-nya Slank? Ya mungkin tergantung tongkrongannya juga sih, bisa saja di warung rokok pinggir jalan atau club-club ternama di Jakarta. Mungkin bisa jadi yang diputar lagu Scientist-nya Coldplay, Don’t Look Back in Anger-nya Oasis atau bahkan Untitled-nya Maliq & D’Essentials. Tapi yang mau dikatakan di sini bahwa melalui paduan musik yang apik dan syair yang unik, suatu pesan mampu tersampaikan. Bahkan terkadang lagu-lagu tersebut terasa mewakilkan perasaan kita sendiri, meski tidak mengenal sama sekali pengarangnya. Itulah yang dimaksud bahwa lagu tersebut mampu menyentuh diri kita. Melalui syair yang seakan rasanya terjadi juga dengan diri kita, lagu tersebut masuk ke dalam otak kita lalu menyentuh sisi emosional kita. Namun bukan berarti lagu-lagu yang tidak terasa mewakili perasaan atau hidup sehari-hari kita tidak mampu menjadi eksis, mungkin tetap juga bisa dikarenakan syarat kedua berlaku dalam lagunya.
Dari semua prasyarat di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa syarat-syarat itu berhubungan satu dengan lainnya. Khususnya industri musik yang tahu betul lagu seperti apa yang akan laku di pasaran dan yang tidak. Tentu dengan memahami betul seperti apa nada yang universal dan syair yang bersifat umum dirasakan setiap orang di zaman kapitalisme ini. Dari sini kita bisa mempelajari beberapa hal penting.
Lalu apa hubungan antara musik dengan Marxisme yang merupakan menu khusus rubrik Logika ini? Serupa dengan syarat dari tenarnya sebuah lagu, Marxisme juga mesti diolah kembali melalui tahap produksi. Tahap produksi di sini merupakan tahap belajar dengan intensitas ketat yang hasilnya kadang beruntung kadang juga buntung. Pada tahap ini kita akan mempelajari kembali Marxisme mulai dari Materialisme Historis Dialektis hingga kemunculan Nilai-Lebih dalam Das Kapital. Selanjutnya menyimpulkan tesis, lalu menguji tesis tersebut di dunia nyata era Revolusi Industri 4.0 ini dan memberikan kritik internal yang membangun. Persis yang telah dipelopori para penulis di Kolom Logika sebelum ini. Martin Suryajaya dengan kebaruan cara berpikir Marxismenya, Dede Mulyanto dengan pengujian tesis-tesis serta upgrading Marxismenya dan Dicky Ermandara dengan mengangkat kembali cara berpikir Marxisme melalui pembahasan karya penting Marx-Engels Das Kapital. Jujur saja, saya tidak akan mampu menyuguhkan sebaik yang mereka berikan kepada pembaca, namun di sini saya akan berusaha sedapat mungkin menyegarkan kembali sedikit banyak pesan yang telah mereka sampaikan. Intinya tahap ini panjang dan berliku layaknya proses produksi sebuah lagu tenar yang saya ceritakan di atas.
Tidak cuma sampai di syarat pertama saja, syarat kedua dan ketiga dari tenarnya sebuah lagu juga penting dipertimbangkan. Agar terasa manfaatnya, apa yang kita pelajari di atas mesti memberi manfaat praktis. Seperti nada yang enak didengar bagi hampir setiap orang walau belum tentu paham maksud syairnya, Marxisme mesti memberikan dampak nyata meski tanpa mengibarkan bendera merah atau AK-47. Selain nada yang nikmat untuk dibawa joged, penambahan sebuah syair yang tepat juga mendukung sebuah lagu bisa dinikmati sepenuhnya. Layaknya suatu syair dalam sebuah lagu yang bisa memengaruhi pendengarnya meski ia belum tentu mengenal penulisnya, Marxisme juga harus mudah didengar dan dimengerti walau meski tanpa membawa nama Karl Marx atau Frederick Engels. Berbagai macam cara bisa saya ceritakan, tapi intinya berani menguji tesis-tesis materialisme historis dialektis dalam bidang kita masing-masing merupakan sebuah keberanian hari ini. Mengingat buruknya citra Marxisme pasca G30S, maka penting kiranya untuk memperbaiki image tersebut dengan bukti nyata bahwa cara berpikir ini bukan mempersoalkan ada atau tidaknya Tuhan, melainkan soal ada atau tidaknya kecacatan dalam tatanan kapitalisme yang dengan demikian mesti dicari jalan keluar untuk mengubahnya.
