Kredit ilustrasi: wikiwand.com
TIAP menjelang Natal 25 Desember, pembicaraan publik selalu diramaikan dengan perdebatan boleh tidaknya mengucapkan natal bagi kaum muslim. Perdebatan ini telah menjadi siklus tahunan yang membosankan dan makin menunjukkan bahwa respon dan perhatian sosial beberapa kalangan kaum muslim belum beranjak jauh dari soal sentimen agama tentang kecurigaan adanya kristenisasi dan bahaya erosi akidah bila mengucapkan natal. Ketimbang berlomba-lomba menegakkan keadilan sosial bagi orang-orang yang teraniaya sebagaimana diajarkan rasulullah.
Tak sedikit perdebatan pro kontra mengucapkan natal berujung pada tuduhan kafir atau minimal dianggap sebagai antek kafir bagi ulama atau kalangan Islam yang membolehkan mengucapkannya.[1] Fenomena ini sebenarnya bisa dijelaskan secara ilmiah dengan menggali akar historis serta sosiologis di balik dorongan purifikasi Islam dengan tendensi anti keragamannya, atau kelugasan anti kafirnya. Namun kita tak akan membahasnya di sini, dan juga tidak akan turut terlibat dalam pedebatan pro-kontra mengucapkan natal bagi kaum muslim. Sebab telah banyak Ulama yang membahasnya, di antara yang paling jernih adalah mufassir Quraish Shihab.
Buat saya sendiri, perdebatan ini sudah final. Tak ada lagi yang perlu dijadikan sebagai polemik. Pertimbangan saya sederhana. Mengucapkan natal secara eksplisit ada di dalam al-Qur’an, yaitu dalam QS. Maryam 19:33, yang merekam ucapan natal Yesus, “Isa: Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari aku wafat, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali”.
Bahkan bila digali lebih jauh, sesungguhnya Allah sendiri yang memberi gelar Yesus sebagai Al-Masih atau Mesiah yang berarti juru selamat, yang terulang dalam al-Qur’an sebanyak 11 kali.[2] Bahkan kurang lebih terdapat 90 ayat dari 15 buah surat di dalam al-Qur’an mempunyai rujukan kepada Yesus, meski kebanyakan adalah penyebutan namanya dalam rangkaian nama nabi-nabi. Ini menandakan satu hal bahwa Yesus (demikian juga dengan kekristenan) sangat dekat dengan Islam. Bahkan mengimani kenabian Yesus dan kebenaran Injil merupakan salah sebuah rukun iman dalam Islam.
Kabar tentang kelahiran Yesus direkam oleh al-Qur’an dalam kegelisahan bunda Maria. Dalam QS. Maryam 19:20, bunda Maria berkata,“Bagaimana akan ada bagiku seorang anak, sedang aku belum pernah disentuh seorang laki-laki pun (suami) dan tiadalah aku perempuan jahat”. Hal senada juga terdapat dalam Injil Lukas 1:34, “Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami”. Kegelisahan bunda Maria tersebut segera dijawab oleh Allah dalam QS. Al-Tahrim 66:12, “Dan Maryam putri Imran, yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami, dan dia membenarkan kalimat Tuhannya dan kitab-kitab-Nya dan adalah dia termasuk orang yang taat”. Dan dalam QS. Maryam 19:21, “Demikianlah, Hal itu mudah bagi-Ku. Kami hendak menjadikannya sebagai tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari Kami, dan adalah urusan itu telah ditetapkan”. Jawaban serupa juga terdapat dalam Lukas 1:35, “Roh kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah yang maha tinggi akan menaungi engkau”.
Intinya, terdapat banyak sekali rujukan yang otoritatif dan pendapat para ulama yang menyatakan hukum al-ibahah (kebolehan) mengucapkan selamat hari natal karena tidak ada satupun dalil yang melarangnya. Dan untuk sekadar mengucapkan selamat natal bukan berarti membuat seorang muslim secara otamatis murtad (keluar dari agama Islam).
***
Ada persoalan lain yang saya kira penting untuk menjadi perhatian kita semua dalam setiap peringatan dan perayaan hari besar agama (dan tentu saja dengan perayaan lainnya), yaitu konteks historis, dan sosial sebuah peristiwa yang diperingati atau dirayakan.
Suatu peristiwa diperingati dan dirayakan tak lain karena peristiwa tersebut dianggap penting karena memberi pengaruh besar bagi perubahan sosial yang memengaruhi jalannya sejarah sesudahnya. Dengan kata lain, sebuah peristiwa dianggap besar karena peristiwa tersebut berkontribusi besar pada perubahan sosial, politik dan kebudayaan di tempat tertentu pada masanya, atau dianggap mampu merekonstruksi struktur sosial dan kultural yang porakporanda oleh hal-hal tertentu, atau minimal memberi pengharapan bagi masyarakat yang hidup di sebuah wilayah tertentu dan pada zaman tertentu.
