The Portrait. Kredit ilustrasi: Alit Ambara (Nobodycorp)
ADA sebuah cerita yang telah lama beredar luas di kalangan santri, yang dimaksudkan sebagai sindiran terhadap keterbatasan solidaritas kemanusiaan di kalangan kaum muslim.
Ceritanya kurang lebih begini.
Suatu ketika ada orang yang kecelakaan dan perlu segera mendapat pertolongan. Anggap saja orang tersebut seorang lelaki atau perempuan yang tak pernah kita kenal sebelumnya. Seseorang yang tak pernah kita tahu nama, agama maupun alamatnya.
Di hadapan korban kecelakaan, lumrahnya, tanpa perlu tahu nama, agama maupun alamatnya, secara spontan kita akan menolongnya. Tapi, prinsip menolong siapapun tersebut, tidak berlaku bagi orang fanatis. Entah fanatis terhadap apa saja, lebih-lebih pada paham keagamaan atau sekte tertentu.
Bagi kaum fanatis, demikian inti pesan ceritanya, sebelum memberi pertolongan ia akan terlebih dulu mengajukan pertanyaan primordial pada orang yang hendak ditolongnya, “apakah bapak Islam? Islam madzab Sunni atau Syiah? Sunni NU atau Muhammadiyah? Kalau NU, ikut PKB nya Gus Dur atau PKB Muhaimin Iskandar?” setelah dipastikan bahwa orang yang sedang kecelakaan adalah NU, lebih-lebih ikut PKB Gus Dur, baru uluran tangan diberikan pada korban kecelakaan. Cerita ini tengah mengilustrasikan kecacatan solidaritas kemanusiaan yang bisa terjadi dimana saja, khususnya di kalangan kaum beragama, yang hanya peduli pada siapapun yang dianggap sebagai bagian dari diri, kelompok, aliran atau agamanya. Jika bukan bagian dari kelompok, aliran atau agamanya tidak akan ditolong.
Cerita yang beredar luas di lingkungan pesantren tersebut belakangan menjadi aktual dalam kehidupan sosial-politik kita. Di sekitar pemilukada DKI Jakarta beberapa waktu lalu, ada ancaman yang sengaja disebarkan pada orang yang semasa hidupnya memilih gubernur Ahok, ketika meninggal jenazahnya tidak akan disholati sebab dianggap sebagai pendukung kafir, yang otomatis ditempatkan sebagai pihak yang berada di luar kelompok atau alirannya.
Fanatisme bisa menjangkiti siapa saja. Seorang terpelajar yang seringkali dibayangkan memiliki horizon pengetahuan luas, tidak sedikit yang menjadi fanatis. Bahkan dalam konteks beragama, fanatisme justru seringkali banyak menjangkiti kalangan agamawan ketimbang orang awam yang memang lebih longgar dalam beragama. “Makin relijius seseorang”, demikian kata tetangga saya, “biasanya melihat dunia menjadi lebih sempit”. Bisa setuju dan tidak dengan pernyataan tersebut. Di banyak tempat, kekerasan atas nama agama justru seringkali terjadi di kantong masyakarat yang agamis ketimbang yang tidak agamis, sebab orang beragama lebih cenderung intoleran ketimbang yang sekular.
Seorang fanatis tak akan mudah menerima kebenaran yang berada di luar batas pengetahuan serta pengalamannya. Ia akan selalu curiga terhadap apapun yang berada di luar batas pengetahuan dan pengalamannya. Sebab lokus fanatisme berada dalam klaim kesahihan normatif yang dipertahankan, tidak berdasar pada argumentasi rasional melainkan dari pikiran paranoid.
Fanatisme inilah, meski bukan satu-satunya, yang menjadi salah sebuah keterbatasan solidaritas di kalangan kaum beragama, khususnya Islam. Saya tak sedang bermaksud mengeneralisir semua orang beragama otomatis fanatis. Tidak demikian. Namun tak bisa dibantah kaum beragama, khususnya para agamawannya, lebih berpeluang tergelincir pada sikap fanatis ketimbang mereka yang tak terlalu relijius dalam agama.
Kaitan antara sikap fanatis dan keterbatasan solidaritas kemanusiaan di kalangan kaum beragama inilah yang akan kita diskusikan lebih lanjut.