Kembali ke L’Internationale lagi. Walau tidak setenar Despacito dan Akad, tapi sepotong syairnya yang dalam versi Inggris ada betulnya juga. Syair itu berbunyi “and Internationale, unite the world with song.” Hal ini terbukti dari maraknya acara-acara internasional macam Tomorrow Land, Ultra Music Festival dan Djakarta Warehouse Project yang berhasil menyatukan dunia di dalam musik. Saya pikir kalau atas nama musik saja dunia bisa bersatu, mengapa Marxisme yang mengatasnamakan kelas pekerja sedunia melawan penindasan tidak bisa? Lalu apakah kita mesti membangun kembali Persatuan Kelas Pekerja Internasional? Atau apakah mungkin kita harus menyatukan kelas pekerja sedunia lewat musik? Keduanya mungkin saja dilakukan dan perlu. Namun jawabnya ada di ujung langit. Hari ini kita menjadi realistis. Untuk mengisi perut kita setiap hari saja kita mesti merogoh-rogoh dompet yang nampaknya lebih terlihat seperti kopiah, belum lagi cicilan dan hutang-hutang. Lalu kalau untuk ikut menyokong gerakan internasional yang terkoordinir sebesar itu hari ini, rasa-rasanya hanya Ismaya Group atau Ultra Worldwide saja yang lebih sanggup merealisasikannya. Itu baru satu hal soal sumber daya, kita belum bicara soal kendala-kendala politik dan kultural yang pasti dihadapi. Sungguh bukan hal yang sepele.
Kalau begitu mari mulai lebih dulu dari yang kira-kira masih memungkinkan untuk kita lakukan. Yaitu menyelesaikan sebagian kecil PR yang tidak sedikit itu. Salah satunya adalah mempelajari lagi apa sih Marxisme itu, lalu paham betul apa yang diperjuangkan dari cara pikir ini. Penting menurut hemat saya supaya kita tak mudah terjebak oleh yang kelihatan mata saja dan menjadi kebingungan ketika ditanya apa bedanya pekerja kantoran Jalan Sudirman Jakarta dengan pekerja pabrik di Karawang. Jika sudah cukup paham, kita mesti berusaha menguji kebenaran tesis-tesis tersebut lewat pengujian sains dan diskusi lintas pemikiran, bahkan mencoba berdiskusi langsung dengan lawan pemikiran. Terakhir tentu saja jangan lupa berhimpun sesama pekerja upahan agar tidak lupa dengan Pasal 88 dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003. Namun yang menjadi PR utama kita saat ini yaitu memperbaiki citra Marxisme serta melepaskannya dari sisa-sisa nuansa Perang Dingin dan Orde Baru. Supaya cara berpikir yang susah payah dibedah di IndoPROGRESS selama ini, khususnya di Kolom Logika, tidak hanya menjadi artefak di history browser saja, namun lebih terasa manfaatnya secara langsung maupun tidak langsung. Kalau soal manfaat, di dunia yang serba pragmatis hari ini, jika saja Marxisme punya manfaat yang nyata, saya yakin orang-orang perlahan akan berhenti alergi. Seperti lagu-lagu yang sering kita dengar di radio atau playlist spotify. Beberapa lagu kadang terdengar asing, entah siapa pengarangnya, entah siapa yang membawakannya, tapi lagunya perlahan menjadi enak didengar. Lantas apa kita akan mengganti lagu itu? Saya rasa tidak, kita akan menikmatinya saja, ya kan?***