Terdapat banyak sekali peristiwa yang dianggap penting di dunia ini, baik bersifat keagamaan maupun tidak, seperti peringatan hari kemerdekaan dll, yang kehilangan konteks historis dan sosialnya dalam gegap gempita upacara peringatan dan perayaan.
***
Kelahiran Yesus tak jauh berbeda dengan tiap kelahiran tokoh besar lainnya, yang selalu lahir dalam konteks zaman tertentu. Di dalam sumber pokok Kristen yang saya baca sebagai seorang outsider, yakni dalam Matius, diceritakan, Yesus lahir di tengah kecamuk sosial politik di Palestina yang disebabkan oleh penjajahan politik imperium Romawi di satu sisi dan persaingan beberapa kelompok Yahudi dalam memperebutkan wacana publik, sebagai satu-satunya solusi yang harus ditempuh masyarakat di sisi lainnya.
Sebagaimana pada umumnya, sebuah respon atas suatu hal tak pernah seragam. Begitu pula kondisi masyarakat terjajah dimana Yesus dilahirkan. Kaum Shaduki, yang merupakan sekumpulan rahib yang menguasai urusan Bait Allah kaum Yahudi, secara politik memilih jalan kompromis dan menerima kolonialisme kekuasaan Romawi sebagai keniscayaan sejarah yang harus diterima. Berkebalikan dengan kaum Shaduki, kaum Pharisi, yakni sekumpulan ahli hukum yang menafsir Taurat secara tekstual dan literal, secara politik justru menentang kekuasaan dan dominasi Romawi. Berbeda dari keduanya, adalah kaum Zealot, yaitu orang-orang radikal yang mengoganisir perlawanan terhadap Romawi, dan kaum Essene, yaitu kaum spiritualis yang secara politik menolak dominasi Romawi, namun memilih jalur damai dan menarik diri dari kehidupan publik.
Bagaimana kita bisa menjelaskan dan menafsir secara progresif dan prospektif situasi historis Yesus tersebut? Yesus, secara politik hendak melampaui semua perjuangan politik kelompok yang tengah bersaing memperebutkan simpati publik Yahudi. Ia mengecam monopoli administrasi Bait Allah oleh kaum Shaduki yang hanya menjadi komoditas politik dan ekonomi segelintir orang, dengan menjadikannya sebagai sarang pencuri berkedok agama ketimbang menghidupi agama itu sendiri.[3] Ia juga berbeda dengan perjuangan politik kaum Zealot yang radikal-progresif tapi hanya berjuang secara fisik untuk menumbangkan kekuasaan Romawi, melampaui itu, Ia menawarkan “Kerajaan Sorga” sebagai jalan untuk memutus mata rantai kekerasan despotisme Romawi dengan pengajaran jalan cinta kasih.[4] Meski demikian, Ia juga tak menganjurkan untuk menjauhi kehidupan politik, meninggalkan kaum papa dengan memilih menjadi petapa di sebuah gurun sebagaimana ditempuh kaum Essene. Walaupun seringkali Yesus ditafsir secara fatalis—khususnya oleh sebagian besar pembaca Islam—sesungguhnya Ia terlibat, Ia melawan kebatilan, kekerasan, dan penghinaan atas kemanusiaan, dengan tindakan etis sebaliknya, yakni cinta kasih.[5]
Di tengah kekejaman yang dianggap lumrah pada zamannya, di tengah penghinaan atas kemanusiaan yang oleh sebagian besar masyarakat jajahan yang frustasi dianggap sebagai realitas sosial yang harus diterima, Ia mengajarkan jalan hidup sebaliknya bahwa memberi keselamatan atas yang lain adalah jalan hidup manusia sejati. Ia mengajarkan bahwa berkorban atas yang lain dan mendahulukan kepentingan orang lain adalah keutamaan hidup yang harus dipanggul semua orang. Ini artinya, melakukan tindakan berkebalikan dari apa yang dilakukan rezim despotik Romawi, bukanlah tindakan fatalis, melainkan sebuah seruan keras perlawanan, suatu pemberontakan yang mengancam bangunan kekuasaan yang telah mapan.