***
Di masa kebencian dikobarkan dengan pelbagai rupa dan cara seperti sekarang ini, fanatisme dari elemen-elemen kolektif beragama bisa dengan mudah menjadi mesin produksi kebencian yang digerakkan oleh kekuatan politik tertentu untuk tujuan tertentu. Sebagai sebuah mesin produksi kebencian, fanatisme menjadi anomali dalam agama. Dan memang inilah problem teoritis dan moral, sesungguhnya dalam agama. Berbagai klaim universalitas dalam agama seringkali tidak bisa dibuktikan secara faktual. Seperti klaim universalitas solidaritas kemanusian yang tengah kita bicarakan sekarang. Mengklaim mencurahkan cinta kasihnya pada seisi jagat raya, bahkan pada mereka yang tak setuju atau menampik agama. Namun sayangnya klaim universalitas semacam itu seringkali terbatasi oleh doktrin tertentu dalam agama itu sendiri maupun pada tindakan keberagamaan yang menunjukkan bukti sebaliknya.
Untuk lebih mudah memahami persoalan kontradiksi solidaritas kemanusiaan kaum beragama, khususnya Islam, mari kita turunkan pada peristiwa historis paling kelam dalam sejarah Indonesia: Pembantaian 65. Dalam berbagai banyak penelitian, setidaknya lebih dari 500 ribu bahkan lebih, manusia dibunuh secara keji. Sedangkan ribuan lainnya dipekerjapaksakan di kamp konsentrasi Pulau Buru, diperkosa, atau dijebloskan ke dalam penjara tanpa proses hukum yang jelas, dan tak pernah dibuktikan apa kesalahannya.
Bayangkan betapa mencekamnya situasi saat itu, perkosaan dan pembunuhan terjadi dimana-mana. Seorang saksi pembantain di Kediri, Jawa Timur, pernah menuturkan pada saya bahwa pada masa itu nyawa tak ada harganya. Orang-orang lebih sibuk memburu orang yang diduga komunis serta membunuhnya ketimbang memburu tikus di ladang. “Manusia tak ada harganya, lebih berharga tikus”, demikian ungkapnya. Betapa tidak, banyak perempuan istri seseorang yang diduga sebagai komunis, atau simpatisan partai komunis diperkosa sesaat setelah suaminya diciduk atau dibunuh. Tak tanggung-tanggung, jika perempuan-perempuan tadi terbukti terlibat dalam kegiatan yang dianggap berbau komunis, tak hanya diperkosa, tapi juga dibunuh dengan cara disayat-sayat tubuhnya, bahkan tak sedikit yang diiris-iris payudaranya.
Cerita keji tentang perkosaan dan pembunuhan bisa dengan mudah ditemukan di desa-desa yang menjadi kantong-kantong pembantaian, khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Cerita semacam itu masih tersimpan baik dalam memori banyak orang tua berusia tujuh puluh tahun ke atas di tiap pelosok desa. Jika di desa Anda ada orang tua usia tujuh puluh tahun ke atas bisa ditanya perihal peristiwa tersebut, mereka bisa dengan rinci menggambarkan suasana mencekam masa itu, dimana jerit tangis dan suara-suara ketakutannya masih bisa didengar sampai sekarang melalui penuturan mereka.
Berbeda dengan pembantaian 65 yang sudah berlalu, kekerasan di Papua masih terus berlangsung sejak 1963 hingga sekarang. Hampir tiap hari warga Papua hidup di bawah teror, ancaman penangkapan bahkan pembunuhan. Berdasarkan data yang dirilis LBH Jakarta pada tahun 2016, sekurangnya ada 1.839 orang Papua yang ditangkapi saat menggelar aksi damai mendukung United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) masuk menjadi anggota penuh Melanesian Spearhead Group (MSG), sebuah forum diplomatik di Pasifik Selatan pada 2 Mei 2016.
Ketika orang-orang melakukan perkosaan dan pembunuhan terhadap mereka yang diduga komunis dan simpatisan PKI pasca peristiwa G30S, para pelaku tak merasa sedang melanggar hak asasi manusia. Ketika terjadi kekerasan pada warga Papua, baik pelaku kekerasan maupun rakyat Indonesia pada umumnya, tidak menganggapnya sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Semua tampak lumrah, wajar dan biasa-biasa saja. Bahkan tak sedikit yang menganggap pembunuhan sebagai keharusan. Mengapa? Sebab serangkaian kekerasan tersebut dilakukan pada orang yang dianggap di luar diri dan kelompoknya. Intinya: asal bukan saya atau kelompok saya.
Peristiwa 65 yang tampaknya jauh di belakang itu, sesungguhnya sangatlah dekat. Ia selalu hadir dalam tiap episode kekerasan di negeri ini, sehingga bisa dikatakan berbagai kekerasan pasca 65 merupakan reproduksi peristiwa tersebut. Kekerasan inilah yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Bahkan tanpa disadari telah menjadi identitas yang melekat pada diri banyak manusia Indonesia yang dibanggakan dan dianggap sebagai keutamaan. Contohnya, orang yang diduga mencuri amplifier bisa dibakar hidup-hidup dengan penuh kebanggaan. Pembakaran tersebut merupakan serpihan-serpihan kekerasan yang sebelumnya pernah dilakukan —bahkan secara massal— di tahun 65.
Tak perlu heran, atau pura-pura tidak paham. Praktik kekerasan yang terus menerus terjadi selama ini, selalu bisa dibenarkan dengan berbagai dalih yang menciderai kemanusiaan sekaligus demokrasi.
***
Kita beralih pada kasus lainnya. Beberapa waktu lalu, sesaat setelah berhamburan berita mengenai persekusi warga muslim Rohingnya oleh militer Burma, berbagai elemen kolektif dalam Islam membuat serangkain aksi protes yang digelar di berbagai kota di Indonesia. Bahkan ada juga yang mengalamatkan kemarahannya pada simbol-simbol agama Budha.
Sekali lagi, ini tak hanya gejala dalam Islam, fanatisme bisa muncul dari mana saja. Di Amerika, para fanatis menumpahkan amarahnya pada pelaku teror, pada kaum muslim atau apapun yang terkait dengannya. Mereka serang semua simbol-simbol Islam, dan mencurigai tiap nama Arab.
Kekerasan pada etnis Rohingya, dengan cepat memicu solidaritas kemanusiaan kaum muslim dunia khususnya di Indonesia. Aksi protes di gelar dimana-mana, kemarahan membuncah di dalam dada tiap kaum muslim. Pertanyaannya kemudian, mengapa pada penembakan warga Papua, kriminalisasi para petani, atau korban bom di London, tak ada berlapis-lapis aksi protes dan solidaritas kemanusiaan pada para korban kekerasan dan ketidakadilan? Lebih jauh lagi, mengapa tak ada solidaritas kemanusiaan pada korban 65? Tak lain karena para korban 65 dibayangkan berada di luar diri dan komunitas kaum muslim: mereka dikategorikan sebagai minhum, bukan minna, mereka golongan luar, bukan golongan kami. Di sinilah letak ironi dan absurdnya sekat-sekat partikularitas yang membatasi solidaritas kemanusiaan yang diusung kaum muslim, yang telah menjadikan mereka tak mampu merasakan kepedihan korban 65, meski sama-sama manusianya.
Solidaritas kemanusiaan yang universal, melampaui partikularitas agama, ras, etnis dan ideologi menjadi cacat. Solidaritas kemanusiaan telah tersekat-sekat menjadi sekadar solidaritas pada kelompok, etnis, dan agama tertentu. Prinsipnya kira-kira begini, pembunuhan itu salah kalau membunuh seseorang dari kelompok kami, namun menjadi benar kalau itu diberlakukan pada kelompok lain. “Oh, tidak ada masalah kalau komunis diperkosa, dicincang, dibunuh, sebab mereka musuh kita”. “Oh China, boleh diperkosa dan dibunuh, sebab mereka bukan dari golongan kita” , “Oh, orang Papua dibunuh. Jangan salahkan yang membunuh, sebab mereka separatis musuh NKRI. Kalau tidak dibunuh, mereka bisa melakukan pemberontakan (al-bughat) pada NKRI” dan berbagai dalih pembenaran lainnya.
Rasyid Ridha, murid Muhammad Abduh, mengatakan dalam tafsirnya Al-manar, bahwa prinsip keadilan haruslah menjadi pertimbangan utama kaum muslim melampaui apapun juga. Bahkan kaum muslim tidak boleh berlaku tidak adil dalam memberikan kesaksian atau keputusan hukum terhadap non-muslim.[1] Kategori non muslim di sini bisa diperluas, menjadi siapapun yang dianggap sebagai berada “di luar diri dan kelompok Islam”, bisa komunis, LGBT, ateis atau apapun itu.