***
Seperti semua peringatan peristiwa historis keagamaan lainnya yang dianggap sakral, kelahiran Yesus diperingati dengan suka cita. Tentu saja ini tidak salah, sebab kelahiran Yesus adalah kabar bahagia bagi kaum papa pada masanya. Ia menjadi sebuah nama dari harapan akan kedamaian hidup di dunia. Namun pada setiap peringatan dan perayaan atas semua peristiwa historis di dunia ini, kita menjadi ingat ungkapan masyhur Karl Marx, “sejarah selalu berulang dua kali, pertama sebagai sebuah tragedi, dan kedua sebagai lelucon”.
Kelahiran Yesus adalah sebuah tragedi. Ia terlahir tidak di dalam istana, dan tidak pula tempat persalinan yang luar biasa mewah sebagaimana kebanyakan orang hari ini di Indonesia yang bisa dengan mudah memesan tanggal kelahiran seorang jabang bayi melalui bedah caesar. Yesus terlahir di sebuah kandang domba dari Rahim perempuan suci bernama Maria. Bahkan, kegelisahan Maria atas kabar kehamilannya, kelahiran sang jabang bayi di kandang domba, pemanggulan salib oleh Yesus via Dolorosa, hingga tersalibnya Yesus di tiang gantungan, semuanya merupakan serangkaian tragedi. Pendeknya, hidup Yesus adalah sebuah tragedi. Suatu perjuangan berat yang harus dipanggulnya dengan segala resiko yang harus Ia terima: dihina, dianggap subversif bahkan dibunuh.
Sekarang tragedi itu kita hadirkan kembali dengan penuh suka cita, dengan pesta pora, dengan lagu dan irama, dengan kerlap kerlip ornamen natal di rumah dan di pusat-pusat perbelanjaan. Bahkan orang-orang berbondong-bondong menuju pusat-pusat hiburan dan perbelanjaan. Apa yang hilang dari peringatan besar seperti natal adalah tanpa disadari, kita telah mengubah tragedi menjadi sekadar lelucon.
Saya tak sedang menuding bahwa perayaan natal otomatis menenggelamkan visi hidup Yesus, apalagi meminta mereka semua menghentikan perayaannya. Sama sekali tidak demikian, sebab apa yang terjadi pada peringatan natal juga terjadi pada peringatan Idul Fitri. Dan bahkan terjadi pada hampir semua peringatan dan perayaan hari besar apapun di dunia. Anda bisa bayangkan, perjuangan kemerdekaan Indonesia yang direbut dengan bertaruh nyawa melalui serangkaian perlawanan bersenjata, di desa saya justru diperingati dengan pesta dangdut di pelataran balai desa. Dan sialnya, di depan warga yang berkerumun di depan panggung acara, para aparatur desa berpesan agar semua warga menjunjung tinggi nilai-nilai perjuangan para pejuang kemerdekaan.
Maka tugas penting kita hari ini—tak hanya bagi kaum kristiani, tapi juga kaum muslim—adalah menggali visi hidup Yesus yang progresif dalam konteks tantangan hidup yang tengah kita hadapi, baik dalam konteks nasional maupun global.
Dalam konteks nasional terjadi kemerosotan di berbagai aspek. Ketimpangan sosial yang sangat tinggi yang mengakibatkan lebarnya jurang antara yang miskin dan kaya, perampasan terhadap alat subsistensi rakyat makin marak terjadi sebagai imbas dari kebijakan infrastruktur dan perluasan peta produksi kapitalisme, merajalelanya korupsi oleh aparatur negara di hampir semua lini dari tingkat paling tinggi hingga paling bawah di desa, masih mewabahnya militerisme yang mengakibatkan langgengnya krisis kemanusiaan seperti di Papua, kuatnya propaganda orde baru dalam menyebarkan komunisphobia yang disokong oleh aliansi angkatan darat dengan kalangan islamis, maraknya persekusi terhadap kelompok orang yang memiliki orientasi seksual maupun orientasi keagamaan yang berbeda dari mayoritas, tenaga kerja fleksibel di sektor perburuhan, regulasi minimal sebagai bagian dari kebijakan negara pro pasar dan lain sebagainya. Bagaimana kita menyikapi itu semua, dan bagaimana kita melihatnya dari visi hidup Yesus? Tentu saja tidak mudah bagi kita untuk menjawabnya dan meletakannya dalam satu lensa analisa yang melihat semua persoalan tadi sebagai sesuatu yang saling terkait dan tidak saling terpisah atau berdiri sendiri antara satu dengan lainnya. Namun setidaknya, jika kita kembali pada Yesus, secara moral Ia telah bertindak subversif atas persoalan sosial politik aktual pada masanya. Nah, apakah hari ini kita sudah menjadi subversif dengan bertindak sebaliknya dari apa yang dilakukan oleh rezim? Apakah kita telah berani mengatakan dan bertindak berkebalikan dari semua tindakan penghinaan atas kemanusiaan yang terus diperagakan oleh aparatur negara dan pihak-pihak tertentu lainnya, yang terjadi di hampir semua aspek kehidupan sosial politik di negeri ini? Seberapa sanggup kita mengajak jutaan rakyat Indonesia untuk berani mengatakan dan bertindak berkebalikan dari suara rezim bahwa militerisme di Papua adalah kejahatan melawan kemanusiaan bahkan sebuah genosida? Seberapa sanggup kita mengajak para pemuda mengatakan bahwa persekusi terhadap pilihan orientasi seksual dan keagamaan adalah sebuah tindakan pelanggaran HAM, yang itu artinya harus berani berseberangan dengan suara mayoritas?
Atau begini saja, seberapa banyak pegiat gereja dan masjid yang peduli dengan semua hal di muka? Bahkan terhadap pelanggaran HAM berat masa lalu peristiwa 65-66 saja, kita belum mendengar permintaan maaf dari berbagai institusi agama (kecuali secara personal dari pihak-pihak tertentu) yang terlibat di dalamnya.
Berbicara dan bertindak berkebalikan dari suara rezim dan suara mayoritas dalam realitas sosial politik seperti di Indonesia hari ini dalam amatan saya, lagi-lagi sebagai outsider, merupakan sebuah upaya menghadirkan kembali Yesus sebagai tragedi, alih-alih sebagai lelucon.
***
Melihat betapa pentingnya kelahiran Yesus bagi perjalanan manusia, khususnya kaum papa, sehingga tidak heran, Ia oleh Allah diabadikan dalam al-Qur’an, yang tak lain agar menjadi panduan moral bagi kaum muslim. Kita tak perlu berlarut-larut dalam perdebatan apakah Yesus Tuhan, yakni Allah yang mendagingkan dirinya dalam versi iman Kristiani, atau Yesus sebagai seorang nabi dalam versi iman Islam. Sebab seringkali perdebatan semacam itu, yang tidak dilandasi saling menghargai, tak mengubah apa-apa selain makin menebalkan kebencian dan permusuhan yang tak seharusnya terjadi.
Maka, saya setuju dengan pernyataan terkenal Hans Kung, “tak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian antar agama”. Meski pernyataan tersebut harus diletakkan dalam posisi agama sebagai jalan pembebasan, bukan sebagai penjaga status quo dan pemberi stempel bagi berlangsungnya persekusi atau beroperasinya mesin ekonomi yang menciptakan ketimpangan dan malapetaka global. Ini artinya, perlunya untuk terus mendorong terwujudnya persaudaraan dan saling pengertian antar iman yang diimplementasikan dalam kerja-kerja kolektif pembebasan rakyat tertindas, melampaui aktivitas dialog antar iman yang tidak peka dengan problem ekonomi politik dan kehilangan perspektif kelasnya. Dengan kata lain, kita perlu terus mendorong terjadinya perubahan orientasi relasi antar agama, dari dialog antar agama menuju kerjasama antar agama, dari percakapan menuju tindakan, dari diskusi menuju aksi.
Terakhir, saya mengucapkan selamat Natal, dan selamat atas kehidupan yang subversif! Shalom aleichem.****
Surabaya, 20 Desember 2017
————-
[1] Untuk menanggapi tuduhan-tuduhan kekanak-kanakan semacam itu, kadangkala kita tak perlu menanggapinya dengan terlalu serius. Gus Dur dulu menanggapi tuduhan kafir dengan kelakar, “Ya gampang saja, kalau kita dianggap kafir, nanti kita syahadat lagi. Sudah, Islam lagi”.
[2] Yesus juga medapat pelbagai sebutan lainnya dalam al-Qur’an seperti, tanda bagi manusia dalam QS. Maryam [19]:21; sebagai rahmat dari Allah dalam QS. Maryam [19]:21; saksi dalam QS. an-Nisaa’ [4]:159; orang saleh dalam QS. Ali-Imran [3]:46; yang didekatkan kepada Allah dalam QS. Ali-Imran [3]:45; putra Maryam, Utusan Allah, Nabi, Kalimat Allah dan Roh dari Allah dalam QS. an-Nisaa’ [4]:171.
[3] Lih. Matius [17]:24-27.
[4] Lih. Matius [18]:1-4, Lukas [9]:46-47, Markus [9]:33-37.
[5] Bila dibaca secara lebih luas, sejatinya semua nabi pada dirinya adalah penyeru perlawanan dan pada dirinya adalah suatu tindakan subversif. Mengenai aspek revolusioner para nabi lebih lanjut bisa dilihat. Zaiul Haque, Revelation and Revolution, Lahore: Vanguard Book Ltd, 1974.