Tentu saja apa yang dikatakan Ridha secara moral perlu diapresiasi, karena mengingatkan pada kaum muslim akan pentingnya menilai dan bertindak adil. Tapi dalam kerangka perdebatan teoritik, dan di luar pertimbangan atau asumsi teologis, kita masih bisa memproblematisir argumentasi Ridha. Sebab kontradiksi solidaritas kaum beragama, justru berakar kuat dalam doktrin agama itu sendiri yang membatasinya, yang tampil secara faktual dalam sikap fanatis.
Bertrand Russell, misalnya, dalam salah sebuah esainya menggugat klaim kemanusiaan dalam agama. Di satu sisi agama mengklaim bahwa dirinya peduli pada kemanusiaan dan kehidupan, tapi anehnya dalam tradisi beragama, khususnya konsepsi kebajikan Abad Pertengahan, seseorang yang dianggap suci dalam agama adalah orang yang pensiun dari dunia, yakni orang yang sangat sedikit kontribusinya bagi kehidupan ini. Dengan nada keras ia mengatakan, “Gereja tidak pernah menganggap seseorang sebagai suci karena ia melakukan reformasi keuangan, hukum kriminal, atau peradilan. Sumbangan bagi kesejahteraan manusia semacam ini dianggap tidak penting. Saya tidak percaya ada satu orang suci dari zaman dulu sampai sekarang yang predikatnya ini diperoleh karena kerja untuk kepentingan umum”. Pendeknya, seseorang yang dianggap bijak dan suci dalam agama seringkali adalah mereka yang fanatis, gemar menghasut, dan menebar kebencian, bukan para pejuang sosial atau ilmuan yang mengabdikan hidupnya pada kehidupan.[2]
Kritik Russell cukup beralasan. Di zaman kita beragama saat ini, tak ada satupun ormas Islam yang memberi gelar pada Munir, Marsinah, atau para ilmuan di berbagai bidang yang telah mencurahkan seluruh hidupnya bagi kehidupan sebagai para wali Allah, atau orang suci . Justru yang seringkali mendapatkan posisi wali Allah adalah mereka yang tak pernah kita ketahui kontribusinya bagi kehidupan ini. Bagi Russell, sikap semacam itu menandakan adanya kontradiksi mengenai konsepsi kebajikan dalam agama, yang di satu sisi mengklaim menghargai kemanusiaan dan kehidupan namun di sisi lainnya mengagungkan atau memuja mereka yang anti pada kemanusiaan dan lari dari kehidupan. Maka perlu tinjauan lebih lanjut serta reinterpretasi secara kritis terhadap sumber-sumber agama yang kita yakini, agar tidak mudah tergelincir pada sikap fanatis dan anti kritik.
Kembali pada persoalan solidaritas kemanusiaan kaum muslim Indonesia. Jika hendak membuktikan klaim universalitas solidaritasnya, maka alangkah baiknya kaum muslim, sebagaimana himbauan Ridha, belajar menilai secara adil atas berbagai persoalan yang telah lalu maupun yang tengah mengemuka. Prasyarat solidaritas kemanusiaan bisa dikatakan sebagai solidaritas kemanusiaan jika pada dirinya melampaui sekat partikularitas etnis, golongan atau agama. Jika masih sebatas pada kelompok, komunitas atau golongan tertentu maka tak bisa disebuat sebagai solidaritas kemanusiaan. Dengan ini, dimensi universal solidaritas kemanusiaan merupakan prasyarat mutlaknya. Dengan demikian, tanpa mampu membuktikan klaim universalitas solidaritas kemanusiaan yang digaungkannya, baik dalam tataran teoritis maupun praksisnya, beragama tak lebih dari sekedar lelucon yang bisa dengan mudah dipolitisasi untuk tujuan-tujuan tertentu yang makin jauh dari tujuan luhur beragama. Naudzubillah mindzalik.***
Jakarta, 28 September 2017
———–
[1] Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar Vol VI, (Kairo: Dar al-Manar, 1953), hal. 274.
[2] Bertrand Russell, Bertuhan Tanpa Agama, (Yogyakarta: Resist Book, 2013), hal. 224.